Empat • Kapan Kita Pernah Bertemu?
Hari itu, kamu menemukan sebuah kalung cantik berliontin sabit di antara rerumputan di bawah jembatan layang. Rantai talinya terbuat dari logam berwarna perak yang mengilat ketika terkena sinar mentari.
Kamu yang diliputi rasa penasaran sekaligus terlena dengan kecantikan kalung itu pun meraihnya. Sejenak, kamu melupakan bahwa tanganmu bisa menghancurkan apa pun yang kamu sentuh.
Selang beberapa detik menggenggamnya erat dengan mata berbinar, barulah kamu sadar. Kamu melempar kalung itu ke sembarang arah dengan raut takut—takut jika kalung yang tidak diketahui pemiliknya tersebut hancur berkeping-keping karenamu. Akan tetapi, kalung itu tak kunjung hancur jua dan masih tergeletak di tanah setelah beberapa menit kamu sentuh tadi.
Kalungnya tidak hancur? batinmu saat itu dengan takut-takut.
Jari telunjukmu dengan ragu menyentuh liontin sabit yang mengilap. Setelah kamu cukup yakin kalung tersebut tidak hancur, kamu segera mengambilnya dan menggenggamnya erat.
Aneh.
Padahal, saat itu tanganmu tengah telanjang, tanpa menggunakan sarung tangan atau apa pun yang dapat menghalau kekuatanmu. Tetapi, kenapa kalung itu tidak hancur—oke, bukan maksudmu mendoakan kalungnya hancur. Hanya saja, kamu yang saat itu masih berumur sepuluh tahun sangat heran. Karena untuk pertama kalinya, benda yang kamu sentuh tidak hancur. Bahkan, kamu tidak menemukan retakan sedikit pun pada tali atau liontinnya.
Tentu kamu terperangah, mengerjap beberapa kali dengan mulut menganga sambil terus mengulang kata, "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa?".
Malah, kamu beberapa kali mencubit tanganmu untuk memastikan apakah ini benar terjadi ataukah mimpi seperti yang sudah-sudah. Namun, ringisanmu cukup untuk membuktikan bahwa yang terjadi saat ini benar-benar nyata. Kamu tahu betul cubitanmu cukup sakit.
Maka, matamu kembali berbinar.
Dan kamu—entah ada dorongan dari mana—lantas mengalungkannya di lehermu.
***
"Bagaimana? Sudah ingat?"
Kamu mengangguk pelan. Tak menyangka Ravelio akan menghujammu dengan memori—yang entah kenapa—bisa kamu lupakan.
Rasanya, sekarang kamu jadi sedikit paham. Kamu memang lemot, tetapi di saat-saat seperti ini (ditambah lagi Ravelio memaksamu untuk ingat), mau tak mau, otakmu bekerja lebih giat.
"Bagus," ucap Ravelio dengan nada yang menurutmu menyebalkan."Sebelumnya, kita pernah bertemu—maksudku, dalam wujud manusiaku—ingat?"
Kamu menggeleng, tetapi kemudian segera mengangguk kala tubuhmu seperti tersetrum. Kepalamu seketika memberat dan nyeri. Rasanya seperti dihantam batu (ini sungguhan).
Tak sampai di situ, Ravelio melanjutkan, "Langit. Kau suka langit, 'kan? Saat itu, kita mengobrol bersama di bawah langit biru."
Langit?
Keningmu mengerut heran. Sekelebat merasa familier dengan kata itu. Namun, kamu tak punya memori apa pun seperti yang dikatakan Ravelio. Kamu mulai mengais memori nan terkubur kembali, sambil menahan rasa sakit yang sekonyong-konyong menyergap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro