Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 (B) - Menafikkan Keyakinan

Alfi melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, jemarinya meremas stir mobil dengan kuat. Pikirannya kembali pada percakapannya dengan Afanin tadi, dan saat ia menciumnya. Ia hanya ingin dia tak mengatakan apapun lagi. Tapi emosi menguasainya, hingga air mata yang ia rasakan menyadarkannya. Jika tidak, ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Semua kata-kata Afanin terus terngiang di kepalanya, ia kesal, marah, dan merasa kalah. Seperti biasa ia melampiaskannya pada minuman keras. Ia berniat menghubungi Ilham tapi ia ingat kalau mereka sedang bertengkar. Ia pun urung melakukannya.

"Hey Al, gue denger lo udah nikah. Sekali-kali lo ajak istri lo ke sini. Kita penasaran siapa cewek bodoh yang mau nikah sama lo," ucap seorang laki-laki yang dibenarkan oleh temannya yang lain sambil tertawa.

"Istri gue? Ke sini?" Alfi terbahak. "Kalau dia ke sini artinya dunia udah mau kiamat. Ngaco lu pada!" Alfi kembali tertawa sampai memegangi perutnya, teman-temannya saling pandang heran, bingung entah apa yang lucu.

"Hebat banget dia bisa tahan sama kelakuan lo," celoteh yang lain dan dalam hati kecil Alfi, ia membenarkannya.

Alfi kembali minum sampai benar-benar mabuk. Kesadarannya hilang sepenuhnya, bahkan malam itu, ia tidak tahu tidur dengan siapa.

Saat pagi kepalanya dilanda sakit yang mendalam. Ia melihat perempuan yang ditidurinya, pandangannya kabur. Setelah memakai pakaian dan menulis cek ia pergi. Ia bahkan tak tahu wajah wanita yang ditidurinya. Yah, ia tak perlu tahu.

Ia mengemudi mobil menuju apartemennya, tidur di sana sampai ia merasa lebih baik.

Ia pulang dua hari berikutnya dan keheranan saat melihat Afanin mondar-mandir dengan raut cemas. Sampai-sampai ia tak menyadari kedatangannya.

"Kau sedang apa?"

Afanin tersentak dan langsung menoleh padanya. "Mas! Alhamdulillah.. Akhirnya kamu pulang," ucapnya penuh kelegaan. Alfi yang tak mengerti hanya mengerutkan kening.

"Mas, ayo kita ke rumah sakit sekarang," ajaknya. Kekhawatiran jelas terlihat di matanya. Alfi bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tidak marah dari kejadian malam itu? Ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa.

"Untuk apa kita ke rumah sakit? Kamu sakit? Atau orang tuamu?" Alfi mencoba menepis semua spekulasinya.

Afanin menggeleng cepat. "Bukan Mas, tapi Ayah.. Kemarin ia drop dan dibawa ke RS, keadaannya buruk Mas.."

"Lalu kenapa kau masih di sini jika kau begitu khawatir padanya? Kau bisa diantar Pak Sobri kan?"

"Mas, aku tidak mungkin keluar tanpa seizinmu,"

Alfi menghela napas, lagi-lagi itu. "Kenapa tidak menghubungiku? Lagipula aku kan sudah bilang kalau kau tidak perlu izinku untuk keluar rumah."

"Tidak bisa Mas, bagiku kau tetap suamiku yang harus aku hormati. Taat padamu adalah kewajibanku. Dan lagi.. Aku tidak bisa menghubungimu, aku tidak tahu nomor ponselmu." Afanin menunduk.

Alfi mengusap wajahnya gusar. "Ya sudahlah. Kita pergi sekarang." Ucapnya kemudian berjalan terlebih dahulu.

***

Mereka tiba di Rumah Sakit, disana ada orang tua Afanin yang menjaga Rafka. Setelah kehadiran Afanin dan Alfi, mereka bercengkrama sedikit lalu pamit pulang.

Afanin mengobrol sedikit untuk menghangatkan suasana hati Ayah mertuanya. Sementara Alfi, ia mematung menatap Ayahnya dengan pandangan kosong. Ingatannya kembali pada percakapan dengan Afanin sebelumnya tentang takdir dan kematian.

Apakah Ayahnya juga akan mati? Lalu nanti dirinya? Pikir benaknya. Ia kemudian keluar ruangan tanpa mengatakan apapun.

Rafka harus dirawat di rumah sakit. Setiap hari Afanin mengunjunginya, menemaninya sampai sore. Alfi mulai bekerja di kantor sebagai General Manager atas perintah Rafka. Ia tak langsung memberinya jabatan tertinggi, dengan alasan ia ingin melihat kemampuan anaknya terlebih dahulu.

Setiap sore Afanin pulang dari rumah sakit dan menyiapkan makan malam untuknya dan Alfi, ia menjalani semua kewajibannya sebagai seorang istri. Menunggu Alfi pulang dan makan malam bersama, memijit badannya kalau suaminya terlihat kelelahan, menyiapkan air hangat dan semua kebutuhannya.

Setiap pagi ia bangun dan membuat sarapan. Menyiapkan pakaian dan memakaikan dasi karena pria itu tidak pernah bisa memakainya sendiri meskipun sudah ia ajarkan berkali-kali. Afanin sampai heran. Awalnya Alfi menolak namun akhirnya dia sendiri yang meminta Afanin yang memakaikannya. Afanin selalu mengantarnya sampai depan rumah dan mencium tangannya setiap pagi sebelum ia pergi, layaknya ada balasan kecupan di kening dari suami tapi itu tidak berlaku untuknya.

Baginya, bisa menjadi istri yang baik dan taat saja sudah cukup. Walau respon yang ia dapat tidak lebih dari wajah datar dan sikap acuhnya. Afanin bersyukur, Alfi mau bekerja di kantor karena dengan begitu ia mengurangi kegiatan malamnya. Dan sepertinya hubungan Alfi dengan Ayahnya semakin membaik.

Afanin mendapat kabar kalau Rafka kembali drop dan keadannya kritis. Dengan segera ia menghubungi Alfi. Setelah kejadian waktu itu Alfi menyimpan nomornya di ponsel Afanin.

Mereka berdua kini di ruangan Rafka, sementara orang tua Afanin menunggu di luar. Afanin menggenggam tangan Ayah mertuanya untuk memberinya kekuatan.

"Nak Fanin, Ayah sangat bersyukur atas semua kesediaanmu dan pengorbananmu. Tolong, jangan menyerah apapun keadaannya. Tetaplah bersamanya," ucap Rafka lirih dan lemah. Afanin mengangguk dengan menahan air mata.

"Al.." panggil Rafka, Alfi bergeming. Wajahnya tak beriak sama sekali. Bayangan saat Ibunya terbaring lemah kembali telintas. Memandangnya dengan tatapan yang sama.

"Ayah minta maaf.. Untuk semua yang terjadi. Ayah menyesal tidak memprioritaskan kalian waktu itu. Maafkan Ayah.. Ayah sungguh menyayangimu juga Ibumu. Itulah kenapa Ayah tidak pernah mencari wanita lain selain Ibumu." jelas Rafka pelan. "Kembalilah Al.."

Tidak ada kata yang keluar dari mulut Alfi, pandangannya begitu kosong. Hingga saat maut menjemput Ayahnya dan ketika Afanin membimbingnya mengucapkan dua kalimah syahadat yang ia lakukan hanya berdiri membisu.

Semua makhluk hidup akan mati. Tak ada yang abadi. Kematian adalah takdir.

Kalimat itu terus berputar di otaknya. Ia menyaksikan lagi bagaimana orang terdekatnya meninggalkannya. Ia keluar dan pergi sendiri seperti waktu itu namun kali ini ia tak menangis, bahkan raut kesedihan pun tak terlihat di wajahnya. Ia terus melajukan mobilnya entah kemana.

Ia pulang tiga hari berikutnya, saat pulang Afanin menanyainya banyak hal. Ia sangat mencemaskannya, namun balasannya? Tidak ada.

Di sepertiga malam Afanin sudah terbiasa bangun untuk qiyamul lail, ia tak mendapati Alfi di sampingnya, seingatnya ia sudah pulang kemarin.

Setelah selesai qiyamul lail dan bertilawah, ia mencari Alfi, kemudian ia melihat gorden bergerak tertiup angin menandakan pintu tak tertutup, pintu kaca yang menghubungkan kamar dengan balkon yang menghadap ke taman belakang rumahnya.

Ia berjalan mendekatinya, benar. Alfi ada di sana, berdiri membelakanginya, diam tanpa kata. Afanin menatap punggungnya, ia merasa pemandangan ini tak asing. Ia teringat sosok yang ia lihat waktu itu, pria di bawah cahaya rembulan di malam itu. Hanya saja ada yang berbeda, jika waktu itu ia melihat bahunya yang lebar dan kokoh, kuat seolah mampu menyimpan beban berat, yang ia lihat sekarang bahu lebar itu terlihat begitu rapuh, ia begitu kesepian, adakah yang mengerti dirinya? Hatinya meringis, bahkan ia sebagai istrinya mungkin tak pernah bisa mengerti. Apakah ia merasa kehilangan?

Afanin berdiri di samping Alfi lalu mengusap punggungnya. Alfi tersentak, saat menoleh ia terpaku karena senyuman yang Afanin berikan untuknya.

"Semuanya baik-baik saja," ucap Afanin begitu lirih. "Kapan Mas mau mengunjungi makam Ayah? Ayah pasti sedih karena anaknya belum memberinya hadiah perpisahan." Afanin mencoba mengajak ngobrol.

Alfi tak sedikitpun melepas pandangannya pada Afanin. Ia menatapnya begitu lekat, Afanin balas menatapnya mencari tahu apa yang tengah suaminya pikirkan.

Keheningan malam menyelimuti dua insan itu, angin yang mendesau pelan dan dingin sama sekali tak membuat keduanya menyerah untuk tetap berdiri di luar.

"Bagaimana aku bisa percaya pada apa yang tidak bisa kulihat? Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa Tuhan itu ada?" Alfi bertanya setelah lama terdiam.

Afanin masih terdiam, mata mereka masih tertaut satu sama lain. Lalu, tiba-tiba Afanin menampar Alfi dengan sangat keras.

Alfi begitu terkejut, menyentuh pipinya yang terasa panas dan sakit. Ia menatap Afanin dengan amarah yang tertahan dan raut tak mengerti.

"Apa maksudmu?!"

"Apakah rasanya sakit?" tanya Afanin tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Tentu saja!" Alfi benar-benar tak mengerti.

"Dimana rasa sakit itu? Aku tak bisa melihatnya. Bagaimana bisa aku percaya pada apa yang tidak bisa kulihat?"

"Tapi rasa sakit ini benar-benar ada!" Alfi geram.

"Dan Tuhan pun benar-benar ada," jawab Afanin membuat Alfi terdiam. Sepertinya ia baru mengerti.

"Sama halnya rasa sakit, tidak bisa dilihat namun hanya bisa dirasakan. Tapi rasa sakit itu nyata dan benar-benar ada. Seperti itulah Allah. Kita manusia yang diberikan keterbatasan tak bisa melihatnya dengan kasat mata, tapi Ia benar-benar ada, dan sesunguhnya Ia sangat dekat. Seperti rasa sakitmu yang hanya bisa kau rasakan, Ia pun." Afanin terdiam sebentar memberi ruang pada Alfi untuk menyerap setiap kalimatnya.

"Tidak ada yang mampu melihat Allah, kecuali ia mati." Ucap Afanin lagi. Alfi mencoba memahami semuanya.

"Bukti adaNya adalah alam semesta ini. Dia yang menciptakan langit dan bumi, makhluk hidup, dan semua yang ada di dunia ini. Yang memberi kita kehidupan, pun kematian. Pernahkah kamu memikirkan bagaimana dunia bisa tercipta? Bagaimana siang dan malam silih berganti dengan tepat waktu? Bagaimana manusia bisa tercipta begitu sempurna?" Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Afanin menjelaskannya dengan perlahan dan tatapannya begitu lembut.

"Kita istimewa karena diberi akal untuk berpikir. Bukankah jika dipikirkan semuanya terasa mustahil? Karena sampai kapanpun akal kita tak kan pernah mampu mencapainya. Karena kemampuan manusia itu terbatas."

"Aku tanya padamu, siapa yang kau sebut dan kau ingat saat pertama kali kau terkena bahaya, musibah, saat kau frustasi dan kacau?" Afanin menatap Alfi yang sedari tadi terdiam. "Kau pasti akan mengatakan 'Ya Tuhan!' tanpa kau sadari, sekalipun orang itu tidak beragama. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki keyakinan itu dalam hatinya. Hanya saja, mereka menafikkan keyakinan itu dengan logika. Seperti dirimu. Benar bukan? Karena dulu, kau juga pernah mempercayainya, memiliki keyakinan itu dalam hatimu. Kau masih menyimpannya kan? Ambillah, ambil lagi keyakinanmu yang dulu yang sempat kau kubur dalam-dalam."

Angin berhembus pelan, dingin yang menusuk seolah membekukan saraf dan otak laki-laki itu. Tak ada lagi perbincangan, hanya suara takbir yang bertalu-talu menyeru umat manusia untuk segera menyembah Sang Khalik, sebagai bentuk pengabdian seorang hamba.

***

Tbc

Alhamdulillah, selesai bab 14 ini.. Di tunggu kritik dan saran nya.. :)

P.s: tolong beritahu jika ada typo ya! Trims.

240216-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro