Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 (A) - Menafikkan Keyakinan

"Jika kamu bertanya mengapa aku sampai sejauh ini, aku akan menjawab. Aku sejauh ini karena aku terlanjur bahagia dalam kejauhan ini. Karenanya aku bisa menemukan siapa aku dan untuk apa aku di sini." -Panji Ramdana (melody dalam puisi)
*****

Afanin POV

Ia benar-benar membuktikan perkataannya. Bahwa ia hanya menganggap pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas, bahwa ia tak pernah menganggapku sebagai istrinya.

Setelah hari itu, keadaan masih sama. Hampir setiap malam ia pergi, pulang pagi, kadang juga tidak pulang. Pernah suatu malam, ia mengadakan party di rumah bersama teman-teman clubing nya. Membuat rumah seperti discotic. Berdansa dan mabuk. Aku dilarang keluar atau menunjukan diriku pada teman-temannya, karena mereka tidak tahu kalau ia sudah menikah.

Aku menurut, walau sebelumnya aku sudah menentang keras dan sempat bertengkar, berakhir dengan kemenangannya karena dia lebih berkuasa.

Hatiku tidak tenang kala itu, diam-diam aku melihatnya dari lantai atas. Aku menyaksikan sendiri bagaimana ia minum, tertawa, berdansa dan bersentuhan dengan wanita lain yang membuat hatiku berdenyut nyeri. Bagaimanapun aku masih manusia yang memiliki hati. Melihat suami sendiri bersenang-senang dengan wanita lain siapa yang tak sakit hati?

Hingga Mas Ilham datang dan mengacaukan semuanya. Untuk pertama kalinya aku melihat mereka bertengkar.

"Gue tahu lo berengsek, lo masih main wanita gue gak permasalahin, tapi ini? Lo keterlaluan Al! Lo udah nikah, seenggaknya lo hargain istri lo! Apa lo gak mikirin perasaannya? Setahu gue lo gak pernah nyakitin cewek meskipun lo kurang ajar. Apa lo gak punya perasaan sama sekali?"

Saat itu Mas Alfi menatap Mas Ilham dengan geram. Tangannya sudah mengepal. Aku penasaran apa yang akan ia katakan tapi, ia tak mengatakan apapun, hanya berlalu begitu saja. Meninggalkan semuanya. Mereka semua nampak terkejut dengan kenyataan Mas Alfi yang sudah menikah. Mas Ilham mengabaikan pertanyaan mereka lalu menyuruh semuanya untuk pulang.

Ia melihat keberadaanku, masih kuingat perkataannya waktu itu. "Dik, Mas tahu kamu kuat. Sekali-kali lawan dia, jangan terus kau turuti kemauannya. Atau kamu akan terus tersakiti."

Mas Ilham benar, mungkin sesekali aku harus mencobanya.

Aku menatapnya yang sedang mengganti pakaian, sepertinya ia akan pergi lagi malam ini.

"Mas, tidak bisakah kamu menghentikan kebiasaanmu itu?"

Ia yang sudah selesai pun menatapku lalu tersenyum sinis. "Bagaimana bisa? Sementara kamu saja tidak bisa memberiku kepuasan. Jadi apa salah jika aku mencarinya di luar rumah?" Ucapnya begitu menusukku.

"Aku bisa saja memberikan hakmu atas diriku. Permintaanku tidak sulit bukan? Aku hanya memintamu untuk sholat lalu mendo'akanku."

"Itu tidak mungkin dan tidak akan pernah kulakukan," jawabnya tegas dan dingin.

"Kenapa?"

"Kau sendiri sudah tahu jawabannya," ucapnya enggan.

"Apa yang membuatmu tidak mempercayai Tuhan?" Alfi menghentikan pergerakan tangannya yang sedang merapikan baju. "Kamu marah karena Tuhan mengambil nyawa Ibumu?"

"Ya," jawabnya hampir tanpa ekspresi. Kemudian ia menatapku dengan sungguh-sungguh. "Kalau Tuhan benar-benar ada, seharusnya Ia bisa menyelamatkan nyawa Ibuku. Kenapa Ia mengabaikan do'aku? Kenapa Ia diam saja saat aku membutuhkan pertolonganNya? Kemana Dia? Dulu aku percaya begitu saja apa yang dikatakan Ibuku. Saat itu aku terlalu bodoh dan naif."

"Justru sekarang kau terlalu bodoh dan naif," ucapku menatapnya tajam. Ia balas menatapku tak kalah tajam.

"Bagaimana bisa kamu menyalahkan Tuhan atas kematian Ibumu? Apa kamu tidak tahu bahwa semua manusia akan mati? Apa ada orang yang hidup ribuan tahun? Tidak ada. Manusia dan semua yang hidup akan binasa. Dunia ini fana, kematian adalah takdir. Ibumu, Ayahmu, aku dan kamu. Juga akan mati, kita hanya sedang menunggu giliran. Meskipun kamu berdo'a siang dan malam, kematian tetap akan datang. Karena ia tak bisa dielakkan. Apa kamu mengerti?" Aku terdiam sebentar. Menatapnya yang kini menatapku dengan emosi tertahan.

"Tidak." Jawabnya keras kepala. "Justru kau yang tidak mengerti. Semua orang bilang Tuhan akan mendengarkan do'a kita, aku selalu berdo'a untuk kesembuhan Ibuku. Aku melakukan semua yang di katakan Ibuku agar Tuhan mau mengabulkan do'aku. Tapi nyatanya? Ia tidak selamat. Dan Ayahku? Ia bahkan tak ada di saat aku sendirian menemani Ibuku berjuang melawan penyakitnya. Semuanya bohong! Semua yang mereka katakan hanya omong kosong! Tidak ada Tuhan di dunia ini! Takdir kau bilang? Heh. Lucu sekali. Mana Tuhan yang kau bilang? Kenapa aku harus percaya pada apa yang tidak bisa kulihat? Jika Tuhan yang kau maksud memang ada berarti Tuhanmu itu lemah! Dan tak berkuasa. Dia bahkan tak bisa menyelamatkan satu nyawa saja."

Darahku mendidih mendengar penuturannya. "Daun yang jatuh saja tak pernah menyalahkan angin, kenapa kamu menyalahkan Tuhan atas takdirmu?" ucapku penuh penekanan. Hawa ketegangan begitu terasa.

"Sampai sekarang tidak ada orang yang bisa menghindari kematian. Hidup dan matinya seseorang sudah diatur oleh-Nya. Itu adalah takdir Ibumu. Kau harus menerima semuanya. Kau bilang Ia lemah? Lalu dari mana kau mendapatkan daya? Kekuatan hingga kau bisa hidup sampai sekarang. Tak berkuasa? Jika Ia mau, Ia bisa saja mencabut nyawamu atau nyawaku sekarang juga, seperti mudahnya ia mencabut nyawa Ibumu,"

"Cukup," ucapnya pelan namun penuh penekanan.

Aku menggeleng tegas. "Tidak. Kamu harus tahu. Dunia dan semua yang ada tidak mungkin ada begitu saja. Jika Tuhan tidak ada, kamu pikir bagaimana bisa ada dunia? Ribuan galaxy dan planet serta miliaran bintang? Kamu pikir bagaimana bisa kamu tercipta? Bagaimana kamu bisa hidup? Apakah manusia mampu menciptakan organ-organ dalam tubuhmu lalu mengaturnya sedemikian rupa hingga semuanya bisa bekerja sesuai fungsinya? Tidak! Terbukti bukan jika kamu yang sekaranglah yang bodoh dan naif," ucapku tak gentar sama sekali.

"Hentikan." Kulihat ia menahan amarah, dadanya sudah naik turun namun aku tak peduli.

"Kamu menyalahkan Tuhan atas kematian Ibumu. Sedangkan kematian adalah takdir yang tidak bisa kita ubah. Kamu jelas tahu semuanya, kamu percaya jika semuanya akan mati, bahwa tak ada yang abadi. Jika bukan sekarang berarti nanti. Kamu, yang dulu juga pernah mempercayainya, hanya menyangkal semua yang dikatakan hatimu dengan logikamu. Kamu menepis semua keyakinan di hatimu dengan logikamu. Kamu hanya lari dari semuanya. Apa aku salah?"

"Aku bilang hentikan!"

"Tidak! Sebelum kau mengerti semuanya. Katakan jika aku salah! Bagian mana yang tidak kamu mengerti? Kamu hanya---"

Brukk!

Aku meringis saat punggungku membentur dinding tembok dengan keras, ia mendorongku dan yang kurasakan selanjutnya sentuhan di bibirku yang membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia menciumku dengan kasar dan penuh nafsu. Tanganya menahan kedua bahuku, mengunci semua pergerakanku sementara tanganku mencengkram lengannya dengan sangat kuat dan berusaha melawan namun sia-sia, ini bukan gairah tapi amarah.

Aku memejamkan mata menahan sakit, dadaku berdebar-debar karena rasa takut, tubuhku sudah gemetar hebat. Perasaan takut menyelimutiku lebih dari rasa sakit yang kurasa. Ia, seperti orang lain.

Ya Rahman..

Tak hentinya aku menyebut nama Allah dalam hatiku, dia melakukannya tanpa iba, menciumku dengan kasar, rasanya sakit sekali, bukan hanya ragaku yang sakit tapi juga hatiku, hatiku yang lebih sakit, hingga air mataku luluh. Aku merasa tak berdaya, aku sudah tak punya kekuatan untuk melawannya. Hanya air mata sebagai bentuk kelemahanku.

Baru setelah itu ia melepaskanku. Aku bisa mendengar napasnya yang memburu. Aku menahan tubuhku yang limbung ke dinding. Napasku tercekat, pandanganku juga samar, tapi aku masih bisa melihatnya berdiri memunggungiku. Lalu ia pergi tanpa menoleh lagi padaku ataupun mengatakan sepatah dua patah kata.

Tubuhku luruh ke lantai, kepalaku pening, dunia terasa berputar-putar dan setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

POV End

***

Tbc.

Assalamu'alaikum! Gimana buat bab ini? Hehe. Untuk bab ini aku bagi dua karena sepertinya akan terlalu panjang. Bagian B nya akan diupdate secepatnya. Terima kasih yang masih mau menunggu dan lanjut membaca cerita amburadul ini. Jangan lupa kasih bintang dan komentar nya, sangat membutuhkan kritik dan saran. Oh ya, saya minta maaf karena jadwal update yang tak menentu ini. Karena saya punya kesibukan sendiri di dunia nyata yang harus diprioritaskan. Jadi mohon pengertiannya. Semoga gak makin ngebosenin ya~ jangan ragu untuk memberi saran dan kritikan.

See you next part~!

P.s: tolong beritahu jika ada typo ya! Trims.

230216-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro