Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

   Pagi hari di Pennsylvania. Kota dengan segala kesibukan yang padat merayap. Semua orang berjalan tanpa memperhatikan satu sama lain, sibuk dengan gawainya. Fasilitas publik tidak pernah berhenti beraktivitas dengan banyaknya orang yang lalu lalang. Ditambah dengan kehadiran turis luar negara yang menambah kepadatan kota.

   Perpustakaan Umum Pennsylvania, salah satu bangunan publik yang menjadi tempat favorit para mahasiswa, selalu ramai oleh pengunjung dari mana saja. Dari tua hingga muda, dari pelajar hingga pekerja, semua berkumpul untuk melihat jendela dunia yang terhampar luas dan rapi pada rak mereka.

   “Kira-kira, buku apa yang harus kucari lagi di sini?” ucap seorang mahasiswa perempuan berambut pirang, “Aku sudah mengambil banyak buku. Sepertinya aku akan membaca semua ini lebih dulu.”

   Gadis itu berjalan ke meja dan meletakkan semua buku di atasnya dengan kesulitan. Dia duduk pada kursi kayu, lalu mengambil satu buku yang membahas tentang kimia.

   “Tunggu sebentar, ini bukan buku yang kucari! Bagaimana bisa dia terbawa bersama buku yang lain?” ujar gadis itu, “Aku akan mencari buku lain.”

   Setelah memberi tanda pada semua buku yang diambilnya, gadis itu kembali ke barisan rak untuk mencari buku tentang ilmu sosial. Satu lorong bertanda sama dengan tema yang dicari terlihat oleh kornea matanya. Baru saja berjalan ke dalamnya, dia ditabrak oleh seorang pria hingga jatuh ke lantai.

   Pria itu langsung pergi tanpa menolong gadis itu. Dia berdiri dengan pinggul agak sakit sembari melirik ke pria tanpa perasaan itu. Matanya justru menemukan sebuah buku tergeletak di lantai tak jauh dari tangan kirinya. Gadis itu memungut buku agak lusuh itu dan melihat judulnya.

   “Sepertinya ini berasal dari kelompok karya fiksi. Apakah pria itu yang meminjamnya?” pikir gadis itu.

   Dia membuka lembaran tiap lembaran buku yang tampak tua itu secara cepat. Sebagian besar kertasnya telah menguning termakan usia. Hati Gadis itu justru terpikat untuk membacanya lebih lanjut, mengingat dia juga pencinta karya fiksi seperti fantasi dan misteri.

   Gadis itu kembali ke meja dan langsung duduk. Buku usang mulai dibuka pada halaman pertama. Dia membaca judul, ‘Ghost Hill’. Halaman pertama membuatnya larut dalam cerita, menceritakan tentang kisah Ghost Hill yang dikenal sebagai kota terkutuk akibat ulah dari para pendirinya yang egois.

   Dia membuka lembaran kedua dan menemukan tujuh teka-teki misteri. Setiap teka-tekinya menggunakan padanan kata yang hampir kompleks, bahkan bisa membutuhkan berhari-hari untuk memecahkannya. Bagi gadis itu, tidak masalah jika harus menghabiskan waktu seharian hanya untuk memecahkan teka-teki itu.

   Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Dia mengeceknya, ada sebuah pesan

   Alice, di mana kau?

   Kami sudah ada di cafe Invisio. Angel tidak bisa lama-lama menunggu, dia sudah lapar.

   Gadis itu teringat akan janji dengan teman-temannya untuk berbincang di kafe. Dia membereskan semua buku yang tadinya ingin dibaca dan menumpuknya di atas meja. Kemudian, langkah kakinya meninggalkan perpustakaan. Kafe Invisio sebenarnya tidak terlalu jauh, cukup naik bis melewati halte di depan bank nasional.

   Setelah menaiki bis selama sepuluh menit, gadis itu tiba di halte Weitzman Plaza, salah satu fasilitas publik yang ada di Universitas Pennsylvania, tempat gadis ini menimba ilmu. Kafe Invisio memiliki ciri khas yang unik pada bangunannya, yaitu huruf V besar di depan bangunannya.

   Gadis itu memasuki kafe untuk mencari teman-temannya. Tak butuh waktu lama untuk menemukan mereka, karena suara-suara telah memanggil gadis itu untuk mendekat ke meja 6. Dia langsung menghampiri mereka.

   “Maaf aku telat. Aku habis dari perpustakaan,” ucap gadis itu.

   “Tidak apa-apa. Angel sudah lapar, jadi dia membeli makan duluan,” ucap salah satu temannya.

   “Sepertinya kau sering ke perpustakaan akhir-akhir ini. Apa kau sudah mulai menyusun skripsi?” tanya Angel.

   “Iya, dan aku akan segera lulus dari penjara dunia ini,” ucap gadis itu dengan santai.

   “Aku harus mencontoh semangatmu, Alice. Mungkin kau bisa membantuku nanti jika aku mengambil mata kuliah skripsi akhir semester ini,” sahut temannya yang lain.

   “Boleh, tapi kau harus terbiasa dengan tulisan yang panjang. Kau kan tidak suka membaca buku kuliah, Martha,” ledek Alice

   “Sembarangan kalau bicara!” balas Martha dengan suara yang agak naik. “Biar aku kayak preman kampus gini, aku suka membaca buku, apalagi buku dari dosen ilmu sosial kita yang banyak kalimat panjang. Angel pasti pusing membacanya.”

   “Hey, kau ini!” Angel menghentikan makannya. Hampir saja ucapan kotor keluar dari mulutnya.

   Alice tertawa mendengarnya. Dia mengecek ponselnya dan muncul notifikasi dari berita tentang komunitas. Ada beberapa berita yang menarik, salah satunya adalah tantangan bertahan hidup di tempat-tempat berhantu. Dia tidak menemukan siapa yang menyelenggarakan tantangan itu, tapi siapa pun bisa bergabung dengan tantangan itu.

   “Hey, apa kalian pernah mendengar tentang tantangan bertahan hidup di tempat-tempat berhantu?” tanya Alice.

   “Oohh.., aku tahu tantangan itu. Dia diadakan oleh komunitas di internet bernama Sole Survivor Club. Aku tidak tahu siapa mereka, tapi aku pernah mengakses laman yang pernah kutemukan tentang mereka,” jelas Angel.

   “Benarkah? Boleh aku melihat lamannya?” pinta Alice.

   “Nanti kukirimkan, setelah aku menghabiskan es krim stroberi ini.” Angel menyantap kudapan pencuci mulut di dalam mangkuk kecil itu.

   “Yang pernah kudengar, mereka memberikan hadiah yang cukup besar bagi siapa pun yang bisa menyelesaikan tantangannya,” timpa Martha.

   “Benarkah? Seberapa banyak hadiahnya?” tanya Alice yang penasaran.

   “Aku tidak terlalu ingat, dua juta dolar mungkin,” jawab Martha agak ragu.

   “Jika kau penasaran, kau bisa mengunjungi lamannya,” sahut Angel yang masih menyantap es krimnya.

   Alice memikirkan sesuatu yang tidak biasa. Membaca buku misteri di perpustakaan tadi membuatnya berminat untuk mengikuti tantangan yang diadakan oleh komunitas horor itu. Hadiah yang ditawarkan juga cukup besar, cukup untuk biaya hidupnya selama di Pennsylvania.

   “Namun..., kenapa kau penasaran dengan tantangan ini? Apa kau mau mengikutinya?” tanya Martha memecah bayang-bayang pikiran Alice.

   “Apa? Tidak. Aku hanya bertanya,” jawab Alice sembari membuang pandangan.

   “Pasti seru jika kau ikut. Kau ‘kan penyuka misteri. Tantangan ini pasti cocok dengan kegemaranmu,” sahut Angel lagi.

   “Tidak. Aku masih ada kuliah. Lagipula, orang bodoh mana yang ingin dua juta dolar tapi harus hidup di tempat para setan? Ini pasti hanya sayembara konyol yang dibuat oleh netizen iseng.”

   Martha dan Angel saling berpandangan. Wajah mereka tersenyum. Alice mulai merasakan awan aneh di matanya, hitam dan beracun, ketika melihat dua sahabatnya seperti meremehkannya.

   “Tapi..., bukannya kau pernah cerita bahwa kau membutuhkan uang untuk biaya hidupmu? Belum lagi untuk menyusun skripsi yang akan menghabiskan banyak uang,” tanya Martha dengan senyuman di wajahnya.

   “Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku sudah menemukan solusi untuk itu,” jawab Alice yang tidak mengakui.

   “Benarkah? Solusi seperti apa?” tanya Angel.

   Alice beranjak dari kursi kafe dan berbalik badan. “Itu rahasia!”

   “Hey, kau ingin pergi ke mana?!” ujar Martha.

   “Pulang. Ada yang ingin kukerjakan.”

...

   Setelah perbincangan dengan teman-temannya, Alice pulang ke apartemennya yang berada di jalan ke-27. Berjalan kaki sudah cukup untuk mencapai tempat itu. Ponsel di genggamannya berdering, berisi pesan dari Angel. Rupanya laman Sole Survivor Club yang sudah dikatakan oleh Angel tadi.

   “Apa aku harus mendaftar?” tanyanya dalam hati.

   Dalam keadaan melamun, Alice menabrak seseorang. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan posisi duduk. Dia memegang pinggulnya yang kembali sakit setelah insiden di perpustakaan. Alice menoleh ke orang yang ditabrak, orang itu sudah mengulurkan tangan padanya.

   “Apa kau baik-baik saja?” tanya orang itu, seorang pria muda yang tampak seusia Alice.

   Alice meraih uluran tangan pria itu dan berusaha berdiri. “Iya, terima kasih. Maaf sudah menabrak Anda tadi.”

   “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu bersikap sopan padaku. Aku masih muda.” Pria itu menaiki taksi yang berhenti di depannya.

   Taksi itu pergi, meninggalkan Alice yang masih berdiri. Pandangannya agak terpaku pada pria itu meski dia belum mengenalnya. Detak jantungnya berdebar agak cepat. Alice langsung menggelengkan kepala untuk menyadarkannya dari bayang-bayang aneh. Pikirannya tentang Sole Survivor Club kembali hinggap di kepalanya.

   “Apa aku harus mengambil risiko?”

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro