Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 32 - Important and confidential

Mereka duduk di ruang meeting rumah besar keluarga Ibrahim Daud. Ibrahim mendengarkan apa yang dikatakan anak-anaknya, Arsyad, Mareno, Mahendra dan Hanif. Perihal tuduhan yang akan dilayangkan pada keluarga besar Daud. Tampuk kepemimpinan PT Sanggara Buana memang saat ini digenggam oleh Ardiyanto Daud, kakaknya yang sedang sakit keras. Karena kondisi itu maka secara otomatis dia yang akan bertanggung jawab atas apapun yang terjadi. Sekalipun CEO yang menjabat adalah Audra, anak dari Ardiyanto.

Setelah pensiun dini sebagai duta besar Indonesia di Amerika, dia memang sudah kembali dan menetap di sini. Berkumpul bersama keluarganya lagi dan juga mengawasi jalannya perusahaan keluarga. Audra Amara Daud belum terlalu lama menjabat sebagai CEO, menggantikan Ardiyanto yang harus terbaring koma sejak tahun lalu. Anak perempuan satu-satunya dari Ardiyanto Daud itu terkenal temperamental, padahal sikap Ardiyanto justru sebaliknya. Tapi Ibrahim tidak akan sampai hati membuat kemenakannya sendiri berurusan dengan hukum seperti ini. Audra perempuan yang tangguh, tapi dia tetap perempuan. Sofia Daud, istri dari Ardiyanto bisa shock jika anak semata wayang mereka harus masuk ke dalam bui.

"Jika terjadi apa-apa, Ayah akan tanggung jawab," ujar Ibrahim.

"Kami sedang berusaha mengumpulkan bukti-bukti untuk mematahkan tuduhan itu. Kasus ini sudah sampai ke pihak penyidik. Semua track record Ayah dan Om Bayu yang sangat baik membuat penyidik sangat berhati-hati soal tuduhan ini," ujar Arsyad menjelaskan.

"Hal itu memberi kita waktu," timpal Hanif.

"Bayu sudah tahu?" Belum sempat ada yang menjawab ponsel itu berbunyi. Ibrahim mengangkatnya. "Assalamualaikum, Bayu."

Ibrahim mendengarkan apa-apa yang Bayu sampaikan. Kawan dan koleganya itu sudah tahu. Orang-orang Bayu juga sedang mengumpulkan fakta dan bukti. Dia bisa berjanji bahwa jika anak-anaknya tahu sesuatu, maka dia akan memberikan informasi itu pada Bayu.

"Saya harap, semua hal ini tidak mengganggu hubungan baik kita selama ini Bayu."

"Mas, kita sama-sama korban. Saya benar-benar penasaran siapa pelakunya dan apa tujuan besarnya. Saya pun sedang cek siapa-siapa yang memiliki kemungkinan besar untuk menggantikan saya menjabat jika saya mundur. Itu bisa jadi salah satu motifnya."

Ibrahim diam sejenak. Dahinya mengernyit karena dia tahu sesuatu tapi tidak bisa mengutarakan hal itu. "Ya, itu langkah yang tepat. Kita berkabar lagi nanti."

Hubungan disudahi. Dia menatap anak-anaknya. "Audra tahu?"

"Tahu dan mengamuk. Karena dia paham benar bahwa kita tidak akan membahayakan dia. Besok pagi mungkin Audra akan telpon Ayah," Arsyad menjawab.

Tidak berapa lama pintu itu diketuk dan wanita yang sedang dibicarakan masuk dengan wajah berang yang berusaha dia kendalikan.

"Paman, apa kabarmu?"

"Assalamualaikum, Sayang."

Audra mencium pipi pamannya sesaat. "Wa'alaikum salam." Kepala Audra menoleh pada si empat saudara.  "Aku tidak suka jika kalian mulai ikut campur."

Mareno terkekeh geli. "Kamu manis sekali jika sedang marah begitu, Sissy. Duduk dulu."

"Ck...anak kecil. Jangan perintah-perintah aku. Ini perusahaanku dan aku lebih dari mampu melindungi dan menanggulangi masalah ini."

"Sayang, duduk dulu," Ibrahim menatapnya lembut. Kemudian mengawasi Audra duduk tegak menghadap ke arahnya. Dia tersenyum.

"Saya tidak pernah meragukan kemampuanmu. Kamu sangat hebat. Tapi, kasus ini kompleks dan juga melibatkan internal keluarga kita. Jika kamu tahu apa maksud saya."

"Aku nggak paham dimana otak Herman? Bisa-bisanya dia mau menghancurkan usaha keluarga besarnya sendiri. Apa dia gila?" teriak Audra.

"Herman adalah Paman kalian. Hormati dia. Belum tentu juga kali ini dia yang berulah. Ini hanya asumsi sementara. Fakta yang ada belum kuat."

"Menghormati dia? Tidak akan pernah. Tidak sudi. Aku yakin 100% dia juga dalang dari semua ini. Aku akan datang ke tempatnya dan meracuni dia sendiri. Dasar brengsek."

"Apapun itu kita tidak bisa bergerak tanpa bukti," ujar Arsyad. "Dan itu tugas kami."

"Kita, masukkan saya," timpal Audra.

Arsyad menghirup nafas panjang. "Kamu perempuan..."

"Saya benci sikap diskriminatif kamu, Bang."

"Ya, kamu boleh ikut serta dan kami akan hubungi kamu nanti," timpal Mareno cepat. Paham benar Audra adalah jelmaan Tania. Wanita super keras kepala karena terlalu pintar. Berdebat dengannya sekarang hanya akan membuang waktu. Dia sendiri jarang sekali menang dengan Tania.

Wajah Arsyad menoleh pada Mareno kesal. Kemudian Mareno malah mengedipkan mata sambil tersenyum penuh arti.

"Sayang, jangan bertindak sendiri. Pikirkan anakmu," nasihat Ibrahim pada kemenakannya itu. "Pulanglah sekarang, ini sudah malam."

Audra mengangguk mulai tenang. "Aku menyayangimu Paman, sangat." Audra mencium pipi Ibrahim sayang.

"Aku juga sangat menyayangimu."

Pintu ruangan sudah terutup ketika wanita itu berlalu.

"Apa bisa lo jelaskan sikap lo tadi?" Arsyad menatap Mareno tajam.

"Kalau kita menolak, Audra makin emosi. Dia bisa bertindak sendiri Bang. Dan itu malah merepotkan kita nanti. Paling tidak, jika dia bersama kita lebih mudah untuk kita mengkontrol emosinya yang meledak-ledak. Kita bisa ikutkan dia dalam salah satu hal kecil dan tidak berbahaya. Jadi meminimalkan terjadinya insiden dan buat dia terluka." Mareno diam sejenak. "Keep your friends close, and our dear Audra closer."

Biasanya anaknya yang satu ini tidak pernah serius dan memikirkan hal-hal yang terlalu berat. Sikapnya sembarangan dan semaunya sendiri. Tapi kali ini dia bisa melihat perubahannya jelas. Apalagi permintaannya untuk melamar anak Bayu yang dia utarakan beberapa minggu lalu. Dia dan Trisa tersenyum geli ketika mendengarkan permintaan itu dari Mareno. Ini semua membuatnya tertawa. "Kamu benar-benar jatuh cinta rupanya."

Kemudian Mahendra dan Hanif ikut tertawa lebar.

"Ya Tuhan, kalian masih bisa tertawa saat begini? Apa bisa meledek saya nanti?" Mareno kesal sekali.

Sesaat kemudian mereka sudah tenang lagi. Wajah Arsyad menatap ayahnya khawatir. "Saya akan tambahkan orang di sekeliling Ayah dan akan menawarkan hal yang sama pada Bayu."

Ibrahim tersenyum bijaksana. "Tidak perlu, saya tidak takut Herman. Saya takut pada yang Mahakuasa. Gunakan orang-orangmu untuk hal berguna lain. Orang yang ada saat ini sudah jauh lebih cari cukup. Atau Mama kalian akan curiga dan mulai takut. Tapi silahkan tawarkan penjagaan pada Bayu."

"Ayah, tolong jangan nekat bertemu dengan Herman tanpa saya. Tolong Yah," pinta Arsyad.

"Arsyad, Herman itu keluarga. Bagaimanapun buruknya sikap dia. Dia tetap adik Ayah. Apapun yang membuat dia begitu harusnya bisa diluruskan atau dibicarakan."

"Itu sudah berlalu Yah. Maksud saya, sudah sangat terlambat bicara apapun pada manusia seperti Herman," ujar Arsyad.

Hanif menoleh ke arah abangnya itu untuk memperingati agar dia tidak kelepasan bicara. Mereka semua masih menyimpan fakta-fakta tentang pengeboman dan juga penembakan yang dilakukan oleh Tommy Daud dari orangtua mereka. Karena paham benar ayah akan sangat terluka tentang kenyataan itu.

"Apa yang terjadi jika tiba-tiba Mareno atau Mahendra berubah sikapnya? Apakah kamu langsung membunuh mereka? Menghukum tanpa ampun?"

Arsyad langsung menjawab tanpa ragu. "Ya, yang benar adalah benar, dan salah adalah salah."

Mareno menunduk paham benar apa arti kalimat itu.

"Kamu lupa satu lagi Arsyad. Keluarga adalah yang utama dan pertama," sahut Ibrahim.

"Tapi jika salah satu dari adik saya melanggar norma-norma, saya yang akan memenjarakan mereka sendiri dengan tangan saya. Mereka tahu apa resikonya Yah. Kita tidak bisa mengatas-namakan keluarga jika kesalahan itu dilakukan dengan sadar dan berakibat fatal."

Ibrahim menghela nafas. "Jalan yang paling baik adalah mengingatkan dan membantu mereka yang tersesat hatinya."

"Ya, di dalam penjara," sahut Arsyad pendek.

"Ayah, ini sudah malam. Sebaiknya Ayah istirahat. Sebentar lagi Mama memanggil," Hanif menengahi sambil tersenyum.

Bibir Ibrahim juga tersenyum mengerti maksud Hanif. "Baik, kita solat bersama dulu sebelum kalian kembali." Ibrahim berdiri. "Ayah tunggu di musholla."

Ayah mereka sudah ke luar ketika Arsyad berdiri.

"Kita ke safe house, bahas langkah selanjutnya. Apapun itu, tidak boleh ada yang tahu soal fakta tentang kejahatan Herman dan Tommy. Termasuk Ayah dan Pak Bayu. Belum saatnya Ayah tahu. Paham?"

Mereka mengangguk dan berdiri menyusul abang mereka ke luar ruangan.

***

Arsyad dan Mareno duduk menunggu Bayu Tielman dalam ruangan meeting. Mereka memang mempunyai janji temu di Confidential Room siang ini. Ruangan yang dibuat dan dirancang khusus untuk pertemuan-pertemuan penting dan rahasia. Berada pada salah satu restoran milik keluarga Darusman sebagai pengalihan. Tempat netral karena memang keluarga Darusman bukan keluarga yang aktif berpolitik. Sekalipun semua teknologi yang dipasang adalah teknologi milik Daud.

Jika seseorang ingin menggunakan ruangan-ruangan yang ada di sini, mereka akan menghubungi seorang yang disebut The Secretary. Orang rahasia yang identitasnya disamarkan. Setelah tujuan pertemuan diverifikasi, seluruh akomodasi akan disiapkan. Mobil khusus yang menjemput, pintu akses tersembunyi yang dibuka dan ruangan itu akan diperiksa untuk memastikan tidak ada kebocoran informasi.

Mareno dan Arsyad tiba lebih dulu dan sedang menunggu.

"Kenapa lo?" Arsyad memperhatikan adiknya yang berjalan mondar-mandir sedari tadi.

"Nggak kenapa-kenapa," dia gugup sekali. Ini akan menjadi pertemuan pertama dengan Bayu Tielman setelah insiden menyebalkan di pesta pernikahan Radita. Sebelumnya mereka juga sudah sering bertemu, tapi benar-benar untuk urusan pekerjaan dan proyek saja. Dan dulu, dia belum jatuh cinta pada anak gadis semata wayang Pak Mentri. Jadi tidak ada kegelisahan yang menghantui. Ya Tuhan.

Kemudian Arsyad tersenyum kecil. "Jangan bilang lo grogi Ren. Gara-gara mau ketemu Bapaknya Tania?" Kepala Arsyad menggeleng masih sambil tersenyum.

"Diem lo Bang."

"Lo yang ngomong kalau gitu," ujar Arsyad meledek Mareno.

"Gimana maksud lo?"

Belum sempat Arsyad menjawab pintu itu diketuk kemudian terbuka. Bayu Tielman masuk. Mereka berjabatan tangan singkat sambil saling mengucapkan salam. Arsyad diam sejenak kemudian mulai menjelaskan status terbaru. Tentang dokumen pemesanan palsu dengan tanda tangan palsu dan fakta-fakta terbaru atas kasus penyelundupan ini.

Mareno melanjutkan dengan list orang-orang yang masuk dalam tim penyidik. Juga menginformasikan pada Bayu bahwa mereka sudah memiliki 'orang dalam' yang akan memantau perkembangan proses penyidikan. Sementara mereka juga akan menelusuri asal muasal senjata dan amunisi yang diselundupkan, juga pasang mata untuk orang-orang pemerintahan yang gerak-geriknya mencurigakan. Kementrian perdagangan dan perindustrian memang menjadi salah satu kementrian strategis dalam bidang bisnis dan usaha. Jadi dua kementrian itu sedang mereka awasi karena mereka merasa kementrian Pertanian yang terlibat secara tidak langsung hanyalah sebuah pengalihan saja.

Bayu diam menatap ke dua anak muda dihadapannya ini. Arsyad sudah terkenal dengan kemampuannya yang hebat sekali perihal menyusun strategi, juga bagaimana jaringannya yang luas ditambah dengan hubungan kuat dengan orang-orang angkatan yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Sedangkan Mareno, dia sudah tahu Mareno adalah negosiator ulung dan pebisnis yang handal. Terbukti bagaimana saat Mareno menangani proyek chip pintar. Tidak ada keputusan yang berat sebelah dan kontrak kerja yang transparan membuat Bayu terkagum-kagum. Tapi, dia juga banyak mendengar desas-desus tentang hubungan pribadi Mareno Daud. Itu yang membuatnya meragu.

Saat ini, kedua anak Ibrahim Daud benar-benar menunjukkan kesungguhan mereka. Untuk membongkar apa yang terjadi sesungguhnya. Mengapa dia dan Ibrahim dijebak seperti ini.

"Tidak perlu menambah penjagaan disekitar saya."

"Maaf, saya kurang setuju. Siapapun yang ingin menyerang anda, dia bisa menyerang kapanpun dan dimanapun. Itu membuat anda rentan," Arsyad menjelaskan.

"Saya punya tim penjaga."

"Tidak sebaik yang ADS punya. Kemampuan satu orang ADS sama dengan 3 orang penjaga lain," ujar Arsyad.

Bayu menghirup nafas dalam, kemudian berpikir sejenak.

"Atau biarkan kami menjaga anda diam-diam." Mareno diam sejenak. "Maksudnya, kami akan memasang orang tanpa orang-orang lain tahu. Hanya untuk berjaga-jaga."

"Apa bisa begitu?"

Mareno tersenyum kecil. "Sangat bisa. Itu keahlian ADS."

"Baik, sekalipun saya pikir dalang dari semua ini tidak akan menyerang fisik karena dia ingin bermain catur politik. Itu menurut saya."

"Kemungkinan hal itu juga sudah kami pikirkan. Tapi beri kami waktu untuk mengurai fakta. Kami akan informasikan lagi nanti," komentar Arsyad.

"Kami juga tidak suka berspekulasi dengan keamanan seseorang, jadi ijinkan kami untuk menjaga anda," timpal Mareno.

Bayu diam lagi, menatap Mareno dalam dan menyampaikan pesan yang berarti ganda. "Tolong juga lakukan hal yang sama pada anak saya. Dia..." Bayu menekankan intonasi suara. "...adalah dunia saya. Jangan biarkan Antania mengetahui hal ini dan menjadi cemas. Juga, jangan biarkan dia terluka sedikitpun." Wajah Bayu tegas sekali menatap Mareno. Dia ingin laki-laki ini tahu, bahwa dia bisa melakukan apa saja untuk menghancurkan siapapun yang menyakiti Antania.

Mareno paham benar, apa arti kalimat Bayu tadi. Permintaan, peringatan dan ancaman. Itu artinya Bayu sudah tahu tentang hubungan mereka dan masih ragu dengan kesungguhannya. Tapi Bayu akan memberikan kesempatan pada dirinya untuk membuktikan kesungguhannya itu. Kesempatan ini, tidak akan dia sia-siakan.

"Saya paham benar maksud anda. Saya berjanji akan menjaga anda dan Antania, sebaik-baiknya."

"Bagus."

Kemudian mereka melanjutkan perbincangan mereka. Bertukar informasi dan menyusun rencana.

***

Dia berkendara menembus malam, sambil membayangkan dan merindukan wanitanya. Ini sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Bayu Tielman dan mereka belum bertemu. Dan seperti biasanya, wanita keras kepala itu tidak pernah menghubungi. Hanya menjawab telponnya terburu-buru satu dua kali. Menyebalkan. Kemudian satu tangannya memijit panel mobil.

"Max, saya yang berjaga malam ini. Kalian stand by di markas besar aja kalau saya panggil. Thanks Max." Dia menyudahi. Kemudian tangannya bergerak lagi.

"Sayang, sedang apa?"

"Reno, jangan mesra-mesra. Aku merinding dengernya serius dan jadi kesel karena bayangin kamu juga dulu ngomong begitu sama pacar-pacar kamu."

"Kamu mulai lagi, Beiby."

Tania tertawa. "Dasar menyebalkan. Aku capek banget hari ini."

"Cuma satu jadwal operasi hari ini kan?"

"Iya, tapi tadi aku bantu Aryan selesaikan dua lainnya. Dan kamu nggak boleh selalu cek jadwal aku Ren. Itu pelanggaran hak privasi."

"Kamu mau resign aja nggak?"

"What? Ya nggak lah. Aku bisa gila kalau tiba-tiba nggak punya kegiatan."

"Banyak, kamu sudah punya banyak kegiatan selain praktek."

"Hih, kamu persis kayak Papa."

"Apa kamu sudah bicara dengan Papa-mu?"

"Belum. Papa tiba-tiba sibuk sekali. Katanya ada sesuatu yang penting soal pekerjaan. Aku tidak tahu apa itu. Apa kamu tahu sesuatu?"

Dia diam sejenak, teringat pesan Bayu padanya. "Mungkin urusan pekerjaan biasa, kan?"

"Ya, mungkin saja. Kamu dimana?"

"Hampir sampai rumah." Mareno diam sejenak. Jika ini terjadi berbulan-bulan lalu saat dia masih bersikap seperti dulu, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak menertawakan dirinya sendiri. Tapi sekarang ini, rasanya sulit sekali untuk tidak mengatakan apa yang dulu dia anggap tabu. "I miss you."

Tania diam, tidak menjawab dan malah berujar. "Aku harus mandi. Mungkin setelah mandi jadi enakan."

"Okey. See you again, Beiby."

"Oooh I hate that nick name. Ganti dong." Tania tertawa lebar. "Bye Ren."

Mobilnya dia parkirkan di basement. Kemudian dia ke luar dan segera menuju ke lantai atas. Berdiri di depan pintu dan mengetuknya perlahan. Setelah tiga ketukan pintu itu terbuka. Wajah Tania yang terkejut lucu sekali.

"Loh kok?"

Dia langsung mencium pipi wanita kesayangannya itu. "Kamu masak apa?" Tubuhnya sudah masuk tanpa dipersilahkan.

"Kamu bilang kamu pulang ke rumah? Kok bohong?" Tania mengikutinya di belakang.

"Aku nggak bohong, ini aku pulang kan?"

Pundaknya di pukul. "Dasar tukang ngerayu." Kemudian Tania sudah menyelonjorkan tubuhnya di sofa panjang ruang tengah. "Aku capek banget, kamu balik gih sana. Aku nggak punya tenaga buat ngeladenin kamu."

Matanya menatap tubuh Tania yang tidur terlentang di atas sofa panjang dan berbalutkan legging hitam serta kaus olahraga tanpa lengan, jaket olahraga wanita itu disampirkan di kursi meja makan.

"Kamu mulai latihan lagi dan nggak bilang sama aku?" protesnya masih sambil berdiri.

Tania menatapnya berani. "Jangan mulai ya, aku udah bilang aku habis tenaga." Kemudian dua tangan wanita itu mengusap wajahnya lelah.

Dia berjalan mendekati Tania dan menyentuh lengannya lembut. "Aku akan panggil Max untuk latih kamu. Yana ceroboh bikin kamu lebam-lebam begini," ujarnya kesal sekali.

"Marenoooo kamu pulang ajaaaa." Tania merengek dan itu malah membuatnya tersenyum.

Satu tangannya mengangkat dua kaki Tania yang berada di atas sofa lalu dia duduk di sana dan meletakkan tungkai kaki itu di pangkuannya.

"Ren, jangan macem-macem kamu ya," Tania bisa merasakan Reno memijit kakinya perlahan.

"Loh apa? Aku cuma duduk dan mau pijitin kamu."

Tubuh Tania bangun sedikit ditopang dengan dua lengan. "Ren, jangan deket-dekat. Aku bau belum mandi."

Kemudian Mareno berhenti dan dia mengangkat tubuh Tania dengan dua tangan dan meletakkannya di pangkuan.

"Marenooooo...." Tania sudah menggeliat.

"Kamu? Bau? Nggak pernah sepanjang yang aku tahu. Wangi kamu luar biasa, Beiby."

"Reno, aku nggak suka dipanggil begitu."

"Kamu yang panggil aku begitu duluan."

"Kemarin itu bercanda Ren dan aku serius belum mandi. Baru ganti baju doang."

"Kamu berisik."

Posisi tubuh Tania menyamping dipangku oleh Mareno. Ini bukan pertama, Mareno suka sekali memangkunya seperti dia suka bergelung ketika Mareno melakukan hal itu. Tapi kali ini dia belum mandi, jadi jengah sendiri.

Akhirnya Mareno mengalah melepaskan tubuh Tania yang sudah berdiri dan berjalan ke kamar mandi.

"Kamu pulang aja ya," ujar Tania sedikit merengek sebelum masuk ke kamar mandi.

Mareno malah melepas sepatu dan kaus kakinya dan menggulung lengan kemeja. "Aku sudah di rumah. Mandi sana, jangan ribut. Aku masakin sesuatu."

Wajah Tania yang kesal malah tambah membuat Mareno gemas. Dia berdiri dan bertolak pinggang sambil menatap Tania.

"Kamu pilih aku angkat ke tempat tidur sekarang, atau kamu masuk ke dalam kamar mandi?"

Wajah Tania memerah sebelum dia bergegas masuk ke kamar mandi. "Dasar menyebalkan."

Dua puluh menit kemudian Tania ke luar sudah dengan piyama panjang dan wajah yang lebih segar. Bau harum masakan sudah menguar.

"Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak punya protein selain telur? Kamu bukan vegetarian seingatku."

Tania duduk di kursi makan menatap Mareno yang duduk di seberangnya.

"Aku belum belanja. Lagian biasanya kalau malam aku cuma makan buah."

"Ya sudah, nikmati makan seadanya."

Mata Tania menatap Mareno yang mulai minum. Dia tersenyum, sikap laki-laki ini manis sekali entah kenapa. "Kamu ada maunya ya?"

"What?"

"Iya, ada maunya." Tania mulai menyendokkan makanan ke piring. "Karena tumben kamu ke sini, tumben kamu baik begini."

"Antania, aku marah banget kamu bilang begitu. Apa bisa kamu stop nuduh aku yang nggak-nggak?"

Kemudian Tania malah tersenyum geli. "Ini yang bikin kita selalu berantem ya. Aku yang usil pancing-pancing kamu dan kamu yang temperamental banget. Jadi ribut terus deh."

Mareno mendengus kesal dan memilih mengabaikan hal itu. "Enak nggak?"

"Lumayan." Tania asyik makan.

Dalam beberapa saat mereka hanya diam. Tania karena benar-benar menikmati tumis sayur dan jamur sederhana buatan Mareno, dan laki-laki itu karena asyik menatap Tania makan. Kemudian setelah selesai Tania minum dan meletakkan piring kotornya di tempat cuci. Dia berjalan menuju Mareno dan duduk di atas pangkuan sambil merangkul laki-laki itu.

"Enak banget, makasih ya," Tania mencium pipi Mareno sesaat.

Wajah Tania yang bahagia membuat dia tersenyum lebar. Dia sudah tidak perduli lagi jika saat ini dia benar-benar murahan. Dua tangannya sudah melingkar di pinggang Tania. "I miss you so much. Kenapa kamu nggak telpon?"

"Aku sibuk, Beiby." Tania tersenyum kecil meledek Mareno yang segera mencium bibirnya. Tapi dia tidak berbohong soal kesibukannya itu. Lea sudah mulai mengirimkan lagi daftar nama perusahaan. Dia dan Lea sibuk mengecek nama-nama hingga larut malam. Tapi belum menemukan profil yang sesuai.

Ciuman itu berhenti. "Apa Mahendra sedang sibuk?" tanya Tania.

"Kenapa?"

"Apa kalian bisa membantuku, soal kasus sahabatku?"

Mareno kemudian ingat bahwa dia pernah menawarkan bantuan itu. "Kami semua sedang mengerjakan sesuatu. Tapi aku bisa usahakan."

"Jangan kalau kamu lagi sibuk. Urusan penting?"

"Sangat penting dan rahasia." Mareno mencium bibir itu lagi, menikmatinya lama-lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro