Chapter 10
Selamat datang di chapter 10
Tinggalkan jejak dengan vote, komen dan benerin typo yang suka bergentayangan
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will enjoy and love this story as well
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Sayang sekali, tidak ada daya upaya otakku yang membenarkan itu dan tenagaku seolah terserap habis akibat memikirkannya
—Quorra Wyatt
____________________________________________________
Musim semi
Madrid, 25 Mei
12.30 p.m.
Aku mengambil oksigen sebanyak yang bisa ditampung paru-paruku. Lalu mengembuskan karbondioksida hingga rasanya organ pernapasanku kosong. Kemudian mengulangi kegiatan bernapas berat yang panjang seperti itu sebanyak kurang lebih dua puluh kali dalam kurun waktu tiga puluh menit terakhir.
Benakku sepucat air keruh dengan hati setenang roller coaster lantaran secara cermat sibuk menyusun kalimat-kalimat sederhana dan mudah dipahami yang akan kuutarakan nanti. Susunan kalimat yang semestinya sudah kulontarkan tepat tiga hari aku menerimanya sebagai kekasihku.
Namun, karena berbagai alasan, aku menundanya hingga memasuki pertengahan bulan kedua hubungan kami. Tepat pada hari ini—hari terakhir kontrak kerjaku habis, dan hari di mana dia harus terbang ke Castellón de la Plana untuk mengurus pengguritaan bisnis.
Sebagian hatiku berkata lebih baik aku berlari kencang detik ini juga, sebelum pada detik yang lain sesuatu yang tidak kuharapkan akan terjadi dan berdampak memperparah keadaan. Namun, bagian lain hatiku yang lebih kuat mengatakan aku harus melakukannya. Kendati sebanyak apa pun persiapan yang kulakukan masak-masak, nyatanya masih belum membuatku begitu siap.
Hei! Memangnya siapa yang siap untuk mengakhiri hubungan dengan kekasih yang amat dicintanya hanya gara-gara gosip murahan yang belum tentu benar adanya?
Aku pun percaya, tidak mungkin sebuah gosip terlahir tanpa campur tangan suatu maksud. Jadi, alih-alih mengkonfirmasi selentingan-selentingan itu kepada pihak yang bersangkutan, bisikan-bisikan setan yang terlalu kuat lebih mendominasi diriku. Menuntunku mengambil tindakan ini sebagai pembuktian.
Toh bagiku sama saja; aku bertaruh dengan diri sendiri. Apabila dia menerima kata-kata singkat yang akan kuucapkan nanti, atau menanyakan alasanku melakukannya dan setelah mendapat jawabanku dia mengelak, kedua prediksi itu sama-sama membuktikan kebenaran adanya gosip-gosip tersebut.
Sebesar apa pun rasa cintaku, harga diriku yang terlanjur terluka tidak melihat adanya pilihan mempertahankannya.
Aku menyesap zumo narajana-ku nyaris habis, tetapi tenggorokaku masih terasa sekering padang pasir. Kepalaku selalu menoleh setiap kali mendengar dentang lonceng kecil di atas pintu yang menandakan pengunjung datang maupun pergi di Delicio—restoran dekat hotel Paraíso del Mundo.
Hingga pada menit ke-35, pria berbadan tegap, berkulit perunggu eksotis, berpotongan rapi dan bersetelan kerja kini melangkah masuk. Kedatangannya sontak merenggut atensi semua orang. Kepala-kepala lain praktis menolehnya, terutama wanita. Kesunyian sejenak membungkam mulut, sebelum menjadi desas-desus lebih keras.
Begitulah dampak Alejandro Rexford di setiap tempat yang dipijaknya. Bukan hanya karena tampangnya yang menjual, kekasihku juga terlalu menarik perhatian, terlalu mengundang dambaan karena tingginya yang mengancam dan auranya yang liar menantang ingin ditaklukkan, tetapi mendominasi setiap keadaan. Selalu memiliki kendali tanpa lawan.
Alejandro celingukan sementara debar jantungku terasa membanting-banting menyakitkan di balik tulang rusukku. Seolah setiap detaknya menumbuk-numbuk gendang telingaku tanpa ampun hingga membuatku ngilu.
“Kenapa kau tidak ke penthouse-ku saja dan malah menyuruhku—”
“Meminta. Aku memintamu ke sini,” selaku, mengoreksi perkataan pria itu dengan usaha sekeras baja menguasai diriku agar bersikap tenang.
“Ya, terserah kau saja, Mi Querido. Jadi?” tanyanya dengan sorot mata dingin.
Dari jarak sedekat ini, harum kolonye pria itu yang sudah menjadi favoritku mengguncang-guncang kesadaranku untuk tidak melakukannya. Namun, kehadirannya tidak bisa membuatku mundur lagi. Jadi, tanpa menunggu jeda yang akan melunturkan seluruh keberanianku, aku menukas, “Aku ingin mengakhiri hubungan kita.”
Alejandro berdiam sejenak sambil meremas saku kiri celana kerja warna biru tuanya yang menggembung—berbentuk cetakan kotak seukuran telapak tangannya—seolah tersimpan sesuatu benda di baliknya. Gerakan itu sangat kontras dengan ekspresi wajahnya yang sama sekali tidak berubah. Dia hanya berkedip sekali lalu meresponsku.
“Kalau itu yang kau inginkan, lakukan saja semaumu. Aku harus pergi, kau tahu betul jam berapa jadwal penerbanganku.”
Sudah. Begitu saja. Tidak ada pertanyaan atau pernyataan lain. Apalagi drama adegan Alejandro mengemis cinta seperti di film-film roman picisan. Hubungan kami benar-benar berakhir. Sesederhana itu.
Setelah kutelaah lebih lanjut, sederet kata yang menyusun kalimat-kalimat Alejandro memang dilafalkan secara tenang dan datar tanpa mengandung emosi. Namun, dia seakan-akan mengatakan aku membuang-buang waktunya. Walau, tentu saja aku mengetahui pasti satu jam lagi jadwal pesawatnya akan terbang—oleh karena itulah aku memintanya ke sini. Lagi-lagi karena dengan bertaruh dengan diri sendiri; sejauh apa dia akan mengambil risiko. Rela ketinggalan pesawat demi mempertahankan hubungan kami dengan cara membujukku atau .... Yah, aku sudah tahu sekarang, bukan diriku yang menjadi prioritas Alejandro.
Aku juga mendengar para wanita membicarakan Alejandro. Mereka berteriak tentang betapa tampan, maskulin dan berpengaruhnya pria itu. Berhubung tinggi, orang-orang di sekitar Alejandro jadi kelihatan tidak penting. Plus, betapa beruntungnya wanita yang baru saja dihampiri pria itu. Yang mana itu adalah diriku.
Benarkah aku beruntung? Benarkah? Lalu apakah aku telah sangat bodoh karena melepas keberuntungan itu?
Aku terdiam cukup lama sambil memandang bongkahan es batu dalam gelas minuman pesananku yang bergerak turun. Bukti suhu ruangan lebih tinggi sehingga mencairkan es tersebut. Setelah beberapa saat, asumsi yang sejenak pernah dan masih sempat kuragukan menusuk logikaku untuk menamparku dengan kenyataan pahit ini. Bahwa para wanita yang membicarakan kami jelas keliru.
Seperti kata Beatrisa. Dari sikap yang ditunjukkan Alejandro jelas bisa ditarik kesimpulan bahwa pria itu tidak mencintaiku oleh sebab itulah dia tidak pernah mengatakan mencintaiku selama ini. Alejandro hanya suka mendekati wanita yang menurutnya menarik dan tak ingin ambil pusing dengan apa pun yang mereka ingin lakukan. Yah, dengan tampang dan status seperti itu, aku ragu Alejandro sulit mendapatkan wanita incarannya lalu melompat ke wanita lain bila dia bosan dengan wanita sebelumnya.
Aku menghempaskan napas sekali sambil melafalkan mantra: tidak apa-apa, aku sudah melakukan tindakan benar. Ya. Tidak apa-apa. Sungguh.
Untuk alasan yang tak bisa kupahami, bibir bawah kini mulai menjadi sasaran gigiku beradu. Tubuhku yang semula sedingin es pun memanas hingga menjalar ke mataku. Berikutnya aku refleks berkedip cepat saat ada setetes air yang terjun bebas dari pengelihatanku yang buram ke pipi, selaras dengan alisku yang mengernyit.
Padahal sudah kusuntikkan kata-kata pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja dan semuanya sesuai kehendak logika otakku. Namun, kenapa setiap elemen fisikku justru mengkhianati mantra itu? Kenapa? Aku tidak mengerti. Napasku sesak, seperti ada yang berusaha mencekikku. Aku merasa sekarat, seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Dan aku spontan menunduk serta menutup mulut agar perhatian pengunjung lain tidak mengarah padaku yang tiba-tiba mulai meloloskan satu isakan.
Seharusnya aku tidak menangis. Terlebih menangisi pria seperti Alejandro. Sayangnya, air mata ini mulai sulit dikendalikan lantaran sekujur tubuhku berteriak mencintai pria itu sedalam ini dan tak ingin kehilangannya. Sayang sekali, tidak ada daya upaya otakku yang membenarkan itu dan tenagaku seolah terserap habis akibat memikirkannya.
Satu-satunya kekuatan yang kupunya hanyalah menelepon Zurina dengan gemetaran.
“Ada apa, Quorra?” tanya Zurina dengan nada normal.
“Tolong jemput aku, Zurina. Aku ....“ Kalimatku berhenti sendiri akibat isakan yang keluar. “Aku tidak bisa mengatasinya sendirian,” bisikku pilu dengan suara bergetar.
Sahabatku sontak terdengar luar biasa panik. “Quorra, apa yang terjadi? Di mana kau sekarang? Beri tahu alamatmu, aku akan ke sana.”
“Terima kasih. Maaf merepotkan, Zurina. Akan kukirim alamatku memalui pesan.”
“Astaga! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau keras kepala sekali, Quorra? Kenapa kau segegabah ini? Sudah kukatakan berkali-kali jangan terpengaruh dengan omongan Beatrisa! Dia itu hanya iri padamu! Dia itu cemburu karena Alejandro memilihmu sebagai pacar! Bukannya dia!” omel Zurina pasca mendengar ceritaku. Dia mondar-mandir di depan kasurku sambil memegangi dahi setelah berkacak pinggang dan membodoh-bodohkan aku.
Tadi sewaktu tiba di Delicio, Zurina-lah yang membayar tagihan minumanku sebab aku benar-benar tidak sanggup melakukan apa pun selain menyembunyikan wajahku yang kacau pasca mengerahkan kekuatan untuk menelepon sahabatku itu. Bahkan dia yang menuntunku ke mobilnya dan memberiku segelas air mineral setibanya di sini. Dia juga memelukku sambil mengusap-usap punggungku. Jangan lupa dengan jadwal kerjanya yang terpaksa terhambat karena mengurusiku.
Ketika aku sudah mulai tenang, Zurina mendesakku bercerita. Namun, responsnya jelas tidak lantas membuatku tenang, justru sebaliknya.
“Tapi Alex sama sekali tidak menanyakan alasanku melakukannya, Zurina. Dia jelas tidak mencintaiku,” elakku pelan sembari memandang jendela tempat Alejandro menatap danau sebelah apartemenku sewaktu pertama kali pria itu menginap di sini. Tepatnya pada hari di mana aku menyerahkan seluruh kepercayaan atas jiwa dan ragaku—yang kini telah dia coreng. Posisi Alejandro yang menyamping bagaikan model yang dipotret oleh juru foto profesional. Benar-benar bagai lukisan dewa Yunani yang menjelma nyata.
“Mungkin dia kaget. Atau mungkin karena jadwal pesawatnya yang mepet,” tanggap Zurina logis.
Meski seandainya benar demikian, kenapa aku tidak bisa menggunakan logika berpikirku?
“Kalau dia mencintaiku, setidaknya dia akan mempertahankan hubungan kami, bukan?” tanyaku.
Wajah murka Zurina kembali lagi. “Lihat siapa yang bicara! Sekarang bercerminlah, Quorra! Kau juga mencintai Alejandro, tapi karena gosip itu, kau malah memutuskan hubungan kalian! Padahal tidak ada bukti dia selingkuh darimu atau semacam itu. Kau bodoh!”
Dari sekian kali dia memperingatkan, baru kali ini kalimat Zurina sukses menamparku keras-keras. Sayangnya, apalagi yang bisa kulakukan? Pepatah mengatakan: nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin bisa dikembalikan jadi nasi lagi. Aku sudah terlanjur memutuskan Alejandro dan sangsi untuk merengek minta hubungan kami kembali. Pun, ragu dia menerimaku.
Zurina mengembuskan napas dan duduk di sampingku. Wajahnya pun melunak, tidak sejahat tadi ketika marah-marah. “Maaf, Quorra, aku sudah membentakmu. Pasti ini sangat berat bagimu. Alejandro pria pertamamu kan?”
Aku mengangguk. Perasaanku pun sedikit membaik. “Tidak apa-apa. Tapi kau benar, aku memang bodoh karena gegabah.”
Wajah Zurina berubah semringah. “Jangan sedih dulu. Mungkin Alejandro perlu waktu untuk menenangkan diri. Kalau dia mencintaimu, pasti akan menemuimu untuk membicarakan hubunganmu setelah urusannya selesai.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa
And it’s a lot to me
Bonus foto Quorra Wyatt
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 22 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro