Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 - First Sight (B)

Afanin

"Assalamu'alaikum!" Aku beruluk salam saat sampai di depan rumah.

"Wa'alaikumsalam warahmatulloh ...." Itu suara Abi yang menjawab, rupanya ia sedang berada di luar mengurusi tanaman baru miliknya.

Aku mencium tangannya. "Siang begini masih saja mengurusi si geulis dan si kasep," cibirku. Si geulis dan si kasep adalah paggilan untuk tanaman baru yang Abi tanam. Nama itu di ambil dari basa Sunda karena Abi memang orang asli Sunda.

"Kamu cemburu saja. Mereka kan baru tumbuh, jadi harus benar-benar diperhatikan," ucapnya kemudian berjalan ke dalam rumah yang segera aku ikuti.

Aku mengerutkan kening tatkala mendengar suara ribut-ribut dari arah dapur. "Kok ramai sekali Bi? Umi di mana?"

"Bagaimana tidak, ibumu membawa pasukannya ke dapur. Jelas saja ramai. Dari tadi belum selesai selesai, kebanyakan cek-cok sih, pusing Abi mendengarnya. Makanya Abi memilih mengurus si geulis jeung si kasep."

Aku menahan tawa melihat rautnya yang sebal bukan kepalang. Sudah lama aku tak melihat ekspresi itu. Abi memang tak suka keramaian. Mengganggu katanya.

"Oh begitu rupanya. Memang ada apa Bi sampai berkumpul di sini?"

"Nanti malam kan ada pengajian bulanan, seperti biasa ibu-ibu sibuk memasak nasi uduk untuk dibagikan ke jemaah. Dan kali ini rumah kita dapat jatah."

Aku mengangguk paham. Benar juga, nanti malam ada pengajian bulanan. Biasanya jemaah diberi nasi uduk saat pengajian akan berakhir. Pembuatannya dibagi-bagi, dan bulan ini seperti yang Abi katakan. Rumah kami dapat jatah.

"Eh kamu sudah pulang Wa?" Umi tiba-tiba muncul dari arah dapur.

"Iya Mi, baru aja." Aku mencium tangannya.

"Kenapa telat? Dari mana dulu? Terus itu bawa apa?" Umi mulai menginterogasi.

Aku melirik jinjingan keresek yang aku bawa sedari tadi. "Oh ini .... Ini dari Mas Arham, Mi. Katanya untuk Hurwa dan keluarga," aku tersenyum mengingat pertemuan sebelumnya bersama Mas Arham. Laki-laki yang selama ini mengisi hatiku.

"Oh, jadi begitu ya sekarang kamu mulai nakal, pulang mengajar bukannya langsung pulang malah janjian sama Nak Arham," kulihat Umi tersenyum menggoda padaku. Aih Umi ....

"Astaghfirulloh Umi! Sama anak sendiri kok su'udzon begitu. Hurwa nggak janjian sama Mas Arham kok. Tadi Hurwa ke gazebo dekat kebun Pak Husain dulu. Pas mau pulang ketemu Mas Arham. Ia baru pulang dari Jakarta, katanya mau ke rumah tapi gak sengaja ketemu di sana lalu dia memberi ini yang katanya oleh-oleh dari Jakarta. Beneran deh Mi ...," aku menjelaskan semuanya dengan sedikit memelas. Takut Umi benar-benar mengira aku janjian dengannya. Umi terkekeh pelan.

"Ibumu hanya menggodamu, Hurwa. Seperti tidak tahu sifat ibumu saja," Abi menimpali yang dihadiahi cubitan dari Umi. Aihh.

"Kenapa memangnya dengan sifat Umi? Abi enggak suka? Ya sudah," Umi memasang wajah jutek sambil memalingkan wajahnya. Ckck.

Aku memandang Umi sambil menahan tawa. Drama akan dimulai. Lihat saja.

"Jangan ngambek dong Mi ... Abi kan bercanda," Abi berusaha merayu Umi. Ish, seperti ABG saja. Lupa udah punya anak.

Umi tetap tak bergeming. Lalu Abi merangkul tubuh Umi dari belakang dengan mesra. "Abi suka kok, Mi .... Semua sifat yang ada pada diri Umi, Abi sangat menyukainya. Aku mencintaimu dan segala yang ada pada dirimu," ucap Abi kemudian mengecup pipi Umi. Aku melihat pipi Umi memerah. Ya ampuun .... Bikin ngiri aja, ih!

"Ya Ilahi .... Lupa deh di depannya ada siapa," sindirku.

"Ah, sirik aja kamu Wa. Makanya cepet nikah. Kapan Nak Arham akan mengkhitbahmu, hm?"

Pertanyaan Umi sukses membuat wajahku serasa kebakaran. Panas. Mungkin sudah merah sekarang. Ada perasaan bahagia yang membuncah di dada. "Ia bilang ... secepatnya Mi," jawabku hampir seperti bisikan karena kini kepalaku menunduk, tak ingin membiarkan siapa pun melihat wajahku saat ini.

"Jangan terburu-buru. Santai saja, toh kamu masih muda," ucap Abi.

Aku kini mendongak dengan raut bingung. "Hurwa sudah 25 loh Bi, sudah matang. Memangnya Abi mau nanti terpampang di kening Hurwa 'Perawan Tua'," aku merenggut.

Abi sudah tak memeluk Umi. Ia mengalihkan pandangannya. Kulihat Umi tersenyum simpul. "Abimu itu tidak mau kehilangan kamu, makanya begitu."

Ah, aku mengerti sekarang. Masya Allah, Abi ....

Aku meraih tangannya. Menatapnya selembut mungkin. "Hurwa tidak akan meninggalkan siapa pun apalagi Umi sama Abi. Meskipun Abi menunda-nunda tetap saja nanti Hurwa akan menjadi tanggung jawab laki-laki yang akan menjadi imam Hurwa. Meski begitu, Abi tetap pria nomer satu di hati Hurwa. Cinta pertama Hurwa," ucapku tersenyum memandang Abi yang kini tengah menatapku penuh haru. Ia mengecup keningku. Hangat.

"Semoga engkau berbahagia selalu, Nak," ucapnya padaku. Aku mengaminkan do'anya.

"Ekhem ekhem. Umi cemburu tahu," Umi merenggut lucu lalu kami tertawa.

"Bu Hasna! Semuanya sudah siap!" Teriakan itu menghentikan tawa kami. Secara bersamaan kami menoleh ke sumber suara. Astagfirulloh! sampai lupa kalau di rumah ini sedang ada tamu. Lalu kami kembali terkekeh.

***

Malam itu pengajian berjalan sebagimana mestinya tanpa hambatan apa pun. Anak-anak berlarian saat pengajian telah berakhir. Semuanya pulang berbekal nasi uduk tentu saja berbekal Ilmu juga.

Aku bersama kedua sahabatku, Safa dan Marwah berjalan bersama dan sesekali bercanda ria. Aku tak bisa menahan senyum menyaksikan Marwah yang begitu asyik menggoda saudara kembarnya yang tengah dilanda asmara. Safa, ia masih saja klepek-klepek karena menyaksikan langsung Iqbal pujaan hatinya mengumandangkan adzan Isya dua jam yang lalu.

"Awas aja kalau nanti kamu jatuh cinta sama seseorang. Aku bakal ledekin kamu habis-habisan!" Safa mengancam sang adik yang masih saja menggoda kakaknya.

"Eh, Ukh Fanin tahu nggak? Kak Safa tuh kalau ketemu Akhi Iqbal pasti ceroboh. Kepeleset lah, kesandung lah, jatohin barang lah, nubruk tiang juga pernah," celoteh Marwah sambil terkikik.

"Oh ya? Kok bisa?" Sahutku antusias.

"Heh kamu jangan buka aib kakakmu dong! Gak sopan banget sih," gerutu Safa.

"Terus terus gimana lagi Wah?" tanyaku semangat. Aku selalu senang ngobrol bersama si kembar ini. Walau usia kami terpaut dua tahun tapi mereka teman yang asyik.

"Pernah nih ya Ukh. Kak Safa kan mau ngejemur pakaian. Dia bawa ember kan tuh. Tiba-tiba Iqbal dateng ngucap salam, Kak Safa kaget bukan main. Saking terkejutnya saat ia berbalik eh kakinya malah kesandung sama kaki yang satunya lagi, alhasil dia terjatuh dan jemuran yang dia bawa tumpah semua kena wajahnya. Hahaha konyol banget deh Ukh kalau lihat langsung." Marwah terbahak sambil memegangi perutnya yang sepertinya sakit. Aku juga mau tak mau tertawa membayangkan betapa konyolnya Safa.

Sementara yang jadi topik pembahasan malah mendumel tak jelas. Marwah menghela napas setelah tawanya berhenti. Lalu tersenyum, "Untung saja Iqbal orangnya baik, dia sama sekali nggak ngetawain Kak Safa, malahan ngebantuin Kak Safa berdiri," Marwah seperti sedang menerawang jauh.

Aku menatap kedua sahabatku. Aku melihat Marwah yang tampak sedang menyembunyikan sesuatu di matanya. Aku merasa ada yang janggal saat Marwah mengatakan kalimat tetakhirnya. Nada bicaranya berubah. Setidaknya itulah yang aku tangkap. Sementara Safa, ia sedang tersipu mengingat kejadian itu.

Perasaan janggal macam apa ini?

"Waah ada yang lagi kasmaran ternyata. Aku saranin kamu cepet nikah deh Saf," celetukku yang dihadiahi keterkejutan keduanya. Tapi jenis keterkejutan yang diperlihatkan keduanya berbeda.

Akhirnya aku mengerti. Walau mungkin saja instingku salah. Tapi perempuan itu peka terhadap rasa.

"Ih, Ukh Fanin apaan sih, yang ada Ukhti duluan tuh sama Mas Arham. Nanti keburu diembat wanita lain baru sedih," Safa menjulurkan lidahnya.

Aku hanya tersenyum. "Do'akan saja," ucapku yang langsung diamini keduanya.

"Eh eh lihat deh. Mereka siapa ya? Ya Kariim ganteng bangeeet!" Seru Marwah histeris.

Aku dan Safa penasaran siapa yang dilihat Marwah. Saat melihat ke depan, cukup jauh. Dua sosok pria sedang mengobrol di depan sebuah mobil mewah. Terlihat sangat akrab. Aku seperti mengenal salah satu dari mereka.

"Maasyaa Allah! Kece banget, Wah! Tunggu kayaknya aku kenal ...." Safa berpikir keras dan mencoba melihat lebih jelas dua pria tampan itu karena teralu gelap dan agak jauh.

Mereka memang tampan. Hati kecilku mengakui. Meskipun cukup jauh, tapi aku cukup jelas melihatnya.

Mataku berhenti pada sosok pria dengan kemeja putih gading, bawahya tidak ia masukan lalu bagian lenganya ia gulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Tubuhnnya tegap, bahunya yang lebar seolah mampu menyimpan beban yang begitu berat. Wajah tampannya yang terkena sinar rembulan membuat wajahnya seolah memancarkan cahaya. Sangat indah.

Apakah seperti ini wajah malaikat? Lalu aku segera beristigfar menyadari pikiranku yang melenceng itu.

Kemudian di saat pria itu tertawa bersama temannya, hatiku tiba-tiba berdebar. Ada perasaan janggal menggerayapi dadaku saat melihat tawa itu.

"Woyy kedip Ukh! Inget calon suami!" Seru Marwah heboh sendiri dan kembali menyadarkanku.

"Astagfirulloh. Kamu ini kalau ngomong suka ngasal ya. Ehm aku duluan ya Wah, Saf?"

"Oh iya Ukh silakan, kita masih betah di sini. Lumayan Ukh cuci mata hehehe." Safa cengengesan.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Lalu pergi setelah beruluk salam.

Di perjalanan aku masih mengingat wajah itu walau tak nampak jelas tapi ketampanannya masih terlihat jelas. Dan senyum itu .... Tunggu. Apa aku sedang terpesona? Astagfirulloh .... Aku segera menepis pikiran ngelanturku itu.

Saat sampai di depan gerbang rumah, aku melihat sebuah mobil mewah yang aku perkirakan harganya mencapai milyaran rupiah.

Siapa kira-kira yang bertamu malam-malam begini? Lalu aku melihat Abi keluar bersama seorang pria paruh baya yang aku kira sedikit lebih tua dari Abi. Melihat penampilannya aku yakin pasti ia orang kaya raya. Mobilnya saja Wah!

"Assalamu'alaikum," aku mencium tangan Abi. Kemudian dijawab oleh mereka. Pria paruh baya itu tersenyum ramah saat melihatku. Aku membalas senyumnya dengan sopan. Aku tak mengenalnya. Ini pertama kalin aku melihatnya jika aku tidak lupa.

"Masuklah, Hurwa," ucap Abi singkat dan terdengar begitu dingin.

Sejenak aku menatapnya. Raut wajahnya sangat tak enak dipandang, masam dan seperti banyak pikiran. Lalu aku pamit masuk, menepis segala pikiran burukku. Berharap tidak ada kejadian yang berarti. Langkahku terhenti ketika seseorang memanggilku.

"Nak Fanin," panggil pria paruh baya itu. Aku menoleh dengan raut tanya 'ada apa'.

"Sampai bertemu lagi," ucapnya mengulum senyum.

Aku mengerutkan kening dan mengangguk kaku. Bingung, maksudnya dia akan ke sini lagi? Lalu kenapa ia mengatakan hal itu padaku bukan pada Abi? Dan senyum itu entah kenapa membuatku tidak nyaman.

Aku pun segera masuk sambil berdo'a dalam hati. Semoga tak ada firasat buruk yang benar-benar terjadi.

***

Tbc

Assalamu'alaikum. Ketemu lagii hee. Semoga Bab ini tidak mengecewakan yaa. Vomment untuk terus lanjut cerita ini. Author butuh semangat nih :D

111215-

P.s: sangat berterima kasih jika ada yang mengoreksi tulisan saya. Beritahu saya jika masih ada typo ya trims 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro