Lima • Kupanggil Kamu Ravelio, Ya?
"Hei."
Suara seorang laki-laki menyapamu. Kamu yang sedang duduk sendirian di pinggir jembatan dan menengadah menatap langit biru segera menoleh.
Hal pertama yang kamu lihat adalah iris sekelam malam yang menatapmu tajam sekaligus lembut. Kamu bergeming dan mengerjap. Seorang lelaki—yang terlihat seperti belasan akhir—bersetelan hitam tengah berdiri kira-kira dua meter di samping kananmu.
Rambutnya yang berwarna senada tampak mengilap diterpa sinar mentari. Sementara itu, atensimu teralih pada kalung berliontin sabit yang terlingkar di lehernya—yang membuatmu langsung membatin, mirip punyaku.
Bedanya, kalung lelaki itu berwarna keemasan, sedangkan punyamu berwarna perak (kamu bahkan tidak tahu siapa pemiliknya, tetapi dengan seenak jidat mengklaim kalung itu milikmu).
Tanpa menunggu balasan darimu, lelaki itu melangkah mendekat, kemudian duduk di sebelah kananmu.
"Sedang apa?" tanyanya.
"Menatap langit," jawabmu, lalu kembali mendongak.
"Langitnya indah, ya?" Kamu menggubris. Netra hazel-mu menatap awan putih yang melayang-layang di langit, seperti bergerak pelan ditiup angin.
"Kamu siapa?" Entah bagaimana, kata-kata itu yang justru lolos dari bibir mungilmu. Mungkin terkesan kurang sopan—dan kamu juga dahulu tidak peduli dengan orang lain.
"Entahlah, menurutmu siapa?" Dia balik bertanya. "Sepertinya, kau punya kalung yang mirip punyaku."
"Orang aneh," jawabmu asal.
Kalimat selanjutnya membuatmu menoleh. Kamu mengamati kalungnya sekali lagi. Benar-benar sangat mirip dengan kalung yang kamu pakai, hanya berbeda warna.
Lelaki itu terkekeh. "Benar, aku hanya orang aneh," timpalnya.
"Orang Aneh," panggilmu, "aku tidak punya teman. Orang-orang takut padaku. Tapi, kenapa kamu malah menghampiri, bahkan duduk dan mengobrol santai denganku?"
Seperti yang kamu duga, dia sempat tertegun, tetapi kemudian tersenyum simpul. "Kenapa begitu?" tanyanya. "Kenapa aku harus takut padamu?"
Kamu terdiam sejenak. Detik berikutnya, kamu menceritakan semuanya—tentang kekuatan anehmu, kehidupanmu, serta mengapa kamu pantas dijauhi—kepada orang asing yang baru saja kamu temui.
Alih-alih takut denganmu, lelaki itu justru mengulas senyum dengan raut iba. "Sepertinya kehidupanmu cukup berat, ya."
Kamu anggukan kepala pelan. Hidupmu memang menyedihkan. Dapat menghancurkan apa pun sampai berkeping-keping dengan sentuhan, diejek monster, dijauhi orang-orang termasuk keluargamu, harus selalu mengenakan sarung tangan, dan tidak punya teman.
Tak apa-apa. Kamu sudah terbiasa. Anak umur sepuluh tahun lainnya pasti sudah menangis jika menjadi dirimu.
"Melihatmu yang terus-terusan menatap langit, sepertinya kau suka langit ya?"
Kamu mengangguk lagi. "Langit adalah satu-satunya yang bisa kuanggap 'teman'."
"Aku mengerti," dia ikut mendongak, "tetapi, kau juga harus berhati-hati."
"Hah?" Kamu menoleh bingung.
"Kau tidak ingin teman satu-satunya yang kau miliki hancur, 'kan?
"Tentu saj—sebentar, maksudmu apa? Aku tidak punya tem—oh, langit." Kamu manggut-manggut begitu paham maksudnya kala ia menunjuk ke atas dengan dagunya. "Memangnya, langit bisa hancur?"
"Bisa saja, kalau kau tidak bisa menahannya."
"Menahan?"
Lelaki itu menggeleng. "Tidak, lupakan," ucapnya. "Daripada itu, sepertinya kau butuh bantuan. Mau kubantu?"
Kali ini, kamu yang menggeleng. "Apa yang bisa kamu lakukan?"
"Entahlah, tetapi yang pasti, kau membutuhkanku."
" ... Baiklah, terserah kamu saja."
Toh, nanti dia juga akan menyesal dan menyerah, pikirmu saat itu.
"Oh ya, Gadis Kecil. Namamu siapa?"
Oh, haruskah kamu memberitahukan namamu padanya?
"Ravelia. Kalau mau pendek panggil saja Rav. Terdengar seperti nama cowok, sih, tapi terserah kamulah." Sialnya, kata-kata perkenalan sudah keluar duluan dari bibirmu.
"Kamu sendiri?" tanyamu balik.
"Entahlah. Bukankah tadi kau bilang aku hanya orang aneh?"
Balasannya sama sekali tak menjawab pertanyaanmu.
"Aku tahu—maksudku, namamu."
"Nama ya ...," gumamnya, "bagaimana kalau kau saja yang memberi nama? Kau bebas memanggilku apa saja."
"Dih," kamu mencibir, "memangnya bisa begitu?"
Dia tergelak pelan. "Jadi?" Dan tetap menanti jawaban.
"Ravelio," pada akhirnya kamu tetap menjawab, "kupanggil kamu Ravelio saja, bagaimana?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro