Bab 10 - Istikharah Cinta (Bagian B)
Melingkari kening dengan kemelut di kedalaman malam
Dengan jenuh kota memeluk ia yang tak pernah lelah bermalam
Pulanglah padanya yang tak mampu menyikapi keadaan
Pukul lah ia dan patahkan janji murah yang berterbangan
Jangan lagi kau simpan
Itu adalah sebaik-baiknya kenangan
Bukan tentang apa yang kamu rasakan saat ini
Melainkan tentang hikmah di balik semua ini
-Panji Ramdana (melodydalampuisi)
****
Afanin, gadis itu tengah mengadu pada Sang Khalik. Merayu pada Sang pemilik hati. Memohon petunjukNya. Berteman di keheningan malam, dipenuhi doa, meminta ditetapkan hati dalam pilihan. Pilihan terbaik dari yang terbaik.
Ku sebut nama-Mu dalam sujudku. Tertulis dalam sajadah cinta ini. Tetapkanlah hati ini untuk memilih. Pilihan yang Engkau ridhai. Tunjukanlah jalan-Mu padaku. Jalan yang harus kuambil menuju syurga-Mu.
***
"Wa.. Kamu yakin?" Hasna bertanya dengan raut cemas.
Afanin tersenyum menenangkan. "Iya Mi.. Insya Allah, petunjuk Allah adalah benar adanya."
Hasna tersenyum lembut, tapi tatapannya sulit diartikan. Ia merengkuh tubuh putrinya ke dalam pelukannya. "Semoga engkau bahagia dengan pilihanmu." Ucapnya lirih
Afanin mengaminkan walau dalam hati ia sendiri ragu untuk bahagia. Ia sangat tahu risiko yang dia ambil. Setiap pilihan ada risikonya dan apapun itu kita harus menghadapinya karena hidup adalah pilihan.
***
"Apa?!" Alfi hampir berteriak.
"Kenapa? Lihat dirimu. Seharusnya kamu malu karena kamu mendapat calon istri seperti dia." Rafka menghirup kopinya. "Pernikahan kalian dua minggu lagi. Ayah yang akan mengurus semuanya. Kamu tinggal mempersiapkan diri saja." Ucapnya kemudian bangkit meninggalkan Alfi yang frustasi.
Dua minggu? Gila! Bokap bener-bener gila! Arrgh! Sial!
**
"Al udah dong, gue gak mau ya bawa lo yang mabuk berat. Gue bakal ninggalin lo kalo lo sampe mabuk berat!" Ancaman Ilham sepertinya tak berhasil, karena Alfi masih meminum birnya, lagi dan lagi.
"Lo kenapa lagi sih? Bukannya sejak awal lo udah setuju buat nikah sama pilihan bokap lo?" Ilham hampir frustasi.
Alfi menaruh gelasnya yang sudah kosong. "Gue gak nyangka kalau bokap milihin cewek kaya dia buat gue. Dan gue gak ngerti kenapa tu cewek mau aja nerima gue padahal dia tahu sendiri gue cowok kayak apa. Dia bisa aja nolak dan semuanya beres, dia bisa hidup bahagia, gue juga. Kenapa dia milih cara rumit kaya gini?" Alfi kembali meneguk minumannya dengan kesal.
"Mungkin bakal lebih gampang kalau bokap nikahin gue sama cewek matre," lanjutnya.
Ilham menghela napas, "Al. Lo beruntung dapetin dia. Percaya deh sama gue," Ilham meyakinkan.
Alfi menyipitkan matanya yang sudah teler untuk menatap Ilham kemudian tertawa lirih. "Bullshit! Gak ada yang bisa di percaya di dunia ini."
Ilham terdiam. Tidak membantah tidak pula mengiyakan. Ia tahu sahabatnya masih menyimpan luka itu.
"Aww! Honey! Kau ada di sini juga?" seorang gadis cantik menghampiri Alfi.
Alfi menoleh, ia mengenalnya sebagai wanita bule yang terakhir kali ia tiduri. Ia tersenyum. "Oh hai, Marsha."
Wanita itu merenggut. "Marshila! Bukan Marsha! Berapa kali aku harus bilang? Huh," kesalnya.
Ilham terkekeh mengingat itu adalah nama tokoh dari film anak-anak yang populer akhir-akhir ini.
"Okay I am sorry sweety, namamu sangat sulit," Alfi meraih tangan Marsha dan menciumnya terus ke atas hingga ke leher. Wanita itu terkekeh geli.
"Okay okay. No problem. The important thing now is you have a promise to me last night, honey. I hope you didn't forget it."
Alfi menghentikan aksinya dan menyeringai seperti harimau kelaparan. "Of course I'm not. How about tonight? It will be very long night, sweety."
Setelah itu mereka pergi bersama. Alfi melupakan Ilham yang sedaritadi menemaninya. Ia hanya bisa menghela napas. Kemudian ponselnya berdering.
"Halo," jawab Ilham. "Ya, Om."
"Di bar. Maaf aku tak bisa mencegahnya. Baiklah Om." Lalu sambungan terputus dan Ilham pun pergi dari bar.
***
Tanggal pernikahan ditentukan oleh Rafka, ia bilang ia yang akan mengurus segalanya. Dua minggu lagi, ijab qabul dan resepsi akan diadakan di hari yang sama. Afanin tak berniat membantah.
Dalam kurun waktu kurang seminggu undangan sudah siap, tak heran dengan segala kekuasaan yang Rafka miliki, segalanya bisa lebih cepat di proses. Afanin menatap nama di undangan itu. Miris sekali, pada akhirnya ia akan menikah dengannya. Dengan seseorang yang sedang kehilangan arah.
Sanggupkah aku? Batinnya bertanya.
Allah, sertai aku dalam dakwah ini. Sesungguhnya aku ini lemah, dan Engkau yang menguatkan. Sesungguhnya aku melakukan semua ini karena-Mu. Genggam aku agar aku tak jatuh, lindungi aku, permudahkanlah urusanku.
Ia mengambil tiga buah undangan untuk dia serahkan secara pribadi. Untuk dua sahabat terdekatnya dan untuk cinta masa lalu nya.
***
"Ukh.. Ini, serius?" tanya Marwah tak percaya. "Lalu mas Arham?"
"Apa kamu pikir aku membuat undangan ini untuk bercanda? Aku serius, aku tidak bisa menceritakan detailnya, mungkin lain kali," Afanin tersenyum. "Dan dia, akan jadi seseorang di masa laluku."
Jeda sebentar lalu Marwah memeluk Afanin. "Kau sangat hebat, aku kagum padamu Ukh.." Kemudian ia terisak.
Afanin keheranan, ia melepaskan pelukan dan menatap sahabatnya yang sudah ia anggap saudaranya. "Kamu kenapa Wah? Kok nangis? Gak mungkin cuma gara-gara aku? Ada masalah?"
Marwah menunduk dan menggeleng lemah.
"Wah, kamu dan Safa itu sudah seperti saudaraku sendiri. Ayolah biasanya kamu selalu terbuka. Ada apa? Lalu di mana Safa? Tumben kalian gak bareng?"
Marwah masih menunduk lalu menatap Afanin dengan mata sendu dan basah. "Ukh.. Aku bingung.. Kak Safa sedang marah padaku."
Afanin terkejut, selama ini mereka selalu akur, bertengkar pun hanya karena masalah sepele dan itu hal biasa. Tapi kali ini? Marwah sampai menangis di hadapannya.
"Ada apa Wah?" tanya Afanin cemas.
Lama Marwah terdiam. "Iqbal.. Dia.." Marwah masih sesenggukan. Afanin sudah tak sabar. "Dia mengkhitbahku Ukh.."
Deg. Afanin terkejut. Iqbal yang disukai Safa mengkhitbah Marwah? Lalu bagaimana drngan Safa? "Lalu.. Apa jawabanmu?" tanya Afanin ragu.
Marwah menggeleng lemah. "Aku belum memberinya jawaban," lirihnya. "Semuanya membuatku bingung. Aku tidak tahu kalau Iqbal menyukaiku. Aku pikir dia datang untuk melamar Kakak. Tapi ternyata ia datang untuk melamarku. Kak Safa jelas terluka, ia kecewa padaku juga padanya. Ia pikir selama ini Iqbal menyukainya. Kemudian ia berpikir aku merahasiakan hubunganku dengan Iqbal. Ia pergi dari rumah. Sungguh, aku tidak memiliki hubungan istimewa dengannya. Aku tidak pernah berniat menyakiti hatinya."
Afanin menatapnya iba. "Lalu apa yang membuatmu belum memberinya jawaban?"
Marwah semakin menunduk. "Aku.. Aku menyukainya Ukh.. Aku sudah menyukainya sejak dulu, tapi aku tahu Kak Safa juga menyukainya. Aku senang saat tahu ia mengkhitbahku tapi di sisi lain aku merasakan luka untuk kakak ku, Kak Safa.. Aku tidak ingin menyakiti hati saudaraku sendiri.." Isakan itu kembali lolos darinya.
Kecurigaan Afanin waktu itu terbukti sudah. Kalau Marwah dan Safa menyukai Iqbal. Safa yang jujur mengakui perasaannya pada adiknya, dan Marwah ia harus memendam perasaannya karena tahu Kakaknya mencintai orang yang sama. Tapi pria itu menyukai Marwah, dan Safa harus menerima kenyataan pahit cinta tak berbalas. Namun Marwah, ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati kakak nya. Tapi, tidak dipungkiri kalau hatinya ingin memilikinya.
"Mungkin aku harus menolaknya Ukh.." Marwah tersenyum getir.
"Tidak Wah," sebuah suara menghentikan Afanin yang akan berbicara.
Keduanya menoleh. "Kak Safa?" Marwah begitu terkejut. Ia langsung menghambur pelukan kakaknya. Lalu terisak di sana.
"Kak.. Maafin Marwah. Demi Allah, aku tidak pernah berniat menyakiti hati kakak. Aku tidak ingin dibenci Kakak. Afwan.. Afwan jiddan Kak.. Aku tidak tahu kalau.."
"Wah.." Safa berkata lembut, melepas pelukan dan menatap adiknya dengan senyum tulus. "Maafin Kakak juga ya.. Kakak nggak marah kok, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan hatiku," Safa menghapus air mata adiknya.
"Aku.. Akan menolaknya Kak,"
"Tidak Wah. Jika kamu melakukannya demi Kakak, jangan lakukan. Kecuali jika kamu tidak mencintainya kamu boleh menolaknya. Dia laki-laki yang baik untukmu. Aku tidak ingin menghalangi kebahagiaan untuk adikku sendiri. Raih kebahagiaanmu Wah.." Safa tersenyum lirih begitu lembut.
"Tapi.."
"Aku baik-baik saja."
"Tapi itu berarti aku lah yang menghalangi kebahagiaan Kakak. Aku tidak mau-"
"Belum tentu aku akan bahagia dengannya. Karena dia hanya mencintaimu, bukan aku. Sungguh. Aku sudah mengikhlaskannya. Untukmu."
Seketika air mata menyeruak di mata Marwah. Ia kembali memeluk Safa dengan terisak. Safa mengelus punggung adiknya dengan sayang.
Afanin tersenyum melihatnya. Ia melihat Safa yang mengedip padanya membuatnya geleng-geleng kepala. Allah.. Sungguh indah ukhuwah ini jika didasari atas nama-Mu.
Kini ketiganya tengah duduk bersama tanpa aura tegang apalagi permusuhan. Marwah masih murung dan ragu untuk menerimanya.
"Wah.. Istikharahlah.. Berdo'a dengan sungguh-sungguh padaNya. Memohon petunjukNya. Insya Allah kamu akan mendapat jawaban yang terbaik untuk pilihan hatimu," Afanin menasehati dengan sabar.
Marwah kembali melihat Safa yang dibalas anggukan dan senyuman menenangkan darinya.
"Baiklah.." Jawab Marwah pada akhirnya. Semuanya nampak menghela napas lega.
"Duh jadi istikharah cinta nih ceritanya, kayak lagu Sigma. Ekhm." Safa berdehem lalu mulai bernyanyi salah satu nasyid favorite mereka "Istikharah cinta memanggilku memohon petunjuk-Mu.. Satu nama teman setia naluriku berkata.." Safa dengan centilnya terus bernyanyi dan membuat Marwah tergelak karena suara cemprengnya. Afanin pun ikut tertawa karenanya.
Kemudian Afanin terdiam, mungkin nanti ia akan jarang berkumpul dan tertawa seperti ini.
"Eh Ukh Fanin malah ngelamun!"
Afanin tersadarkan dan menatap Safa yang menegurnya. "Maaf.."
"Ada apa Ukhti menemui kami?" tanya Safa lagi.
"Oh iya ini.. Aku harap kamu juga bisa datang ya Saf.." Afanin menyerahkan undangan pernikahannya.
Safa terbelalak. "Ukh?" Safa menatap menuntut penjelasan. Dia tahu betul bagaimana Afanin dan Arham saling menyukai tapi ini..?
Afanin tersenyum, "Itulah kenyataannya. Aku akan menikah dengannya. Laki-laki yang baru ku kenal."
Safa terus menuntut penjelasan hingga Afanin menceritakan sebab ia menerima lamaran Alfi. Minus membicarakan kekurangan Alfi. Bagaimanapun ia adalah calon suaminya, tidak sepatutnya ia mengumbar aibnya.
"Subhanallah.. Selamat ya Ukh. Semoga ini pilihan yang tepat dan engkau pun berbahagia. Kita pasti datang!"
Afanin tersenyum, bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.
***
Afanin meneruskan perjalanan menuju rumah Arham. Setelah beruluk salam dan menyapa orang tua Arham, ia menunggu Arham di teras depan rumahnya.
"Assalamu'alaikum," suara berat itu menyapanya. Afanin berdiri dan menjawab salamnya.
"Duduklah," ucapnya yang segera dituruti oleh Afanin.
"Ada apa gerangan sampai kau menemuiku?" tanya Arham.
Afanin mencoba lebih rileks dengan tersenyum. "Aku hanya ingin memberikan ini, aku sangat berharap Mas bisa datang. Sebagai temanku," Afanin menyerahkan kartu undangan pernikahan dirinya.
Arham terdiam menatapnya lama. Afanin sudah cemas jika responnya tidak seperti yang ia harapkan. Tapi sungguh, ia ingin Arham hadir di saat pernikahannya nanti.
"Maaf jika aku menyakitimu.. Aku hanya.."
"Aku akan hadir," ucap Arham sambil tersenyum. "Bukankah memenuhi walimatul 'ursy itu hukumnya wajib? Terlebih aku ini temanmu. Aku pasti datang,"
Afanin tersenyum penuh kelegaan. "Alhamdulillah.. Terima kasih Mas.."
Arham tersenyum sebagai balasan. Mereka terdiam untuk beberapa saat.
"Hurwa.."
Afanin terdiam, dadanya masih bergemuruh saat ia memanggilnya seperti itu.
"Ya?"
"Berjanjilah padaku satu hal,"
"Apa?"
"Untuk selalu bahagia."
Afanin menunduk, rasa perih menggerayapi dadanya entah untuk alasan apa. Rasa bersalah dan ia tak yakin bisa berjanji untuk itu.
"Jika nanti kamu tidak bahagia, jika ia membuatmu terluka, jika ia membuatmu tersakiti dan membuatmu menangis. Berlarilah padaku. Ingatlah, bahwa aku akan selalu ada di sini."
Afanin mendongak dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Arham, menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu.
Afanin menatapnya syahdu. "Jika nanti yang kau temui bukan aku dan membuatmu bersedih. Ingatlah, seseorang pernah begitu bahagia dalam kikuk jumpa pertamanya denganmu, aku. Jika nanti tiada lagi yang kau tunggu karena seseorang yang bukan aku telah membuatmu utuh. Ingatlah telah kurelakan kita sebagai singgahmu yang tak dapat ku sanggah. Terimakasih sudah mengenalku di antara banyak kemungkinan yang baik untukmu." Ucap Afanin mengalir begitu saja.
"Terima kasih untuk segalanya Mas.. Maaf.." Afanin tak mampu lagi berkata, tenggorokannya tercekat menahan tangis.
"Aku.. Akan berusaha untuk bahagia."
***
Tbc
Assalamu'alaikum! :D huhuu Arham yang sabar, nanti aku cariin jodoh buat kamu XD #apalah sebenernya kasihan sama Arham tapii tapii ya sudahlah emang bukan jodoh nya wkwkwk.
Bagaimana Bab ini? Kasih komentarnya dong~ :)
Wassalam.
P.s: tolong beritahu saya jika ada typo ya! Trims.
200116-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro