Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5 - Sena

Mobil sedannya sudah dia parkirkan di halaman rumah besarnya. Ayah memang memutuskan untuk pindah ke rumah dinas dengan alasan terlalu banyak kenangan di rumah lama mereka. Kenangan tentang mama. Bukan hanya ayah yang menderita, dia juga sama terpukulnya. Karena itu, mereka berdua dekat sekali. Oh bukan, bertiga dengan Danika. Ayah bahkan sudah menganggap Danika seperti anaknya sendiri.

Ya, Danika yang sederhana hidupnya adalah anak dari salah satu pegawai kantor ayah dulu. Karena dia sering dibawa ke kantor oleh ayahnya, mereka berkenalan dan menjadi dekat. Orangtua Danika pergi lebih dulu karena sebuah kecelakaan bus naas. Saat itu, dia berusaha selalu ada di dekat Danika. Sama seperti saat mama meninggalkannya, Danika selalu ada untuknya.

"Assalamualaikum." Papanya sudah menyambut dari dalam.

"Wa'alaikum salam." Dia melangkah ke arah ayah dan memeluknya hangat. Dulu, dia sering berdoa bahwa kelak dia menemukan laki-laki yang sebaik ayah. Dia sudah menemukan laki-laki itu sebenarnya, mereka hanya tidak bisa bersama.

"Papa masak apa?"

"Ya bukan Papa lha. Tanya aja sama si Mbok, Papa mah pasrah aja si Mbok masak apa. Sena juga ketawa aja Papa tanyain mau disediain apa." Bayu sudah berjalan ke ruang tengah sambil merangkul Tania.

"Pa, Sena datang sendiri atau sama Om Dito." Mereka sudah duduk di sofa ruang tengah.

"Kamu emang udah siap dilamar Sena?"

"Tuh, mulai lagi."

"Loh Papa kan cuma tanya. Papa sih undang semuanya, tapi memang bukan undangan formil, santai saja. Papa paham kamu nggak bisa dipaksa. Jadi nggak tahu nanti Sena bawa Mama Papanya atau nggak."

Sedikitnya dia merasa bersyukur, ayah adalah sosok yang demokratis dan tidak pernah mau memaksakan kehendaknya sendiri. Lamunannya terhenti ketika tamu yang ditunggu datang. Dia sudah berdiri dari sofa, mempersiapkan dirinya sendiri untuk bertemu laki-laki ini. Sena Airlangga.

"Assalamualaikum Om."

"Wa'alaikum salam. Hai Sen." Bayu langsung berdiri dari sofa menyambut Sena dengan senyum lebar. Sena Airlangga adalah calon menantu idaman, jika saja anak perempuannya setuju.

Tania berjalan ke arah pintu depan, dia tersenyum kecil sambil berusaha menjaga sikap dan menyembunyikan rasa gugupnya sendiri.

"Apa kabar?"

"Saya baik Om." Mereka berjabat tangan, kemudian Sena beralih kepada Tania. "Halo Tan, apa kabarmu?"

Senyum Sena masih sehangat dan semenawan yang bisa dia ingat. Tubuh laki-laki ini tinggi tegap dengan postur sempurna. Rambut cepak khas orang angkatan dengan wajah bersih dan menarik. Mereka berjabat tangan.

"Hai, aku baik." Tania buru-buru melepaskan tangannya.

Di belakang Sena, ayahnya menyusul. "Bayuuu!" Mereka sudah berangkulan saja. Bayu dan Pradito memang sahabat lama.

Bayu tertawa senang, "Loh kamu nggak bawa Nyonya?" tanyanya pada Dito.

"Kata dia ini urusan laki-laki lah. Lagian kedatangan kita belum untuk ngelamar anakmu kok. Biar mereka pemanasan dulu setelah lama nggak ketemu. Ya kan?" jawab Pradito yang disambut tawa lebar Bayu.

Kemudian makan malam itu berlangsung hangat dengan menu khas Indonesia. Bayu, Pradito dan Sena mengobrol tentang situasi terkini di negara mereka. Juga kemudian dilanjutkan dengan janji bermain golf bersama. Sementara Tania banyak diam dan mendengarkan.

Setelah makan Bayu dan Pradito menuju ke kamar kerja untuk menghisap cerutu bersama. Sementara dia dan Sena duduk pada bangku rotan di pinggir kolam renang.

"Kamu praktek di sini sekarang?" Sena membuka pembicaraan.

"Iya." Dia mengangguk pendek.

"Sejak kapan?"

"Lulus dari sana aku langsung ambil program residensi di sini. Lulus dari program itu aku praktek juga di sini."

"Kenapa nggak lanjut di US sana?"

'Danika,' gumamnya dalam hati. "Ayah yang meminta dan aku setuju. Kamu sendiri?" Wajahnya menoleh pada Sena.

"Aku ambil S2 di sana. Sempat tertunda sebentar karena bantu Ayah yang kamu tahu ceritanya, mangkanya baru kembali sekarang setelah selesai. Beruntungnya aku bertemu Papa kamu dan tahu dari beliau kalau kamu sudah menetap di sini."

Mereka diam sesaat, diam yang canggung. Kemudian Sena menghela nafasnya panjang.

"Kamu putuskan semua bentuk komunikasi kita. Apa boleh aku tahu kenapa?"

Dia membasahi bibirnya, tidak suka dengan topik ini. "Aku hanya sibuk."

"Apa benar hanya itu?"

Kepalanya sedikit menunduk. Jika mudah untuknya bersandiwara dihadapan orang lain, maka pada laki-laki ini saja dia tidak bisa berdusta. Sulit rasanya sekalipun kali ini dia akan mencoba.

"Apa karena setelah pendidikan S1 ku selesai dan aku harus kembali sejenak ke Jakarta kamu marah?"

Dia menggeleng. Berusaha menepis ingatan tentang sejarah mereka dulu.

"Setelah itu aku mencarimu Nin. Aku kembali ke sana dan tahu dari teman-teman kita kamu pergi ke Jakarta karena urusan mendadak. Aku menyusulmu ke Jakarta, tapi ayahmu tidak tahu kamu dimana. Beliau masih mengira kamu berada di US sana. Lalu aku memutuskan meneruskan Master di sana, karena aku berpikir kamu akan kembali. Aku menunggumu Nina."

Tubuhnya bangkit perlahan dari duduk. Dia paham benar Sena hafal benar seluruh gestur tubuh atau mimik wajahnya. Jadi dia akan berusaha menyembunyikannya.

"Maaf, aku hanya benar-benar sibuk." Sudut matanya melihat tubuh Sena yang juga berdiri. Kemudian dia membalik tubuhnya perlahan agar menghadap kolam renang dan membelakangi Sena. Ini sulit sekali.

"Ini tidak seperti kamu." Sena menghela nafasnya lagi.

Tania bisa merasakan tubuh Sena berada di belakangnya, dekat sekali. Dia mulai memejamkan mata dan mengatur nafasnya sendiri, berusaha menenangkan diri dari kenangan-kenangan mereka dulu yang melintas lagi.

"I miss you." Bisikan Sena lirih sekali.

Telinganya dia buat tuli, hatinya dia matikan saja. Dia tidak mau merasakan apapun. Tubuhnya tetap berdiri tidak bergeming. Nafasnya tetap tenang karena dia mengulang wajah depresi Danika di pelupuk mata.

"Kamu memang pendiam, tapi sekarang kamu penuh misteri. Ada yang kamu sembunyikan dari aku Nin. Aku bisa rasakan itu." Sena memberi jeda, dia menahan dirinya sendiri untuk tidak merengkuh Tania dari belakang tubuh wanita itu.

"Kita baru bertemu lagi, aku paham. Aku tidak ingin mendesakmu. Tapi aku akan berusaha memulai lagi Nin. Aku mau kamu." Lalu satu tangannya menyentuh puncak kepala Tania lembut, membelai rambutnya ke bawah.

Dia menelan salivanya, berharap Sena tidak membalik tubuhnya hingga mereka berhadapan. Untungnya pintu geser ke arah kolam renang bergerak. Dia menarik nafas panjang kemudian mengembalikan ekspresi normalnya. Ya, dia baik-baik saja.

***

Sena berkendara pulang sendiri setelah mengantarkan ayah ke rumah. Dia tinggal di apartemen dengan alasan kepraktisan. Siapa juga yang tahan dengan kemacetan Jakarta yang terkadang bisa sangat gila. Dia baru saja kembali dan sudah didapuk oleh ayah untuk meneruskan jejak keluarganya berpolitik, mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Dia tidak terlalu suka dengan ide itu, tapi paham benar negaranya sendiri banyak membutuhkan orang-orang pintar yang benar-benar ingin bekerja. Jadi mungkin tawaran itu akan dia pikirkan nanti.

Hatinya resah karena pertemuannya hari ini dengan Tania. Wanita yang dia rindu, cinta pertamanya dulu. Mereka mulai saling mengenal dari jaman putih abu-abu. Mereka bersekolah di tempat yang sama sebelum Tania pindah ke sekolah lainnya. Tania dan Danika adalah dua sahabat yang tidak terpisahkan. Danika sama menawannya, tapi Tanialah yang mencuri hatinya. Kemudian mereka dipertemukan lagi pada satu acara keluarga. Ayahnya dan ayah Tania berteman dekat. Itu yang akhirnya membuat mereka selalu bertemu.

Dia juga memutuskan untuk melanjutkan ke universitas yang sama dengan Tania. Takdir berpihak padanya. Mereka satu kampus namun berbeda jurusan. Jadi mereka melewati masa-masa indah perkuliahan bersama. Jadwal Tania sibuk sekali, tapi gadis itu selalu tersenyum hangat ketika bertemu dengannya. Kemudian dia menyatakan cinta, Tania hanya diam sambil mengangguk malu. Sungguh itu adalah saat dimana seolah dia menggenggam dunia. Perasannya berbalas.

Sisanya mereka melewati waktu saja. Mereka bukan jenis pasangan yang selalu bisa bersama, karena Tania benar-benar fokus pada kuliahnya. Tapi hubungan mereka baik-baik saja, sampai ketika Tania kembali ke Jakarta karena suatu masalah yang dia tidak tahu dan dia sendiri dipanggil ayahnya pulang. Mereka sempat tidak bertemu dan berkomunikasi karena tiba-tiba Tania menghilang begitu saja. Dia berusaha mencari dan bertanya ke sana kemari. Tapi bahkan ayah Tania tidak tahu dimana putrinya dan dia tidak mau mendesak Bayu karena itu akan menimbulkan kecurigaan lainnya.

Akhirnya dia kembali ke US untuk melanjutkan S2 nya dengan asumsi Tania juga kembali ke sana. Sayangnya tidak, gadis itu tidak kembali ke sana dan hubungan mereka menghilang begitu saja.

Ekspresi Tania saat makan malam tadi masih terbayang di pikirannya. Gadis itu menyembunyikan sesuatu. Matanya lebih gelap, seperti ada amarah yang dipendam di sana. Padahal dulu mata itu selalu bersinar gembira, selelah apapun jadwal kuliahnya.

Sikap Tania juga terlampau dingin, acuh tak acuh. Seolah mereka tidak pernah punya sejarah apapun. Senyum wanita itu juga berbeda. Seperti sedang menutupi getir hatinya. Ada apa dengan Tania? Apa ada sesuatu yang terjadi dan dia tidak tahu? Mungkin saat ini dia belum punya jawabannya, tapi dia akan mencari tahu dan memenangkan hati itu kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro