Chapter 3
Keesokan harinya, Alice mendatangi bagian sekretariat universitas Pennsylvania untuk mengajukan izin tidak mengikuti perkuliahan selama dua minggu. Alice sengaja mengambil libur selama itu agar bisa memulihkan trauma pasca tantangan. Dia memberikan surat itu pada petugas sekretariat untuk diproses.
Baru saja dia duduk untuk menunggu, ponselnya berdering. Rupanya pemberitahuan dari universitas yang menyatakan bahwa surat izinnya diterima. Satu urusan telah selesai, sekarang dia pergi ke rumah Daniel untuk membeli perlengkapan mendaki. Rumahnya tidak terlalu jauh, berada di jalan ke 25. Tiba di sana, Daniel telah berada di halaman depan rumah.
“Alice, kau datang lebih cepat!” sambut Daniel.
“Tentu, aku harus memastikan barang yang kuminta tidak diambil orang lain,” balas Alice dengan kelakarnya.
“Barang-barang yang kau minta sudah aku siapkan. Masuklah!”
Daniel mengajak Alice ke samping garasi rumahnya. Ada banyak barang pendakian di sana, seperti tenda, kompor portable, kasur lipat, pacul, palu, pisau lipat, dan tali tambang. Alice memilih barang-barang itu untuk dibawa dalam tantangan. Setelah memilih, Alice menunjukkan semua barang yang diambil ke Daniel. Remaja pria itu terkejut.
“Wah, kau membeli banyak barang!” ujar Daniel, “Apa kau akan mendaki gunung akhir pekan ini?”
“I-iya, kau bisa katakan itu,” jawab Alice.
“Sejak kapan kau suka mendaki? Kau pernah bilang padaku kau tidak suka.”
“Eee..., sejak..., Aah, Brad! Iya, Brad dan komunitas mendaki mengajakku. Sesekali aku harus menikmati pemandangan.”
“Oouh, Brad! Pria menyebalkan itu!” Daniel menghitung harga barang-barang yang dibeli Alice. “Kau harus hati-hati dengannya, apalagi dengan sifat keegoisannya. Nyawaku hampir hilang jika dia tidak menjadi sweeper yang baik.”
“Oh, baiklah! Angel juga mengatakan hal itu padaku.” Alice berusaha menutupi kebenaran bahwa dia sedang mengikuti tantangan SSC, bukan mendaki gunung.
Setelah menghabiskan sekitar tiga ratus dolar di rumah Daniel, Alice kembali ke apartemen untuk membereskan perlengkapan untuk besok. Dia membawa perlengkapan mendaki itu sendiri dengan berjalan kaki. Beruntung sekali dia hanya membeli sedikit barang yang terdiri dari pisau lipat, kapak kecil, kasur lipat, korek, senter, dan lampu kemah.
“Semoga semua modal yang kuhabiskan dapat kembali lagi,” gumamnya dalam hati.
Alice membuka pintu apartemen dan mengangkat barang-barang ke ruang tengah untuk mengecek semuanya; makanan sudah, perlengkapan sudah, dan sepertinya semua telah selesai dikumpulkan. Alice membuka laptop untuk mencari Granny’s Motel. Lokasinya ternyata sangat jauh, dua jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat tanpa melalui jalan tol.
Kemudian, Alice mengecek rute angkutan umum. Ada satu minibus dengan nomor 082 yang memiliki rute dari halte apartemennya ke motel itu, dan tiba di halte apartemennya pada pukul tujuh lewat lima belas menit. Alice bernapas lega, dan membuka kembali video dari SSC. Seorang pria yang menjadi narasumber memberikan cerita pengalaman yang berbeda tentang tantangan Dead City yang diambilnya.
“Meski kami berjuang untuk bertahan hidup di kota mati, tapi semakin lama kami ada di sana, kami akan semakin penasaran dengan kota itu dan ingin menelusurinya. Kami menemukan banyak fakta, tapi sebagian dari kami harus menjadi tumbal bagi kota itu.”
Perkataan pria itu membuat Alice penasaran seperti apa bentuk kota mati yang akan menjadi tempat tantangannya. Dia juga membuat Alice teringat dengan teka-teki misterius di buku yang dia baca di perpustakaan kemarin.
“Adakah keterkaitan antara kota mati yang akan kukunjungi dengan teka-teki itu?” gumam Alice, “Semoga saja tidak ada, karena aku tidak ingin memecahkan apa pun.”
...
Alice bangun lebih pagi untuk mempersiapkan semua barang bawaan. Dia memasukkannya ke dalam tas kemah yang agak besar. Dirasa tidak ada barang yang tertinggal, dan dia sudah menyimpan semua barang berharga di tempat yang aman, Alice melangkah keluar dan mengunci pintu, lalu menyimpan kunci di tempat yang tidak pernah disangka orang sebelumnya.
Dia menarik napas yang dalam, petualangannya akan dimulai sebentar lagi. Alice berjalan ke halte bus yang ada di depan kompleks apartemennya dan duduk sembari menikmati udara yang segar di pagi hari. Dia membuka sebungkus roti untuk sarapan.
Alice memperhatikan jam, waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan. Belum ada tanda-tanda dari bus yang melintas. Beberapa taksi bahkan berhenti dan menawarkan tumpangan, tapi gadis itu selalu menolaknya meski bisa saja dia menggunakan transportasi tersebut untuk pergi ke motel.
Setelah menunggu lama, minibus dengan nomor 082 akhirnya tiba. Dia menaiki kendaraan itu dan mengatakan tujuannya ke Granny’s Motel. Kendaraan mulai bergerak mengantarkan Alice ke lokasi tujuan. Gadis itu memperhatikan bangunan Pennsylvania dengan perasaan khawatir tidak akan kembali ke sini lagi.
“Tidur dalam perjalanan ini rasanya akan nikmat. Dua jam adalah waktu yang lama,” gumamnya, sembari memejamkan mata.
Alice pun tertidur dalam perjalanan panjang menuju titik kumpul yang tertulis dalam surat elektronik. Perjalanannya sangat mulus hingga udara dingin memasuki mobil dan membuat Alice semakin nyaman. Kendaraan itu melewati tempat-tempat menarik, dengan pemandangan yang tidak akan dijumpai di Pennsylvania.
Dalam tidurnya yang nyenyak, Alice memimpikan sesuatu tentang kota yang akan didatanginya. Kehancuran di mana-mana, banyak orang yang lenyap, dan langit menjadi gelap. Lonceng gereja berbunyi, dan semua makhluk aneh bermunculan dari tiap sudut jalan. Semua makhluk itu mengepung Alice, dan ingin menerkam tubuh gadis itu. Gigi-gigi mereka menyeringai dan mata merah menyala menatap tajam, tapi....
Alice membuka matanya tiba-tiba. Tatapan kosong Alice lurus ke depan, seperti ada yang membunuhnya. Dia melirik ke jendela, seperti sedang berada di daerah yang minim penduduk. Banyak tanah yang kosong dan menyisakan rumah yang jaraknya saling berjauhan. Sepertinya Alice hampir tiba.
Alice mengambil sebotol air dari kantung tas, lalu meneguknya. Kerongkongannya terasa kering dalam perjalanan. Dia merasakan firasat yang buruk dengan tantangan dari SSC, seakan komunitas daring itu ‘menumbalkan’ manusia ke tempat-tempat berbahaya agar mereka tahu bagaimana berbahayanya di sana dan mengambil tindakan.
Setelah perjalanan yang dia sangka sebentar lagi, minibus itu berhenti di depan sebuah motel. Alice turun dan memeriksa papan namanya. Rupanya benar, dia sudah tiba di Granny’s Motel.
Alice berjalan menghampiri meja resepsionis motel untuk mencari informasi. Baru saja menginjakkan kaki di keset depan pintu, dua orang pria bertubuh tinggi dan besar berseragam hitam dengan sulaman bertuliskan SSC.
“Apa kau peserta SSC?”
Alice mengangguk agak ragu. Dia tak menyangka bahwa orang-orang dari SSC berpostur tubuh seperti militer.
“Ikut kami!” Tanpa menunggu jawaban, para pria itu berbalik badan.
Alice mengikuti langkah mereka. Dia melihat keadaan motel yang sepi seperti hotel berhantu. Para pria menuntun Alice ke meja resepsionis. Salah satu pria masuk ke ruangan dan mengambil sebuah kertas dan pena, lalu diberikan pada Alice. Kertas itu berisi surat pernyataan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Alice kurang mengerti dengan syarat-syarat itu, tapi dia menangkap empat syarat utama di surat itu; Pertama, peserta bersedia bertanggung jawab penuh atas segala konsekuensi yang terjadi selama tantangan, hidup dan mati. Kedua, peserta dan keluarga tidak akan menuntut apa pun bila ada kejadian buruk yang menimpanya. Ketiga, peserta bersedia mengikuti aturan yang ada. Keempat, jika peserta membatalkan keikutsertaannya setelah menandatangani surat pernyataan, maka dia akan bersedia membayar uang denda sebesar dua juta dolar.
Alice membacanya lagi untuk memahami setiap kalimatnya. Surat pernyataan ini terasa seperti surat kematian yang diberikan malaikat maut untuk ditandatangani. Lagipula, dia sudah siap secara fisik dan mental, serta mengabarkan semua orang bahwa dia ingin pergi mendaki. Jadi, Alice melakukannya itu tanpa ragu.
Setelah surat telah diurus, salah satu pria menuntun Alice ke kamar. Gadis itu merasakan firasat yang buruk lagi ketika melintasi teras motel yang sunyi senyap. Pria itu berhenti di kamar 004, dan membuka pintu. Alice masuk ke kamar yang cukup rapih dan minim dekorasi dinding. Dia meletakkan semua barang di lantai dan berbaring sejenak.
“Akhirnya, sebuah kasur yang nyaman!” ujar Alice senang.
Alice melepas lelah dari tubuhnya sehabis perjalanan panjang. Tulang-tulang di punggungnya terasa kaku setelah dua jam perjalanan dengan duduk di dalam kendaraan. Alice hampir memejamkan mata lagi. Saat sedang bersantai, ketukan pintu terdengar. Gadis berambut pirang itu merasa geram dan berjalan ke pintu.
Alice membuka pintu. “Iya, ada apa?!” Pandangannya terpaku ketika melihat sosok yang berdiri di depannya.
“Maaf jika aku mengganggu istirahatmu, tapi apa sekarang kau bisa menemui kami di balai utama motel?”
“Tunggu, bukankah kau....”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro