Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 8 - Hello again, Doc!

Setelah beristirahat penuh selama kurang lebih dua minggu dan setelah seluruh hasil observasi dokter baik, dia sudah bisa pulang dari MG. Arsyad, Mahen, Niko dan Hanif bahkan Brayuda sibuk dengan penyelidikan perihal pengeboman itu. Bapak besar alias Iwan Prayogo bahkan turun tangan sendiri karena mencium gelagat aneh organisasi bawah yang dia kuasai. Ayah mereka pun menjadi lebih resah sementara mereka semua menyimpan informasi ini dari mama.

Container-container yang mereka tandai berisi pakaian dalam impor, bukan senjata seperti yang diisukan. Itu yang membuat Arsyad makin geram karena si pelaku seolah ingin 'bercanda' dengan mereka. Menghinanya habis-habisan dan melukai keluarganya. Apa Mareno ikut serta dalam kesibukan itu? Jawabannya, tidak. Pikirannya malah dipenuhi dengan buruan barunya. Dokter Antania Tielman, anak tunggal dari Bapak Menteri Perdagangan menjabat, Bayu Tielman. 'Oh ini akan menarik sekali.'

"Hai Nik."

"Ya Ren, ada apa?"

"Masih sibuk?"

"Ya, sibuk mencari orang yang berusaha bunuh lo. Gue nggak akan heran kalau ternyata pelakunya salah satu dari wanita koleksi lo dulu, mungkin dendam pribadi." Niko terkekeh saja.

"Ya, memang nggak mudah melupakan gue," balas Reno sambil tertawa. "Gue mau minta tolong Nik. Gue pingin tahu soal Dokter Tania, Antania Tielman. Semuanya tentang dia."

Niko sudah menggelengkan kepalanya di sana. "Gila nih orang, kita sibuk cari pelaku lo malah flirting sama cewek? Sakit jiwa lo Ren. Kalau Arsyad tahu..."

"Ayolah Nik, biar lo nggak bosan."

"Minta tolong Mahen sana, gue nggak ikutan. Dia anak Bayu Tielman, gila dasar."

"Nik, come on. Help me please."

"You said what?" Tawa Niko sudah membahana saja.

Kali ini Reno tersenyum tipis, paham sekali dia hampir tidak pernah meminta tolong pada seseorang perihal ini. "Please, help me. Mahen nggak akan mau bantu."

Niko diam saja.

"Gue akan nego tambahan waktu cuti setelah semua ini selesai, dan bonus besar dari ADS."

"ADS punya Arsyad, bukan elo."

"Gue salah satu pemegang saham di sana, jangan lupa."

"Nggak semuanya soal uang Ren, serius. Apa yang Arsyad dan El Rafi kasih sudah sangat lebih dari cukup. Gue nggak butuh dari lo lagi."

"They can not give you time, cuti, berlibur, waktu untuk menikmati hidup sejenak. Setelah apapun urusan ini selesai. El Rafi karena terlalu posesif sama Nyonyanya, kakak gue karena control freak. Lo nggak pernah dapat libur yang layak, iya kan? Jadi gimana?"

Ada jeda yang panjang, lalu helaan nafas Niko. Dia harus mengakui Mareno makin mahir bernegosiasi. Paham benar apa sesungguhnya kebutuhan dirinya selama ini.

"Okey, tapi hanya untuk mencari tahu ya Ren. Informasi dasar dan umum saja."

"Satu lagi Nik..."

"I don't like this."

"Ayolah. Tolong pasangkan tracker device."

"No, dia perempuan dan anaknya Bayu Tielman, apa perlu gue ulang? Lo mau ngintipin dia apa gimana? Nggak mau gue."

Reno berdecak kesal, "Pasang TD yang paling basic, tanpa kamera dan suara. Pasang di mobilnya. Itu saja."

"Gue nggak janji. Udah dulu ya. Mr. Sableng."

Reno tertawa.

***

Sore ini mereka berjalan di taman luar rumah sakit. Danika mengenakan dress berwarna kuning pucat, rambutnya digerai saja. Sahabatnya itu melangkah sambil melompat ringan, seperti ketika mereka kecil dulu. Tapi perempuan yang dia sangat sayang itu masih asyik sendiri. Bersenandung sambil memetik bunga-bunga, tapi matanya tidak pernah menatapnya. Senyum itu bukan untuknya.

"Jadi, kamu ternyata senang bunga? Bunga jenis apa?" tanyanya sambil menatap Danika. Dia paham benar Danika tidak akan menjawabnya, tapi tidak pernah bisa berhenti berharap saja. Bahwa suatu waktu nanti sahabatnya itu akan membalas semua kata-katanya, bercerita, tersenyum, tertawa atau menangis untuk menghilangkan beban di hatinya, persis seperti dulu.

"Dulu, aku pikir bunga itu nggak cukup indah. Biasa saja. Tapi, dulu Sena merayuku dengan semua jenis bunga karena dia tidak tahu apa yang aku suka. Jadi itu membuat aku menyukai bunga." Dia diam sesaat, tidak kuasa mencegah ingatannya akan Sena berputar kembali.

"Sena kembali Nik, dia ingin kembali padaku." Langkahnya melambat, Danika masih berada di depannya dan berputar riang. "Aku tidak bisa dengannya. Karena aku sangat menyayangimu Nika, aku ingin menyembuhkanmu dulu. Ketika kamu sembuh, setelah itu aku akan menata segalanya untuk diriku sendiri." Dia memberi jeda. "Sembuhlah Danika, ingatlah aku."

Sekuat hati dia menahan air matanya lagi, sambil matanya yang tidak lepas mengawasi Danika yang masih menari. Tanpa mengetahui mereka juga sedang diawasi oleh sepasang mata.

***

"Selamat pagi. Apa saya sedang bicara dengan Dokter Tania?"

"Ya, pagi. Siapa ini?" Dia sudah berada di koridor rumah sakit dan sedang menuju ke ruangannya.

"Salah satu pasienmu, yang dengan kejam kamu pindahkan ke MG, Dok."

Dia menghela nafasnya. "Mareno Daud, manusia paling narsis yang pernah saya kenal."

"Wow, kamu kasar Dok."

"Apa maumu?" Geram Tania belum apa-apa sudah merasa kesal. Dia sudah tiba di ruangan dan sedang mengganti jas dokternya. "Saya benar-benar sibuk."

"Ya, praktekmu akan dimulai sepuluh menit lagi. Lalu makan siang, jadwal operasi dengan dua pasien, kemudian selesai. Tidak ada makan malam dengan siapapun, punya satu mantan pacar, hmmm...apalagi."

Langkahnya terhenti. "Stop. Dengarkan saya baik-baik, saya punya seluruh akses untuk menelusuri balik atau pengacara handal untuk menuntutmu karena pelanggaran hak pribadi. Tapi saya tidak mau buang-buang waktu berharga saya. Cukup, sudah cukup. Cari wanita lain untuk bermain-main."

"Dok, kenapa kamu pemarah sekali?"

"Saya sudah bilang bahwa saya sudah melihat ukuran penismu dan tidak tertarik, paham?" Dia mematikan ponselnya kasar.

"Wow...apa itu tadi? Ukuran penis siapa?" Dokter Sari salah satu koleganya masuk sambil tersenyum usil.

"Manusia menyebalkan yang entah kenapa tiba-tiba mengganggu. Seperti jamur kulit, menjijikkan. Tinea Cruris." Tania menyebutkan satu nama jenis penyakit jamur yang menular sambil ingin melangkah pergi.

Sari mengikutinya saja. "Kalau manusia aka.tinea cruris itu adalah laki-laki dengan tinggi 190 cm, dengan rahang sempurna, wajah sedikit timur tengah, belum lagi kulit coklat dan tubuh gym shape itu yang kamu maksud, dia ada di atas. Bikin heboh suster dan beberapa pengunjung satu lantai itu."

"What?"

"Iya, dia pasien kamu nomor satu hari ini Dok, selamat." Sari menggeleng geli melihat wajah Tania yang masih membelalak ngeri. "Tan, santai lah sedikit. Nggak perlu selalu tolak kesempatan yang ada kan? Yusa bahkan sudah coba berkali-kali dan kamu dingin banget." Sari masih berjalan di sebelahnya. "Kamu yakin nggak mau coba sama yang ini?"

"Buat kamu aja, aku nggak mau ketularan tinea cruris dari dia."

"Nggak sekalian herpes aja, tanggung kalau kurap doang mah. Atau AIDS?" Sari masih menggodanya.

"Semoga dia kena AIDS dan mati," sahut Tania galak.

Mereka sudah tiba di lantai tempat Tania praktek dan benar saja, laki-laki itu duduk di sana mengantri. Sendiri memang, tapi sudah ada kerumunan wanita di sekelilingnya. Beberapa pasien wanita dan juga, beberapa suster. Bahkan ada Dokter Dina yang entah kenapa tertawa kecil padanya.

'Apa-apaan ini?' Tania memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter. Menahan keinginannya sendiri untuk melempar ke luar laki-laki itu.

Dia masuk ke ruangan praktek dan sudah duduk di meja. Bagaimana bisa medical record Mareno Daud ada di tumpukan paling atas dokumen itu.

"Sus, ini nggak salah? Memangnya dia sakit apa?"

Suster Ani tersenyum melihat Dokter Tania yang kesal. "Tugas saya menyiapkan dokumen sesuai dengan list pendaftaran dari admin Dok. Juga membantu Dokter memeriksa pasien, tapi menganalisa penyakit..."

"Ya ya ya. Minta dia masuk."

Lalu suster Ani melangkah keluar." Pasien nomor 1, atas nama Tuan Mareno Daud."

"Hello again, Doc!" Senyum Mareno sudah terkembang saja.

"Silahkan duduk." Wajah Tania datar sekali. "Jadi apa keluhannya Pak?"

"Panggil saya Reno saja. Saya merasa sedikit kurang enak badan setelah kejadian itu. Dokter di MG tidak handal seperti di sini, jadi saya ke sini. Apa Dokter bisa memeriksa saya?"

"Saya yakin anda sehat Pak. Jadi saya hanya akan memberikan vitamin saja."

"Bekas luka saya belum di operasi, saya mau operasi di sini."

"Saya akan arahkan pada Dokter bedah estetika."

"Terkadang saya merasa sedikit sesak, seperti heart burn."

"Saya akan rujuk pada Dokter jantung."

"Kuping saya juga sering berdenging karena..."

"Dokter Andi adalah spesialis THT yang paling bagus di sini."

"Tapi ini akibat dari ledakkan itu. Tolong periksa saya Dok."

Mata Tania menatap galak pada pasien dihadapannya ini, sadar benar jika kesabarannya sebentar lagi tidak bersisa. Sementara yang ditatap masih tersenyum manis saja, memuakkan.

"Suster Ani, tolong ambilkan saya jarum suntik dan juga dosis vitamin ini." Tania menuliskan resep di secarik kertas.

"Wow, saya suka disuntik."

'Manusia brengsek.'

Suster Ani berlalu saja. Ketika pintu tertutup, Tania sudah berdiri. "Saya bisa mengusir kamu dengan tidak hormat Pak, tolong pergi baik-baik."

"Dok, jangan selalu marah. Saya ke sini sebagai pasien yang ingin diperiksa." Reno juga sudah berdiri, berusaha bersabar pada wanita ini.

"Kamu bukan pasien saya." Mereka sudah berdiri berhadapan, berjarak dua langkah saja.

"Jadikan saya pasienmu kalau begitu."

"Saya akan beri rujukan pada..."

"Saya tidak mau Dokter lainnya, saya mau kamu." Mareno mulai bisa membaui wangi favoritnya, wangi yang mulai menjadi obsesinya.

"Kamu mau tidur dengan saya, itu maksudnya?"

"Itu asumsi Dok. Kenapa kamu terus menghina saya?"

"Karena kamu mengganggu saya. Pergi saja, apa salah saya hingga saya diganggu seperti ini?"

"Saya? Mengganggu?"

"Ya, sangat."

Mareno menghirup nafasnya perlahan. Dia bukan orang yang terbiasa untuk bersabar, dia juga sudah lama tidak berburu dan menerima penolakan. Ya, terakhir dia berburu dengan gadis polos itu, sang gadis langsung menerimanya begitu saja. Tanpa perlawanan. Dia pun tidak berbuat jahat, dia selalu memberi kesenangan pada semua wanita. Tapi dokter wanita dihadapannya ini luar biasa keras kepala. Kenapa juga dia jadi terobsesi dengan harum tubuhnya? Karena jika dia mau, dia bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik atau pintar daripada wanita ini. 'Sialan.'

"Saya hanya minta diperiksa Dok, sebagai pasien, tidak lebih."

"Oke, naik ke tempat tidur sekarang. Saya akan periksa kemudian kamu pulang dan jangan ganggu saya lagi. Tolong, jangan ganggu saya lagi."

"Wow, kamu mengajak saya naik ke tempat tidur? Dengan senang hati Dok." Senyum Mareno terkembang saja.

Tania makin kesal diledek begitu. Tapi dia memutuskan akan memeriksa si gila ini dengan cepat dan menyelesaikan segalanya. Jadi tubuhnya sudah berdiri di sebelah tempat tidur pasien dengan Mareno di atasnya. Tangannya mulai memeriksa kondisi luka bakar Reno.

"Dok, kenapa kamu kursus menembak? Siapa yang ingin kamu tembak?"

"Hentikan pencarian kamu itu, saya bisa tuntut kamu."

"Apa kamu juga praktek di rumah sakit lain?" Matanya memuaskan memandangi wajah wanita yang sedang serius sekali memeriksanya. Hidungnya puas membaui wangi yang sudah menjadi adiksi sendiri baginya.

"Apa perfume yang kamu gunakan Dok? Wangimu luar biasa." Tangan Mareno menangkap lengan Tania lalu mendekatkan pada hidungnya.

'God, wangi ini.' Dia tidak bosan menghirupnya.

"Dimana kamu bersekolah dulu Dok?"

Tangannya sudah dia tarik kasar. Suster Ani sudah masuk saja kemudian Reno bangkit dan berdiri.

"Dok, ini?" Suster Ani menyodorkan apa yang diminta olehnya tadi.

"Terimakasih Sus, tapi tidak perlu. Pasien baik-baik saja dan sudah ingin pergi."

Mareno tersenyum lagi. "Saya akan kembali, Dok. Pemeriksaan lanjutan."

Tania memilih untuk diam saja, menatap pasien yang gila ini dihadapannya. Kemudian Mareno berlalu, pergi.

Dia pikir semua gangguan itu sudah berakhir, tapi dia salah. Saat dia tiba di apartemennya, sudah ada buket bunga yang memenuhi area depan pintu apartemen. Kepalanya menggeleng kesal, dan marah. Tapi tetap membereskan semua buket bunga itu masuk ke dalam apartemen. Besok dia akan membuangnya.

Satu tangannya sudah mengangkat ponsel. "Lea, saya butuh bantuanmu."

"Ya Dok. Ada apa?"

"Mareno Daud, saya ingin tahu tentang dia."

"Kenapa dengan si Don Juan itu?"

"Dia tahu sedikit tentang saya dan saya tidak suka. Dia tahu soal kelas menembak, dia tahu rumah sakit Danika. Saya tidak tahu seberapa jauh informasi yang dia dapat tentang saya. Kamu paham benar, Arsyad bukan orang sembarangan. Mareno adalah adiknya, mungkin dia menggunakan aksesnya untuk mencari tahu saya."

"Apa rencanamu Dok."

"Tutupi rekam jejak saya, dari siapapun. Bukan hanya dia. Kapan terakhir mobil saya diperiksa?"

"Empat bulan lalu."

"Oke, tolong urus pembelian mobil baru."

"Apa perlu sejauh itu?"

"Kita berurusan dengan Daud, Lea. Mereka memiliki teknologi terbaru dan tercanggih di negara ini. Adiknya Mahendra bahkan sedang mengembangkan chip pintar yang bahkan Ayah saya tidak mengira alat seperti itu bisa diciptakan di Indonesia. Dugaan saya dia memasang orang untuk mengikuti saya, atau dia memasang perangkat pada kendaraan saya. Karena itu dia tahu kemana saya pergi, saya tidak suka."

"Masuk akal. Baik Dok. Saya akan urus sesegera mungkin." Lea berhenti sejenak. "Tapi bagaimana jika itu tidak menghentikan usahanya?"

"Saya akan pikirkan nanti. Oh sialan, ini membuang waktu saya." Geram Tania kesal dan marah. "Sudah ada kabar dari Dokter Inggit?"

"Ada lukisan baru, tangan laki-laki. Saya akan email malam setelah saya cek."

Tania menghela nafasnya. Kapan Danika akan menggabungkan semua lukisannya itu? Karena potongan-potongan lukisan itu masih tidak jelas dan tidak bisa disatukan. Dia dan Lea sudah berusaha, tapi masih tidak bisa menemukan gambarannya. Sementara pencarian rekam jejak Danika juga buntu. Ada seseorang yang menyembunyikannya.

"Dok? Are you okey?"

"Terimakasih Lea, saya istirahat dulu." Hubungan disudahi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro