Part 7 - Hi, Doc!
Dia baru saja menyelesaikan salah satu operasi dan berjalan di koridor rumah sakit ketika Dokter Risa berlari menuju ke arahnya.
"Dok, ada korban ledakan bom masuk IGD. Dokter Irwan tidak bisa dihubungi. Tolong Dok, kami butuh bantuan."
Kakinya mulai berlari. Dia tiba di IGD dalam beberapa menit saja. Lalu dia mendekati pasien dan langsung terdiam sejenak.
'Mareno Daud? Ledakan bom? Apa yang terjadi?'
Kepalanya menoleh ke seorang laki-laki yang memiliki luka panjang di wajahnya, Arsyad Daud. Dia tahu tetapi tidak kenal. "Apa yang terjadi?"
"Ledakan bom C4 lalu dia terlempar ke laut. Selamatkan dia bagaimanapun caranya, jangan banyak bertanya." Arsyad menatapnya tajam.
Dia memutuskan untuk menolong dulu dan bertanya nanti. "Apa statusnya?" Dia bertanya pada dokter jaga.
"Respiratory rate 28-32/menit, SpO2 96% dengan oksigen nasal 2 lpm. Nadi 110-130, tekanan darah 140/100."
Matanya mengamati kondisi tubuh Mareno. "Luka bakar tingkat dua. Pasang CVC dan resusitasi cairan Baxter," ujar Tania. "Hubungi Dokter Irwan, darurat."
Sisanya, dia dan tim dokter lainnya berusaha sebisanya untuk menolong pasien itu.
***
Keesokan sore Mareno masih berada di ruang ICU untuk pemantauan kondisinya. Laki-laki itu sudah sadar dan langsung tersenyum lebar ketika tahu dia adalah dokter yang bertanggung jawab atas dirinya. Laki-laki aneh dan menyebalkan. Sejak kemarin dia juga mencari berita tentang ledakan bom apapun yang dekat dengan lokasi rumah sakit tempat dia bekerja. Namun hasilnya nihil.
Arsyad Daud mengetuk pintu ruangannya ketika dia sudah berdiri dan bersiap melakukan kunjungan. Laki-laki bertubuh tinggi besar dan beraura gelap itu menutup pintu ruangannya.
"Sore Dok."
"Sore. Ada apa? Saya ingin melakukan kunjungan pasien, kita bicara sambil berjalan."
"No, di sini saja." Arsyad malah mengunci pintunya. "Saya minta Mareno dipindahkan, transfer ke MG Hospital sekarang. Saya sudah bicara pada Dokter Irwan atasanmu dan dia tetap meminta saya berbicara dengan Dokter yang menangani adik saya."
"No, kondisi pasien belum stabil. Tes dan observasi belum selesai dilakukan." Dia menatap Arsyad berani. Ingin memberi tahu laki-laki dihadapannya ini tidak ada satu orang pun yang bisa mengintimidasinya.
"Saya tidak minta ijin Dok, transfer adik saya sekarang."
"Atau apa?"
Arsyad diam saja menatap Tania tajam.
"Mari kita tidak saling mengganggu tugas masing-masing. Kamu dengan seluruh misi rahasiamu dan keluargamu, saya tidak perduli. Dan saya bertugas sebagai Dokter."
"Darimana kamu tahu kita sedang menjalankan misi rahasia?"
"Saya bukan orang bodoh. Arsyad Muhammad Daud, pemilik dan pendiri Ares Defense Services, mantan tentara bayaran yang pernah berperang di Afghanistan. Saya nggak paham kamu berperang di sana buat siapa? Atau mungkin kamu saja yang suka aura perang itu."
Arsyad menarik nafas panjang, kelihatan dia sedang berusaha mengendalikan emosinya. "Mungkin cara saya memulai salah. Akan jauh lebih mudah untuk saya memonitor kondisi adik saya jika dia berada di MG. Lokasi rumah sakit itu juga lebih dekat."
Tania menghela nafasnya juga. Wajah Arsyad sudah lebih melunak. Dugaannya laki-laki ini marah pada siapapun yang berusaha menyakiti adiknya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa ada bom yang meledak dan beritanya tidak ada dimanapun?"
"Dok, saya ingin sekali berbagi informasi tapi saya tidak bisa. Saya cuma bisa bilang ada seseorang di luar sana yang membenci kami."
"Itu informasi yang umum sekali."
"Semakin banyak tahu, semakin berbahaya. Saya tidak mau membahayakan orang lain. Setujui transfer ini untuk kebaikan bersama."
'Masuk akal. Keluarga Daud memang masuk pada lima keluarga besar terkaya dan paling berkuasa di negeri ini. Wajar saja jika mereka memiliki banyak musuh,' pikir Tania dalam hati.
"Oke, tapi tidak hari ini. Saya harus memastikan kondisi pasien dulu."
"Mareno baik-baik saja terakhir saya cek. Tidak ada sisa debris logam dari ledakan, tidak ada fraktur dan kelainan apapun."
"Hasil pemeriksaan menyeluruh belum semua keluar. Masih ada kemungkinan cedera abdominal atau kemungkinan mild traumatic brain injury yang kita belum tahu."
"Dok, saya tahu adik saya."
"...dan saya tahu apa yang saya lakukan. Apa kamu pikir saya menahan adik kamu karena saya suka? Bilang padanya senyumnya tidak akan melumpuhkan saya."
"Mungkin kamu bisa bilang sendiri padanya, dia pasienmu kan?" Arsyad yang kesal sudah berbalik ingin pergi. Sia-sia berdebat dengan dokter ini.
"Arsyad..."
Laki-laki itu menoleh saja.
"Saya akan pindahkan besok, setelah selesai pengecekan hari ini. Is it oke?"
"Harusnya kamu bilang dari tadi jadi kita tidak perlu buang waktu begini." Arsyad memberi jeda, setengah tubuhnya sudah berbalik saja. "Saya yang akan tentukan jam berapa Reno ke luar dari sini besok. Urus saja dokumentasinya, saya yang akan urus semua transportasi pemindahannya."
"Tidak bi..."
"Sudah cukup kamu membantah dan membuang waktu saya. Itu bukan permintaan." Arsyad sudah berlalu pergi.
***
Perilaku Arsyad benar-benar menyebalkan, dia masih kesal sekali ketika berjalan di antara koridor rumah sakit bersama seorang suster yang menemaninya. Dia sudah memutuskan dia akan mengecek Mareno terlebih dahulu.
"Bagaimana kabar pasien VVIP kita?"
"Hasil test terakhir baru saja keluar Dok."
"Pemberian nutrisinya apakah berjalan lancar?"
"30% dari kalori total di hari pertama, sesuai arahan Dokter kemarin."
"Terimakasih Sus." Dia berbelok dan masuk ke ruangan pasien.
"Hai Dok." Senyum Mareno sudah menyambutnya. "Saya bosan sekali."
"Kenapa kamu lepas oksigennya? Gunakan." Dia sudah berdiri di sisi kanan tempat tidur pasien Mareno. Luka bakar di tangannya masih ada.
"Tapi saya suka lihat kamu kesal begini. Kamu lebih terlihat seksi."
Mata Tania membelalak kesal. Suster Ani tersenyum geli saja. Dengan cepat dia memakaikan masker oksigen pada Mareno lagi kemudian memeriksa kondisinya.
"Sus, apa Suster bisa ambilkan saya minum di luar?" tanya Mareno dengan senyum andalannya.
Suster Ani sudah pergi karena mengerti apa maksudnya. Semoga saja kali ini pasien tampan itu bisa menggugah hati sang Dokter cantik favoritnya.
"Kamu pikir saya takut berdua saja dengan kamu?" Matanya mengamati luka bakar kemudian beralih ke monitor pasien.
"Tidak ada yang pernah takut berduaan dengan saya Dok."
"Pakai maskernya."
"Apa kamu yang menggantikan baju saya kemarin itu Dok?"
"Bukan, perawat laki-laki dan satpam."
"Oooh, benarkah? Kamu melewatkan banyak kalau begitu?"
"Mungkin otakmu cedera karena ledakan itu. Saya akan periksa lagi hasilnya."
"Periksa yang lain Dok, mumpung saya masih di sini. Saya tahu sekali abang saya yang control freak itu pasti akan segera transfer saya ke MG. Di sana tidak ada kamu. Atau mungkin jangan setujui transfer saya ke sana Dok. Saya ingin Dokter saja yang merawat saya."
Tania menghela nafasnya kesal. Pasiennya kali ini benar-benar sangat-sangat menjengkelkan dan perlu diberi pelajaran. Lalu dia tersenyum manis sambil berjalan mendekati Mareno.
"Semua wanita, pasti selalu terpesona olehmu ya? Jessica Sharon si artis terkenal..." Dia duduk di pinggir kursi tempat tidur pasiennya. "Atau Laura dan Davina si model top papan atas. Siapa lagi koleksi wanitamu?"
Mareno tersenyum senang karena dia bisa membaui wangi khas tubuh sang dokter dari jarak seperti ini. Itu membangkitkan sensor-sensor pada tubuhnya.
"Sayangnya, saya juga bisa menyebutkan banyak nama wanita lainnya yang tidak akan bergeming dengan kamu."
Dia terkekeh saja. "Siapa?"
"Selain saya? Ada banyak, Reyhani Straussman dan iparnya..."
"Dok, mereka istri orang. Ayolah, be fair."
Dia menggelengkan kepalanya, kakak beradik ini memang benar-benar menjengkelkan. Tubuhnya sudah berdiri lagi. "Saya bukan istri orang dan saya tidak tertarik." Mata Tania melirik pada bagian pusat tubuh laki-laki itu. "Saya ralat sedikit..."
Mareno tersenyum salah sangka.
"Saya sudah lihat segalanya dan masih tidak tertarik. Karena saya pernah merasakan yang lebih besar daripada itu," lanjut Tania. Kepalanya mengangguk kecil sambil seolah menunjuk pada pusat bagian tubuh Mareno.
Senyum dari wajahnya hilang, wanita ini menghina asset berharganya dan memancing keinginannya untuk berburu. Tangannya menangkap lengan dokter itu sebelum dia menjauh pergi.
"Saya tidak suka berburu Dok. Bukan karena tidak bisa, tapi biasanya makanan sudah terhidang di meja saya."
Tubuh Tania berbalik lagi lalu matanya menatap Mareno berani. "Jangan membuat saya memburu anda. Karena jika saya mulai berburu, saya akan pastikan buruan saya tidak akan selamat. Paham?" Dia menarik tangannya.
"Saya akan hubungi Arsyad untuk segera transfer pasien. Saya juga akan hubungi Dokter Aryan Diputra di MG agar dia mencuci otakmu dari pikiran-pikiran yang tidak selayaknya." Lalu Tania menutup pintu.
Tawa Mahendra menggema. Suaranya terdengar dari jam tangan yang diletakkan di meja nakas.
"Wow, bravo bravo. Wanita cantik dan paling cerdas pertama yang menolak The Great and Powerful Mareno. Gue harus telpon Hanif dan bilang sama dia."
"Shit! Diam lo Hen."
Mareno menyusun rencana. Sudah lama dia tidak berburu, benar-benar terlalu lama. Wanita ini sudah mengusik seluruh hasratnya. Sorot mata wanita itu, kecerdasan yang terpancar ditambah misteri dalam mata hitamnya, juga ekspresi wajahnya yang datar saja sejak hari pertama, dan terutama wanginya. Wangi tubuh aslinya yang entah kenapa bisa sama seperti satu orang gadis di sekolahnya dulu. Gadis yang tidak pernah dia bisa temukan. Karena terakhir dia salah sangka pada satu gadis lainnya.
Keuntungannya, dia paham benar dengan seluk beluk wanita. Jadi kali ini dia akan berburu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro