Playing With The Devil 2
"Hai, Liz!"
Ketika sapaan itu mendarat di indra pendengaran Eliz, cewek itu sontak membeku. Atas hingga bawah, ia benar-benar bergeming. Tidak bergerak sedikit pun. Dengan mata yang tertuju ke depan. Pada satu sosok cowok yang tampak berdiri di ambang pintu.
Cowok itu menatap Eliz. Dengan sorot jahil yang terpancar tanpa malu-malu dari kedua bola matanya yang cokelat gelap. Dalam ekspresi yang membuat Eliz langsung menahan napas di dada. Seperti alam bawah sadarnya yang segera memasang sikap antisipasi. Akan semua kemungkinan bentuk kejahilan yang bisa saja ia lakukan pada dirinya.
"D-Dika ...."
Tanpa sadar atau mungkin setengah sadar, Eliz menyebut nama itu dengan lirih. Sesuatu yang membuat cowok itu tersenyum. Ia melangkah. Dalam dua kali pergerakan yang lebih dari cukup untuk bisa mengikis jarak di antara mereka. Dan ketika ia berhenti tepat di depan Eliz, cewek itu mau tak mau mengangkat wajahnya. Perbedaan tinggi antara mereka tidak memberi dirinya banyak pilihan.
"Apa kabar?"
Pertanyaan basa-basi itu membuat Eliz meneguk ludah. Antara merasa pegal lantaran perbedaan tinggi sekitar tiga puluh sentimeter yang membuat ia terpaksa mendongak atau mungkin karena suara berat itu yang terasa seperti membuat jantungnya mendadak terpacu? Atau mungkin karena keduanya?
Karena ketika Eliz menyadari bahwa Dika benar-benar muncul di hadapannya setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu, ia tentu saja bertanya-tanya. Apakah kehadiran Dika kali ini akan sama persis seperti kehadirannya yang sudah-sudah? Di mana akan selalu ada kenakalan-kenakalan yang akan cowok itu lakukan padanya?
Eliz tidak akan pernah melupakannya seumur hidup. Bahwa cowok yang menjadi kesayangan orang tua dan bahkan kakaknya itu adalah cowok yang selalu saja punya ide untuk menjahilinya. Dari mereka masih kecil hingga menginjak SMA, sudah tak terhitung lagi bagi berapa kali Dika mengerjainya. Dari yang sederhana seperti mengganti sampo dengan kecap manis hingga ke yang luar biasa seperti menaruh bangkai kodok di balik selimutnya.
Maka tidak aneh bila Eliz butuh oksigen yang sebanyak-banyaknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebagai upaya penenangan diri dan mencoba untuk menyingkirkan kenangan-kenangan buruk itu di benaknya. Tapi, nahas. Pada saat yang bersamaan, aroma maskulin bernuansa pepohonan dan hutan sejuk itu masuk pula ke indra penciumannya. Aroma Dika.
Di hadapannya, Dika memasang senyum. Satu gestur yang membuat cowok setinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter itu terlihat tampan. Setidaknya itulah yang dinilai oleh Rahmi. Wanita paruh baya itu menghampiri Dika.
"Liz," panggil Rahmi seraya memegang kedua tangan Dika dari belakang. "Kamu itu ditanyain kabar sama Dika kok diem aja sih?"
Eliz tergugu. Mengerjap sekali. Lalu baru tersadar bahwa memang Dika menanyakan hal itu padanya beberapa saat yang lalu.
"B-baik."
Senyum di wajah Dika tampak sedikit berubah. Kali ini menampilkan samar-samar ekspresi geli.
"Kamu nggak mau tau kabar aku gimana?"
Normalnya ketika ada orang yang menanyakan kabar, pastinya akan mendapatkan pertanyaan yang serupa. Bisa dikatakan sebagai pembicaraan basa-basi demi kesopanan. Sesuatu yang sepertinya terlewatkan oleh Eliz. Tapi, tak urung juga. Lantaran hal tersebut mata Eliz jadi menyipit. Spontan melihat Dika dari atas hingga ke bawah. Seperti ingin menemukan jawabannya sendiri untuk pertanyaan penuh rasa percaya diri itu.
Dalam balutan kaus polos bewarna hitam yang pas badan dan celana jeans yang bewarna senada, Dika berdiri dengan dua tangan yang penuh. Satu menyeret koper sementara satu lagi memegang beberapa tas kertas. Tapi, tentu saja bukan itu yang menarik perhatian Eliz. Alih-alih adalah perawakan Dika yang tampak berbeda di matanya.
Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu?
Setahun? Lebih.
Dua tahun? Masih lebih.
Atau ... tiga tahun?
Eliz tak yakin. Seingatnya mereka terakhir kali bertemu saat kelas satu SMA. Tepat setelah insiden yang benar-benar membuat Eliz murka pada Dika. Dan setelah itu mereka tidak bertemu lagi. Karena ternyata selang beberapa hari kemudian Dika dan keluarganya pindah.
Kalau begitu ... mungkin sudah sekitar sepuluh tahun?
Sebenarnya dalam kurun waktu sepuluh tahun itu Eliz dan Dika kerap bertemu. Karena bagaimanapun juga orang tua mereka adalah sahabat kental. Yang bahkan ketika sudah menikah memutuskan untuk tinggal di perumahan yang sama. Dan andaikan orang tua Dika tidak dipindahtugaskan kala itu, dijamin. Eliz yakin seratus persen. Dika pasti masih menjadi tetangganya hingga saat ini.
Beruntung hal menakutkan itu tidak terjadi. Setidaknya kalaupun selama sepuluh tahun ini mereka tetap bertemu, itu paling hanya pertemuan singkat. Mungkin sekitar sehari atau dua hari. Lantaran kedua keluarga yang saling mengunjungi satu sama lain. Dan selama kesempatan-kesempatan itu, Eliz selalu mencoba menjaga jarak. Yang mana itu bukan hal yang sulit sebenarnya. Berkat Noel yang selalu antusias bila bertemu dengan Dika. Entah apa saja bisa menjadi topik antara mereka berdua. Permainan, anime, bola, hingga film.
Dan melihat kenyataan itu, Eliz semakin tidak habis pikir. Mengapa semua anggota keluarganya amat sangat baik dengan Dika? Heran, tapi begitulah yang terjadi. Di mata keluarga Eliz, Dika benar-benar seperti cowok tanpa cela.
Dika itu cakep. Kata-kata yang sering Rahmi ucapkan. Yang otomatis membuat Eliz sontak meneliti penampilan Dika. Tampak santai dengan pakaian yang terkesan sederhana. Tapi, entah mengapa itu membuat ia terlihat justru nyaman dan menonjol. Ehm ... apa itu ada kaitannya dengan dada bidangnya yang tercetak nyata di balik kaus pas badan itu? Atau ada kaitannya dengan lekukan otot di sepanjang lengannya? Atau ....
Astaga!
Eliz mengerjapkan mata. Buru-buru membawa pandangannya untuk kembali ke atas. Tapi, tatapan Dika justru membuat ia tertegun.
Mereka memang tidak bisa dikatakan benar-benar bertemu selama sepuluh tahun ini. Eliz selalu berusaha menghindar. Dan hal itu mungkin memberikan satu fakta lain baginya. Bahwa selama bertahun-tahun berlalu, Dika mulai tampak menunjukkan gurat-gurat kedewasaan di wajahnya.
Tentu saja. Dia udah dua puluh delapan tahun sekarang.
Walau tentu saja, kesan jahil tetap saja Eliz temukan di sepasang mata pemilik rambut hitam lurus itu. Sesuatu yang seolah hadir untuk menampar Eliz. Dan ia sontak berkata.
"Ya pasti kamu sehatlah. Kalau nggak sehat, nggak mungkin kamu ke sini. Yang ada kamu ke rumah sakit."
Dika sontak tertawa. Rahmi justru melotot. Dan Subagja hanya membuang napas panjang.
"Kamu ini."
Rahmi melayangkan satu tepukan ke tangan Eliz. Cewek itu terlambat menghindar. Jadi ia hanya cemberut mendapati perlakuan sang ibu.
"Mama ...."
Delikan Rahmi belum menghilang. "Kamu itu omongannya astaga. Dika kan baru sampe, kok udah dijulidin kayak gitu sih?"
"Nggak apa-apa, Tan," ujar Dika tersenyum. "Itu bukan Eliz yang lagi julid. Ya kan emang sifatnya emang kayak gitu."
Ekspresi malas langsung tercetak di wajah Eliz.
Tuh liat. Udah mulai caper.
Subagja menepuk pundak Dika. Meremasnya sekilas. "Kamu ini. Eliz gitu masih aja dibelain. Harusnya kamu lebih tegas sama dia."
Eliz melongo. Tanpa sadar mengangkat satu tangannya. Menunjuk ke hidungnya sendiri.
"Tegas sama aku?" tanya Eliz bodoh. "Nggak salah?"
Dika tertawa lagi. "Tenang, Liz. Nggak kok nggak."
Seperti perkataan Dika akan memberikan dampak saja pada Eliz. Yang ada justru sebaliknya. Karena kalaupun memang benar, tentu saja Eliz tidak akan menerimanya.
Apa-apaan. Mau tegas sama aku? Emangnya dia siapa aku? Ck.
Kurang lebih itulah yang melintas di benak Eliz. Tepat ketika ia merasa bahwa waktunya untuk menuruti perkataan Rahmi dan Subagja selesai. Menyambut kedatangan Dika. Dan sekarang, waktunya buat ia kembali lagi ke kamar.
"Oke," lirih Eliz malas. "Kalau gitu ... selamat bersenang-senang dengan Mama dan Papa, Dik."
Rahmi dengan tanggap menangkap gelagat Eliz. Ia tau putrinya itu akan pergi. Maka dengan cepat ia meraih tangannya. Menahannya.
"Eh! Kamu mau ke mana?"
Eliz melihat tangan Rahmi yang menggenggam tangannya. Ia mengerjap dalam ekspresi polos.
"Ya mau balik ke kamar aku dong, Ma. Emang mau ke mana lagi?"
Napas panjang seketika meluncur dari hidung Rahmi. Wanita paruh baya yang tampak rapi untuk kategori akhir pekan di rumah saja itu terlihat geleng-geleng kepala. Merasa tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Kok ke kamar sih? Ini kan Dika baru sampe. Kamu temenin apa."
"Temenin?"
"Iya. Ditemenin."
"Kan ada Mama dan Papa."
"Astaga," desis Rahmi syok. "Ya, tapi gimanapun juga ... masa kamu nggak mau nemenin Dika bentar sih?"
Pertanyaan itu membuat Eliz melirik pada Dika. Cowok itu tampak santai saja. Wajahnya terlihat tenang. Bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung untuk perilaku Eliz yang terang-terangan menunjukkan sikap tidak bersahabat. Tapi, kalaupun tersinggung ... memangnya Eliz peduli? Jawabannya tentu saja tidak.
Namun, sepertinya orang tua Eliz peduli. Bahkan saking pedulinya, Subagja yang cenderung acuh tampak turut mengambil tindakannya. Ikut bicara.
"Kamu itu udah gede, Liz. Coba sama Dika itu yang ramah dikit. Kalian kan juga udah lama nggak ketemu."
Eliz tau bahkan Subagja suka dengan Dika. Tapi, ia tidak mengira bahwa ayahnya itu akan dengan terang-terangan turut membela cowok itu di depannya. Kalau Rahmi sih Eliz tidak heran. Yang ini?
"Dika udah jauh-jauh datang ke sini. Nemuin keluarga kita. Kamu harusnya lebih ramah."
Rahmi mengangguk. Merasa lega karena pada akhirnya sang suami turut bicara. "Tuh, dengerin apa yang Papa bilang. Apalagi ini Dika kan bela-belain datang ke sini setelah abis liburan ke Jepang. Dia pasti masih capek, tapi langsung ke sini."
"Kan nggak ada yang nyuruh dia buat datang ke sini sih. Lagian kenapa dia nggak balik ke rumah dulu sih baru ke sini? Artinya emang dia yang mau capek kan?"
Sungguh Rahmi dan Subagja tidak mengira bahwa Eliz akan kembali melontarkan perkataan yang bisa membuat mereka sontak memejam dengan kompak. Rasanya malu. Tapi, anehnya Dika justru tertawa.
"Kamu bener sih," kata Dika enteng. "Nggak ada yang nyuruh aku datang ke sini. Tapi, mau gimana lagi. Aku udah kangen juga sama Om dan Tante."
Tidak terkira lagi betapa banyak syukur yang Rahmi dan Subagja ucapkan di dalam hati. Dan itu satu hal lagi yang membuat Dika tampak istimewa di mata mereka berdua.
"Kamu ini emang cowok paling sabar yang pernah Tante temui, Dik. Bener-bener pas buat ngadepin Eliz yang sukanya buat orang nahan sabar."
Dika kembali tertawa. Mengabaikan wajah Eliz yang berubah merah kaku, ia tampak mengangkat satu tangannya. Menyerahkan satu dari empat tas kertas yang ia bawa.
"Ini hadiah buat kamu. Aku nyaris muter-muter Tokyo buat nyari ini."
Peralihan topik yang membuat Eliz sontak menyipitkan mata. Beberapa detik, ia tidak bersuara atau merespon pemberian itu. Alih-alih hanya fokus matanya saja yang berpindah-pindah. Dari mata Dika lalu ke bingkisan itu. Dari bingkisan itu lalu ke mata Dika. Setidaknya sampai tiga kali. Hingga desisannya terdengar.
"No way!"
"Yes way!"
Rahmi lantas melirik pada Subagja. Seperti tengah memberikan isyarat tanpa suara pada suaminya itu. Lantas ia berkata.
"Ya udah. Kalau gitu ... kami tinggal bentar. Mama mau siapin makan siang ntar. Dan Liz, kamu antar Dika ke kamar."
Tidak memberi kesempatan bagi Eliz untuk membalas perkataannya, Rahmi menarik Subagja. Mengajaknya turut pergi pula dari sana.
"Pa, sini deh. Coba Papa cicip dulu. Tadi masakan Mama ada kurang apa ya?"
"Ah. Iya iya, Ma."
Kepergian kedua orang tuanya membuat Eliz cemberut. Ia tidak akan salah mendengar perkataan Rahmi tadi. Dirinya harus mengantar Dika ke kamar.
"Liz."
Eliz melirik malas. "Apa?"
"Ini ...." Dika masih menyodorkan bingkisan yang belum Eliz ambil. "Buat kamu. Diambil ya?"
Eliz memang tidak suka dengan keberadaan Dika, tapi kalau dikasih hadiah? Ehm ... Eliz tak merasa sungkan untuk menerimanya. Anggap saja itu bayaran karena dirinya harus menyiapkan kamar untuk cowok itu selama menginap di sini.
"Makasih."
Dika mengangguk. Turut menyerahkan bingkisan yang lainnya pula. "Itu buat Tante, Om, dan Mas Noel. Kamu aja yang pegang."
"Oke."
Menerima semua bingkisan tersebut, Eliz tampak melihat pada satu koper berukuran dua puluh inci yang Dika bawa. Sepertinya sih isi di dalamnya tidak banyak.
"Kamu bisa bawa sendiri kan itu koper?" tanya Eliz malas. "Apa perlu aku yang bawain ke kamar?"
"Bisa kok bisa. Tenang aja."
"Bagus."
Eliz langsung memutar tubuh. Menaiki anak tangga satu persatu. Menuju ke lantai dua dan lantas berbelok. Di belakangnya, Dika mengekori cewek itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia diam saja seraya melihat Eliz.
Dalam beberapa detik yang singkat, Dika bisa menilai bahwa sekitar enam bulan tidak bertemu, ternyata rambut Eliz semakin panjang. Dulu seingatnya rambut Eliz hanya sedikit melewati pundaknya. Tapi, lihatnya sekarang. Sudah menjuntai hingga ke pertengahan punggungnya. Tampak indah. Terutama dalam warna hitam dan kilaunya.
Menuju satu kamar, Eliz langsung membuka pintu itu. Masuk dan membiarkan Dika untuk turut melihat keadaannya. Ia bersedekap.
"Ini kamar kamu," kata Eliz. "Gimana? Ada yang kurang?"
Pertanyaan yang membuat Dika sontak berpaling dengan wajah geli. "Kok berasa kayak lagi masuk ke hotel sih?"
"Emang. Orang aku nyiapin kamar ini persis kayak petugas kebersihan hotel saja."
Geli di wajah Dika menghilang. Ia tampak mengerjap salah tingkah. "Ehm ... sorry udah ngerepotin kamu."
Eliz membuang napas. Jelas permintaan maaf Dika tidak akan memberikan dampak apa pun baginya.
"Oke. Kalau gitu ... selamat beristirahat."
Tidak ingin berlama-lama di sana berdua saja dengan Dika jelas adalah alasan paling tepat mengapa Eliz mengatakan hal tersebut. Menutup pembicaraan yang tak berarti di antara mereka. Lalu ia beranjak. Ingin segera keluar. Hanya untuk mendapati bagaimana langkah kakinya yang tertahan. Lantaran ada yang meraih tangannya.
Itu tentu saja adalah Dika.
Dahi Eliz mengerut. "Apa?"
"Kita udah lama nggak ketemu loh," ujar Dika menjawab pertanyaan yang ia dapatkan. Dengan tangan yang masih memegang tangan Eliz. "Nggak ada niatan buat ngajak aku ngobrol atau gimana gitu?"
Eliz melongo. Tampak tidak tertarik sama sekali dengan ajakan Dika. Alih-alih ia justru berusaha untuk melepaskan tangannya. Tapi, mata cewek itu sontak membesar saat genggaman Dika berubah menjadi cekalan.
Wajah Eliz seketika berubah. "Eh?" kesiapnya. "Kamu ngapain? Lepasin tangan aku nggak? Aku mau balik ke kamar."
"Nggak mau ngapa-ngapain. Serius deh. Aku cuma mau ngobrol aja, Liz. Astaga. Kita kan udah berapa bulan nggak ketemu. Mana tiap ketemu kamu selalu ngindarin aku."
Memang. Eliz tidak akan menampik hal itu sedikit pun. Alih-alih ia justru mengangguk. Mengakuinya dengan rasa bangga.
"Emang! Aku emang ngindarin kamu," tukas Eliz. "Maka dari itu ... walau kita sering ketemu, nyatanya aku ngerasa kayak nggak pernah ketemu kamu selama ini."
Dika sontak menarik napas dalam-dalam mendengar pengakuan Eliz. Mungkin tidak mengira atau justru sebaliknya.
"Astaga. Segitunya ya kamu saking nggak mau ketemu sama aku. Kamu bener-bener ngindarin aku?"
"Iya. Dan ini ... kalau aja Mama nggak mati-matian nyuruh aku balik, ih! Males banget deh aku balik. Mana balik bukan sembarang balik lagi."
Eliz tidak akan menguraikan satu persatu hal apa saja yang harus ia lakukan demi menyambut kedatangan Dika. Oh, tentu saja bukan berkisar di kamar yang akan ditempati cowok itu. Alih-alih yang lainnya. Membantu Rahmi masak. Hingga memastikan bahwa air di kolam renang sudah berganti. Lantaran ibunya yang selalu ingat. Bahwa Dika suka berenang.
Dan untuk semua perjuangan Eliz hari itu, ada satu hal yang membuat ia mengeluh. Itu adalah bila seandainya ada asisten rumah tangga yang bekerja di sana, tentulah semua tidak akan seberat ini. Tapi, nyatanya Rahmi memang tidak memperkerjakan asisten rumah tangga secara penuh. Melainkan hanya asisten rumah tangga yang datang di setiap pagi dan pulang bila pekerjaan telah selesai.
"Sorry, Liz, sorry. Aku nggak tau kalau kedatangan aku sampe buat kamu repot gini."
Eliz memutar bola matanya dengan malas. "Makanya ... sekarang lepasin tangan aku. Biar aku balik ke kamar dan bisa istirahat ketimbang ngabisin waktu buat ngobrol sama kamu. Kamu pasti nggak lupa kan?"
"Apa?"
"Hubungan kita berdua itu bukan jenis hubungan yang memungkinkan kita untuk ngobrol-ngobrol sok akrab."
Mengatakan hal itu Eliz kembali berusaha untuk menarik tangannya. Tapi, ternyata Dika tetap tidak melepaskannya.
"Eh! Kamu mau lepasin tangan aku atau nggak sih?"
Dika berdecak sekilas. "Aku bakal lepasin. Tenang aja. Tapi, nggak dalam keadaan kayak gini."
"Kayak gini gimana?"
"Ya kayak gini," lirih Dika seraya membuang napas panjang. "Berasa nggak enak aja, Liz. Kita udah temenan nyaris seumur hidup kita dan pas aku datang malah kamu cuekin."
"What?! Temenan?"
Eliz mencibir. Sepertinya tidak setuju dengan pemilihan kata-kata Dika. Sementara Dika? Cowok itu tampak penuh percaya diri ketika mengangguk.
"Temenan temenan," gerutu Eliz. "Udah ah! Sesuka kamu aja deh, Dik. Yang penting ..." Ia mengangkat tangannya, berusaha untuk lepas dari cekalan Dika. "... lepasin tangan aku. Aku mau balik ke kamar."
Dika belum melepaskannya. Alih-alih justru bertanya.
"Kamar kamu masih yang lama?"
"Ya masihlah. Ngapain juga pindah kamar?"
Tepat sedetik setelah jawaban itu meluncur dari lidahnya, Eliz sontak melotot. Melihat tanpa kedip pada Dika. Wajahnya tampak mengeras.
"Kamu mau ngapain nanya-nanya kamar aku?" tanya Eliz dengan penuh curiga. "Aku bilangin ya. Kamu jangan coba-coba buat ngusilin aku lagi, Dik. Asal kamu tahu, by the way, kalau mendadak kamu lupa situasi. Aku udah gede gini. Sampai kamu nyembunyiin bangkai kodok di dalam selimut aku lagi, awas aja!"
Tiba-tiba membahas soal bangkai kodok, Dika mendapati dirinya yang sontak tertawa. Lantaran perkataan Eliz yang satu itu membuat ingatannya tertarik ke masa lalu.
"Hahahahaha."
Eliz tidak percaya bahwa bisa-bisanya Dika tertawa begitu. Terbahak-bahak sementara Eliz justru tampak kesal karenanya. Terutama dengan fakta bahwa Dika masih belum juga melepaskan tangannya.
"Aku nggak kepikiran buat ngelakuin hal lucu kayak gitu lagi."
"Hah? Lucu?!"
Eliz menarik napas demi upaya menenangkan rasa kesal yang semakin menjadi-jadi tumbuh di dadanya. Sepertinya kesabaran cewek itu mulai terkikis.
"Wah! Aku beneran nggak ngira kalau kamu bisa nganggap hal itu lucu. Ck. Kayaknya ada yang salah dengan saraf otak kamu. Ah! Sorry sorry. Aku nyaris lupa. Kamu kan emang gila."
"Hahahahaha."
Dika mengusap air mata yang terbit di ujung matanya. Berusaha menghentikan tawanya walau dengan susah payah.
"Udah ah, Liz. Jangan ngamuk-ngamuk mulu. Dari tadi kamu tuh ketus aja bawaannya sama aku. Padahal aku nggak ada ngapa-ngapain kamu. Dan ... kayaknya kamu lupa sesuatu deh."
Ada yang berbeda dari cara Dika menatapnya. Eliz bisa menyadari itu dengan pasti. Dan ketika ia memasang sikap antisipasi, ia mendapati perkataan Dika selanjutnya membuat ia nyaris murka.
"Itu kan cuma becanda."
Eliz mendengkus. "Becanda sampe ngelibatin bangkai kodok? Yang bener aja." Ia menggeleng sekali. "Kayaknya kita punya makna yang berbeda untuk kata becanda."
"Hahahahaha."
Tak mampu bertahan, Dika kembali tertawa. Walau ia terpaksa berhenti ketika merasakan kembali usaha Eliz untuk lepas dari cekalannya.
"Oke oke oke. Aku nggak bakal bahas soal bangkai kodok itu lagi."
Seperti itu berpengaruh saja untuk Eliz. Dan tampaknya Dika sadar. Karena kemudian ia buru-buru melanjutkan perkataannya.
"Tapi, seenggaknya ... kamu jangan ngindarin aku ah. Kan kita jarang-jarang ketemu. Seenggaknya hargai dikitlah usaha aku untuk memperbaiki hubungan kita kalau kamu emang nganggap selama ini kita nggak temenan."
Eliz menyipitkan matanya. "Maksud kamu?"
Tatapan Dika jatuh. Pada bingkisan-bingkisan yang ada di tangan cewek itu.
"Aku harap kamu mau make hadiah yang aku kasih. Itu beneran aku cari sampai muter-muter loh. Dan aku pasti seneng banget kalau kamu suka dengan oleh-oleh itu."
Tidak mengatakan apa-apa, Eliz masih menatap Dika dengan penuh selidik. Pun ketika cowok itu melepaskan tangannya, ia tetap masih curiga.
"Terus ... aku juga bakal janji ke kamu."
"Janji apa?"
Dika menatap Eliz seraya membawa kedua tangannya bersedekap di depan dada. Membuat otot bisepnya mengalun dalam pergerakan pelan. Pemandangan yang entah bagaimana membuat Eliz merasa geli di matanya.
"Aku bakal janji kalau nggak bakal ada lagi bangkai kodok di dalam selimut kamu," jawab Dika dengan ekspresi serius. "Kamu bisa pegang janji aku."
Nggak mungkin banget Dika bakal tobat
Sedikit ragu, tatapan sipit Eliz tampak memindai Dika. Berusaha menilai seberapa seriusnya cowok itu akan perkataannya tadi. Dan detik selanjutnya, Eliz menemukan kejanggalannya.
Dika tersenyum. Menundukkan wajahnya. Mengambil tempat di dekat telinga Eliz. Lalu ia berbisik dalam seringainya.
"Tapi, aku nggak janji buat bangkai yang lainnya."
Mata Eliz sontak terpejam dramatis. Tangannya mengepal dengan kuat di sisi badan. Dan ia tak mampu bertahan ketika pada akhirnya nama itu ia jeritkan dalam penuh rasa kesal.
"Dikaaa!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro