Part 29 - Fall
Jatuh cinta itu aneh. Apalagi konsep cinta itu sendiri. Dia tidak pernah percaya sebelumnya. Karena hati hanyalah salah satu bagian tubuh saja kan. Harusnya otak yang memimpin, bukan hati. Oh entah, dia bukan dokter yang bisa mengkorelasikan itu semua. Lihat dia sekarang, tidur bersebelahan dengan wanita yang dia cinta masih dengan pakaian lengkap dan tidak melakukan apapun juga. Ya maksudnya mereka berciuman. But come on, apa mereka anak SMA?
Kepala wanita itu bersandar pada dadanya. Nafasnya teratur sekali, karena tidurnya pulas padahal dia masih mengenakan gaun malam yang sama. Mereka berbincang di atas tempat tidur sampai lima belas menit yang lalu. Bayangkan? Dia, Mareno Daud si Don Juan berbincang di tempat tidur dan tidak melakukan hal yang lainnya. 'Oh ide ini buruk sekali,' rutuknya dalam hati. Tapi entah kenapa dia merasa sangat nyaman, dia bahagia. Sinting kan?
Dia masih laki-laki yang sangat normal karena sensornya sudah bernyanyi sejak tadi. Untung saja dia masih bisa mengendalikan itu semua dan Tania tidak curiga karenanya. Apa mungkin wanita itu tahu tapi pura-pura abai? Itu akan sangat memalukan, karena itu dia hanya bisa meyakini bahwa Tania tidak tahu.
Jari-jarinya menyisir dan membelai rambut Tania perlahan, hidungnya menghirup puas wangi yang dia suka dan dadanya bisa merasakan hembusan hangat nafas Tania. Kemudian, semua seolah berputar ulang. Tentang bagaimana mereka bertemu dulu, tentang sikapnya yang buruk sekali pada wanita ini, tentang ciuman pertama mereka atau kenangan mereka di tebing malam itu. Semua kenangan itu membuat bibirnya tersenyum, dia bahagia. Hingga akhirnya matanya sendiri terpejam. Terlelap bersama kekasihnya.
***
Dia mengerjap perlahan ketika bangun dengan harum laki-laki itu dan langsung menyadari posisinya yang memeluk Mareno dari samping dengan pakaian lengkap. Wajahnya yang langsung memerah sudah menoleh ke atas melihat mata Mareno yang menatapnya, kemudian laki-laki itu tersenyum.
"Good morning beautiful."
"Kamu bangun dari kapan?" dia berusaha bangkit namun tangan kuat Mareno tidak mengijinkan.
"Tiga puluh menit yang lalu. Jangan kemana-mana, aku masih mau begini. Kapan lagi kan?"
Kemudian dia memindai ke sekeliling ruangan. Kamar hotel, seminar, penerbangan pagi. 'Ya Tuhan, ini jam berapa?' Tubuhnya langsung duduk tegak hingga Mareno terkejut.
"Ada apa?"
"Pesawatku Ren, ya ampun aku lupa." Tubuhnya sudah berdiri kemudian berlari ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Dalam beberapa detik dia ke luar lagi dari kamar mandi seperti kebingungan.
"Ren, lihat ponselku nggak? Aku harus cek jadwal flight dan telpon airport. Tolong miscall ponselku."
Laki-laki itu malah diam saja melihatnya panik sambil tersenyum dari atas tempat tidur. Sementara dia mulai berkeliling kamar untuk mencari ponselnya yang entah dimana.
"Mareno, bantuin aku dong. Aku telat nih."
"Sayang, kamu jelas-jelas ketinggalan pesawat terus masih panik. Kamu terlambat, terima aja kenyataannya."
Dia menatap laki-laki itu kesal. "Nggak mau bantuin terus malah ngeledek lagi."
"Aku punya jet yang siap antar kamu kemana aja dan kapan aja. Menurut kamu aku ke sini naik apa? Pesawat komersil?" Mareno sudah duduk di pinggir tempat tidur.
Kemudian dia menghirup nafasnya panjang dan lega. "Bilang dong dari tadi. Suka banget lihat aku panik begini ya?"
Dua tangan Mareno sudah menarik tubuhnya mendekat. Laki-laki itu mendongak karena posisinya yang masih duduk di pinggir tempat tidur. Kemudian Mareno mengambil jari tangannya dan menciumnya satu per satu. Kemudian dia tersadar.
"Wow, kamu sudah pasang cincinnya. Aku belum bilang iya Ren."
"Aku nggak bertanya, itu pernyataan atas itikad baik aku."
Dia mendengkus namun tertawa. Berusaha mengabaikan dadanya yang sudah berirama sejak tadi.
"Apa kamu suka cincinnya?"
"Hmmm....lumayan," Oke, cincin itu cantik dan mewah sekali, dia hanya tidak mau mengakui hal itu pada Mareno. Kemudian matanya tertumbuk pada kotak hitam kecil pada meja nakas. 'Harry Winston. Laki-laki ini tidak main-main.'
Tanpa dia sadar Mareno sudah berdiri, kemudian mencium bibirnya lembut. Efek yang diberikan dari ciuman itu pada reaksi tubuhnya besar sekali. Karena saat Mareno tidak berhenti refleks matanya sudah terpejam, satu tangannya berpegangan kuat pada lengan Mareno, sementara Mareno dengan ahlinya memperdalam ciuman mereka. Menikmati setiap detik yang sedang terjadi. Dia hampir lupa kalau Mareno adalah laki-laki yang normal. Apalagi dengan semua sejarah laki-laki itu dulu. Dia sendiri heran bagaimana bisa mereka semalam tidur berdampingan dengan pakaian lengkap dan tidak melakukan apapun. Jadi sudah jelas laki-laki ini akan berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya sekarang. Hal yang paling berbahaya lainnya adalah semua sensor di tubuhnya juga sudah menyala. Bagaimana jadinya?
"I want you," bisik Mareno.
"I know," ujar mereka di sela-sela aktifitas itu.
Bibir Mareno sudah turun ke lehernya yang terbuka. Mencium sambil menghirup wanginya. Satu tangan Mareno masih berada di belakang leher, sementara tangan yang lain masih menempel erat di pinggang. Dia bisa merasakan jari-jari Mareno bergerak di belakang kepalanya, mengusap lembut.
"I can not," Mareno menghembuskan nafas perlahan ketika dia berhenti.
Mata laki-laki itu terpejam seperti menahan apa yang ingin sekali dia lakukan saat ini. Sementara dia sendiri diam saja, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ponselnya kemudian berbunyi. Sebelum menjawab, dia mencium pipi laki-lakinya itu sayang. Tubuhnya melangkah menjauh dan mencari asal bunyi. Dahinya langsung mengernyit melihat nama yang terpampang pada layar ponsel. Sena.
Dia diam sesaat. Ini benar-benar membingungkan. Berurusan dengan dua laki-laki yang sama keras kepalanya begini. Mareno sudah merengkuh lagi tubuhnya dari belakang dan mencium puncak kepalanya.
"Aku ke kamar sebelah dulu, mandi dan atur penerbangan. Kamu siap-siap."
Tangan Mareno sudah melepaskan tubuhnya namun dia sendiri belum memutuskan apa dia harus menjawab telpon itu atau tidak.
"Jawab Sayang, laki-laki itu benci digantung. He will understand."
Pintu kamarnya sudah tertutup. Kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur dan menjawab panggilan itu.
"Nin, aku sudah di airport. Kamu sudah landing?"
"Sena, maaf. Aku kesiangan dan ketinggalan pesawat."
"Aku bantu pesankan lagi tiketnya, mau?"
Tania memberi jeda yang panjang dan tersiksa sendiri karena itu. Dia tidak bisa membiarkan Sena terus berharap, sementara hatinya sudah tidak berada di sana.
"Sena...maafkan aku Sen." Dia memejamkan mata seolah ikut merasakan sakit yang akan dia berikan pada laki-laki baik ini. Ada jeda di sana. Sena seperti mengerti apa maksudnya.
"Kamu bersama dia, karena itu kamu terlambat. Apa begitu Nin?" Suara Sena tertahan dan berat sekali.
Dia menghirup nafas dalam. "Maafkan aku Sen..." salivanya sudah sampai di tenggorokan. "Tapi aku...tidak bisa denganmu lagi."
"Mareno Daud, itu pilihanmu?"
Air matanya jatuh satu-satu, ini berat sekali. Menyakiti hati laki-laki baik ini. "Maafkan aku. Entah kapan itu, maafkan aku."
Sena diam di sana sejenak, lalu dia berujar lagi dengan suara yang berat dan dalam. "I will be fine. Take care Nina. I love you, I always do."
Hubungan itu disudahi, meninggalkan dirinya yang menangis sambil memeluk lututnya sendiri.
***
Pintu kamarnya diketuk jam sembilan pagi. Dia diam saja, masih duduk di sofa luar balkon kamar hotel. Entah kenapa dia sedih sekali, membayangkan bagaimana perasaan Sena saat ini. Juga, mencoba mencerna semua yang sedang terjadi. Matanya menatap cincin indah yang melingkari jarinya. Apa benar Mareno mencintai dia sebanyak itu? Apa laki-laki itu bisa setia? Bagaimana dengan ayahnya? Apa beliau akan setuju dengan ini semua? Apa juga maunya sendiri? Menikah adalah komitmen besar. Dia merasa belum mengenal benar siapa Mareno. Berbeda dengan Sena pastinya, karena sejak dulu mereka sudah bersama. Hal-hal itu yang membuat pikirannya kalut dan bingung sekali.
Kemudian dia mendengar suara pintu yang terbuka dan tidak terlalu kaget tentang bagaimana bisa Mareno memiliki kunci kamarnya. Ya, laki-laki itu punya seluruh kuasa dan juga teknologi untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan. Hal itu juga yang membuat dia meragu. Bagaimana jika Mareno bosan dan pergi? Apa yang harus dia lakukan nanti? Membalas? Egonya terlalu tinggi untuk melakukan itu. Sejak dulu prinsipnya dalam berhubungan adalah saling mencintai. Ketika salah satunya berubah pikiran, dia tidak akan sudi mengejar dan mengemis laki-laki itu untuk kembali. Tidak akan, demi apapun itu.
"Tania, ada apa?" Mareno duduk di sebelahnya. Sudah rapih dengan kemeja hitam dan jins.
Dia diam saja dan malah menyenderkan kepala pada bantal besar sofa yang ada.
"Sena marah-marah dan mengancammu?" Tubuh Mareno sudah bersandar ke sofa. Satu tangannya berusaha meraih tubuh Tania untuk bersandar ke tubuhnya.
Kepalanya menggeleng. "Dia bukan kamu."
"Ya, karena aku lebih baik dari dia."
Satu air matanya jatuh lagi. Dia kesal sekali karena Mareno seolah mengolok kesedihannya. "Just go." Tubuhnya beringsut menjauhi laki-laki menyebalkan itu.
Mareno menarik nafas dan mengangkat tubuhnya perlahan, lalu menempatkan pada pangkuannya sendiri. Refleksnya malah bergelung, menyenderkan kepalanya pada dada bidang laki-laki itu yang dia suka.
"Apa kamu cinta dia?" Tangan Mareno membelai puncak kepalanya.
"Ya...dulu."
"Hmmm. Apa kamu sekarang cinta dia?"
"Apa harus bertanya?" Telinganya menempel pada dada itu, dia suka mendengar detak jantung laki-lakinya.
"Harus, karena kalau kamu masih punya perasaan yang sama. Semua yang saya sudah usakan sia-sia."
"Kapan kamu akan bosan dengan saya?"
"Kalau kita berumur 100 tahun nanti."
"Nggak mungkin kamu sampai umur segitu. Persentasenya kecil, ditambah kalian punya banyak misi rahasia."
"Kalau gitu kamu sudah tahu jawabannya."
"Apa kamu yakin dengan perasaan kamu sendiri?"
"Sepertinya berlian itu kurang berat dan besar. Jadi kamu terus meragukan saya. Itu benar-benar menyakiti hati saya."
Mareno mencium puncak kepalanya. Dia bisa merasakan dadanya menghangat, dengan kehangatan yang dia kenal dan suka. Jadi dia mendekatkan hidungnya pada dada Mareno, menghirup wangi tubuh laki-laki itu.
"Menurut kamu kalau saya lompat dari balkon ini, apakah saya akan jatuh ke bawah?" tanya Mareno.
"Sudah pasti."
"Berapa persen kemungkinannya?"
"100%, kenapa kamu bertanya hal yang tidak perlu?"
Satu tangan Mareno menenggadahkan dagunya ke atas dengan perlahan hingga mata mereka bertatapan.
"Perasaan saya, sama pastinya dengan hal itu. 100%, pasti."
Kemudian dia bisa menemukan pantulan dirinya pada mata hitam Mareno. Juga campuran besar perasaan laki-laki itu padanya. Itu membuatnya menangis lagi.
"Aku menyakiti Sena, karena aku ingin bersama dengan kamu," dia berujar lirih.
"I'm sorry for not feeling sorry to him. Kamu memilih, tanpa paksaan. Aku dan Sena tidak bisa memaksa apapun pilihanmu. Aku yakin benar jika kamu memilih Sena, dia pun tidak akan berduka untuk aku."
Tangan Mareno mengusap air matanya. "Kamu boleh menangis, hanya hari ini saja. Selanjutnya, jangan pernah menangis untuk laki-laki manapun lagi."
"Termasuk kamu?"
"Ya, termasuk aku. Karena aku nggak akan buat kamu menangis."
Lagi-lagi air matanya jatuh. Kali ini, bukan untuk Sena. Tapi, untuk apa yang dia rasakan pada laki-laki yang memeluknya ini.
"Kamu paling tahu aku benci mengulang kata-kataku. But I will do what I hate the most if you asked me to. I love you Antania, I do really love you."
Kepalanya menggeleng kuat ingin mengusir air mata itu pergi, dia mendekatkan wajahnya pada laki-laki ini. Kemudian dia mencium bibir itu. Apa boleh dia mengutarakan semua yang dia rasa? Tentang bagaimana malam-malamnya yang hampa? Atau seluruh usahanya untuk menyelamatkan nyawa laki-laki ini dulu. Karena dia tidak mau tidak melihat sosoknya. Sekalipun mereka tidak selalu bersama. Jadi ya, dia juga cinta. Jatuh cinta pada laki-laki ini.
***
Manisnyaa....ati-ati diabetes.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro