Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20 - Hurt and Tear

"Sebab hatiku bukan kayu, melainkan langit yang maha luas. Namun kau harus tahu, langit pun pernah menangis." -Panji Ramdana (melodydalampuisi)
*****


Pesta di rumah Rey sudah dimulai sejak Alfi dan Ilham datang. Pestanya sangat meriah dan Alfi tak menyangka akan banyak yang datang. Ia berkenalan dengan banyak orang baru, termasuk salah satunya Sonya, wanita seksi yang sedari awal terus memperhatikannya, menatapanya secara terang-terangan. Terlihat jelas kalau ia terarik pada Alfi.

Beberapa orang ada yang sedang berdansa mengikuti irama DJ, ada yang sedang ngobrol, pedekate dan bahkan bermesraan. Sudah seperti di discotic saja. Sementara tuan rumah dan beberapa temannya termasuk Alfi dan Ilham duduk di sofa sambil minum-minum dan mengobrol apa saja yang menurut mereka menyenangkan.

Alfi tidak terlalu banyak bicara, malah terlalu banyak minum. Entah sudah habis berapa botol, tapi itu belum cukup membuatnya mabuk. Banyak sekali yang sedang ia pikirkan. Banyak. Banyak sekali hingga kepalanya serasa ingin pecah.

"Bagaimana kalau kita main truth or dare?" Usul Bima.

"Boleh juga," sahut Rey. "Normal or dirty?" Tanyanya menyeringai.

"Dirty of course!" Seru Sonya.

Semua mengangguk setuju dan dimulailah permainan itu, Alfi ikutan sedang Ilham menolak. Ia tidak mau kalau permainannya dirty. Tidak ada aturannya pula.

Mereka memutar botol bir kosong untuk menunjuk siapa yang akan mendapat tantangan. Dimulai dari Rey, putarannya berhenti pada istrinya, Renata.

Renata memilih truth dan pertanyaan Rey sangat konyol, dia bertanya apa yang membuat istrinya mau menikah dengannya.

"Aku terpaksa. Karena kau menghamiliku!" Jawab Renata sedikit bergurau, semua orang terbahak. Tapi memang begitu faktanya, membuat Rey sedikit merasa bersalah.

"Tapi aku tulus mencintaimu." Imbuh Renata kemudian mencium suaminya, membuat semua orang bersorak jijik.

Permainan terus berlanjut, sampai Sonya yang memutar botol bir berhenti tepat pada Alfi.

"Oow sepertinya kau sudah mengincarnya sejak tadi," tukas Bima.

Sonya tersenyum. "Truth or dare?"

"Dare." Jawab Alfi. Tentu saja hanya pengecut yang memilih truth.

"Aku menantangmu untuk melakukan seks denganku selama 30 menit di sini. Di hadapan semua orang." Sonya mengatakannya penuh percaya diri. Semua orang menganga lebar tak percaya.

Alfi mengangkat sebelah alisnya. "Are you serious?"

"Of course," jawab Sonya. "Aku penasaran bagaimana rasanya."

Semua menatap Alfi. Gila saja, kalau memang benar, mereka akan menonton pornografi secara live.

"Kau tidak berani?" Tantang Sonya.

Alfi berdecih kemudian melirik Ilham dengan sudut matanya, dilihatnya Ilham menggeleng dan menatapnya tegas. "Jangan".

Alfi kembali menatap Sonya dari atas sampai bawah. Wanita itu mengenakan mini dress hitam ketat sepaha dengan V neck yang terlalu turun. Benar-benar seksi. Wajahnya lumayan menurut Alfi. Di sini tidak ada yang mahal. Bahkan seorang wanita menawarkan tubuhnya padanya. Tidak ada harga diri sama sekali. Yah memang bukan hanya dia, tapi ini? Di depan umum!

"Oke. Aku terima tantanganmu." Jawab Alfi santai.

Semua bersorak. Bagi Alfi itu tidak masalah sama sekali. Sonya tersenyum penuh kemenangan. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Mungkin dia sudah gila.

"Al," Ilham mencoba mengingatkan, tidak suka dengan keputusan sahabatnya. Alfi segera mengangkat sebelah tangannya.

"Ini urusan gue, dan lo gak berhak ikut campur." Ucapnya tanpa memandang Ilham sama sekali.

"Kemari." Alfi melambaikan tangannya. Sonya menghampirinya, duduk di pangkuannya dan mereka benar-benar melakukannya di sana di depan banyak orang.

Sementara Afanin mondar-mandir di rumah dengan kaki pincang karena masih sedikit sakit. Memegang ponsel, melirik jam, membuka layar ponsel, lalu menutupnya kembali. Terus begitu dari tadi. Sudah pukul sepuluh malam. Tidak ada kabar dari Alfi, biasanya dia akan memberitahunya kalau pulang cepat atau pulang malam atau tidak pulang. Tapi kali ini, nihil. Tidak ada pesan ataupun panggilan darinya. Ponselnya juga tidak aktif. Afanin sudah mencoba menelpon kantornya. Friska bilang Alfi sudah pulang sejak tadi siang.

Afanin cemas. Kalau sudah pulang lalu pergi kemana? Setidaknya Afanin mengharapkan satu pesan saja darinya. Perasaannya benar-benar tidak enak.

Kemudian ia menepuk jidat. Teringat Ilham. "Mungkin ia bersama Mas Ilham, kenapa tidak terpikir sejak tadi?" Gumamnya pada diri sendiri. Lalu mencari kontak Ilham. Ia tersenyum saat menemukannya.

Terdengar nada sambung saat menelponnya. Ia bersyukur nomornya bisa dihubungi. Cukup lama sampai Ilham mengangkatnya.

"Halo?" Jawab Ilham. Latarnya terdengar begitu berisik.

"Halo? Mas Ilham?" Afanin memastikan. Ia bisa mendengar suara musik yang berdentam keras, suara orang-orang berseru, tertawa, sangat berisik.

"Ya, ini siapa?"

"Ini a-" Belum sempat Afanin menjawab, ia mendengar nama Alfi disebut-sebut.

"Anjrit si Alfi. Si Sonya ampe kewalahan gitu!" Seru seorang pria.

"Gue jadi kepengen. Njir. Mereka panas banget."

Afanin bisa mendengar suara erangan seorang wanita yang membuatnya berjengit.

"Iya gila emang tu orang. Gak ada yang lebih hebat dari si Alfi soal seks." Sahut yang lainnya.

Afanin tercekat, menelan ludah, kelu. Ia mencoba menepis bayangan buruk di benaknya.

"Halo? Halo?"

"H-halo.. Aku.. Afanin, Mas." Afanin akhirnya bersuara, terbata. Sejenak suara-suara itu terdengar menjauh. Samar lalu menghilang.

"Oh, kamu Dik. Ada apa?"

"Uhm, Mas lagi di diskotik ya?"

"Tidak, tapi di rumah salah satu teman. Kenapa?"

"Apa Mas Alfi.. ada di sana?" Tanya Afanin sangsi.

Ilham tak langsung menjawab sebelum akhirnya berkata, "Ya, dia bersamaku."

Afanin merasa lututnya lemas. Memejamkan mata menahan gemuruh di dada. Jemarinya meremas pinggir jilbabnya. Apa benar yang didengarnya tadi? Apa benar dia yang sedang melakukan seks? Di tempat ramai seperti itu? Dan.. disaksikan semua orang?

"Oh, begitu.." Nadanya sedikit bergetar. "Ponselnya tidak aktif, aku khawatir karena dia tidak memberiku kabar," jeda agak lama. "Dia.. Sedang apa?" Tanyanya begitu lirih.

Hening. Ilham tak menjawabnya. Afanin tersenyum getir. Jadi benar. Ada yang nyeri di dadanya. "Kalau begitu sudah dulu ya Mas, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Jawab Ilham. Lalu sambungan terputus.

Afanin duduk di Sofa, termenung. Membayangkan apa yang sedang Alfi lakukan sekarang, membuat dadanya berdebar dan berdenyut nyeri. Hal itu sangat jelas. Ia tahu betul. Tapi kenapa? Hatinya seolah tak menerima. Padahal sudah cukup lama Alfi tak melakukannya. Kenapa lagi? Kenapa ia tak bisa berhenti? Kenapa ia tak menjaga perasaannya?

Perasaan?

Setetes air mata jatuh di pipinya. Ia ingin mengadu pada Tuhannya, ia ingin membaca Al-Qur'an untuk menenangkan hatinya. Ia ingin sholat dan berdo'a tapi ia masih udzur dan itu membuatnya kesal.

Ya Allah..

Ia terisak pelan di tengah ruangan yang besar dan sepi.

Sementara Ilham kembali masuk ke dalam dengan marah.

"Al!" Panggilnya. Alfi mana mau mendengar, ia masih pada aktifitasnya.

"Tadi Afanin menghubungiku," Alfi masih tak menggubris.

"Dia menanyakanmu," akhirnya Alfi berhenti. "Dia mengkhawatirkanmu." Dan ucapan Ilham bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ke dalam tubuhnya yang polos sampai ke tulang-tulang. Ngilu.

Alfiterdiam cukup lama kemudian bangkit tanpa mengatakan apapun, meraih kemejanya dan memakainya kembali. Semua orang terdiam menatapnya. Sementara Sonya, dia kelelahan, napasnya tersengal-sengal. Padahal belum sampai 30 menit. Tak ada satu kainpun yang membungkus tubuhnya. Bukan merasa malu, ia tersenyum puas.

Alfi berjalan meraih botol bir yang kadar alkoholnya paling tinggi lalu meneguknya. Lagi dan lagi. Ilham mengambilnya dengan paksa. Alfi kembali mengambil bir yang lain dan meneguknya.

"Al! Cukup!"

Alfi berdesis. "Berisik."

"Lo tuh kenapa si?"

"Apanya yang kenapa? Lo kayak baru ngeliat gue kayak gini aja." Alfi tertawa sinis. Dia sudah mulai mabuk. Kemudian ia minum lagi.

"Rey, kita balik duluan." Ilham berseru pada Rey.

"Oh oke!" Balasnya.

Ilham menarik Alfi yang sudah mabuk. Terhuyung mengikuti langkah Ilham.

"Rese lo!" Tukas Alfi tak sadar. "Gue masih mau minum." Alfi hendak kembali masuk tapi Ilham menarik dan membantingnya ke mobil. Alfi meringis.

"Masuk." Ucap Ilham membuka pintu belakang.

Alfi tersenyum sinis tapi menurut. Ilham duduk di kursi kemudi. "Seharusnya gue gak ajak lo tadi. Tsk." Gerutunya pada diri sendiri.

Ilham sampai di rumah Alfi. Memapah Alfi yang sudah setengah sadar. Kemudian menekan bel.

Afanin yang masih di ruang tamu bergegas membuka pintu. Alfi hampir jatuh jika saja Afanin tak menahannya.

"Astagfirulloh Mas.. Mas Alfi kenapa?" Afanin cemas bukan main.

"Dia mabuk." Jawaban Ilham begitu singkat.

Mabuk? Afanin terpaku di tempat. Sementara Ilham sudah memapahnya masuk.

"Di mana kamar kalian?" Tanyanya.

Afanin tersadar dan membimbing Ilham menuju kamarnya. Alfi terus meracau tidak jelas. Ilham menjatuhkannya ke tempat tidur lalu membuang napas kasar.

Afanin menatapnya. Ia tahu kebiasaan Alfi yang suka minum-minum. Tapi ini pertama kalinya ia melihat Alfi pulang dalam keadaan mabuk.

"Aku minta maaf," ucap Ilham.

Afanin menatapnya kemudian menggeleng pelan. Ilham pun pamit, ia hendak mengantarnya ke depan namun Ilham melarangnya.

"Kau urusi saja dia." Ucapnya. Lagi-lagi Afanin tak berbicara, hanya mengangguk. Perasaanya campur aduk.

Ia kembali ke kamar. Sedikit kaget melihat Alfi yang sudah bertelanjang dada. Sepertinya ia kepanasan. Afanin menghampirinya, membuka sepatunya. Mengambil kemejanya yang tergeletak di lantai. Lalu menaruhnya di tempat yang seharusnya.

Alfi terus bergumam dengan mata terpejam. Afanin menatapnya lekat.

Kenapa?

Ia menarik selimut untuknya. Tak diduga Alfi malah menarik lengan Afanin hingga membuatnya jatuh di atas tubuh Alfi. Ia bisa mencium wangi parfum wanita dan bau alkohol sekaligus. Tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Seperti ada yang menghantam ulu hatinya keras-keras.

Kenapa..

Alfi menyipit menatap Afanin, lalu ia tertawa lirih. Afanin segera melepaskan diri saat Alfi lengah. Ia berjalan ke arah yang berlawanan, membaringkan tubuhnya, membelakanginya. Menutup mata dan mencoba tidur tapi sia-sia. Suara-suara tadi dan bayangan Alfi bersama wanita mengusiknya, begitu mengganggu pikirannya. Ia ingin marah tapi tak kuasa, ia ingin menangis tapi untuk alasan apa? Bukankah ia sudah siap sejak awal dengan semua ini? Ia sudah siap terluka sejak dulu. Ini adalah risiko yang harus ditanggungnya.

Dan yang terucap hanyalah lafadz-lafadz dzikir pada Tuhannya. Bersamaan dengan jatuhnya air mata di setiap dzikirnya.

***

Afanin sedang menyiapkan sarapan saat Alfi turun dengan wajah kusutnya. Afanin mendongak sebentar lalu kembali menata meja makan.

"Apa kepalamu sakit? Ini, minumlah dulu. Aku juga sudah buatkan sup." Afanin mengatakannya tanpa menatap Alfi. Kemudian ia duduk mengambilkan makanan untuk Alfi seperti biasa.

Alfi sedari tadi menatapnya. Ia bingung bagaimana bisa sampai di rumah. "Apa semalam aku mabuk?"

"Ya, Mas Ilham yang membawamu." Jawab Afanin lagi tanpa menatapnya.

Alfi menyadari perubahan sikapnya. "Aku tidak berbuat hal yang aneh padamu kan?" tanyanya.

Afanin akhirnya menatapnya, bingung.

"Ya, mungkin saja aku menerkammu atau memakanmu," ucapnya santai lalu mencoba supnya. "Enak." Ucapnya.

Afanin tersenyum, sedikit. Alfi tahu karena meliriknya dari sudut matanya.

"Kemarin kalian membicarakan apa saja? Kakimu tidak papa?" Tanya Alfi masih dengan aktifitas makannya.

"Huh?" Afanin kebingungan. "Ah, itu. Bukan apa-apa, hanya obrolan biasa. Kakiku sudah tidak papa." Jawab Afanin kemudian ia tersadar. "Eh, bagaimana Mas bisa tahu?"

Alfi tak menjawab dan terus makan. Afanin ingat kalau katanya kemarin Alfi sempat pulang. "Mas melihatnya?"

"Sepertinya dia begitu perhatian padamu."

"Eh, itu.. Bukan begitu. Kemarin aku.."

"Sudahlah. Tidak perlu dijelaskan." Alfi memenggal kalimat Afanin.

Afanin mulai makan dalam diam. Begitu pula Alfi.

"Mas Arham mengobati kakiku yang terkilir. Karena Mbok Asih sedang ke pasar. Sedangkan yang lain tidak ada yang bisa. Aku sudah melarangnya tapi ia tetap melakukannya. Aku minta maaf. Lalu kami mengobrol sebentar. Katanya ia sedang jatuh cinta," jeda sebentar Afanin tersenyum tipis. "Tapi gadis yang disukainya seorang non muslim."

"Aku hanya memberinya saran. Hanya itu. Tidak lebih." Afanin menjelaskan tanpa diminta. Alfi belagak tak peduli padahal penasaran setengah mati. Jadi rupanya ia salah mengartikan tatapan itu.

Hening cukup lama sampai Afanin berkata, "Tidak bisakah kau berhenti melakukannya?" Ucapnya tiba-tiba. Begitu pelan namun tetap terdengar.

Alfi tidak jadi menyuapkan makanan, beralih menatap Afanin yang sedang menunduk, mengaduk-aduk makanannya. "Apa?" Tanya Alfi.

"Uhm tidak. Bukan apa-apa, lupakan." Afanin berdiri. "Aku mau membereskan kamar dulu." Ucapnya seraya berjalan tanpa menatap Alfi.

Alfi bangkit dan menarik tangannya. Afanin menutup mata sejenak sebelum berbalik. Tersenyum samar. "Kenapa Mas?"

Alfi menatapnya, lama. Hingga akhirnya berkata, "Maaf." Ucapnya.

"Aku akan berusaha."

Afanin menatap manik matanya. Mencari kesungguhan. Alfi mengalihkan pandangan dan melepaskan genggaman tangannya. Ia selalu tidak tahan ditatap seperti itu oleh Afanin.

Alfi berdehem. "Aku mau mandi." Ucapnya kemudian berlalu.

Afanin menatapnya, segurat senyum terukir di wajahnya. Ia akan berusaha. Itu sudah lebih dari cukup baginya. Berharap ini awal yang baik. Semoga.
***

Entah apa yang membuat hari-harinya terasa lebih menyenangkan semenjak Alfi mengatakan kalau ia akan berusaha. Yang artinya Alfi ada kemauan untuk berubah. Ia senang tiap kali Alfi menemaninya mengajar anak-anak. Ia senang tiap kali melihatnya tertawa lepas bersama anak-anak. Bahkan ia senang tiap kali melihat wajah tidur dan wajah ngantuknya di pagi hari. Ini sedikit aneh.

"Nyonya, ada telpon dari Tuan." Latsmi menghampiri Afanin yang sedang mengajar.

Ia mengambil telpon tanpa kabel rumahnya dengan senang.

"Ya, Mas?"

"Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku?"

"Oh! Maaf, ponselku di kamar. Ada apa?"

"Tolong carikan file dengan map merah di ruang kerjaku. Aku lupa membawanya. Kalau tidak ada di atas meja berarti di laci."

"Oh, iya sebentar." Afanin bergegas mencari file tersebut. Ia menemukannya di laci. "Iya ada Mas."

Terdengar helaan napas lega dari Alfi. "Aku membutuhkannya pukul sepuluh nanti. Masih ada satu jam lagi. Bisa kau mengantarnya ke sini? Kau titipkan saja pada Friska."

"Baiklah," jawab Afanin.

"Minta antar Pak Sobri."

"Iya, Mas." Jawab Afanin lagi merasa geli tapi merasa senang.

"Ya sudah kalau begitu. Aku tutup." Sambungan pun terputus padahal belum sempat mengucap salam.

Afanin mengambil map itu, setelah menaruh telpon ia bergegas mengambil tas lalu bercermin, menimang apa ia harus ganti pakaian.

Ayolah, ini hanya ke kantor. Lagi pula kemungkinan tidak akan bertemu dengannya.

Afanin geleng-geleng kepala, ia bergegas meminta Pak Sobri mengantarnya dan menitipkan anak-anak pada Latsmi. Lagi pula ia tidak akan lama.

Sampai di kantor, ia merasa gugup. Beberapa bawahan yang pernah melihatnya datang bersama Alfi mengenalnya sebagai istrinya. Ia disambut dengan ramah. Ia menolak ditemani, ia masih ingat letak ruangannya. Lantai teratas.

Lift berdenting terbuka saat sampai. Ia berjalan ke arah ruangan Alfi, seperti perintah Alfi, ia bermaksud menitipkan mapnya pada Friska tapi dilihatnya meja Friska kosong. Ia bertanya pada seseorang di sana kemana perginya Friska.

"Oh, Bu Friska tadi ke toilet. Mules katanya."

Afanin tersenyum geli. Ada-ada saja, pikirnya. Ia mengangguk dan berterima kasih. Menunggu atau ia berikan langsung pada Alfi. Ia menimang. Aku ingin melihat wajahnya. Hati kecilnya berbicara. Kemudian ia merasa gugup dan tersipu sendiri. Ia merasa senang karena akan bertemu dengan Alfi. Konyol, padahal setiap hari mereka bertemu.

Saking semangatnya, Afanin langung membuka pintu tanpa mengetuknya.

"A.." Kata-katanya tertahan di tenggorokan. Ia kembali menelan ucapan salam yang akan ia lontarkan.

Ia terpaku. Kaku. Binar matanya meredup, lengkungan bibirnya berubah menjadi garis lurus. Degup gugup jantungnya digantikan debaran yang semakin dan semakin nyeri.

Alfi sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita. Di hadapannya. Di depan matanya.

Afanin memalingkan wajah. Tangannya meremas map yang dipegangnya. Meredam amarah yang tiba-tiba muncul.

Alfi yang menyadari kedatangannya sedikit terkejut namun segera ia tutupi. Ia menghentikan perbuatannya. Menurunkan Marshila dari pangkuannya. Menatap Afanin datar nyaris tanpa ekspresi. Marshila ikut menatap Afanin sambil mengancingkan pakaiannya kembali.

"Bukankah sudah kubilang titipkan pada Friska?" Nadanya begitu dingin.

Afanin menutup mata sejenak, lalu menarik napas. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Mencoba tersenyum kemudian menatap Alfi.

"Friska tidak ada di mejanya jadi aku memutuskan untuk memberikannya padamu langsung. Aku tidak tahu kau sedang ada tamu," ucap Afanin getir menatap wanita cantik di sebelah Alfi. "Maaf."

Afanin beralih menatap Alfi kembali sedikit lebih lama. Tatapan penuh kekecewaan.

Kenapa lagi..

"Kalau begitu, aku permisi." Afanin berbalik ke luar ruangan dengan perasaan terluka. Friska yang baru datang menatapnya terkejut.

"Bu.." Kata-katanya terhenti.

Afanin tersenyum padanya. "Aku titip ini." Ia menyerahkan map itu pada Friska. Kemudian berjalan pergi. Friska menatapnya tanpa kata.

Afanin berjalan dengan langkah cepat. Menahan nyeri, menahan air mata dan pura-pura tersenyum. Ia masuk ke dalam mobil.

"Kita langsung pulang Non?" Tanya Pak Sobri.

Afanin menggeleng. "Jalan saja Pak." Ucapnya dengan nada suara bergetar. Mobil pun melaju tepat bersamaan dengan air mata yang melaju di pipinya. Turun satu demi satu.

Menyaksikan langsung, bagaimana Alfi menciumnya, menyentuhnya. Menjijikan. Tatapannya yang datar, nada suaranya yang dingin. Bahkan ia terlihat tak merasa bersalah.

Afanin tersenyum nanar. Seperti ada yang meremas-remas dadanya, begitu nyeri. Seperti ada yang menghimpit paru-parunya, begitu sesak. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, ia tercekat. Seolah ada yang mendorong dari dalam, butir-butir bening tak henti berjatuhan dari mata indahnya. Afanin menutup wajahnya dan mulai terisak.

Kenapa sakit sekali?

Bayangan tadi terus menari-nari di otaknya. Mengejeknya.

Kau melihatnya kan?!
Dia akan selamanya begitu!
Dia tidak akan berubah!
Kau bodoh!
Kau bodoh percaya padanya!
Kau bodoh telah mengharapkannya!
Dia tidak pernah menghargaimu!
Baginya kau bukan apa-apa!
Kau hanya sisipan!
Ada tapi tak berarti.

Afanin menjerit dalam hati. Ia ingin menolak, membantah kata-kata setan dalam hatinya. Tapi, kenapa rasanya dia benar? Bukankah ia bilang akan berusaha? Tapi kenapa? Ia kecewa, sangat kecewa. Dan ia benci dengan perasaannya.

Kenapa kau harus merasa sesakit ini? Kenapa kau harus merasa marah?
Bukankah selama ini kamu tahu apa yang selalu dia lakukan? Bukankah selama ini kamu selalu menerima apapun yang dia lakukan?
Lalu kenapa? Kenapa..

"Cukup.." Afanin berkata lirih pada dirinya sendiri. Menutup mata dan telinga. Kemudian bertasbih, berdzikir. Tapi, ia tak bisa menghilangkan bayangan itu. Ia masih terisak. Untuk kesekian kalinya, ia harus tersakiti. Untuk kesekian kalinya, ia harus terluka.

Andai perasaan ini tidak ada, maka sakit ini, luka ini, tak 'kan pernah ada.

Saat itu yang terlintas di benaknya adalah Umi dan Abinya. Ia rindu menangis di pelukan Uminya. Ia rindu sentuhan lembut darinya. Ia rindu semua nasihatnya. Ia rindu pelukan Abinya yang menegarkannya.

Umi.. Abi..

Aku ingin pulang.
Bolehkah aku menyerah saja?

***

Tbc.

Alhamdulillah kelar! Maafkan aku kalau lama update nya, sudah saya bilang sebelumnya kalau saya gak bisa update cepet. Saya usahain seminggu sekali dan kalau sempat bisa dua kali dalam seminggu. Sabar ya~ saya gak bisa fulltime buat nulis dan saya harus nyari inspirasi. Wkwk.

Gimana bab ini? Vomment. Vomment. Makasih banyak yang udah mau baca cerita ini. :)

Wassalam.

P.s: tolong beritahu jika ada typo ya! Trims.

170416-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro