Satu • Kamu Siapa dan Ada Di Mana Kita?
Sejak kecil, kamu selalu menjaga jarak dengan orang lain, bahkan keluargamu sendiri. Sarung tangan pun kerap menjadi aksesorimu yang wajib dipakai. Kamu tidak ingat kapan tepatnya 'kekuatan itu' muncul, dan menghancurkan sebagian hidupmu. Jika boleh memilih, pastilah kamu ingin hidup normal tanpa kekuatan—oh, tidak, mungkin 'kutukan'—yang menimpamu ini. Tetapi, ibumu selalu bilang bahwa kekuatanmu adalah anugerah. Dan kamu, ingin mencoba mempercayainya meski sedikit.
"Ravelia!"
Tiba-tiba, kamu mendengar suara seseorang yang memanggil namamu. Kamu mengerang karena merasakan panas di kedua pipi. Kelopak matamu masih terpejam. Rasanya sulit sekali untuk membukanya walau perlahan. Tubuhmu pun sulit digerakkan.
"Rav, bangun!"
Tepukan yang cukup keras didaratkan ke pipimu. Alih-alih mengerang lagi, kelopak matamu langsung terbuka, mendelik kepada siapa pun yang membangunkanmu sambil menggeram, "Berisik! Ganggu tidurku saja!"
Pandanganmu belum jelas seutuhnya. Samar-samar kamu melihat siluet seseorang yang berdiri di hadapanmu—dan sekarang dia berdecak, "Bangun. Sudah siang."
Begitu penglihatanmu mulai membaik, hal pertama yang kamu lihat dengan jelas adalah iris sekelam malam tengah menatapmu setajam elang.
Netramu memicing. Seorang laki-laki. Dia tinggi, badannya juga tegap. Rambutnya yang agak acak-acakan senada dengan iris sekelam malam. Dia mengenakan setelan serba hitam, kecuali kemejanya yang berwarna putih. Outfit-nya seperti orang kantoran, pikirmu.
"Apa?" Tanpa sadar, kamu melontarkan tanya. Pandanganmu teralih pada kalung berliontin sabit yang terlingkar di leher laki-laki itu.
Tunggu, daripada itu ... seorang lelaki memakai kalung? Dan lagi ... ah, kamu langsung menunduk. Pantas familier. Kalung berliontin sabit itu mirip punyamu.
Sadar jika kamu memperhatikan kalungnya, lelaki itu menunduk lantas menggenggam rantai kalung yang berwarna keemasan. "Kau tidak asing dengan ini?"
Kamu mengangguk singkat, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Baru menyadari kamu berada di suatu tempat yang aneh dan tidak pernah kamu lihat sebelumnya.
Tempat ini terlihat seperti ruangan bernuansa emas dan bercorak jam. Tiap jarumnya menunjukkan angka yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya ada yang berputar cepat, ada juga yang lambat, dan ada juga yang tidak bergerak.
Tempat ini ... sepertinya tidak asing, tetapi di mana? Kamu yakin sekali ini bukan di dunia nyata. Lantas, di mana?
Kala benakmu bertanya-tanya, lelaki itu menyuguhkan senyum.
"Sepertinya kau kebingungan," katanya.
Alih-alih menjawab, kamu malah melempar tatapan penuh tanya kepadanya. "Siapa? Di mana?"
Dia tidak menjawab. Kamu baru hendak mencondongkan tubuh ke depan andai lenganmu tak langsung tertarik ke belakang. Menyadari ada sesuatu yang mengganjal di pergelangan tangan membuat pergerakanmu terhenti.
Kamu segera menoleh ke belakang dan alangkah terkejutnya kamu mendapati sesuatu, seperti ... borgol? Atau entahlah. Yang pasti, ada rantai kokoh yang menghubungkan tanganmu dengan tiang penahan. Kamu bahkan baru menyadari tengah terduduk di lantai tanpa beralaskan kaki (seingatmu tadi kamu mengenakan sandal rumah).
"Apa-apaan ...." Kamu menggeram.
"Kaget, ya?" tanyanya yang membuatmu langsung menoleh dengan raut penasaran bercampur intimidasi.
"Kamu siapa? Dan kita ada di mana?" Kamu mengulang pertanyaan sebelumnya.
Lelaki itu—yang semula berjongkok—bangkit berdiri, masih menggenggam kalungnya.
"Kamu bisa memanggilku Ravelio. Aku yakin sekali ini bukan kali pertama kita bertemu."
Pupilmu spontan membulat. Dia—apa dia suara yang selalu menggema dalam benakmu?
Tak mengindahkan kekagetanmu, dia kembali berkata, "Jangan kaget begitu, Ravelia. Kau tahu? Kita adalah satu." Dia terkekeh hingga kedua matanya menyipit. "Omong-omong, sekarang kita sedang berada di alam bawah sadarmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro