Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4 - To find you

Musik berirama menenangkan itu mengalun lembut. Juga wangi lilin-lilin aromatherapy yang dia bakar dan tempati di sekeliling ruangan sungguh membuai pikirannya. Dia sungguh sangat membutuhkan ini setiap hari. Untuk menjaga moodnya sendiri, untuk sedikit melupakan ekspresi depresi dari wajah Danika sahabatnya.

Pekerjaannya saat ini adalah salah satu bentuk pelarian lain. Karena jika tidak, besar kemungkinan dia juga sudah gila karena sepi dan sedih yang menggerogoti. Dia anak tunggal dari ayah yang sibuk sekali. Sedangkan mama sudah lama meninggal dunia, kemudian sahabatnya juga saat ini setengah gila. Dia punya teman-teman lain. Aryan dan Reyhani adalah sahabat-sahabatnya saat masa residensial dulu. Orang-orang yang membuat dia merasa lebih terpacu dan bisa tertawa di tengah hancurnya perasaannya sendiri melihat kondisi Danika.

Tubuhnya duduk bersila dengan tenang. Semua selalu di awali dengan meditasi. Pada fase ini, seluruh pikirannya terfokus hanya pada tubuhnya saja, dia berusaha mendengarkan tubuhnya sendiri. Lalu dia memulai dengan sun salutation. Rangkaian dua belas gerakan asana yang berulang. Ini bagian yang paling dia suka. Karena setelah itu, tubuhnya lebih siap untuk gerakan yang lebih rumit lagi.

Setelah selesai yoga, dia melanjutkan harinya dengan mengecek jadwal. Kemudian menyusun rencana dan juga menelpon orang-orang penting untuk mengetahui perkembangan situasi.

"Pagi Lea."

"Hai Dok. Seperti biasa, pagi-pagi sekali."

"Saya minta dikirimkan laporan kemarin."

"Sebentar, saya baru saja ingin kirim Dok." Lea terkekeh di sana. "Kamu baik-baik saja Dok?"

Dia menghela nafasnya berat. "Ya. Sedikit resah tapi aku tidak apa-apa."

Tidurnya belakangan ini selalu terganggu karena mimpi-mimpi tentang Danika yang terus berulang. Dia mendesah lagi. Lea adalah asistennya yang terpercaya dan sedang membantunya untuk menyelidiki laki-laki misterius penyebab Danika menjadi setengah gila.

"Apa Tuan Putri yang baik hati itu sudah mengirimkan petunjuk lain?" tanya Lea padanya.

"Ada tapi tidak banyak, seolah dia hanya ingin bilang jika dia tahu kita sedang mencari tahu. Apa kamu sudah bisa melacak IP address si Tuan Putri?"

"Belum, dia hebat. Sangat hebat. Itu juga yang mengusikku Dok. Apa motifnya membantu kita?"

"Entah, saya tidak suka berspekulasi."

Lea terkekeh mengerti. "Jadi, kita mulai darimana Dok?"

Dahinya mengernyit lagi menatap hasil pencarian pada layar. Dia sudah menghirup kopi sejenak lalu mulai berujar pada Lea.

"Kamu belum bisa pecahkan password email Danika?'

"Belum Dok, saya masih berusaha."

***

Beberapa jam kemudian di depan kedai kopi

Laki-laki itu sudah mengikutinya, entah kenapa. Dia tidak pernah merasa dirinya sendiri menarik, tapi laki-laki berwajah tampan ini seperti tertarik. Dia juga sudah tahu siapa laki-laki ini. Ya, siapa yang tidak kenal Mareno Daud. Mantan kekasih dari beberapa artis papan atas, Don Juan dari keluarga Daud yang kabarnya kehebatannya di ranjang tidak diragukan lagi. Kenapa dia tidak tertarik? Dia bukan pengagum pria narsis dan suka membanggakan diri sendiri, itu saja. Juga saat ini dia benar-benar tidak tertarik dengan semua jenis hubungan pribadi. Fokusnya adalah untuk menyembuhkan Danika dan menemukan siapa pelakunya.

"Terimakasih lagi soal tadi," ujar Reno dengan senyum yang menawan.

"Oh itu, jangan dipikirkan." Dia hanya mengangguk kecil kemudian berlalu dari situ.

Matanya menatap kaca tengah spion mobil. Laki-laki itu masih berdiri di sana menatap mobilnya pergi.

***

Di rumah sakit.

Wangi rumah sakit sedikit menenangkan untuknya. Aneh? Ya, mungkin sedikit. Tapi pekerjaannya sungguh membuat pikirannya teralih dari dendam yang makin lama makin membuat dia hampir kehilangan diri sendiri. Di sini, dia mengerjakan apa yang dia suka, dia memiliki misi yang mulia, menyelamatkan nyawa, menyembuhkan orang-orang sakit. Profesi ini dia pilih bahkan sebelum dia punya semua dendam karena Danika. Dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.

Untuknya, tidak ada satu manusia pun yang dilahirkan untuk menjadi jahat, tapi semua kondisi dan situasi membuat dia melakukan apa yang saat ini dia ingin lakukan pada laki-laki yang menyakiti sahabatnya. Apakah itu suatu pembenaran? Oh dia tidak perduli. Yang dia tahu, manusia busuk seperti laki-laki misterius itu perlu diberi pelajaran, atau disingkirkan sebelum merusak wanita-wanita lainnya. Lihat, bagaimana dendam sudah menggerogoti jiwanya. Siapapun dia, dasar bajingan. Dia mulai merutuk lagi.

Nafasnya dia tarik panjang, berusaha mengembalikan fokusnya pada hal-hal baik di depan mata. Setelah mampir sebentar ke ruangan untuk meletakkan tas dan mengenakan jas dokter, juga memberikan kopi yang tadi dia beli pada staff rumah sakit yang dia kenal, dia mulai paginya saja.

"Pagi Dok."

"Pagi." Dia tersenyum saja. "Hasil biopsi Pak Hendra sudah keluar?"

"Sudah Dok. Sebentar saya siapkan," jawab suster Ani sambil mulai mencari pada dokumen-dokumen di hadapannya. "Dokter tiga puluh menit lagi ada jadwal praktek, mau visit nanti atau sekarang Dok?"

"Boleh sekarang. Setelah praktek saya punya jadwal amputasi. Oiya jangan lupa pindahkan pasien kecil saya ke Dokter Erin. Dia sub spesialis jantung terbaik."

"Tapi Dok, pasien itu pasien dengan asuransi pemerintah."

Dia menghela nafas lagi. Miris mengetahui banyak sekali orang-orang yang kurang beruntung di luar sana. "Saya yang tanggung. Jangan bilang siapapun seperti biasa."

Suster Ani tersenyum saja. Ini sudah beberapa kali Dokter Tania membantu pasien-pasien akut yang kondisinya harus naik tingkat operasi sementara biayanya tidak ditanggung oleh asuransi pemerintah. Memang proses administrasi jadi sulit, tapi dia paham benar ayah Dokter Tania bukan orang sembarangan. Untung saja wanita itu menggunakan kuasanya untuk hal-hal yang baik. Semoga Dokter Tania selalu dilindungi oleh yang Mahakuasa. Hanya itu yang suster Ani bisa lakukan untuknya, memberikan doa.

Ponsel itu berdering.

"Sayang, bagaimana kabarmu?"

"Papa." Senyumnya langsung mengembang saja. "Aku baik Pa."

"Papa mau kamu pulang malam ini, makan malam bersama Papa."

Tania tertawa. "Aku mencium gelagat aneh. Ada apa Pa? Jangan berahasia."

Bayu tertawa di seberang sana. "Papa bertemu Sena kemarin, dia sudah di Indonesia Sayang. Apa kamu tidak mau bertemu dengannya?"

Tawa Tania makin keras. "Sejak kapan Papa jadi matchmaker aku? Nggak cocok Pa."

"Sayang, Papa yang paling tahu bahwa kamu dan Sena ada apa-apanya dari dulu. Papa heran kenapa kalian nggak segera meresmikan saja. Tebakan Papa karena kalian tidak ingin berjauhan kemarin itu. Karena kamu sudah kembali ke Jakarta sementara Sena masih di sana. Sekarang, kalian sudah sama-sama di Jakarta. Tunggu apa lagi Sayang? Papa memberikan seluruh restu, Papa yakin Pradito juga akan setuju."

Dia hanya diam saja. Ayahnya tidak pernah tahu apa yang sedang dia lakukan selama ini selain pekerjaannya sehari-hari. "Pa, aku akan datang..."

Bayu tertawa senang.

"...tapi itu karena aku merindukan Papa, bukan Sena."

"Apapun itu, pulanglah Nin. Papa akan berada di Jakarta beberapa minggu ke depan. Tinggal di rumah sini. Papa kesepian."

"I love you Pa."

"Nina...kamu yang paling tahu seluruh hidup Papa hanya untuk kamu."

Dia tertawa, hatinya menghangat tiba-tiba.

***

Jari-jarinya mengetuk meja perlahan. Dia menatap angka-angka di hadapannya. Bukan sesuatu yang dia suka, dia lebih memilih untuk memimpin rapat, bernegosiasi, atau tugas lapangan lain. Apalagi jika Arsyad memanggil untuk membantu misi-misi anehnya, adrenalinnya pasti langsung terpacu. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk pergi saja dari situ. Laptopnya bahkan dia biarkan terbuka.

"Hen, dimana?" Tangannya mengangkat ponsel cepat.

"Lab bawah."

"Gue turun."

Tubuhnya sudah masuk ke dalam lift VIP yang membawanya ke lantai bawah. Laboratorium milik ID Tech, perusahaan keluarganya yang saat ini dia kelola. Otak dari seluruh pengembangan teknologi adalah Mahendra, si jenius yang irit bicara. Sementara tampuk kepemimpinan dipegang olehnya. Karena dia mampu dan bisa. Juga karena dia suka menjadi pusat perhatian, dari dulu begitu. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lebih suka bekerja tenang dan dalam diam. Dia tidak suka ketenangan. Bahkan jika dia sedikit bosan, dia akan membuat sedikit skandal yang bisa meramaikan dunia hiburan di negaranya.

"You have to check this out," ujar Mahen ketika dia keluar dari lift. Mimik wajah adiknya itu bersinar-sinar seperti habis melihat wanita cantik saja.

"Ada yang baru lagi?"

"Smart chip version 2.0."

Mahendra memijit tombol pada keyboard yang langsung berbunyi bip khas system yang menyala. Lalu tangannya yang mengenakan sarung tangan khusus dengan sensor-sensor sudah menyapu layar di hadapannya yang langsung menyebar pada sekeliling ruangan saja. Gambar-gambar itu memantul di sana.

"Shit, lo pasang kamera di apartemen Delia?"

"Bukan, itu gambar kamera dari luar jendelanya, kemudian memantul ke kaca-kaca yang ada di dalam apartemen. Satu kamera yang semalam gue iseng pasang pakai drone."

"Hai Angel, pindai wajah yang ada pada foto di dinding."

"Memindai wajah. Sukses. Delia Charlotte Bishop, umur..."

Angel sudah memaparkan seluruh keterangan tentang Delia.

"Angel, dimana Delia sekarang?" Tanya Mareno kali ini.

"Suara tidak dikenal. Permintaan ditolak." Angel menjawab.

"Hen, kenapa gue nggak bisa nyuruh Angel?"

Mahendra terkekeh saja. "Karena pasti lo salah gunakan. Gue tahu mau lo pake buat apa."

"Heh, gue iseng doang. Nggak mungkin gue stalking cewek, turun derajat namanya."

"Oiya iya...cuma satu cewek dulu yang lo stalking kan. Siapa namanya? Gue masih ingat, sementara gue tahu lo nggak akan ingat namanya. Cewek polos begitu. Karena itu gue cabut akses lo buat stalking. Paham benar lo bakal gunain buat kejar cewek innocent habis itu lo tinggalin."

"Shit, lo tahu darimana?"

"Ren, udahlah. Kalau lo mau main, main sama yang selevel sama lo sana. Delia, Sharon, Cathy siapalah lagi terserah. Janganlah lo main-main sama cewek baik-baik Ren. Gue kesel banget waktu tahu cewek baik begitu lo kerjain juga."

"Gue nggak ngerjain dia. Lo salah sangka Hen. Dia itu beda Hen, beda. Wanginya..." Reno berhenti sesaat. "Gila lo masih inget aja sama dia, gue aja lupa."

"Ya beda tapi kelakuan lo sama aja brengseknya." Mahen menatap Mareno. "Udah Ren, berhenti main-main lagi. Mau sampai kapan? Gue sumpahin lo kena batunya nanti." Mahen menghela nafasnya, dia tidak suka mencampuri urusan orang lain ataupun saudaranya. Tapi mungkin sesekali Reno harus dia ingatkan juga.

"Lagian pointnya dari smart chip yang baru bukan buat stalking cewek Ren. Gue upgrade system itu jadi bisa tangkap pantulan bayangan dari benda-benda di sekelilingnya. Juga mengakses data base system apapun yang ada di dekat mereka. Niko dan Arsyad nggak perlu selalu pakai tracker lagi nantinya. Ketika chip itu dipasang dimana-mana, mencari orang itu semudah menjentikkan jari. The Angel Eyes aka. smart chip 2.0," ujar Mahen lagi.

"Terserah lo lah, nggak ngerti gue. Lagian smart chip yang pertama aja belom jalan lo udah upgrade lagi. Kayak tukang jualan ponsel lo."

"Smart chip yang pertama fungsinya untuk dipasang di container-container, nggak perlu secanggih ini."

"Tes udah selesai semua?"

"Sebentar lagi. Begitu sudah prototype chip harus dikasih ke Arya Dirga."

"Kenapa sih Ayah mau kerja samanya dibagi begini. Harusnya 100% proyek ini punya kita."

"Heh, yang namanya bisnis harus ada back up plan. Apalagi skalanya besar. Kalau ID Tech kenapa-napa paling nggak Samarya si perusahaan keluarga Wiratmaja itu ada buat back up."

Reno menghela nafasnya. "Arya Dirga emang jago banget negosiasinya. Sialan. Dia bisa nge-lobby Pak Pres langsung. Racun banget mulut tu orang."

"Seracun mulut lo tu, sama cewek-cewek itu. Udah sana, gue mau kerja lagi, gangguin aja." Tubuh Mahen kembali duduk setelah mengembalikan gambaran-gambaran layar itu ke tempat semula.

Mareno ragu sejenak, lalu berujar juga. "Hen, bantuin gue sekali lagi aja."

"Soal?" Wajah Mahen masih menatap komputer.

"Tolong track nomor mobil ini."

"Punya cewek?"

"Hen, ayolah."

"Nggak, serius gue nggak mau bantuin lo stalking cewek, dosa."

"Lo nggak asyik lo. Gue bilangin Biya lho."

"Hih pengaduan, sana bilang Biya. Lo pikir gue takut."

"Bener, jadi Biya boleh tahu ya soal ...hmmm yang mana dulu nih yang mau gue buka. Soal lo simpen fotonya di kamar, atau soal..."

"Hai Angel, blokir semua akses telepon Mareno Yusuf Daud, juga kartu kreditnya. Perintah berlaku mulai seka..."

"Mahendra, awas lo berani-berani."

Mahendra tersenyum geli sambil menoleh sejenak menatap Mareno. "Lo mau black mail gue? Serius?"

"Permintaan tidak lengkap, mohon ulangi." Suara Angel menyela mereka.

"Shit, adik menyebalkan." Mareno keluar saja dari sana diiringi dengan tawa Mahendra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro