Bab 11 - The Wedding
"Akan ada pada saatnya, kita dipersatukan suatu hari nanti. Melihat lebih dalam tentang janji yang telah kuikrarkan. Kau tersenyum dengan secarik senyum yang baru kulihat. Adalah senyum terbaik di hari yang semoga tak akan pernah terulang kembali ini." -Panji Ramdana (melody dalam puisi)
*****
Alfi POV
Dua mingggu terasa begitu cepat, Ayah menggunakan jasa WO untuk pernikahanku. Pernikahanku? Terdengar aneh rasanya karena aku tidak begitu peduli dengan pernikahan itu. Aku tidak ikut andil dalam hal apapun. Seperti boneka yang menuruti titah tuannya. Sekarang pun begitu, sudah satu minggu aku di sini. Di kamarku. Dan pernikahanku tinggal dua hari lagi. Ayah tidak mengizinkanku keluar rumah. Aku sudah mencoba kabur beberapa kali tapi tidak berhasil. Di seluruh penjuru rumah ini dijaga oleh para bodyguard. Mereka berjaga selama 24 jam, dan yang mengesalkan adalah mereka sangat patuh. Walau aku menawari uang satu miliar pun mereka menolak.
Aku menatap kartu undangan pernikahanku dan membaca namanya. Afanin Huriyah Hurwaida. Sebenarnya wanita seperti apa dia? Kenapa ia mau saja menerimaku dengan syarat yang membuatku ingin tertawa konyol.
Seseorang membuka pintu, Ayah masuk diikuti pelayan prianya. Membawa sebuah kotak yang cukup besar menurutku. Lalu ia menaruhnya di atas ranjang.
"Itu pakaian untuk hari pernikahanmu dan juga mahar," ucapnya tanpa basa-basi seperti biasa.
Aku membukanya, dahiku mengernyit. Peci? "Apa aku harus memakai ini juga?"
"Tentu saja," jawabnya datar.
"Seperangkat alat sholat dan cincin emas? Kenapa sedikit sekali?" tanyaku keheranan.
"Dia yang bilang, tidak ingin menerima mahar yang terlalu mewah. Dia hanya meminta seperangkat alat sholat saja. Tapi Ayah menambahkan cincin emas sepertinya tidak masalah. Ibrahim juga sudah menyetujuinya." Penjelasan Ayah tidak terlalu kugubris. Terserah lah.
Ayah kemudian menghampiriku, menatapku dengan tatapan yang tidak biasa, maksudku tatapan yang belum pernah kulihat selama ini. Jujur, aku sedikit gugup entah untuk alasan apa.
Dia tiba-tiba menyentuh kepalaku dan mengusapnya. Menatapku sendu. "Maafkan Ayah," lirihnya dengan suara serak yang sudah bergetar. Aku membeku. "Semuanya salahku. Kau pantas membenciku, Ayah menyesal. Al, Ayah harap kau menjadi Alfi yang dulu lagi." Dia memegang pundakku.
Aku menepisnya lalu membelakanginya. "Alfi yang dulu sudah mati," kataku tegas menahan amarah. Ingatan itu kembali muncul. "Pergilah."
Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang. Aku hanya tidak suka saat ia mengungkit masa lalu. Setelah beberapa saat, terdengar langkah mereka menjauh dan kamarku kembali di kunci.
Aku memejamkan mata. Setiap dia mengungkit masa lalu, emosiku selalu naik. Aku sangat ingat bagaimana bunda harus berjuang sendiri melawan sakitnya, kemana dia di saat bunda kritis dan membutuhkannya? Kemana Tuhan di saat bunda dan aku memohon pertolonganNya? Tsk. Saat itu aku terlalu naif.
***
Besok adalah hari pernikahanku, dan yang aku lakukan hanya bermain PS. Ponselku disita dan semua cd blue film ku juga disita.
"Ck. Kau benar-benar tidak menginginkan pernikahan ini ya? Calon pengantin kok kayak begini." Ilham menyenggol lenganku. Ya, dia di kirim Ayah untuk menemaniku sampai besok berangkat. Dia cukup membuatku tidak kesepian.
"Jangan banyak bacot deh lu. Jaga gawang yang bener, liat tuh sekor!" Balasku tak mengalihkan perhatian pada game FIFA 2014 di layar televisi. Sekornya 3-0 Ilham memang selalu kalah. Entah dia memang tidak bisa bermain atau dia tidak serius.
Waktu habis dan aku pemenangnya. Aku merebahkan tubuhku. Terdiam. Entahlah, rasanya sedikit aneh. Tidak ada rasa gugup, takut, cemas, atau apalah itu.
"Ham katanya ijab qabulnya pake bahasa Arab. Ajarin gue. Lo bisa kan?" Aku bisa mendengar dia terkekeh. Hah whatever.
****
Kami tiba pukul sembilan pagi. Tidak banyak keluargaku yang ikut, hanya mereka yang tidak sibuk saja. Lagipula Ayah tidak memberitahukan pernikahan ini pada orang lain apalagi pada media. Terlebih lagi pernikahan ini diadakan se sederhana mungkin.
Kayak orang susah aja.
Ijab qobul dilaksanakan di mesjid tanpa mempelai wanita. Cih. Apa-apan ini? Yah sudahlah. Aku menurut saja. Ini adalah mesjid yang dulu di pakai pengajian bulanan, tempat pertama kali aku melihat wanita ungu muda itu. Tapi aku bahkan sudah lupa bagaimana wajahnya.
Di sana Pak Ibrahim calon mertuaku sudah duduk, lalu ada petugas KUA prosedural dan beberapa saksi dan warga yang ikut menyaksikan. Aku duduk di hadapan Pak Ibrahim. Acara dimulai, petugas KUA menyampaikan khutbah singkat dalam bahasa Arab yang tidak aku mengerti lalu ia mempersilakan Pak Ibrahim untuk memulai ijab qobul.
Pak Ibraim mengulurkan tangannya dan aku menjabatnya. Sungguh aku tidak benar-benar tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku seperti mati rasa.
Aku mengingat apa yang dikatakan Ilham semalam padaku tentang ijab qobul. Kalau Aqad ijab qobul tersebut harus dengan kalimat Nikah atau tazwij atau terjemahannya yaitu nikah atau kawin saja, maka tidak sah dengan memakai kalimat yang lain. Antara ijab dan qobul tidak diselingi oleh kata- kata yang tidak ada hubungannya dengan nikah. Antara ijab dan qobul tidak diselingi dengan diam yang sangat lama. Antara ijab dan qobul sesuai dengan arti dan maksudnya. Aqad ijab qobul harus dilafadzkan sekiranya terdengar oleh orang-orang yang berada disekitarnya yaitu tidak dengan cara berbisik-bisik.
Aku mengingat semuanya. Dan mengikuti semua arahannya. Pak Ibrahim memulainya.
"Ya Alfi Kamali Rafanda uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, Ya Alfi Kamali Rafanda bin Rafka Rafanda," suaranya terdengar gemetar.
"Na'am," jawabku.
"Ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka binti Afanin Huriyah Hurwaida bimahril al khatam bin dzahab wa alatil 'ibadah haalan."
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan." Jawabku mantap.
"Bagaimana saksi? Sah?" Tanya petugas KUA tadi. Lalu terdengarlah pernyataan sah dari semua pihak.
"Alhamdulillahirabiil 'aalamiin.." Semua serempak mengucap syukur. Aku menyalami tangan Ayah mertuaku. Kurasakan dia menepuk pundakku beberapa kali. Lalu dilantunkan do'a dan acara pun selesai.
Setelah itu aku digiring ke rumahnya. Pikiranku tak menentu. Entahlah. Aku ingin ini cepat berakhir.
Di sana sudah terisi banyak tamu undangan, seorang bibi kemudian menghampiriku.
"Subhanallah! Meni kasep pisan! Cocok lah sareng neng Fanin!" Serunya sumringah. Sepertinya dia adik Pak Ibrahim, buktinya dia bicara bahasa sunda. Aku hanya tersenyum.
Aku dibawa untuk mengganti pakaian. Tidak lagi memakai kemeja dan jas hitam, tapi pakaian pernikahan bercorak Islam berwarna putih dengan peci putih. Sempurna. Tidak berlebihan dan tidak murahan. Bajunya cukup enak di gunakan. Lalu aku menuju pelaminan. Aku masih belum melihatnya. Aku pun segera duduk sendirian.
Huh apa aku menikahi hantu?!
"Jangan galau gitu dong Al, bentar lagi bidadari lo muncul kok," Ilham berbisik di dekatku.
"Berisik lo, turun sana!" Usirku jengah. Aku pusing. Penat sekali rasanya. Tapi si Ilham malah cengengesan. Ngeselin emang.
"Eh itu Kak Fanin!" Seru Syifa. "Masya Allah!! Cantik banget!!" Serunya terkagum-kagum. Aku mengalihkan pandanganku untuk melihatnya.
Saat aku menoleh. Aku terpaku.
"Jangan jadi patung juga kali, Al." Kudengar gurauan Ilham sambil terkekeh. Ku pelototi dia hingga akhirnya dia turun.
Aku kembali memandangnya. Dia yang beberapa saat lalu aku pinang dan kini dia telah menjadi milikku seutuhnya. Pandanganku hanya pada satu titik. Bidadari itu. Dia, istriku. Wanita tercantik yang pernah kulihat. Abaya putih yang di kenakannya senada dengan milikku menghias tubuhnya begitu sempuna. Jilbab putih yang menutupi kepala menjuntai sampai ke dadanya, terlihat indah dengan bunga melati yang ikut menjuntai di tambah beberapa hiasan di atasnya, dandanannya tidak terlalu menor, justru menyatu indah dengan wajah cantiknya. Sempurna. Bahkan bidadari pun akan cemburu melihatnya.
Ia yang sedari tadi menunduk mengangkat wajahnya untuk menatapku. Ia tersenyum padaku. Begitu cantik dan indah. Matanya yang lembut itu selalu memancarkan kesejukan yang damai. Seketika penatku hilang.
Ia diantar oleh Ibu mertua menujuku, saat di hadapanku ia meraih tanganku dan menyalaminya dengan takdzim. Aku bisa mencium wangi bunga-bunga dari tubuhnya dan yang paling dominan adalah wangi bunga melati. Reaksi yang tubuhku keluarkan sangat tidak wajar. Hatiku menghangat dan ada desiran aneh di tubuhku. Kemudian ia duduk di sampingku.
"Ulurkan tanganmu," pintaku dan dia menurut. Aku baru sadar jika punggung tangannya dilukis. Cantik sekali. "Kalau tidak pas nanti beli saja lagi cincinnya," kataku dan dia hanya mengangguk pelan.
Aku memasukkan cincin itu ke jari manisnya dan ternyata ukurannya sangat pas. Tangannya semakin terlihat indah dengan cincin yang melingkar sempurna di jari manisnya.
"Kau tidak memakainya?" Tanyanya.
"Tidak perlu. Lagi pula itu adalah mahar untukmu," jawabku datar.
Ekspresinya di luar dugaanku. Dia terlihat kecewa, atau itu hanya perasaanku? Entahlah aku tak peduli.
Acara berjalan lancar. Aku mengikuti semua prosedurnya tapi pikiran dan hatiku sama sekali tak ikut andil. Setelah ijab qobul itu ada perasaan aneh yang tidak aku mengerti. Rasanya aku frustasi sekali.
"Kenapa Mas?" Tanyanya. Aku sedikit terkejut dengan panggilannya untukku.
Aku tersenyum padanya. "Tidak. Hari ini kau sangat cantik." Aku lihat pipinya merona dan tersenyum malu. Mungkin memang benar, pada dasarnya wanita itu suka dipuji. Aku menatapnya lekat, melihatnya sedekat ini dia memang sangat cantik. Aku berusaha mati-matian untuk menahan hasratku saat melihat wajahnya. Apa aku akan melakukan malam pertama dengannya? Dia memang istriku tapi aku tidak yakin. Ah tidak, itu adalah hak ku dan kewajibannya. Itu yang aku tahu dari si Ilham.
Ilham? Aku lihat dia sedang mengobrol entah bersama siapa. Bu Lastri ternyata datang bersama si cantik Syifa.
Tamu undangan mulai berbaris untuk memberi selamat.
"Aku gak nyangka kalau yang akan menikah dengan Kak Fanin itu Kak Alfi. Maaf ya Kak waktu itu." Syifa tersenyum canggung.
"Iya Fa, nggak papa," jawabnya tersenyum.
"Kak Fanin cantik banget deh. Kalo Syifa nikah, mau kaya Kak Fanin. Dandanannya islami banget! Kaya bidadari syurga. Kak Alfi apalagi.. Ugh! Jadi pengen nikah. Hehee." Syifa tertawa geli membuat aku dan dia mau tak mau ikut tersenyum.
"Hush, kamu ini sekolah aja belum lulus," tegur Bu Lastri. "Nanti kalau udah lulus mau langsung nikah juga gak papa," tambah Bu Lastri.
"Ih Mamah!" Syifa merenggut. Lalu kami tertawa lagi.
Bu Lastri meraih tangan kami dan menyatukannya dalam genggamannya menatap kami bergantian. Lalu memberi do'a selamat. Kami pun berterima kasih.
"Nak Alfi, kamu harus jadi suami yang bertanggung jawab. Jangan pernah sekalipun kamu menyakiti hati istrimu. Jika kamu khilaf dan hendak menyakitinya, ingatlah ibumu. Menyakitinya sama saja menyakiti hati ibumu." Ucapannya menghujam dadaku. Kenyataannya pernikahan ini hanya sebuah simbol. Aku tersenyum hambar. Perasaan itu..
Satu persatu saudara dan kerabat memberi selamat. Huh pegal sekali rasanya harus berdiri lama dan yang menyebalkan adalah aku harus terpaksa tersenyum pada para tamu. Pipiku pegal. Aku meliriknya, seperti tidak ada beban sama sekali. Senyumnya dan semua yang ia lakukan terlihat tulus. Aku heran kenapa dia mau menikah denganku. Sedangkan aku tidak pernah menjanjikan kebahagiaan untuknya.
Wajahnya tiba-tiba berubah, aku penasaran siapa yang ia lihat. Aku menoleh dan seorang pria berdiri di hadapanku menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Aku mengerutkan kening, aku mengenalnya. Dia Muhammad Arham, laki-laki yang menyukainya dan ia sukai.
POV end
Alfi menaikkan alisnya sebelah, bertanya apa maksud dari tatapannya itu. Tatapan yang jelas menunjukkan ketidaksukaan padanya.
Ia lalu beralih menatap Afanin. Tatapan ketidakrelaan dan rasa kasihan. Afanin tersenyum menenangkan padanya.
Arham mengusap wajahnya. "Ya Tuhan.." gumamnya. "Wa.."
"Aku akan baik-baik saja." Afanin meyakinkannya.
Arham menghela napas berat lalu menatap Alfi tepat di manik matanya, "Aku tidak akan tinggal diam jika kau menyakitinya," ucapnya tegas. Alfi menanggapinya dengan santai seperti biasa. Tidak merasa terusik sama sekali.
"Barakallohu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma bi khoir," Arham terdiam sejenak lalu tersenyum nanar. Afanin membalasnya dengan senyum tulus. "Berbahagialah.." Ucapnya kemudian ia pergi.
Safa dan Marwah juga hadir. Mereka yang paling heboh saat ini. Memuji-muji kecantikan dan ketampanan sang pengantin.
"Barakallohu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma bi khair." Ucap Safa dan Marwah. Lalu menyalami dan memeluk Afanin bersamaan.
"Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rohmah, serta bahagia sampai ke syurga," imbuh Marwah.
"Syukron katsiron ya Safa, Marwah. Aku menunggu kabar baik dari kalian."
"Iya Ukh, tenang bentar lagi Marwah nyusul!"
"Kak Safa!"
Mereka bertiga pun terkekeh.
"Ehm suaminya ganteng amat sih Ukh. Hehe. Mas Alfi yah?" Celoteh Safa. Alfi tersenyum. "Tolong jaga saudaraku, sayangi dan cintai dia. Semoga pernikahan kalian langgeng."
Mereka mengaminkan. Lalu Safa dan Marwah pun turun.
"Selamat ya Al, Dik Fanin.." Ilham adalah orang terakhir. Alfi duduk karena pegal. Jelas sekali raut suntuk di wajah Alfi.
"Dik.." Panggil Ilham pada Afanin. Ia tersenyum penuh arti. "Sejujurnya kamu adalah epal di puncak bukit yang sulit tuk di raih, hingga semua orang berlomba dan harus berjuang untuk mendapatkanya. Tapi Tuhan mengirim angin untuk menggugurkanmu dan menerbangkanmu hinggap padanya." Ilham melirik Alfi, "laki-laki berengsek yang beruntung."
Alfi mendelik padanya. Afanin hanya tersenyum.
"Kuatlah. Deritamu akan jadi bahagiamu, pengorbananmu akan jadi ibadahmu. Aku minta kau bertahan dalam situasi sesulit apapun. Dan ingatlah untuk berbahagia."
Afanin tersenyum dan berterima kasih. "Insya Allah. Do'akan kami selalu."
****
Tbc
Alhamdulillah! Akhirnya bisa update T_T *hikk maafkan atas update yang lama ini, beberapa hari kemarin keadaan author sedang tidak baik, dan banyak pikiran. Dan kedua cerita author menjadi korban. Alhamdulillah sekarang masalah udah kelar, tapi kesibukan dunia nyata menguras energi, setelah bertapa di gua sana sini mencari ilham akhirnya bisa selesai bab 11 ini. Sudah dibuat panjanng. Semoga tidak mengecewakan dan sangat berterimakasih yang sudah menunggu lanjutan cerita amburadul ini. Kedepannya akan saya usahakan update cepat. Di tunggu komentar tentang bab ini. See you next time~! Bintangnya jangan lupa ya ;)
P.s: tolong beritahu saya jika ada typo ya! Trims.
030216-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro