Chapter 12
Selamat datang di chapter 12
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang meresahkan
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Tidakkah ada yang ingin dia sampaikan lagi padaku?
Misalnya mungkin dia merindukanku seperti aku merindukannya?
—Quorra, Wyatt
____________________________________________________
Musim semi
Santander, Madrid, 28 Mei
01.34 a.m.
“Kau yakin bisa pulang sendiri?” tanya Zurina sewaktu teman-teman seperjuangan Belleza Pura sudah berhamburan keluar Brumble Cocktail Bar pasca minum-minum. Bukan sesuatu yang patut dirayakan—terlebih di saat aku patah hati, tetapi kami hanya melakukan sedikit relaksasi sebelum pindah ke kontrak kerja berikutnya yang lumayan padat dan menguras hampir seluruh waktu.
Memang begitulah kami; minum-minum merupakan sebuah rutinitas yang tidak diagendakan dalam waktu lama atau direncanakan dalam waktu dekat, melainkan rutin dilaksanakan serta terjadi begitu saja.
Kuangkat sebelah tangan sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja. “Aku tidak mabuk, kau tahu itu, Zurina. Aku hanya menelan segelas vodca fraise,” ucapku lalu mengangkat gelas kosong di hadapanku.
Aku memang tidak mabuk—atau setidaknya belum. Karena pada kenyataannya sedikit demi sedikit dalam batok kepalaku bagai dipukuli batang kayu besar dengan intensitas yang kian meningkat. Sebuah pertanda alkohol yang kutenggak sudah mulai merangkak naik. Namun, secara fisik, aku sungguh merasa masih baik-baik saja.
Pandanganku juga masih tajam menatap Zurina, atau—melalui ekor mata—bartender yang sedari tadi curi-curi pandang ke arah kami seolah kami hendak melakukan tindakan jahat dengan mengambil berderet-deret alkohol yang tersusun di rak belakang meja bar. Atau pria-pria yang tidak sengaja lewat menoleh ke arah kami seolah melihat alien baru datang dari planet Mars.
“Aku tahu, tapi maksudku, Quorra ..., kau kelihatan mengerikan setelah ..., setelah ..., kau tahu—”
“Apa maksudmu mengerikan?” potongku lumayan kaget. Kepalaku yang semula kuletakkan di meja bar lantaran terasa berat kini refleks terangkat begitu mendengar kalimat Zurina. “Apakah riasanku luntur atau aku bau? Atau rambutku acak-acakan? Atau bagaimana? Apa karena itu semua orang melihatku?” tanyaku panik sambil menggerayangi wajah, rambut dan mengendendus pakaianku yang sama sekali tidak bau.
“Bukan! Bukan itu yang kumaksud! Maksudku, bukan penampilanmu. Jangan tanya bagaimana penampilanmu. Kau selalu mengundang perhatian, Quorra. Bartender itu, DJ itu, atau pria-pria yang baru melewati kita, semuanya tertarik padamu.”
“Ayolah, jangan membual. Mungkin kau benar, penampilanku pasti sangat mengerikan sekarang. Jadi, katakan bagian mana dari riasanku yang butuh kuperbaiki?” tanyaku, sekali lagi menggerayangi wajahku yang terasa hangat.
“Sudah kukatakan bukan itu maksudku, Quorra. Bukan tentang dandanamu, melainkan—” Sahabatku itu menghentikan kalimat untuk menengok kiri-kanan. Matanya pun menyipit sebelum berbisik, “Keadaanmu setelah putus dengan Alejandro. Kau kelihatan kacau. Apalagi saat aku melihatmu minum tadi.”
Mau sebanyak apa pun pria yang tertarik dan manyukaiku, kalau bukan Alejandro Rexford orangnya, tidak akan ada artinya bagiku.
“Aku baik-baik saja,” cetusku tegas sembari mengibas tangan di depan wajahnya. “Aku tahu batas alkoholku. Jadi, jangan khawatir, aku tidak akan memesan segelas lagi lalu menyusahkanmu dengan kondisiku yang mabuk.”
“Kau tahu. Tapi aku sama sekali tidak merasa direpotkan untuk mengurusi dirimu yang mabuk, Quorra. Maksudku, kurasa kau memang membutuhkannya. Aku hanya khawatir.”
“Tolong jangan lakukan itu!” sergahku pada Zurina. Sekali lagi dengan kedua tangan terangkat ke depan wajahnya untuk mempertegas kata-kataku. “Jangan berwajah seperti itu juga, Zurina. Jangan mengasihani aku atau khawatir berlebihan seperti itu. Aku baik-baik saja. Sungguh. Lihatlah. Aku bahkan bersiap pulang,” lanjutku sambil mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Aku masih bisa mengenali berapa jumlah uang yang harus kubayar untuk minumanku,” kataku lagi kemudian membayar minumanku sebelum menenteng tas jinjing dan beranjak dari kursi bar yang tinggi. “Dan berdiri tegak. Lihatlah.”
Zurina lantas bernapas berat. “Baiklah, aku percaya. Ayo kita pulang.”
Aku pun merangkul lengan Zurina untuk kugeret keluar dari tempat penuh musik jaz ini.
Berkali-kali kusuntikkan kata pada diri sendiri bahwa aku harus bertindak logis. Hal yang sudah berlalu biarlah berlalu. Masa lampau sebaiknya tetap berada di tempatnya, jauh di belakang. Bagian terpenting adalah masa kini untuk menatap masa depan. Tidak perlu terlalu memikirkan penyesalan karena itu akan membuatku menjadi manusia paling emosional dan tanpa tujuan hidup berarti.
Namun, sama halnya dengan semua orang yang mengenalku ketahui, aku justru bertindak sebaliknya. Hanya gara-gara efek hubunganku dengan Alejandro berakhir, aku tidak bisa bertindak sesuai akal pikiran semestinya berjalan.
Aku membolos kerja sehari dengan alasan sakit. Memang, bukan sakit fisik, melainkan sesuatu tak kasat mata alias batin. Dan entah bagaimana bisa jadinya itu membuatku tidak nafsu makan atau melakukan apa pun. Aku hanya berdiam di kasur, tetapi dengan menggebu-gebu memelototi foto Alejandro di ponselku yang diam-diam kuambil dari berbagai kesempatan.
Yang paling kusukai adalah foto sewaktu Alejandro masih terlelap dalam pelukanku di pagi hari pasca percintaan kami di penthouse-nya. Kepalanya berada di dadaku dengan wajah sangat damai, seolah dia baru mendapat tidur dengan kualitas layak setelah berabad-abad.
Mengingat betapa sedikitnya kenangan yang kami ciptakan, aku sempat kebingungan antara ingin menelepon—pun, pergi ke Castellón—dan merengek meminta Alejandro kembali untuk menciptakan kenangan-kenangan indah lain yang lebih bervariasi, atau tetap mengucurkan air mata yang tak habis-habis meski sudah kukuras semalaman lantaran menyesali keputusanku yang gegabah. Aku bak orang tersesat, kacau, persis seperti yang dikatakan Zurina. Namun, tentu saja aku tidak ingin membuat sahabatku khawatir sehingga mengaku baik-baik saja.
“Itu dia, taksimu sudah datang,” tunjuk Zurina pada alat transportasi umum tersebut yang telah menepi di bahu jalan.
“Terima kasih telah memesannya untukku sesuai permintaanku,” balasku kemudian memeluk sahabatku sekilas sebelum masuk taksi.
Sebetulnya, jarak antara Brumble Cocktail Bar dan Habitaciones en El Sardinero—apartemenku—bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama delapan belas menit sambil menikmati udara sejuk yang menggelitik permukaan kulit. Namun, selain waktu yang tidak tepat, aku juga tahu diriku tidak akan mampu melakukannya kali ini. Sehingga, meminta Zurina memesankan taksi lewat aplikasi ponselnya karena ponselku mati total dengan alasan ingin cepat pulang, mandi dan istirahat.
Dan hanya dibutuhkan waktu tujuh menit untuk tiba apartemenku. Dengan menahan kepala yang serasa akan pecah kapan saja dan hati yang haru biru oleh rasa sakit, aku berjalan tanpa tenaga menuju lift yang sepi. Sudah hampir dini hari, jadi kondisi ini memang wajar.
Dentingan halus lift membawa langkah kaki yang menyangga tubuhku keluar ke lantai lima. Berhubung sudah hafal di luar kepala letak hunianku berada, jadi tanpa melihat, sembari berjalan di selasar, aku mengubek tas untuk mencari kartu kunci. Sewaktu benda krusial itu sudah kugenggam dan kepalaku secara praktis mendongak untuk memastikan aku tidak salah apartemen, gelombang kejut luar biasa besar tiba-tiba menyerbutku.
“Caramba!” pekikku sambil memegangi dada dan bersandar di dinding.
Entah ini hanya ilusiku semata atau benar dunia nyata. Tidak mungkin kedua netraku menangkap sosok Alejandro Rexford berdiri di depan unit apartemenku sambil menempelkan ponsel ke telinga dengan tatapan lurus ke pintu. Mendengar diriku terkesiap, pria itu pun menolehku. Lalu menurunkan ponsel dan menyimpan alat komunikasi tersebut di saku celana kerjanya.
“Ke mana saja kau, Mi Querido?” desisnya dengan pangkal alis hampir menyatu satu sama lain.
Mi Querido? Apa aku tidak salah dengar? Apa aku sudah mabuk? Atau halusinasi? Kenapa Alejandro memanggilku dengan sebutan itu seolah-olah kami masih sepasang kekasih?
Sambil menggeleng pelan, aku mengerjap sekali dengan intensitas agak lama untuk menghalau pikiranku itu. Kala Alejandro bergerak mendekatiku, kesadaranku mengambil peran membenarkan bahwa aku sedang tidak berhalusinasi atau sejenisnya. Alejandro nyata ada di depanku.
“A-Alex, ba-bagaimana kau bisa ada di sini?” tanyaku dengan mata membelalak dan jantung berdebar keras. “B-bukankah kau seharusnya masih di Castellón? Kau bilang harus di sana selama tiga hari. Kalau dihitung-hitung ini baru dua hari.”
Alejandro tidak menggubris omonganku. Dengan kening terlipat-lipat, dia malah bertanya sembari mendekatiku. “Kau mabuk?”
“Apa? Oh! Aku memang minum vodka—”
“Ck!” Decakan kesal Alejandro menghentikan omonganku. Secara praktis aku membungkam mulut rapat-rapat.
Kondisi ini mirip seperti ibu yang dulu memarahiku karena memergokiku menyukai seorang laki-laki di waktu masih kuliah dan menyuruhku melupakannya. Jadi, aku diam saja. Selain itu, aku tidak memiliki kekuatan untuk berpikir harus menjawab apa. Otakku benar-benar menemukan kebuntuan sekarang.
“Sebaiknya kau masuk rumah,” titah Alejandro sambil menarikku lalu menuntunku bergerak ke depan pintu. “Jangan serampangan. Sudahkah kau tahu jam berapa ini sekarang? Dan kau malah mabuk-mabukan?”
“Aku tidak mabuk,” gumamku sembari mendongak untuk menatap wajah Alejandro yang tampan, seperti biasa. Penampilannya juga tanpa cela. Singkat kata, dia baik-baik saja. Tidak seperti aku.
“Apanya yang tidak? Sudah bercermin bagaimana wajahmu saat ini? Berikan kuncinya padaku.”
Sungguh, mataku panas, aku ingin mengeluarkan tangis ketika sadar bahwa dilihat dari penampilannya itu, Alejandro sama sekali tidak mencintaiku.
Pintu terbuka, udara dingin kontan menyambut. Alejandro kembali mendorongku agar melesak.
“Kenapa kau datang ke sini, Alex?” Kalau untuk memamerkan betapa baik-baik saja dirimu, aku harus mengusirmu, tambahku dalam hati.
“Bersihkan dirimu dulu, aku akan menunggu di sini. Baru kita bicara.”
“Tidak, katakan saja alasan kenapa kau ke sini?”
Dengan ekspresi kaku, Alejandro menjawab, “Aku ke sini karena ponselmu tidak bisa kuhubungi.”
“Dayanya habis. Kenapa?”
“Oh, pantas. Aku ingin memberitahumu tentang acara pembukaan ballroom-ku besok malam.”
“Bukankah acara itu seharusnya akhir pekan?”
“Aku memajukan jadwalnya. Jadi, aku ingin memastikan besok kau akan datang. Itu saja.”
Tidakkah ada yang ingin dia sampaikan lagi padaku? Misalnya mungkin dia merindukanku seperti aku merindukannya?
Ah, aku lupa. Dia tidak mencintaiku, mana mungkin merindukanku seperti itu. Jadi, aku pun menjawab, “Tidak perlu khawatir, aku pasti akan datang.”
“Baiklah. Aku akan menjemputmu besok.”
“Kenapa?” tanyaku tak mengerti. Kupikir cukup sampai di sini saja dia membolak-balikan akal pikiran dan kondisi hatiku.
Dan di saat aku berharap, Alejandro justru membanting perasaanku tanpa ampun dengan mengatakan, “Walau kita tidak lagi menjalin hubungan percintaan seperti yang kau inginkan, kau harus tetap profesional dengan pekerjaanmu dengan membiarkanku menjamu mitra kerjaku—yang mana itu adalah dirimu—dengan baik. Selamat malam.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa and it’s mean a lot to me
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you on Wednesday, teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 29 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro