Tiga • Apa Mungkin ... Kamu Tidak Nyata?
Beberapa detik sejak kamu melontarkan pertanyaan itu, Ravelio masih bungkam. Kamu mulai berpikir tidak-tidak. Barang kali, Ravelio tak ingin menjawabnya, atau ... dia tersinggung? Yah, bisa saja. Apalagi melihat tatapannya yang tak bisa kamu artikan.
Dia masih berdiri di sana. Kepalanya yang agak tertunduk terarah padamu—atau mungkin ... ah!
Kamu cepat-cepat menunduk. Kalung berantai perak terlingkar di lehermu. Liontin sabit yang berwarna senada terjuntai di depan dada.
Apa mungkin ... dia memperhatikan kalung ini?
Kamu mendongak perlahan. "Rav—"
"Menurutmu, aku ini apa?" sela Ravelio masih dengan tatapan yang sama—sulit diartikan.
Kamu berdecak. Dia akhirnya bersuara, tetapi kenapa harus memotong ucapanmu?
Diliputi perasaan kesal, kamu menjawab dengan datar, "Aku enggak tahu, makanya aku nanya."
Ravelio tampaknya tak menggubris jawabanmu barusan. Iris sekelam malamnya mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang—katanya—alam bawah sadarmu ini. Kamu ikut mengedarkan pandangan dan baru menyadari jika ruangan ini sungguh ajaib. Nuansa emas dan corak jam terus terlihat berputar-putar di matamu. Rasanya kamu jadi sedikit pusing.
Lalu, Ravelio kembali menatapmu.
"Ravelia, pernahkah kau ... berpikir suatu kemungkinan tentangku?"
Kamu tertegun. Suatu ... kemungkinan?
Ah, benar juga. Ravelio itu, terlalu misterius.
Kamu tidak ingat kapan tepatnya. Tetapi, suatu hari saat usiamu sepuluh tahun, untuk pertama kalinya kamu mendengar suara laki-laki yang asing di benakmu. Mulanya kamu pikir kamu berhalusinasi. Mama pun bilang begitu saat kamu memberitahukannya. Namun, lama kelamaan, suara itu semakin sering muncul. Kadang kala mengajakmu mengobrol, kadang pula membantumu di saat kamu kesulitan mengontrol kekuatanmu.
Kamu akui, semenjak suara itu muncul, kekuatanmu jadi jarang lepas kendali. Bahkan, kamu hanya perlu memakai sarung tangan super tipis dan transparan. Kamu tidak perlu takut lagi kalau-kalau tidak sengaja memegang sesuatu.
Ravelio memang sudah seperti sesuatu yang diciptakan untuk menahan kekuatanmu.
Pernah suatu saat ketika kamu menceritakan ini pada Mama, tetapi Mama malah membawamu ke psikiater langganan keluargamu. Psikiater itu bilang itu hanya delusimu saja dan mendiagnosismu skizofrenia. Namun, dia bilang, barang kali suara yang muncul di benakmu kemungkinan berasal dari alam bawah sadarmu—atau keinginan terpendam—yang menginginkan agar kamu bisa mengendalikan kekuatan terkutuk ini.
Masuk akal sebenarnya, pikirmu dahulu.
Kamu pernah berpikir suatu kemungkinan.
Mungkin, Ravelio hanya imajinasi atau keinginan alam bawah sadarmu saja.
Mungkin, Ravelio tidak benar-benar ada.
Mungkin, Ravelio memang tidak nyata.
Dan mungkin, kamulah yang menciptakan Ravelio dan menganggapnya 'ada'.
Namun ... melihatnya yang berwujud manusia begini membuatmu meragukan segala kemungkinan itu. Karena kamu tahu, kamu bisa merasakannya kalau dia ... nyata.
"Bagaimana, hm? Sudah menemukan jawaban?" Ravelio bertanya dengan suara agak keras, seakan sengaja mengagetkanmu yang larut dalam lamunan.
Kamu diam sejenak, lantas menggeleng. "Belum."
"Hah, belum?"
Ravelio mendesah, lalu mendekat dua langkah. Dia berdiri tepat di hadapanmu sembari mengangkat liontin sabit keemasan miliknya yang terjuntai. "Apa kau ingat pernah memungut kalung berliontin bulan seperti ini?"
Kamu tidak mengangguk atau menggeleng. Keningmu mengerut dengan alis bertaut. Kamu sama sekali tidak ingat pernah—
"Sejak kau memungut kalung itu dan memakainya, aku jadi muncul di kepalamu, benar?"
Memungut. Memungut. Memungut.
Apa kamu pernah memungut kalung ini?
Ah, tidak-tidak. Mendapatkannya dari mana saja kamu sudah lupa.
Namun, sudahlah. Benar tidak benar, kamu mengangguk saja.
"Dan sejak saat itu, aku selalu menahan kekuatanmu, 'kan? Kau juga jadi bisa mengontrol kekuatanmu meski sedikit," lanjut Ravelio.
Kamu mengangguk lagi.
"Dan ...."
"Dan?"
"Masa kau belum sadar juga?" tanya Ravelio yang terlihat geregetan.
Kamu melongo. "Hah?"
Sebentar, sebentar.
Kalau memang benar kamu memungut kalung itu lalu setelahnya Ravelio muncul dan kekuatanmu lebih terkendali ....
"Sudah kubilang kita adalah satu, 'kan?" Nada Ravelio merendah. Lelaki itu menyentuh liontin bulan perak di kalungmu. "Sejak kau memungut kalung ini lalu memakainya, aku sudah hampir sepenuhnya menyatu dengan jiwamu."
Liontin bulan keemasan milik Ravelio bersinar tatkala jarinya menyentuh liontin bulan milikmu. Matamu sontak terbeliak. Sekelebat rasa sakit pada seluruh tubuh kamu rasakan hingga meringkuk. Di sela-sela rintihanmu, kata-kata Ravelio selanjutnya membuatmu membelalakan mata lagi.
"Dengan kata lain, aku—kalung berliontin sabit ini—adalah sebuah segel," dia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan dengan sorot serius, "segel yang menahan kekuatanmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro