Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Playing With The Devil 10

Seperti yang aku tulis di bab 1 ya, cerita ini bukan cerita panjang. Walau bukan juga cerita pendek. Untuk info aja, sebenarnya cerita ini punya 13 bab.

"Loh? Kok ini cuma 10 bab?"
"3 bab lagi ekslusif cuma tersedia di KaryaKarsa."

Buat yang mau baca 3 bab lagi, cusss langsung ke KaryaKarsa aku. Cari saja: Vmissv

Bab yang cuma ada di KaryaKarsa itu bab 10, 12, dan 12. Bab 10 KaryaKarsa beda dengan bab 10 ini.

Jadi selamat menikmati bab terakhir :)

***

"Aku cinta kamu."

Dika tampak meneguk ludahnya berulang kali. Jakunnya bergerak beberapa kali sebelum akhirnya ia kembali berkata.

"Aku cinta kamu, Liz. Bener-bener cinta kamu."

Dari kemungkinan alien datang menginvasi bumi atau mendadak di Jakarta turun salju, Eliz pikir pernyataan Dika yang baru saja itu sama mustahilnya dengan dua kemungkinan tersebut.

Maka rasanya wajar saja bila setelah pengakuan yang ia ucapkan, Dika mendapati Eliz yang terdiam seketika. Cewek itu tampak melongo dengan ekspresi yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Menyentil ego Dika sebenarnya, tapi cowok itu memutuskan untuk lanjut bicara.

"Kalau kalau kamu mau mengakui dengan pikiran terbuka," ujar Dika kemudian. "Cuma dengan kamu aku jadi seusil itu. Dan seperti yang aku bilang, karena cuma dengan cara itu aku bisa dapetin perhatian kamu. Bisa jadi dekat dengan kamu."

Eliz menggeleng. Entah ingin menampik perkataan Dika atau justru itu adalah permintaan agar Dika tak melanjutkan perkataannya. Tapi, yang pasti Dika justru makin memaku tatapan cewek itu.

"Aku berusaha buat nahan diri malam tadi. Dengan ngambil risiko untuk kembali dicap sebagai tukang usil di mata kamu, aku bahkan cuma bisa pura-pura ketawa ngelihat wajah kaku kamu dengan tantangan ciuman itu."

Satu senyum miris tampak timbul di wajah Dika. Terlihat ia seperti putus asa lantaran menyadari sesuatu yang membuat ia meringis. Tapi, anehnya Dika merasa perlu untuk mengaku pada Eliz. Alih-alih menutupinya seperti seorang pria sejati.

"Aku kayak pengecut yang berharap dapatin ciuman kamu lewat permainan kayak gitu," lanjut Dika dengan suara yang terdengar sedikit lesu. Hanya saja, sejurus kemudian punggungnya tegap kembali. Dengan tatapan yang tampak menyolot pada Eliz. "Tapi, setelah aku berusaha sekuat tenaga untuk ngebuat suasana ke atmosfer awal, eh kamu malah ngobrak-ngabriknya dengan ciuman singkat itu?!"

Eliz menelan keinginannya untuk mengingatkan Dika bahwa ia kemarin mengatakan kalau itu bukan ciuman yang sesungguhnya. Alih-alih, ia justru mendapati kepalanya terasa pening saat ini. Dari semua skenario yang sedang Tuhan rancang, ini pasti skenario pilihan terakhir.

T-tadi Dika ngomong apa? D-dia cinta aku?

Tak lagi bicara, Dika mencari-cari di dalam bola mata Eliz. Ia menunggu. Untuk semua penjelasan yang telah ia katakan, bukankah sekarang waktu yang tepat bagi Dika untuk mendengarkan respon cewek itu?

"Say something, Liz. Jangan mandang aku horor gitu. Kamu sadar nggak kalau kamu sekarang natap aku seolah aku ini kuyang yang lagi terbang melayang-layang?"

Eliz merasa tubuhnya bergetar. Semua seperti berputar-putar di sekelilingnya. Sangat kacau.

Pertama bangun, Eliz dikejutkan dengan fakta bahwa ia dan Dika tidur bersama. Hal kedua adalah fakta bahwa ia dan Dika tidak hanya sekadar tidur saja. Dan hal selanjutnya yang paling membuat Eliz berantakan adalah ketika ia menganggap Dika kembali mengusilinya, cowok itu justru melakukan pengakuan cinta?

Ya Tuhan. Eliz merasa pagi itu adalah pagi teraneh yang pernah ia hadapi seumur hidup. Semua benar-benar membuat ia mau gila saja.

"A-Aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa," lirih Eliz seraya mengingatkan diri untuk tetap bernapas. Pergolakan emosi yang benar-benar fluktuatif itu membuat ia merasa lelah. "Kepala aku rasanya kosong."

Dika bergeming. Hanya untuk melihat keadaan cewek itu. Eliz yang saat ini terlihat kebingungan, terlihat gemetaran. Terbukti dari tangannya yang menahan selimut di depan dada itu tampak bergetar.

"Aku tau kamu pasti bingung dengan semua ini. Tapi, untuk yang kesekian kalinya aku ngomong. Yang terjadi malam tadi, bukan karena aku ngusilin kamu. Lebih dari itu, aku cinta kamu, Liz. Dan untuk perasaan aku, cuma satu harapan aku. Kamu mau nerima aku."

Kalimat terakhir yang Dika ucapkan sukses membuat Eliz memejamkan mata. Sekarang cewek itu bukan lagi merasa bingung. Alih-alih ia merasa seperti perutnya mendadak mual.

Ya ampun.

"Liz, aku serius. Aku nggak main-main. Dan kalau kamu mau mikir dikit aja, harusnya kamu nggak bakal ragu kalau aku emang cinta kamu. Tapi, kalaupun kamu emang ragu, aku siap buat buktiin semuanya ke kamu. Kalau aku beneran serius."

"Buktiin?" tanya Eliz mengerutkan dahi. "Kamu mau buktiin kayak gimana?"

"Om dan Tante bakal balik ntar malam kan? Pas mereka balik, aku bakal minta izin langsung sama Om dan Tante buat nikahin kamu."

"Apa?!"

Eliz menjerit ngeri. Saking ngerinya, bola mata cewek itu seperti akan meloncat keluar dari rongganya.

"Aku juga bakal ngabari Mas Noel langsung siang ini. Terus aku kabari juga orang tua aku. Dan kalau kamu setuju, kita nikah secepatnya."

Eliz buru-buru memegang kepalanya. Tidak bisa tidak, ia yakin kalau saat ini tekanan darahnya mendadak turun drastis. Ia pasti akan pingsan sebentar lagi. Kejang-kejang dan berakhir di rumah sakit.

Namun, anehnya saat Eliz memegang kepalanya, mendadak saja ada beberapa suara yang melintas. Menggema di benaknya hingga berhasil membuat ia tertegun.

"Hahahahaha. Jadi ceritanya ... kamu nggak mau dimainin sama dia?"

"Emangnya cewek mana yang mau dimainin, Mas? Pasti nggak ada! Wah! Apalagi kalau ceweknya itu aku."

"Syukurlah. Kalau begitu artinya kamu mau serius, Liz."

Karena bukan hanya itu yang lantas memenuhi benaknya. Melainkan hal lainnya. Di mana untuk beberapa kali kesempatan, sepertinya Eliz melewatkan banyak hal.

Dari usaha Dika untuk memperbaiki hubungan dengannya. Memberikannya hadiah. Memuji masakannya. Dan ....

"Dan aku pasti senang banget kalau tiap hari bisa makan masakan kamu, Liz."

Kalimat itu menggema di benak Eliz. Membuat ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa itu semacam kode? Isyarat yang sayangnya justru disalahartikan oleh Eliz?

Terlebih lagi, ketika Eliz benar-benar mencoba untuk berpikir seperti yang disuruh Dika, ia lantas menyadari. Bagaimana kedua orang tuanya yang kerap berusaha menciptakan situasi dan keadaan agar mereka bisa bersama.

"Kamu tau, Liz?"

Suara Dika membuat pikiran di dalam benak Eliz menghilang. Wajahnya yang sempat menunduk entah sejak kapan, terangkat kembali. Melihat pada Dika.

"Aku udah dari lama ngomong ke keluarga kamu kalau aku ada perasaan sama kamu. Dan kalau misalnya kamu nerima aku, aku nggak bakal buang-buang waktu. Aku bakal langsung ngelamar kamu dan kita nikah."

Oke. Itu memberikan penjelasan pada Eliz mengapa semua anggota keluarganya terlihat begitu membela Dika. Bahkan seperti menyodorkan cowok itu untuk bisa berdekatan dengannya. Tapi ....

"Ini benar-benar nggak masuk akal."

Pada akhirnya, tetap saja ungkapan mustahil itu yang terlontar dari bibir Eliz. Tentunya membuat Dika menjadi frustrasi.

"Segini susahnya ya untuk buat kamu percaya sama aku, Liz?" tanya Dika putus asa. "Tadi kamu nuduh aku mainin kamu buat yang terjadi malam tadi. Dan sekarang aku mau nikahin kamu malah kamu bilang nggak masuk akal. Terus aku harus gimana?"

Eliz sama frustrasinya dengan Dika kala itu.

"Menurut kamu aja, Dik. Kamu selalu jahilin aku. Jadi gimana bisa aku percaya gitu aja sama kamu?"

"I see...," desah Dika. "Aku tau aku udah sering ngejahilin kamu dari dulu. Tapi, aku bener-bener jujur saat ngomong karena hanya dengan cara itu kamu jadi nganggap aku ada. Cuma dengan cara itu kita jadi deket."

"Tuh kamu sadar. Bahkan kalau semua ini jadi kacau, itu semua gara-gara kamu. Emangnya kamu pikir nggak ada cara lain yang bisa ngebuat kita deket dengan cara normal? Selain dengan cara ngejahilin aku?"

"Nah, itu dia, Liz!" tukas Dika. "Kalau kita nikah, aku bisa deket dengan kamu tanpa perlu aku jahilin. Gimana?"

Eliz meneguk ludahnya. Dika kembali mengikis jarak yang tak seberapa itu. Wajahnya melembut, begitu pula dengan suaranya.

"Kamu juga cinta aku kan?"

Mata Eliz melotot. "S-sembarangan kalau ngomong."

Dika meraih tangan Eliz yang bebas. Meremasnya pelan. "Aku nggak buta, Liz. Aku tau kok kalau kamu sering gugup kalau lagi deket dengan aku."

Pelototan Eliz makin membesar. Tapi, tak ada sanggahan yang ia berikan. Lantaran Dika yang lanjut bicara.

"Saat ini jantung kamu pasti juga deg-degan parah ..."

Astaga. Kok Dika tau sih?

"... kayak jantung aku."

Tanpa permisi, Dika membawa tangan Eliz untuk menyentuh dadanya yang polos. Membuat Eliz merasakan hangat di sana. Dan lebih lagi, ada debaran yang menyambut dirinya. Riuh sekali.

"Jadi, gimana?" todong Dika lagi. "Kamu mau kan nerima cinta aku? Mau kan jadi istri aku?"

Ketika Eliz berkhayal bahwa suatu saat nanti akan ada cowok yang melamarnya, ia tidak mengira hal itu akan dilakukan dengan keadaan seperti ini. Di atas tempat tidur, setelah melewati malam panas, dan dilalui adu mulut. Tapi ....

Di lain sisi pertanyaan lembut Dika benar-benar menyimpan pemaksaan yang terselubung. Membuat Eliz ketar-ketir karenanya. Terlebih dengan tatapan tajam Dika yang membuat tubuhnya semakin lama semakin tak tertolong lagi.

Membiarkan jarinya untuk tetap bertahan di dada Dika, Eliz menguatkan diri untuk balas menatap cowok itu. Dalam diam, layaknya ia yang butuh waktu untuk berpikir. Dan Dika memberikan kesempatan itu untuk Eliz.

Eliz sadar dirinya memang selalu kesal dengan ulah jahil Dika. Tapi, ia pun tak mampu menampik ketika dengan jelas dirinya langsung bereaksi bila berdekatan dengan Dika. Respon tubuhnya akan kehadiran pria itu jelas bukan hal yang mampu ia sangkal. Pun ketika otaknya berusaha menghadirkan beberapa alasan mengapa berdekatan dengan Dika adalah hal yang buruk, nyatanya diam-diam ia justru tanpa sadar memikirkan cowok itu.

Dan ketika Dika tiba kemarin, tak butuh waktu lama bagi cowok itu untuk menyebabkan efek dramatis bagi Eliz. Dari yang sesak napas, badan panas dingin, hingga jantung yang terasa bagai ditabuh. Simply, Eliz tau dengan jelas mengapa hal itu bisa terjadi.

"Jadi istri kamu...?"

Tanpa sadar bibir Eliz berucap. Mengulang pertanyaan Dika dengan nada yang berbeda. Wajah Dika sontak berubah. Sepertinya sedikit tersinggung.

"Emangnya kenapa kalau jadi istri aku? Aku cakep ya. Dan pastinya aku udah ada kerjaan."

Bukan itu yang Eliz pikirkan. Alih-alih yang lainnya.

"Dunia pasti akan kiamat."

Dika memucat. "Liz ..."

"Stop!"

Tangan Eliz naik dan menghentikan ucapan Dika. Ia merasa lelah dengan percakapan yang terus berputar-putar itu.

"Aku mau nanya."

Dika sontak diam. Mematuhi perkataan Eliz, ia diam. Tidak mengatakan apa-apa dan tidak melakukan apa-apa. Selain menunggu Eliz untuk bicara. Dan itu butuh waktu lama.

Eliz menimbang di dalam benaknya. Menyadari bagaimana hubungannya dengan Dika memang terjalin dalam waktu yang cukup lama. Bisa dibilang seumur hidup mereka.

Terlepas dari sifat jahil Dika, Eliz pun tau bagaimana kehidupan Dika. Serta keluarganya. Pun termasuk kedekatan Dika dengan keluarganya.

Kalaupun Eliz berusaha menampik betapa Dika memang adalah cowok yang baik lantaran sikap jahilnya selama ini, nyatanya diri cewek itu pun tak mampu menahan reaksi tubuhnya saat bersama dengan Dika. Bahkan untuk yang terjadi semalam, itu lebih dari cukup untuk membuktikan padanya. Bahwa ia menerima Dika. Walau tanpa sadar.

Sekarang, setelah melalui perdebatan sedari tadi, membuat Eliz merasa tak berdaya. Terlebih lagi dengan fakta yang disodorkan Dika padanya. Eliz tau, sikap Dika salah. Yang mereka berdua lakukan memang keliru. Tapi, itu tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi selama ini.

Dika memang mencintainya dan cowok itu serius dengannya. Astaga! Rasa-rasanya Eliz tidak akan menemukan cowok lain di dunia ini selain Dika. Yang sebelum mengungkapkan perasaannya sudah terlebih dahulu mengatakannya pada keluarganya. Walau tentunyaa itu membuat Eliz merasa bodoh di satu sisi. Pastilah Rahmi, Subagja, dan Noel akan menertawainya dengan suka cita.

"Jadi ..."

Suara Eliz membuat penantian Dika berakhir. Dengan harap-harap cemas, cowok itu menatap Eliz. Jantungnya berdetak tak karuan.

"... seandainya kalau kita nikah ntar, apa bakal ada bangkai di dalam selimut aku?"

Sedetik, wajah Dika tampak melongo. Tapi, detik selanjutnya perlahan bibirnya melengkung. Ah, Dika tau ke mana akhir perkataan itu akan bermuara. Jadi, cowok itu menggeleng.

"Apa shampo aku bakal diganti isinya?"

Dika kembali menggeleng dalam senyumannya.

"Dan ...," lanjut Eliz perlahan. "... apa kamu masih bakal nyari alasan dengan tantangan Truth or Dare buat cium aku?"

Sekarang, senyum Dika menghilang dari mata Eliz. Karena ketika cewek itu tuntas melayangkan pertanyaan itu, Dika tak mampu bertahan lagi. Ia menarik Eliz. Tanpa aba-aba ia langsung menciumnya. Melumat bibir Eliz dalam dan hangat. Kemudian mengurainya perlahan.

Napas mereka sama-sama beradu. Dan untuk sesaat, mata Eliz masih terpejam. Layaknya ia yang masih ingin merasakan sensasi itu. Yang memberikan kesan aneh, tapi juga menyenangkan.

Dika mendaratkan dahinya di dahi Eliz. "Nggak bakal ada permainan apa pun. Malam ntar aku bakal ngebuktiin satu persatu keseriusan aku. Aku bakal ngomong ke Om dan Tante."

Eliz mengangguk seraya perlahan membuka mata. Di saat itu, Dika lantas melarikan satu tangannya untuk meraih pinggang cewek itu. Menarik tubuhnya untuk tenggelam dalam pelukan Dika. Dan Eliz kembali menyerah tatkala Dika memberikan rasa manis dalam bentuk ciumannya yang memabukkan.

Eliz pasrah ketika membiarkan Dika untuk terus mengecup bibirnya di setiap sisinya. Dan tanpa sadar, kedua tangan Eliz pun bergerak. Mengalung pada leher Dika, seperti permintaan tak terucap untuk tak mengakhiri ciuman itu dalam waktu dekat.

"Dika," lirih Eliz di sela-sela ciuman mereka. Ada sesuatu di dalam dadanya yang mendadak meluap. Menghadirkan perasaan yang tak mampu ia bendung. Yang mendorong lidahnya untuk mengungkapkan pengakuannya. "Aku juga cinta kamu."

Dika membeku. Bibirnya berhenti bergerak di atas bibir cewek itu. Tapi, yang terjadi selanjutnya justru Eliz yang memberanikan diri. Menarik turun wajah Dika. Eliz ingin kembali merasakan bibir hangatnya yang lembut melumat bi---

"Buuum!"

Satu deru halus mesin mobil membuat Eliz dan Dika sama-sama membuka mata dengan bibir yang langsung menjauh. Keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Dalam hening seperti ingin mendengar suara itu lebih jelas lagi.

"Liz?"

Eliz meneguk ludah. "I-itu pasti Mama dan Papa."

Tidak bisa tidak. Kemungkinan mengerikan itu seketika membuat mereka langsung mencelat dari tempat tidur!

*

"M-Mama dan Papa kok baliknya cepet? K-katanya mau balik ntar malam. Tapi, kok sepagi ini udah sampe aja?"

Rahmi melangkah dengan melirik aneh pada Eliz. Ia tampak mencibir seraya mengangkat tangan. Menunjukkan jam di sana.

"Ini udah lewat jam dua belas siang dan kamu bilang masih pagi?"

Ya ampun. Eliz hanya bisa memejamkan mata mendengar sindiran itu.

"Lagian ... siapa juga yang kemaren nyuruh Mama balik cepet?" tanya Rahmi lagi. "Kan kamu sendiri. Dan sekarang? Pas Mama udah balik cepet, eh ... malah diprotes lagi."

Wajah Eliz terasa kaku. Tentu saja malu mendengar perkataan Rahmi.

"Oh iya. Dika mana?"

"Kayaknya masih di kamar, Ma. Ehm ... mungkin masih tidur."

Sebenarnya Dika tidak tidur. Berkat kepulangan Rahmi dan Subagja yang tiba-tiba, mereka berdua jadi kalang kabut. Bagaimanapun juga Dika dan Eliz tidak ingin Rahmi dan Subagja memergoki mereka dalam keadaan intim di atas tempat tidur. Mereka pasti akan syok bersamaan.

Maka dari itu, ketika suara deru mobil itu terdengar di telinga mereka, keduanya pun langsung mengambil inisiatif. Eliz segera berpakaian. Mengabaikan terik hari itu, ia mengenakan baju dan celana panjang. Memeriksa wajah dan lehernya. Memastikan tidak ada jejak yang tampak. Dan ia buru-buru turun ke bawah.

Eliz harus menahan Rahmi dan Subagja. Sementara Dika akan merapikan kamar Eliz sebisa mungkin. Setidaknya menutupi kasur yang berantakan dengan selimut serta menyingkirkan kartu remi yang berhamburan di lantai.

Fyuh! Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban dunia, Eliz dan Dika tidak bertengkar. Alih-alih justru bekerja sama dengan sangat apik.

"Halo, Tan! Udah balik?"

Eliz dan Rahmi sama-sama berpaling. Dika tampak menghampiri mereka dengan wajah yang terlihat segar. Berkat cuci muka kilat yang ia lakukan.

"Iya, baru aja."

Dika memberikan satu pelukan singkat pada Rahmi. Tepat ketika Subagja muncul pula dan bergabung dengan mereka.

"Sebenarnya kami belum mau pulang sekarang, tapi Mama khawatir sama kalian. Takut berantem selama kami tinggal."

Eliz dan Dika sontak bertukar pandang. Berusaha untuk menahan senyum ketika mendengar perkataan Subagja. Dika mendehem.

"Nggak kok. Kami nggak berantem. Kami baik-baik aja selama ditinggal."

Mata Rahmi menyipit. Melihat bergantian pada Eliz dan Dika dengan sorot penuh selidik. Eliz yang menyadarinya langsung mengambil tindakan.

"Oh iya. Mama dan Papa udah makan siang belum? Kalau belum biar aku masak bentar. Sekalian Dika juga belum makan."

Tak menjawab pertanyaan itu, Rahmi justru mendekati Subagja. "Papa ngerasa ada yang aneh?"

Eliz pergi menuju ke dapur. Acuh tak acuh ketika Dika menyusulnya. Cowok itu bertanya.

"Ada yang bisa aku bantuin?"

"Ah iya. Bantuin bersihin sayur deh. Biar aku bisa cepet masaknya."

Dahi Subagja mengerut. Ia mengusap ujung dagunya. Lalu angguk-angguk kepala. Sepertinya setuju dengan dugaan sang istri.

"Kayaknya ... emang ada yang agak aneh."

Rahmi melirik sekilas pada Subagja sebelum ia melempar pandangannya. Ke arah dapur. Di mana terlihat Eliz dan Dika yang bahu membahu untuk menyiapkan makan siang itu.

"Ehm ...."

Menepikan sejenak rasa aneh dan bingung yang menguasai pikirannya, setidaknya sekitar setengah jam kemudian ada makan siang yang akan dinikmati oleh Rahmi. Begitu pula dengan Subagja. Karena berkat Eliz yang dibantu Dika, maka tidak butuh waktu lama untuk balado telur dan terung ungu itu tersaji di atas meja. Berikut dengan tumisan kol yang menyertainya.

Rahmi mengabaikan pemikiran yang membuat otaknya merasa tak bisa diam dari tadi. Alih-alih terus menuruti rasa penasarannya, wanita paruh baya itu justru terpikirkan hal lain.

"Oh iya, Liz. Kamu mau balik ke Bogor lagi kapan? Sore ini?"

Eliz yang baru saja tuntas menghabiskan nasi di piringnya memilih untuk minum sejenak. Barulah ia menjawab pertanyaan itu. Dengan mata yang tanpa sadar melirik pada Dika. Cowok itu ternyata tengah menatapnya.

"K-kayaknya subuh besok aja, Ma."

"Subuh?" tanya Subagja heran. "Kok tumben? Biasanya kamu ngebet mau balik sore. Kan karena itu juga Mama tadi ngajak balik cepat. Takut kamu ngamuk-ngamuk mau ninggalin Dika sendirian di rumah."

Memang tidak biasanya. Eliz sebisa mungkin menghindari perjalanan subuh. Khawatir akan melelahkan dirinya untuk bisa bekerja. Apalagi kalau itu hari Senin.

Dan bila itu menyangkut Dika, otomatis saja Eliz pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa meninggalkan rumah secepat mungkin. Tapi, keadaan sekarang berbeda. Lantaran Eliz tidak akan lupa bahwa malam nanti Dika akan bicara pada orang tuanya. Dan ia memutuskan harus ada. Terlibat pula.

"Ehm. Ya ... lagi mau aja balik subuh, Pa."

Subagja menarik napas dalam-dalam. Membiarkan sang istri menambahkan nasi di piringnya, ia lantas geleng-geleng kepala.

"Tapi, kamu itu kan mudah ngantuk, Liz. Kalau kamu balik subuh, apa nggak bahaya ya?"

Mendapati pertanyaan itu, Eliz sudah bersiap memutar otak. Mencoba mencari jawaban apa lagi yang akan ia berikan pada sang ayah yang ia rasa mendadak cerewet siang ini. Tapi, belum lagi ia bicara, Eliz mendapati bagaimana Rahmi yang bersuara.

"Nggak bahaya dong, Pa. Kan besok juga Eliz perginya bareng Dika sih. Bener kan, Dik?"

Eliz melongo.

"Iya, Tan."

"Oh iya. Papa hampir aja lupa," ujar Subagja seraya tertawa. "Kalau Mama nggak ingatin, Papa beneran nggak ingat kalau Dika besok juga bakal ke Bogor."

Eliz masih melongo. Hanya bola matanya saja yang berpindah-pindah fokusnya. Dari Subagja lalu ke Rahmi. Dan kemudian pada Dika. Di mana mereka bertiga tampak terkekeh seolah tanpa dosa lantaran ada Eliz sendiri yang sepertinya tak mengerti. Apa yang tengah terjadi?

"T-tunggu dulu."

Dahi Eliz berkerut. Dengan ekspresi bingung, ia lantas mendapati bagaimana wajah Dika berubah. Matanya pun mengerjap-ngerjap dalam ekspresi salah tingkah.

Ada yang nggak beres ini mah.

Eliz yakin itu. Maka tidak heran bila ia langsung menuding pada Dika.

"Ngapain kamu besok mau ke Bogor?" tanya Eliz. "Terus kenapa perginya bareng aku?"

Hening. Tidak ada suara yang terdengar. Dika tampak makin salah tingkah seraya garuk-garuk kepala.

"Ehm ... kamu belum ngomong sama Eliz, Dik?"

Eliz berpindah pada Rahmi. "Ngomong apa, Ma?"

"Ngomong kalau dia datang ke sini itu sekalian mampir karena mau ke Bogor."

Eliz berpindah lagi pada Subagja. "Ngapain dia mau ke Bogor?"

"Kan aku mau kerja, Liz."

Akhirnya, Eliz bermuara pada Dika. Dan kali itu, melihat mata Dika entah mengapa membuat Eliz merasa tidak enak. Sinyal peringatan seperti menyala di benaknya.

"Kerja di mana?"

Mata Dika kembali mengerjap-ngerjap. Wajahnya kian detik kian tampak kaku. Bahkan saking kakunya, cowok itu memutuskan untuk tidak meneruskan makannya. Khawatir tidak bisa mengunyah.

"Ehm ... itu ...," desah Dika dengan menarik napas dalam-dalam. Matanya melirik sejenak pada Rahmi dan Subagja. Seolah membutuhkan dorongan semangat untuk mampu mengucapkan satu nama itu. "Rofnus."

Mata Eliz memejam dramatis ketika mendengar nama tempat Dika bekerja. Walau bersamaan dengan itu, ia kembali bertanya.

"Royal Flora Nusantara? Cabang Bogor?"

Dika mengangguk. "Ehm ... iya."

Pada saat itu, Eliz pun lantas teringat dengan percakapannya dengan Noel kemarin. Kakaknya itu dengan jelas mengatakan bahwa Dika memang sedang menunggu panggilan kerjanya. Tapi?

Mata Eliz membuka. Ia tampak tersenyum penuh arti. "Kamu kerja di mananya?"

"Ehm ...."

Dika menarik napas dalam-dalam. Kali ini ekspresi wajahnya terlihat penuh waspada. Seperti menyiratkan kekhawatiran akan kiamat yang mungkin saja akan segera terjadi dalam waktu dekat.

"Bagian pemasaran."

Eliz diam. Ia tidak akan bertanya lebih lanjut lagi ketika semua kepingan itu sudah menyatu di dalam benaknya.

Oke. Atasannya pindah. Posisi itu kosong. Dan sekarang ada Dika yang katanya akan bekerja di sana.

"Liz?"

Dika sontak bangkit dari duduknya. Tepat ketika dilihatnya bagaimana mata Eliz yang menatap tajam pada dirinya. Tidak bisa tidak, di detik selanjutnya, Eliz sudah menghambur pada Dika. Sementara cowok itu? Tentu saja melarikan diri.

"Dikaaa!"

Rahmi dan Subagja kompak memejamkan mata. Seperti tidak ingin melihat kenyatana tersebut. Mereka geleng-geleng kepala.

"Gimana ini, Ma? Apa mereka berdua bakal baik-baik aja?"

"Tenang, Pa. Mama yakin semua bakal baik-baik aja. Gimanapun juga, emang udah seharusnya mereka dibuat dekat. Toh ini kesempatan buat Dika untuk meluluhkan Eliz."

Sementara itu, ketika Rahmi dan Subagja sibuk menenangkan diri dari keriuhan yang terjadi, ada Eliz yang sekuat tenaga mengejar Dika hingga ke kamarnya. Dika nyaris bisa menutup pintu, tapi Eliz keburu mendorongnya. Dan hasilnya, Dika hampir terjengkang ke belakang.

Wah! Dika takjub dengan tenaga dadakan yang dimiliki Eliz.

"Liz, t-tunggu bentar."

Kedua tangan Dika naik ke depan dada. Wajahnya pucat seperti tak ada darah. Melihat dengan jelas bagaimana Eliz yang mendekatinya dengan kemarahan yang siap meledak.

"Jadi ... kapan rencananya kamu mau jujur ke aku soal itu, Dik?"

Dika meneguk ludah. "Malam ntar, Liz. Ehm ... aku mau ngasih kejutan sebenarnya buat kamu. Dan jujurnya aku udah mau ngomong ke kamu soal itu dari kemaren. Cuma sikonnya nggak ngedukung."

"Menurut kamu ... aku bakal percaya gitu?" tanya Eliz sinis. "Kamu udah janji nggak bakal ngusilin aku lagi, tapi untuk yang ginian aja kamu belum ngasih tau aku?"

"Sorry, Liz, sorry."

Dika mengambil risiko. Sekarang alih-alih kabur melarikan diri, ia justru menghampiri Eliz. Tepat sebelum tangan cewek itu terangkat, Dika sudah meraihnya. Bahkan tanpa aba-aba, ia mengecup buku jarinya.

Eliz melotot. Berusaha menarik tangannya seraya dengan horor melihat ke belakang. Pada pintu kamar Dika yang terbuka. Khawatir orang tuanya melihat.

"Dika, lepasin."

Dika tidak mengabulkannya. Melainkan ia meminta maaf kembali. "Maafin aku dulu."

Eliz tidak punya pilihan lain. Ia tidak ingin terpergok orang tuanya dalam keadaan seperti itu.

"Iya iya iya. Aku maafin. Jadi lepasin tangan aku sekarang."

Senyum di wajah Dika mengembang seiring dengan dirinya yang melepaskan tangan Eliz. Cewek itu dengan dada berdebar mengusap jarinya. Tak mau, tapi pipinya tersipu.

"Jadi karena itu kamu datang ke sini?" tanya Eliz kemudian. "Karena kamu mulai kerja besok?"

Dika memasukkan kedua tangannya di saku celana. Ia mengangguk sekali. "Salah satu alasannya sih emang itu. Tapi, kayak yang kamu tau. Aku punya banyak alasan buat datang ke sini."

Tentu saja. Eliz tidak meragukan hal yang satu itu. Tapi ....

"Kenapa dua hari ini banyak banget sih kejutan yang terjadi?"

Sepertinya Eliz baru menyadari itu. Dari ia dan Dika yang kebablasan. Dari Dika yang mengutarakan perasaannya. Dari ia yang menerima perasaan itu. Dan sekarang? Dika bahkan akan bekerja di tempat yang sama dengannya? Wah! Eliz beruntung jantungnya masih bertahan dengan kuat di dalam sana.

"Kejutan? Ehm ... sebenarnya ini bukan kejutan sama sekali kalau kamu itu agak peka jadi cewek, Liz. Selama ini aku udah sering ngasih sinyal, tapi kamu aja yang nggak nangkap."

Eliz mengulum bibirnya. Sepertinya perkataan Dika memang masuk akal sih.

"Cuma tetap aja. Ini nggak bagus buat kesehatan jantung aku."

Dika tertawa. Wajah nelangsa Eliz membua ia geli dengan satu pemikiran yang mendadak saja melintas di benaknya. "Tapi, menurut kamu gimana dengan Om dan Tante?"

"Gimana apanya?"

"Kalau semisalnya aku ngomongnya sekarang kalau aku mau melamar kamu ..."

Mata Eliz sontak membesar. Perasaannya jadi tidak enak.

"... kira-kira mereka bakal kaget juga nggak ya?"

"Dika," lirih Eliz horor. "K-kamu bilang mau ngomongnya malam ntar. Kalau siang ini, aku belum siap. Jangan main-main deh."

Senyum geli timbul di wajah Dika.

"Kamu nggak mungkin serius kan?"

"Aku serius loh. Bahkan untuk main-main aja aku serius, apalagi untuk urusan yang kayak gini."

Eliz tau itu. Yang dikatakan oleh Dika memang benar. Bahkan untuk sekadar bermain saja ia selalu serius. Apalagi untuk sesuatu yang ia katakan memang serius.

Maka tentu saja Eliz berubah panik seketika. Terlebih karena selanjutnya Dika beranjak dari sana. Meninggalkan dirinya yang gemetaran ketika didengarnya Dika berseru.

"Tante! Om! Ada yang mau aku bilangin."

Eliz meneguk ludah. Buru-buru turut beranjak pula dari sana sementara Dika sudah hilang dari matanya. Cepat bagai kilat, Dika kembali ke meja makan. Bergabung dengan Rahmi dan Subagja yang baru saja tuntas makan siang.

"Apa? Kamu mau ngomong apa?"

Di tempatnya berdiri, Eliz membeku. Tak bisa berbuat apa-apa ketika Dika dengan senyum lebar di wajah bicara pada kedua orang tuanya.

Oh Tuhan.

Sepertinya seumur hidup Eliz baru kali ini ia melihat ada cowok yang ingin melamar seorang cewek bicara pada kedua orang tuanya di meja makan. Tanpa ada kesan formal sedikit pun. Tanpa ada persiapan matang apa pun. Dan semua itu dilakukan dengan begitu spontan.

Semua telah terjadi. Dika benar-benar mengatakan itu pada Rahmi dan Subagja. Hingga membuat kedua orang tuanya sama-sama terkesiap dengan ekspresi kaget yang begitu alamiah. Dan keriuhan pun tercipta. Gelak tawa dan ucap bahagia memenuhi udara.

Sementara Eliz? Cewek itu menarik napas dalam-dalam. Ketika ia melihat kebahagiaan itu di depan matanya, ia justru memikirkan hal lain.

Ini yang bilangnya nggak bakal ngusilin aku lagi?

Eliz mendengkus dengan tangan yang sontak bersedekap di dada. Karena mau dilihat dari sisi mana pun, cewek itu menganggap ini adalah bentuk kejahilan Dika yang lainnya. Dan sepertinya tidak mengherankan bila pada akhirnya Eliz memutuskan untuk tidak banyak berharap untuk sifat Dika yang satu itu.

Dika nggak bakal berubah. Dia pasti bakal tetap usil kayak gini.

Hanya saja sekarang kejahilan Dika sepertinya menjadi hal yang dimaklumi oleh Eliz. Terutama bila itu menyangkut keseriusan Dika padanya.

Astaga. Cowok itu benar-benar membuktikan perkataannya. Bukan sekadar ucapan manis untuk membuat ia tenang. Dika benar-benar ingin menikahinya. Dan kalau Eliz pikir-pikir lagi, itu lucu kan?

Dika bahkan sudah membicarakan niatannya pada orang tua dan kakaknya jauh sebelum Eliz sendiri tau. Pertaruhan yang besar menurut Eliz. Karena untung sekali Eliz pun menerima perasaan Dika. Karena kalau tidak, ehm ... Eliz bisa menebak akan sefrustrasi apa Dika.

Namun, berdiri di hadapan Eliz, wajah Dika sekarang jelas tidak menunjukkan tanda-tanda cowok yang frustrasi. Alih-alih sebaliknya.

Usahanya mendekati keluarga Eliz dari dulu membuahkan hasil. Ia diterima dengan amat baik di sana dan sekarang semua sudah sempurna. Eliz pun menerima perasaannya. Perjuangan yang tidak sia-sia bagi Dika.

Dan sekarang, cowok itu pun tau. Hanya ada satu hal yang perlu ia pastikan jawabannya. Ia bertanya pada Eliz dengan penuh keseriusan.

"Kapan kamu siap jadi istri aku?"

*Tamat*

Jadi begitulah cerita ini selesai. Hahahaha. Lumayanlah ya untuk ngisi waktu kosong.

Akhir kata, semoga cerita ini cukup menghibur dan sampai jumpa di seri Devil yang kedua.

Bye! ᕕ( ՞ ᗜ ՞ )ᕗ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro