Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6 - Secret Mission

"Herman, tolong Lita Man. Tolong dia," ujarnya panik. Satu-satunya yang menghentikan dia dari terjun ke sungai untuk menyelamatkan Arlita yang hampir tenggelam adalah satu kakinya yang masih di gips karena jatuh dari pohon seminggu lalu.

"Arusnya deras Him," jawab Herman panik. "Kita harus panggil Anto." Maksudnya adalah kakak pertama mereka, Ardiyanto. Herman sudah berlari ke arah pondok yang tidak jauh dari sana.

"Litaaa...Liit." Tangisnya sudah datang karena panik melihat adik perempuan kesayangannya itu masih berusaha keras agar tidak tenggelam. Dia tidak berdaya. Apa iya? Keluarga itu harga mati kan?

Keberaniannya membuncah lalu dia terjun ke dalam sungai. Dia mahir berenang, selalu juara. Yang dia tidak tahu adalah gips itu menariknya ke dasar sungai. Sekuat tenaga dia berjuang melawan arus, Lita membutuhkannya. Namun sekeras apapun dia berusaha, arus sungai menyeretnya sama kuat. DItambah satu kakinya seolah terus mengikuti arus saja. Lamat-lamat dia mendengar orang-orang berdatangan. Kemudian tubuhnya diguncang seseorang.

"Sayang...bangun. Ibrahim, bangun."

Duduknya langsung tegak saja. Bibirnya sudah beristigfar berkali-kali. Istrinya menatapnya lembut.

"Kamu mimpi buruk lagi?" Satu tangan Trisa mengelus punggungnya perlahan. Kemudian menyodorkan segelas air.

Dia hanya mengangguk sambil meminum air itu.

"Siapa kali ini Sayang?" Trisa bertanya karena ini bukan pertama kalinya.

Keluarga suaminya adalah keluarga besar. Sembilan bersaudara. Ardiyanto, Ibrahim, Arlita dan Herman dekat sekali dibanding yang lainnya. Suaminya sendiri seperti terlalu membebankan semua di pundaknya. Tipe laki-laki yang bertanggung jawab, terlalu bertanggung jawab. Apalagi setelah Ardiyanto sakit, Arlita yang menghilang belum ditemukan dan Herman yang entah kenapa berubah, Ibrahim seperti memendam sedihnya sendiri. Tiga adik-adiknya yang lain semua berpisah jauh dan dua lainnya sudah meninggal dunia karena sakit.

"Arlita tenggelam, dia tenggelam."

Trisa menarik nafas panjang. Suaminya itu sangat menyayangi Arlita, mungkin seperti anak-anaknya sendiri pada Sabiya. Sayangnya didikan keras orangtua mereka dulu membuat Arlita pergi meninggalkan semua. Benar-benar pergi. Ibrahim bahkan meminta anaknya Arsyad dan Mahendra untuk memulai pencarian dengan semua system canggihnya sekarang. Sampai saat ini belum ada titik terang. Hanya kabar-kabar yang seolah seperti timbul dan tenggelam dari informan keluarga mereka.

Wajah Ibrahim masih sangat risau. Jadi Trisa berujar lagi, "Bangun dan solat Sayang. Minta ketenangan pada yang Maha segalanya."

Ya, dia sendiri selalu berdoa, semoga Arlita baik-baik saja di luar sana. Mungkin perempuan itu sudah memiliki keluarga. Semoga mereka semua dilindungi oleh-Nya, juga termasuk ke empat anak laki-lakinya.

***

Paginya selalu dimulai dengan segala bentuk dan jenis laporan. Laporan-laporan usaha yang dia pegang, kondisi dan posisi perpolitikan, dan juga laporan yang bersifat lebih pribadi. Jalannya sudah sedikit terbuka karena ketua badan penyidikkan yang berganti. Dia sudah punya rencana agar bisa duduk dan menjabat lagi di salah satu kursi pemerintahan. Sekaligus, menjatuhkan Ibrahim nanti. Ya, dia akan menyingkirkan semua yang menghalangi tanpa terkecuali.

Pintunya diketuk. "Masuk."

"Pagi," anaknya berjalan masuk dan duduk saja.

"Urusan pembukaan lahan sudah selesai?"

"Sedikit lagi, penduduk asli di sana berulah."

"Bereskan, saya tidak mau dengar. Paham?"

Tommy mengangguk singkat. Ayahnya selalu dingin, sebenarnya bukan ini yang mau dia sampaikan. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya saja.

"Apa sudah ada kabar dari Drajat? Umpan sudah berhasil dipasang?"

Tommy diam sesaat, lalu sebersit keraguan di mata anaknya itu bisa dia tangkap saja. "Jika kamu mau jadi lemah, angkat kaki dari sini. Letakkan semua yang saya berikan buat kamu, pergi. Saya tidak perduli." Herman memberi jeda. "Apa umpan sudah dipasang?"

"Sudah."

"Bagaimana dengan jebakannya? Kamu sudah bertemu dengan orang pelabuhan?"

"Minggu ini."

"Bagus. Saya tahu kamu benci mereka. Jadi tugas ini untuk kamu. Bereskan, tunjukkan kalau kamu berguna."

Tommy diam saja, pikirannya berkelana ke masa yang lalu.

Dulu

"Ada apa? Kenapa kamu bisa kalah dari mereka?" Ayahnya memaki di seberang sana setelah mendengar laporan bahwa pada tugas terakhir kelompoknya bisa dikalahkan oleh si empat saudara.

Dia hanya diam, memendam amarahnya sendiri. Paham benar ayah tidak akan terima dengan alasan apapun itu.

"JIka fokusmu terbagi karena kamu mulai kenal perempuan, saya akan hilangkan semua aksesmu. Saya akan lemparkan pacarmu itu ke orang lain."

Tangannya terkepal saja. Bayangan wajah Mareno Daud yang menertawakannya ada di sana. Lalu bagaimana Sharon membohonginya tentang pertemuan-pertemuan antara gadisnya itu dengan Reno di belakangnya juga berputar di kepala. Brengsek.

"Saya akan perbaiki."

"Bagaimana? Kamu sudah kalah, kamu pecundang!!"

"Saya akan habisi mereka dengan cara saya." Ponselnya dia matikan saja. Kemudian, dia menyusun rencana.

***

Dia dihubungi Arsyad ketika sedang mengutak-atik si kuda, maksudnya mobil merah seri klasik dan mewah pabrikan Italy dengan logo kuda jingkrak. Headset ditelinganya berbunyi.

"Call from Arsyad."

"Answer," sahutnya. Satu tangannya masih sibuk mengganti sparepart mobil kesayangannya itu yang baru datang dari Italy.

"Dimana?"

"Lagi iseng. Ada apa?""

"Cewek?"

Senyumnya terkembang tipis, "Gue nggak pernah ajak cewek ke safe house Bang. Lagian gue bosan sama yang itu."

"Cepat ke sini. Gue butuh lo."

Dia berhenti sejenak. "Soal apa?"

"Playing game, your game."

Lalu dia tertawa. "Ooh I love mission is possible, tapi gue pass."

"Mareno, ini bukan permintaan. Ini perintah. Gue tunggu di markas besar, cepat."

Hubungan itu disudahi. Dia menghentikan apa yang dikerjakaannya, tangannya dia bersihkan. Matanya memandang ke garasi rumah mereka, the safe house. Rumah yang dibangun untuk mereka berempat saja dengan system keamanan yang super canggih rancangan si adik gilanya. Rumah itu juga terletak di pinggiran kota, di tengah hutan jadi aksesnya memang tidak umum. Tapi rumah itu dilengkapi dengan fasilitas yang super lengkap. Sebut saja gym pribadi, kolam renang, game room, lapangan tenis, bahkan di atas atap rumah mereka tersedia landasan kecil untuk helicopter, juga ruang operasi dengan standar MG Hospital sendiri. Satu ruangan lainnya di bawah tanah adalah tempat favorit Arsyad, ruang koleksi senjatanya. Tragisnya, rumah itu jarang ditempati.

Hanif sibuk bepergian ke luar negeri, Arsyad tidur di kantornya sendiri, Mahendra lebih senang bergelung dekat dengan laboratoriumnya di kantor ID Tech, sedangkan dia? Dia punya sarangnya sendiri. Tapi sesekali dia akan datang, menengok koleksi wanita-wanitanya yang lain. Queen Mary adalah Ferrari klasik tipe 365 GT 2+2, atau Belle si Lamborghini Huracane Coupe berwarna kuning cantik, atau Berli si Ferrari F12 Berlinetta favoritnya, dan mobil-mobil jeep mewah koleksi Arsyad dan Hanif, juga motor-motor keluaran Ducatti yang biasa dikendarai Arsyad. Sementara Mahendra adiknya mengendarai Bentley Bentayga anti peluru. Dia sering meledek Mahen bahwa hanya pengecut yang berkendara dengan mobil anti peluru kemana-mana. Adiknya itu tidak perduli.

Dia naik ke atas untuk segera bersiap. Mandi sejenak, mengenakan pakaian hitam-hitam yang nyaman kemudian kembali ke garasi sambil menimbang-nimbang. Dia selalu suka menjadi pusat perhatian, jadi kali ini dia akan berkendara bersama Belle. Pintu garasi terbuka otomatis dan mobilnya ke luar menembus malam.

***

Markas besar a.k.a kantor pusat Ares Defense Services

Mereka bertiga sudah berkumpul di black room, mendengarkan keterangan Hanif dari seberang sana. Informasi dari saudara mereka itu, akan ada penyelundupan senjata ilegal malam ini. Tiga container ukuran 40 feet. Jumlah yang besar, terlalu besar. Satuan unit yang dipimpin oleh Brama juga sudah membenarkan tentang informasi itu.

"Kita kerja bareng satuannya Densus."

"Terus ngapain kita ikutan kalau udah ada orang-orangnya Brama, biar mereka aja."

Arsyad menatap Mareno tegas. "We help and it is not a question."

"Sudah hubungi Brayuda? Harusnya Bapak Besar yang atur hal-hal seperti ini kan?" ujar Mareno lagi.

Arsyad menoleh kesal. "Mangkanya jangan telat, Hanif dan Bapak Besar sedang ada di luar sana memantau. Brayuda sudah kita hubungi dan dia menunggu di pelabuhan. Siap-siap sekarang."

Empat puluh menit kemudian.

Mereka berada di kapal boat tidak jauh dari pelabuhan. Arsyad, Brayuda, salah satu anak buah Brama dan dia sendiri. Mahen menunggu di mobil sedang mengoperasikan drone-drone miliknya, sementara satuan Densus yang dipimpin Brama menunggu. Sekarang di paham kenapa dia dipanggil. Kemampuannya berenang dan menyelam adalah yang terbaik, bahkan lebih baik dari Arsyad. Abangnya sering kali kesal jika kalah adu tahan nafas dulu. Hanif cepat, stamina Arsyad sangat baik, tapi dia memiliki keduanya.

"Itu Mother Vessel yang kita tuju." Arsyad menunjuk salah satu kapal besar yang masih menunggu untuk bersandar. "Ini nomor containernya. Kita naik, cari containernya dan pasang alat dari Mahendra. Lalu kita ke luar dari sana, kembali ke boat ini. Teamnya Brama akan tunggu di sini dan berjaga. Selanjutnya Mahen akan cari tahu isinya."

"Yud, mau nambahin?" Arsyad menatap Brayuda.

"Container ini seolah nggak bertuan, itu yang meresahkan," ujar Yuda. "Bokap sudah cek nama importir, tapi itu perusahaan fiktif yang aneh banget. Jadi ada kemungkinan ini juga jebakan. Itu feeling gue. Tapi jebakan untuk apa?"

'Herman,' ujar Arsyad dalam hati. Entah kenapa firasatnya ini berhubungan dengan Herman. Pamannya yang gila harta dan jabatan.

"Kita fokus satu-satu. Selesaikan ini dulu. Usahakan tidak ada korban jiwa, okey?"

Mereka mengangguk saja. Kemudian mereka memasang perlengkapannya dan tubuh mereka bertiga tenggelam dalam gelapnya air laut.

Dia tiba lebih dulu. Naik melalui tali jangkar yang menjulur ke bawah kapal menggunakan peralatan buatan adiknya yang luar biasa.

"Biru, bagaimana posisinya?" Dia bertanya pada Mahendra. "Laporan status."

"Wow, lo cepet banget. Ini bukan kompetisi." Mahendra memberi jeda. "Sisi kanan aman, naik sekarang. Hitam di belakang, cokelat sudah ada di sebelah lo sekarang." Suara Mahendra mengunyah sesuatu terdengar.

"Lo bisa makan?" tanya Mareno tidak percaya.

"Lo yang paling tahu gue selalu laper kalau seru begini." Mahen terkekeh saja.

Brayuda terkekeh karena dia juga mendengar dari microphone di telinganya. Mereka naik dengan aman. Arsyad sudah memberi isyarat pada mereka untuk berpencar dan mulai mencari.

"Biru, dimana posisinya?" Arsyad bertanya untuk mempersingkat waktu.

"Sebentar, angin-angin ini menyulitkan drone gue. Give 5 minutes."

"Lima menit kita bisa cari sendiri. Faster or upgrade your drone." Bisik Arsyad kesal.

Mereka bertiga mulai mencari sambil menghindari satu-dua orang yang berpatroli. Sejauh ini aman karena memang sedikitnya jumlah orang dan juga mereka seperti petugas kapal biasa. Tidak ada yang aneh. Ini yang membuat Arsyad mengernyitkan dahinya.

"Gotcha." Mahendra memberi tahu letak container pada mereka.

Salah satunya dekat dengan posisi Mareno, jadi dia sudah menempelkan alat dari Mahendra.

"I'm finish and out." Mareno berujar.

"Go. Gue dan Yuda menyusul, sebentar lagi," ujar Arsyad saja.

Arsyad berdiri bersisian dengan Yuda karena letak dua container lainnya yang berdampingan. Tangannya memijit tombol pada kacamata khususnya yang juga berfungsi pada teropong. Dia memonitor kegiatan pada bagian dalam kapal.

Dia menggelengkan kepalanya. Kapten Sapta. Dia kenal sang Kapten kapal itu dan paham benar tidak mungkin ada yang salah pada barang bawaannya. 'Ada yang salah. Ini sangat salah.'

"Bang, cepat." Yuda berbisik pada Arsyad.

Arsyad mengangguk saja kemudian mereka berdua berlalu dari situ. Otaknya berpikir keras, tidak mungkin semudah ini. Lalu bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba mengerti apa yang akan terjadi.

"Biru, kabari merah agar menjauh dari boat. Sekarang, sekarang!" Dia berusaha berenang secepat yang dia bisa.

Mareno tiba lebih dulu namun dia tidak menemukan anak buah Brama yang tadi menunggu. Karena penasaran, dia naik ke atas boat.

"Merah, cepat keluar dari boat. Jebakan, jebakan." Suara Mahen yang berteriak dari microphonenya sudah terdengar. Badannya sudah berbalik melompat ke air laut kemudian bunyi aneh itu terdengar dan dalam waktu yang bersamaan boat itu meledak saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro