Bab 4 - Mengikhlaskan Cinta
Sesederhana pagi mencinta embun
Mencintamu, sesederhana itu. Mengikhlaskanmu, seperti mengikhlaskan perginya pelangi selepas gerimis. Ya, sesederhana itu.
***
Alfi kini mondar-mandir tak jelas di kamarnya. Tangan kirinya bertumpu di pinggang sementara tangan kanan nya memegang handphone dan di tempelkan ke mulutnya. Seolah-olah ia akan memakan ponselnya itu. Ia terlihat sedang berpikir keras. Kemudian ia berhenti berjalan. Duduk di pinggir ranjang king size nya dan menghubungi seseorang.
"Yo?" jawab seseorang dari seberang.
"Gue butuh bantuan lo sekarang juga," ucap Alfi tanpa basa-basi.
"Gila men ini tengah malem. Lo gak nanya gue sibuk atau apa gue udah tidur?"
Alfi memutar bola mata kesal. "Lo bisa angkat telpon gue sekarang menandakan lo gak sibuk ataupun lagi tidur," Alfi jengah.
Ilham tertawa. Sahabatnya ini emang kadang-kadang! Pikir Alfi. "Lo di mana?"
"Apartemen," jawab Ilham.
"Gue ke sana sekarang juga." Tanpa ba-bi-bu lagi Alfi menutup telepon dan melesat menuju apartemen sahabatnya. Tak peduli tengah malam yang cukup dingin, ia perlu solusi sekarang dan ia yakin Ilham punya jawaban untuknya. Kenapa ia bisa seyakin ini pada sahabatnya? Lebih pada dirinya sendiri. Menurutnya, Ilham tak pernah salah. Dan setiap kali ia meminta bantuan Ilham selalu memiliki jawabannya.
Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Alfi sampai di apartemen Ilham, padahal jaraknya cukup jauh dengan rumah Alfi. Ilham geleng-geleng kepala saat melihat sahabatnya masuk dengan rusuh, mengambil sebotol air minum dari kulkasnya, meminumnya lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Ck ck ck. Ngebet banget lo ketemu gue. Udah tengah malem, ngebut pula. Biasanya nyampe setengah jam ini cuma seperempat jam. Untung lo masih hidup Al," celoteh Ilham yang tak Alfi hiraukan.
"Gue bingung Ham. Gue butuh saran lo. Gue gak bisa tidur sebelum nemuin jawabannya. Apa yang harus gue lakuin Ham?" Alfi terdengar frustrasi.
Alis Ilham naik sebelah. Menatap sahabatnya sambil melipat tangan di dada. Menunggunya melanjutkan cerita.
"Ini bener-bener gila dan gak masuk akal. Apa sih yang ada di pikiran pria tua itu? Tiba-tiba nyuruh gue pulang terus ngasih kabar petir,"
Ilham masih setia mendengarkan. Ia sangat tenang.
"Dia bilang kalau dia udah ngelamar cewek buat gue dan keluarga cewek itu udah nerima gue. Gila gak sih tu bokap gue? Emang yang mau nikah siapa? Yang ngelamar siapa? Keluarga tu cewek pasti mata duitan. Nerima lamaran bokap gue gitu aja tanpa tahu siapa gue. Ck." Alfi tersenyum merendahkan.
"Gue rasa enggak," sahut Ilham.
"Oke itu gak penting. Yang lebih parah. Bokap gue nyuruh gue dateng ke sana lusa! Buat ta'aruf! Dan pernikahan bakal dilangsungin satu bulan setelahnya, gila." Alfi menjatuhkan punggungnya ke punggung kursi. Lalu kembali bangun.
"Tapi, Ham. Ta'aruf apaan si?"
Kali ini Ilham terbahak. Alfi menatapnya sebal. "Anjir lo malah ngetawain gue."
Ilham berhenti tertawa lalu menatap sahabatnya. "Ya lo juga sih. Ta'arauf itu artinya berkenalan atau saling mengenal. Jadi semacam proses perkenalan dengan calon istri lo biar kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Mencari kecocokan sebelum ke jenjang pernikahan, tentu dengan syariat-syariat terntentu dan biasanya dibimbing oleh seseorang," jelas Ilham.
Alfi mengangguk-anggukan kepalanya.
"Jadi yang bikin lo bingung itu apa?" tanya Ilham menyadarkan Alfi.
Alfi menghela napas. "Pertama, dia ngelamar tanpa sepengetahuan gue, menentukan pernikahan gue seenak jidatnya. Gue gak mau nikah dulu Ham! Gue masih pengen seneng-seneng sumpah! Dan kedua ini yang bikin gue frustrasi. Bokap ngancem bakal nyoret gue dari daftar keluarga kalau gue gak nurutin kemauannya. Yang artinya, gue bakal jatuh miskin dan jadi gelandangan tanpa duit sepeser pun. Atau dia minta gue buat ngehentiin aktifitas gue dan bekerja di perusahaan. Gila banget kan? Gue bener-bener bisa dibuat gila dalam satu malem!" Alfi mengucapkannnya dalam satu tarikan napas. Kemudian ia terdiam sejenak. "Kalau gue dicoret gue gak bakal jadi ahli waris dan jadi gelandangan, sama aja gue gak bisa maen-maen lagi. Gue mesti gimana Haaam?!" Alfi hampir menjerit saking frustrasinya.
Ilham tertawa pelan. "Yaudah lo ikutin kemauan bokap lo. Menikah dengan wanita pilihan bokap lo," Jawab Ilham santai. Dan kini Alfi sudah melongo.
"Eh yang bener aja lo kalau ngasih saran. Hh!" Alfi menghembuskan napas kasar.
Ilham menatap sahabatnya. "Gini deh Al, coba lo pikir. Kalau lo nerima perjodohan ehm tepatnya lamaran yang bokap lo lakuin. Lo gak bakal rugi apa pun. Lo bakal tetep bisa maen-maen kaya biasa dan lo gak kehilangan hak waris lo," Alfi menatap Ilham bingung.
"Kecuali kalau lo menganggap pernikahan itu hal sakral yang hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup dengan orang yang lo cinta. Dan menuntut lo untuk jadi suami yang baik dengan menafkahinya lahir batin. Dan setia pada istri lo," ada jeda sebentar di sana. Sengaja agar Alfi bisa berpikir. "Tapi, gue tahu lo bukan orang seperti itu. Yang gue tahu lo bukan penurut, bukan orang yang taat pada hukum atau aturan. Apa gue salah?"
Alfi terdiam seperti berpikir.
Bener juga sih. Kenapa gue pusing-pusing mikirin pernikahan gak jelas ini? Toh kalau gue nikah pun gue masih tetep bisa foya-foya dan bermain wanita sesuka hati gue. Yang penting gue ngasih duit ke istri gue dan dia bisa muasin gue juga. Malahan enak entar gue gak perlu nyari cewek lain, gue punya cewek yang bakal dengan suka rela gue apain aja karena dia punya kewajiban sebagai istri yang manut pada suami. Kalo gue bosen ya tinggal nyari aja di luar. Gampang kan? Dan gue tetep bakal jadi ahli waris. Nah malah enak gak ada ruginya.
Terlihatlah seringaian licik itu di wajah Alfi. Ilham bergidik ngeri sambil geleng-geleng kepala. Alfi menatap Ilham dengan raut 'kenapa'.
"Gue kasihan sama cewek yang bakal jadi istri lo nanti," ucap Ilham prihatin.
Alfi tertawa. "Gue anggap itu pujian," ucapnya santai.
"Jadi, keputusan lo?"
"Gue bakal nurutin kemauan bokap gue dengan nikahin cewek pilihannya. Thanks bro. Gue tahu lo emang bisa diandalkan." Alfi mengedip pada Ilham membuat Ilham jijik.
Lihat, Ilham sama bejatnya bukan? Pikir Alfi. Mereka tak memikirkan perasaan orang lain hanya untuk kebahagiaan mereka sendiri.
"Lo udah pernah lihat cewek yang bakal jadi calon istri lo?"
"Enggak sih, tapi yang jelas bokap gue gak bakal milihin cewek gendut item jelek bisulan jerawatan kutilan dan bergigi tonggos dengan tompel segede pantat kan?"
Kali ini Ilham terbahak sampai memegangi perutnya membayangkan kriteria yang disebutkan sahabatnya.
Ilham menghela napas setelah tawanya reda. "Lo tuh ya! Tenang aja, ceweknya cantik kok, baik dan terlalu sempurna buat lo."
Alfi menyipitkan matanya. "Dari mana lo tahu?"
Ilham hanya mengedikkan bahunya. "Bukan Ilham namanya kalo gue gak tahu."
Alfi menatap Ilham intens.
Jangan jangan dia juga udah tahu tentang lamaran dan gue yang bakal minta bantuannya. Kalau ya, dia itu mengerikan. Sangat!
"Ck. Gue emang udah tahu sejak awal. Tapi gue gak semengerikan itu kok, Al. Tenang aja." Ilham tersenyum lebar tanpa dosa.
Seharusnya ini bukan hal aneh lagi bagi Alfi. Tapi tetap saja. Bagaimana bisa Ilham mengetahui segala sesuatu tentangnya? Pantas dari tadi dia tenang banget. Tapi emang dia biasanya tenang sih. Ralat Alfi pada pikirannya.
"Lo nakutin banget sih Ham. Gue jadi mikir dua kali buat tidur di sini. Jangan-jangan lo juga tahu warna underwear yang gue pake sekarang," mata Alfi menyipit menyidik Ilham curiga.
Dengan santainya Ilham bilang, "Warna merah maroon." Mata Alfi seketika terbelalak. Sepertinya jawaban Ilham tepat. Dan kini Ilham sudah terbahak-bahak.
"Sebaiknya gue pulang deh," Alfi ngeri sendiri. Lalu beranjak ke pintu keluar.
"Hati-hati Al entar lo ketemu kuntilanak loh!" seru Ilham dan Alfi sukses berhenti mendadak. Ilham menahan tawa mati-matian. Sumpah Alfi itu orangnya parnoan apalagi sama yang namanya hantu. Lihat saja sekarang ia berbalik dengan wajah geram dan tegang.
"Lo tuh bener-bener ya! Gue nginep di sini. Puas?" Alfi berjalan menuju kamar Ilham dan menutup pintu cukup keras. Ilham cekikikan.
Al, Al. Di balik ketegaran dan kesempurnaan lo yang orang tahu selama ini. Lo cuma bocah, Al. Dan gue yakin lo bisa berubah.
"Al lo tidur ditemenin yang laen ya! Gue tidur di sini!" teriak Ilham.
Pintu kamar terbuka menampilkan wajah Alfi yang kusut. "Kampret banget sih lo!" teriak Alfi. "Gue yang pindah ke sofa atau lo yang pindah ke sini?" tawar Alfi. Intinya dia gak mau tidur sendiri. Dan Ilham sudah cekikikan lagi. Puas banget dia ngerjain Alfi malam ini. Dan akhirnya mereka pun tidur seranjang.
****
Sementara di sisi lain, gadis itu selalu terlihat murung. Sejak percakapan tentang lamarannya ia belum lagi berbicara dengan ayahnya. Dia terlalu kecewa.
Saat mengajar anak-anak di Raudatul Athfal pun hanya raganya yang hadir, jiwa dan pikirannya jauh melayang. Tentang siapa yang akan menjadi calon suaminya. Laki-laki seperti apa yang menjadi pilihan ayahnya. Apakah ia taat beragama? Apa ia akan bisa menjalin rumah tangga dengan pria yang baru ia kenal? Lalu apa yang harus ia katakan pada Arham?
Afanin menghela napas panjang.
"Ibu kenapa?" tanya Salsa. Muridnya yang satu ini tingkat keinginan tahuannya memang tinggi. Berbeda dengan temannya yang lain. Salsa memang murid paling pintar.
Afanin tersenyum dan bilang tidak apa-apa.
"Tapi Salsa lihat Ibu menghela napas beberapa kali. Biasanya orang dewasa suka begitu kalau ada masalah. Aku sering melihat Ibuku melakukannya setelah bertengkar dengan Ayah," ucap gadis itu polos.
Hati Afanin mencelos, merasa malu. Namun kemudian hatinya merasakan iba yang begitu dalam. Gadis sekecil ini menyaksikan orang tuanya bertengkar. Sungguh memilukan.
"Ibu baik-baik aja kok sayang, kamu gak usah khawatir ya. Mending lanjut menghafal surah-surah pendek," ucap Afanin lembut mengelus kepala Salsa yang terhalang hijab.
Salsa mengangguk. "Salsa sudah hafal juz 30 loh, Bu!" katanya bangga dengan senyum lebar dan mata yang bersinar.
Hati Afanin mendamai seketika. Anak-anak selalu menakjubkan baginya. "Alhamdulillah .... Semoga hafalanmu semakin bertambah ya, Sa. Muraja'ahnya juga dijaga ya. Semangat!"
"Siap Bu Guruuu!" Serunya riang dan ia kembali ke bangkunya. Membuka Qur'an dan melafalkannya.
***
Sepulang mengajar, Afanin kembali singgah di gazebo dekat kebun Pak Husain. Matanya memandang jauh menembus ladang dan pegunungan.
Besok. Ia akan berta'aruf dengan calon suaminya. Ia kembali menghela napas panjang.
"Assalamu'alaikum,"
Suara itu menghentakan kesadaran Afanin. Ia menjawab salam sambil menoleh ke sumber suara. Dugaannya tepat. Dia Muhammad Arham. Ada di sini, di depannya dan sedang menatapnya.
"Boleh aku ikut duduk di sini?"
Afanin tak berani menatap Arham. Ia menunduk lalu mengangguk. Keduanya duduk berdampingan di sudut yang berbeda. Hati Afanin tak menentu. Salah satu dirinya memperingatkan untuk lari tapi dirinya yang lain menyuruhnya untuk mengatakan semuanya sekarang.
Untuk beberapa saat mereka hsnya terdiam hingga Arham yang mulai bersuara.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Arham tanpa menatapnya. Seolah ia sedang berbicara dengan angin.
Afanin mengangguk tanpa bersuara. Dalam hatinya ada prasangka jika laki-laki di sampingnya sudah mengetahui tentang lamaran itu.
"Mas .... Aku ... aku ... ingin ...." Tenggorokan Afanin tercekat. Rasanya sulit sekali tuk berbicara. Dadanya sudah bergumuruh hebat. Bukan karena sedang jatuh cinta tapi karena ia sedang takut dan gugup.
Arham tersenyum tipis. "Jadi benar, ya ...?" Suara itu lirih hampir seperti bisikan. Menyerupai suara embusan angin yang berembus dan berlalu begitu saja.
Afanin semakin menunduk tak sanggup tuk menatap pria di sampingnya ini. Perasaan bersalah dan rasa sakit yang bersamaan. Membuatnya ingin menangis saat itu juga.
Allah .... Bolehkah aku lari sekarang?
"Maaf ...." Hanya kata itu yang mampu Afanin ucapkan.
Terdengar helaan napas dari Arham. "Kau menerimanya begitu saja?" tanya Arham tak percaya. "Lalu bagaimana denganku? Aku yang sudah mencintaimu selama ini. Aku yang sudah merencanakan masa depanku denganmu lalu dengan mudahnya kau menghancurkan semua itu?" Arham mengutarakan semua perasaannya.
Afanin menoleh dan kini matanya berada pada satu garis lurus dengan mata Arham. Ia menangkap sorot kesedihan di mata legam milik Arham. Tapi Arham juga sadar saat melihat mata indah milik Afanin, bahwa gadis itu juga terluka.
"Ini semua juga bukan keinginanku, Mas .... Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku tidak bisa melawan kehendak orang tuaku. Bahkan aku tidak dimintai pendapat tentang lamaran itu. Aku tidak diberi kesempatan untuk menolak," ucap Afanin nanar.
"Lalu, apa aku harus menyerah pada semua ini? Bagaimana dengan perasaan yang kian tumbuh setiap harinya? Kau tahu betul bagaimana perasaanku padamu, Wa ...."
Afanin menahan tangis mati-matian. "Aku tahu, dan kau pun tahu bagaimana perasaanku. Tapi, rasa cintaku padamu hanya sebatas cinta pada makhluk, yang tidak melebihi cintaku pada-Nya. Aku bisa melepaskan cintaku untuk mendapat cinta-Nya, dan aku yakin kau pun pasti bisa. Terkadang, cinta tidak selalu harus saling memiliki, tapi belajar mengikhlaskan. Itulah kenapa Sayyidina Ali menasehati kita untuk mencintai sesuatu sekedarnya saja, karena akan ada saatnya kita kehilangan sesuatu yang kita cinta."
Arham terdiam. Menatap Afanin dengan perasaan tak menentu. Betapa ia mengharapkan kalau gadis di depannya ini adalah gadis yang telah Allah gariskan untuknya.
"Jika kita memang berjodoh, Allah pasti akan mempersatukan kita. Dan jika akhirnya kita memang tak di takdirkan untuk bersama, maka itulah takdir yang harus kita terima," ucapnya di akhiri senyuman yang indah dan tulus.
"Aku mengerti," ucap Arham. "Aku minta maaf .... Apa pun yang akan terjadi nanti, aku akan belajar ikhlas. Terima kasih untuk segalanya selama ini. Terima kasih telah hadir di hidupku, dan berbahagialah .... Aku pasti selalu mendo'akan kebaikan untukmu," ucap Arham tulus dan tersenyum seindah mungkin.
"Kau juga, berbahagialah. Aku yakin Allah memiliki rencana lain yang lebih indah. Dan Ia telah menyiapkan cinta yang lebih indah untukmu," ucap Afanin dan Arham tersenyum. Afanin meringis dalam hati melihat senyum itu, rasanya menyakitkan.
Arham kemudian pamit, ia pergi setelah mengucap salam.
Afanin menatap punggung Arham yang kian menjauh dari pandangannya.
Apa ini perpisahan? Mengikhlaskan cinta, seperti ini rasanya.
***
Tbc
Assalamu'alaikum! Tumben update cepet :p iya karena dalam beberapa hari mungkin gak bisa update wkwkwk. Tapi insya Allah saya usahain secepat mungkin! Hee. Sampai bertemu di bab ta'aruf! Hoho xD
Wassalam.
P.s: tolong beri tahu saya jika ada typo ya!
201215-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro