Bab 8 - The Lost Trust
Bukankah kehilangan itu menyedihkan?
Pantaskah kita bersedih atas kehilangan sesuatu
yang bahkan bukan milik kita?
Karena sejatinya,
diri kita pun bukan milik kita.
Lantas, apa artinya memiliki?
****
Setelah bertengkar dengan Ayahnya, Alfi pergi menuju rumah Ilham dan meminta izin menginap di sana. Ia tidak mengenal siapapun lagi selain Bu Lastri dan Syifa adik Ilham. Mau ke Jakarta tapi dia tidak membawa mobil, dan dia anti naik angkutan umum.
Ia sudah menyuruh Ilham segera datang menjemputnya tapi sudah pagi anak itu belum juga datang. Alfi tak henti-hentinya merutuki sahabatnya itu.
"Kak, Syifa udah masak, kalau mau sarapan ada di meja, kalau kakak bosan kakak jalan-jalan aja ya. Syifa berangkat sekolah dulu. Assalamu'alaikum." Syifa pamit pada Alfi setelah menyampaikan pesan untuknya.
"Oke. Hati-hati, jangan pulang terlalu sore," Alfi menimpali dengan senyum manisnya.
Syifa berbalik. "Kok gak jawab salamnya? Menjawab salam itu wajib loh kak!" Syifa merenggut lucu.
"Iya. Iya. Wa'alaikumsalam. Puas? Udah sana cepet berangkat." Alfi belagak ngusir dan Syifa tersenyum lebar lalu pergi.
Lama-lama Alfi merasa bosan, makan? ia tidak lapar jadi ia putuskan untuk jalan-jalan seperti yang Syifa sarankan.
Semoga gue gak nyasar.
Alfi terus berjalan menikmati keindahan kampung yang masih asri itu. Tidak sedikit orang menatapnya heran, merasa asing dengan sosok Alfi. Ia sampai di sebuah gazebo, merasa lelah iapun duduk di sana. Matanya menatap takjub pemandangan di depannya. Pesawahan yang terbentang luas dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Tidak hanya itu ia disambut baik oleh angin yang bertiup lembut. Sejuk. Membuatnya mengantuk, ia memutuskan untuk berbaring dan tak sengaja tertidur.
***
Afanin berjalan dengan langkai gontai, beberapa kali ia menghela napas panjang. Kembali mengingat cerita tentang Alfi dari Pak Rafka tadi pagi, tentang alasan mengapa ia memilihnya dan mengapa Ayahnya berubah pikiran untuk membantunya.
Flashback
Rafka telah bergabung bersama keluarga Ibrahim di ruang tamu.
Sebelumnya ia menyaksikan bagaimana Afanin berlutut di hadapan Ibrahim, terisak sambil memohon ampunannya. Hatinya terenyuh ketika itu dan ia telah memutuskan untuk tidak lagi memaksakan kehendak mereka.
"Jadi, alasan apa yang membuat Bapak menginginkanku menjadi pendamping hidup anak Bapak? Alasan yang membuat Abi berubah pikiran untuk membantu kalian," Afanin yang sudah tak bisa menahan rasa penasarannya mulai bertanya.
Rafka terlihat sedikit melamun, ia menghela napas panjang sebelum bicara dan cerita tentang Alfi anak semata wayangnya mengalir begitu saja.
"Alfi. Dia dulu anak yang sangat baik, pintar, rajin, patuh pada orang tua, bahkan ia rajin beribadah." Ucap Rafka menerawang jauh. Memulai ceritanya.
"Aulia istriku adalah wanita yang sangat baik, wanita salihah yang taat agama, ia pula yang mengajarkanku tentang Islam. Ia juga yang selalu mengajarkan Islam pada Alfi. Mengajaknya mengaji sejak ia kecil, belajar Al-quran, tauhid, dan semua hal tentang Islam." Rafka tersenyum mengenang mendiang istrinya.
"Alfi anak yang sangat manis, ia anak yang aktif, mudah bergaul dan terbuka. Dia memiliki kelebihan dengan ingatannya yang panjang hingga ia bisa belajar dengan cepat. Aku masih ingat ia hafal asmaul husna dalam satu hari. Saat ia berumur empat tahun."
"Ia, sangat menyayangi Bundanya, melebihi apapun di dunia ini. Baginya Aulia adalah sosok malaikat, wanita hebat dan mengagumkan. Begitupun ia bagiku. Alfi tidak pernah mendengarkanku kecuali jika istriku yang mengatakannya. Pernah aku merasa kesal dan bertanya kenapa dia lebih mendengarkan istriku daripada aku, lalu ia menjawab, 'Ketika seorang sahabat bertanya pada Rasulullah tentang siapa yang pertamakali harus ia hormati, Rasulullah menjawab. Pertama hormatilah Ibumu, kedua hormatilah Ibumu, ketiga hormatilah Ibumu, lalu Ayahmu.' Saat itu juga hatiku terenyuh. Ia masih anak berusia 6 tahun." Terukir senyuman di wajah Rafka, Afanin ikut tersenyum merasa kagum dengan si kecil Alfi. Rafka kembali bercerita.
"Saat ia berumur 9 tahun, istriku sakit parah. Ia menderita Leukimia. Alfi terlalu pintar untuk dibohongi. Ia sangat sedih saat mengetahuinya. Ia bilang akan melakukan apapun untuk membuat Bundanya sembuh. Satu-satunya cara agar ia sembuh adalah melakukan kemoterapi dan operasi, tapi saat itu perusahaanku sedang berkembang pesat, aku masih sangat muda dan ambisi untuk mengembangkan perusahaanku sangat besar, aku sering melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri dan tidak memperhatikan kondisi istriku." Raut wajah Rafka mulai berubah, nampak sendu.
"Saat aku pulang aku selalu melihat Alfi mengaji untuk Bundanya. Aulia selalu meminta Alfi untuk mendo'akannya, ia bilang Tuhan Maha Baik, Ia akan mengabulkan do'a Alfi karena ia anak yang baik. Saat itu ia menurut dan ia percaya pada Bundanya. Aku pun melakukan hal yang sama, memintanya terus berdo'a pada Allah untuk kesembuhan istriku. Dan aku telah berjanji padanya untuk membuat istriku sembuh. Tapi kesibukanku membuat aku melupakan janjiku. Selama satu tahun istriku berjuang untuk terus hidup. Dan aku malah terus berjuang untuk memberikan mereka kehidupan yang layak dengan mengorbankan istri dan anakku. Hal yang paling aku sesali karena aku tidak menghabiskan waktuku dengan keluargaku."
Afanin menatapnya iba, penyesalan itu jelas sekali terpancar dari matanya.
"Saat itu aku berada di Jepang dan aku mendapat kabar bahwa istriku meninggal. Aku pulang ke Indonesia pada saat itu juga. Hatiku hancur saat melihat tubuh istriku tertutup kain, berbalutkan kain kafan. Semua orang sedang mengaji untuknya. Aku menangis untuknya, memeluk dan menciumnya untuk yang terakhir kali. Aku bisa mencium semerbak wangi dari tubuhnya mengisi seluruh ruangan. Aku terpuruk, dan merasa gagal. Aku tidak ada di saat ia menghembuskan napas terakhirnya. Aku sungguh menyesal. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Alfi saat menghadapi semuanya sendirian. Lalu aku sadar jika anakku tidak di sana."
"Aku menuju kamar dan mendapatinya duduk di atas ranjang sendirian, memeluk lututnya dengan tatapan kosong. Kamarnya sangat berantakan. Ia sama sekali tak menangis, saat aku menghampiri dan ingin menyentuhnya ia menepis tanganku. Dia mengatai aku pembohong, dan ia bilang kalau Tuhan tidak ada. Aku sangat terluka saat itu. Tapi aku sadar aku memang salah." Rafka berhenti sejenak, matanya terlihat berkaca-kaca mengingat kenangan pahit itu.
"Dan setelah itu, ia berubah menjadi sosok yang tidak aku kenali. Alfi menjadi anak pemurung, pemarah, keras kepala dan pembangkang. Tidak sedikitpun ia mendengarkanku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk menyembuhkan istriku, dan ia merasa dibohongi karena Tuhan tidak mengabulkan do'anya, mengambil seseorang yang sangat ia cintai. Kehilangan yang ia rasakan melebihi rasa kehilanganku. Ia benar-benar terpuruk dan terluka. Aku tak pernah lagi melihatnya belajar, mengaji ataupun sholat seperti dulu. Ia seperti kehilangan tujuan hidupnya. Ia kehilangan kepercayaannya, padaku, pada semua orang dan pada Tuhannya." Wajah Rafka begitu sendu, jelas kalau ia sedang bersedih.
"Ia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun dan menanggung rasa sakit yang dalam, rasa sakit ditinggalkan. Dan lagi aku membuat kesalahan, aku malah fokus pada pekerjaanku dan tak memperhatikannya. Hingga ia menjadi seperti sekarang, semuanya adalah kesalahanku."
Rafka lalu menatap Afanin, sorot mata yang memancarkan kesedihan itu, membuat hati Afanin serasa tersayat.
"Aku mohon padamu, bantu ia kembali seperti dulu. Buat ia kembali mempercayai dunia dan Tuhannya. Aku bisa melihatnya dalam dirimu, kamu sama seperti istriku dulu. Aku yakin kamu bisa membantunya. Itulah alasan mengapa aku sangat menginginkanmu untuk jadi pendamping hidupnya. Aku berharap kamu bisa merubahnya. Maka dari itu, aku mohon menikahlah dengannya."
Flashback end
Afanin merasa bimbang. Jika di awal ia dituntut menerima pilihan yang tidak ia inginkan, sekarang ia dipinta memilih pilihan yang membuatnya bingung setengah mati. Menolongnya atau tidak, sama dengan menikahinya atau tidak. Sekarang semua berada di tangannya. Hati kecilnya tersentuh untuk menolongnya, tapi haruskah ia menikah dengan pria yang sudah meniduri banyak wanita? Yang tidak mempercayai Tuhan? Yang tidak mencintai dan ia cintai?
Ini bukan masalah cinta. Tapi komitmen.
Ia sampai di gazebo dan betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang tak asing lagi baginya, sedang terbaring dengan mata terpejam. Ia tidak sadar dari awal karena pikirannya sedang kacau.
Kenapa dia bisa ada di sini?
Afanin menatapnya lekat. Tidurnya gelisah, kerutan beberapa kali terlihat di dahinya. Apa mungkin karena cahaya matahari ini mengganggu tidurnya? Atau ia sedang bermimpi buruk? Pikirnya.
Ia pun beralih berdiri menghalangi cahaya yang menerpa wajahnya dengan punggungnya, pria ini butuh pertolongan. Haruskah ia yang melakukannya?
Apa aku rela terikat dengannya?
Menikah dengannya berarti ia rela menukar kebahagiaan yang ia impikan selama ini dengan semua konsekuesi yang harus ia terima. Ia sadar jika ia menikah dengannya nanti, ia tidak akan menjadi satu-satunya wanitanya. Ia tidak akan mendapat perhatian seorang suami yang mencintai istrinya. Ia harus siap untuk tidak bahagia.
Ya Allah.. Apa yang harus ku lakukan?
Lalu Alfi tersadar dan saat ia membuka mata ia menggumamkan sesuatu.
"Bunda.."
***
Tbc
Yosh! Semoga memuaskan :'D jangan lupa komentar dan bintang cantik nya ya! ;)
P.s: tolong beritahu saya jika ada typo ya! Trims.
100116-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro