Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28 - How's life without me

Ponsel di meja nakas berbunyi. Matanya langsung siaga kemudian menjawab panggilan itu.

"Pak, dalam beberapa hari kapal itu akan bersandar."

"Apa semua sudah siap?"

"Sudah, sudah beres. Dokumen sebagai barang bukti juga sudah siap kirim."

"Tanda tangan?"

"Beres."

"Bagus," dia tersenyum kecil lalu mematikan sambungannya.

Tangan ramping wanita itu merengkuhnya dari belakang. Dia menoleh dan menatap satu-satunya wajah yang dia benci sekaligus suka. Benci karena dulu dia dikhianati, suka karena memang hanya wanita ini saja yang ada di dalam hatinya. Kompleks, semua selalu rumit untuknya dan dia sudah terbiasa.

Tubuhnya berbalik menghadap Sharon. Dia mulai mencium bibir wanita itu kuat. Menuntut apa yang dia suka, sekalipun mereka baru selesai tiga puluh menit yang lalu. Dia tidak perduli, ini hukuman atas pengkhianatan wanita ini dulu.

"Tom, aku masih capek," Sharon hanya membuka setengah mata dan segera menyadari api gairah dalam mata Tommy sudah menyala lagi.

"No excuse."

***

Ini kali pertama dia bertandang cukup lama di kota itu. Kota yang memiliki detak yang berbeda dengan Jakarta. Cantik karena budayanya yang masih jelas terlihat. Ramah karena setiap kali dia berpapasan dengan orang yang tidak dikenal, mereka tersenyum atau menyapa. Ini hari terakhir setelah seminar kedokteran yang panjang. Dia sedang menikmati waktu berjalan-jalan dan membeli oleh-oleh untuk Reyhani dan Danika. Lalu langsung jatuh cinta dengan suasana kota ini.

Malioboro siang itu tidak terlalu terik. Karena pagi tadi hujan mengguyur deras. Dia ke sini dengan taksi sendiri dan memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan unik itu. Dia berpapasan dengan satu-dua pasangan yang berjalan bergandengan mesra. Lalu pikirannya langsung melayang pada laki-laki itu.

Mareno berusaha menghubunginya beberapa kali, setelah dia sendiri mengucapkan selamat tinggal pada laki-laki itu beberapa minggu lalu. Dia masih ingat benar pagi itu dia terbangun dengan perasaan bahagia. Merasa bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi kemudian saat ayah menyampaikan berita dari Sena, tiba-tiba dia tersadar sendiri. Bahwa dia dan Mareno adalah sesuatu yang tidak mungkin. Bukan hanya karena sejarah yang laki-laki itu punya, tapi juga prinsip hidup mereka yang berbeda. Ya, Mareno memang berkata satu-dua kali bahwa dia serius. Tapi, itu tidak cukup. Dia masih belum percaya atau mungkin tidak mau percaya, entah. Ponselnya berdenting.

Sena: Pesawatmu mendarat besok pagi?

Tania: Ya. Ada apa?

Sena: Aku jemput kamu di airport besok.

Tania: Tidak perlu Sena. Aku bisa naik taksi.

Sena: I miss you. I'll pick you up.

Dia menghela nafas perlahan. Sena Airlangga. Kenapa bisa saat ini hatinya tidak jatuh pada laki-laki baik itu lagi. Sena sungguh-sungguh tulus padanya tapi dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Laki-laki itu juga keras kepala sekali. Karena dia tidak pernah membalas kata-kata manis Sena, dia bahkan menjelaskan dengan jujur bahwa dia tidak mencintai Sena. Dan yang terjadi malahan Sena makin semangat mengejar dia dan lebih gila lagi Sena ingin melamarnya. Ada apa dengan para lelaki? Ketika wanita berbicara jujur, mereka malah menganggap itu adalah suatu psikologi terbalik seolah si wanita mengirimkan sinyal 'Buru Aku'.

Kemudian langkahnya berhenti tiba-tiba. Ada seorang lelaki di depannya memakai kemeja putih yang digulung setengah lengan dan celana jins gelap. Tinggi, dengan postur tubuh sempurna. Dia menahan nafas, apa mungkin? Tanpa bisa dia hindari kakinya melangkah mendekati laki-laki itu. Lalu setelah hampir dekat dia sadar kelakuannya konyol sekali jadi dia berhenti. Laki-laki itu berbelok.

'Bukan, bukan dia. Stupid Tania, kenapa masih mikirin dia,' rutuknya dalam hati.

Dia kembali mengatur nafas. Belakangan ini dia merasa benar-benar merindukan Mareno, sangat merindukan laki-laki aneh itu. Tubuhnya yang hangat ketika mereka berdekatan, tangannya yang kuat namun bisa memeluknya lembut, ciuman mereka atau mata dalam itu. Menatapnya tajam ingin mendominasi, namun terkadang pasrah karena terpaksa mengalah. Atau tawanya yang lepas, atau ekspresi kesal dan marahnya yang terkadang konyol sekali.

Harusnya Mareno tidak menghubunginya lagi. Karena paham benar semua yang terjadi diantara mereka tidak akan bertahan lama. Tetapi Mareno berusaha menghubungi sampai empat hari yang lalu dan dia dengan lihai menghindari itu. Dia tetap tidak mengerti kenapa laki-laki itu tidak menyerah saja. Lebih mengherankannya lagi ketika Mareno berhenti mengirimkan pesan sejak empat hari lalu, dia malah mencari begini. Dia selalu merasa sikapnya bodoh sekali setiap berurusan dengan Mareno. Ponselnya berdenting.

Mareno: How's life without me?

Lagi-lagi dia berhenti. Refleks tubuhnya memutar perlahan, seperti merasakan kehadiran laki-laki itu. Matanya terus mencari dan tidak menemukan apapun. Oh bodohnya dia karena gamang begini. Kemudian dia mencegat salah satu taksi yang lewat, lalu naik dan memberikan alamat hotelnya pada supir taksi itu.

Malamnya di restoran lantai bawah hotel.

Suasana restoran malam itu tidak ramai, hanya satu-dua pengunjung. Mungkin karena harga makanan di restoran ini tergolong mahal. Ya, hotel tempat seminarnya memang hotel terbaik di kota itu. Dia mengenakan gaun santai, paham benar kolega-kolega dokternya sudah kembali ke kota masing-masing. Ini makan malam terakhir dan dia ingin sendiri. Jadi setelah mengambil porsi makan kecil, dia memilih tempat duduk di balkon. Bagusnya, dia sendiri di sana.

Setelah menyelesaikan makan, seorang pramusaji menuangkan kopi. Dia mengucapkan terimakasih. Matanya menatap ke arah cangkir kopi dengan uap yang mengepul di atasnya. Wangi kopi itu menenangkan, membuat ingatannya terbang lagi.

"Kamu sekertaris?"

"Nama kamu Tania atau Sari?"

"Reno, Mareno."

"Dokter Tania. Bukan sekertaris."

Dia tersenyum sendiri, mengingat dulu mereka bertemu karena kopi. Kemudian bayangan itu datang lagi.

"Saya marah...saya tidak berpikir jernih. Saya bersalah."

"Tapi saya tidak akan mengulangi lagi permintaan maaf saya pada kamu. Silahkan benci saya, seumur hidupmu."

Kenyataannya, dia tidak pernah bisa membenci laki-laki itu.

"Apa kamu mau menunggu saya?"

"Saya cinta kamu, Antania."

"Kamu nggak dengar? Saya cinta kamu."

"Jangan menangis Dok, kamu akan baik-baik saja. Selalu begitu."

Dia terkekeh karena merasakan matanya yang basah. Hatinya terasa kosong, sepi dan ini benar-benar terasa sakit, nyeri. Kenapa bisa dia jatuh cinta pada laki-laki itu? Tapi di saat yang bersamaan mereka tidak bisa bersama. Lihat kemana perginya laki-laki itu sekarang? Dia tidak ada, hilang. Mungkin karena sudah mendapatkan buruan lainnya. Mungkin karena kata-kata cinta itu tidak sungguh-sungguh, karena itu saat ini dia pergi. Atau sangat mungkin jika si brengsek itu sadar bahwa Sena bahkan langsung menawarkan komitmen seumur hidup untuknya. Jadi dia mundur pergi. Ya Tuhan, kenapa rasanya masih nyeri.

"You don't answer my question." Suara itu ada di sana.

Kepalanya langsung menoleh ke asal suara.

"How's life without me?" Mareno Daud mengulang pesan yang dikirim tadi, dia sudah berdiri dengan setelan jas tanpa dasi. Sempurna seperti biasa dengan senyumannya.

Tania tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kemudian tangannya langsung membersihkan sisa air mata. Ini bukan adegan drama, yang kemudian sang wanita langsung berlari memeluk lelakinya. No, this is real life. Jadi dia menjawab saja.

"Not bad. How about you?" Tubuhnya dia senderkan di kursi.

"Is not working for me." Mareno sudah duduk di kursi seberang.

"Maksudnya?"

"Living without you, is not working anymore." Laki-laki itu menghirup nafas perlahan. Tatapannya merindu.

Dia tertawa kecil. "Wow, pasti kamu berpikir setelah bilang begitu aku langsung lari memeluk kamu. Dan kita happy ever after?"

"No, I don't expect that anymore. Saya tahu saya berhadapan dengan siapa. Antania Tielman, si wanita super keras kepala."

"Good, because I won't run to you."

"I will, not literally run to you. But I'll keep coming."

"Don't make this complicated, Reno." Dia mendesah kesal sudah bersiap berdiri.

"Kamu yang buat ini semua rumit."

"I said goodbye."

"It is never goodbye."

"Kenapa kalian keras kepala banget." Dia sudah berdiri dan melihat Mareno juga berdiri.

"Kalian? Oh, laki-laki itu masih berusaha rupanya. Bagus. Karena sekarang saya sudah lebih siap," Mareno tersenyum.

Tania menggeram kesal kemudian berjalan untuk meninggalkan restoran. Lalu dia sadar bahwa Mareno mengikutinya dari belakang.

"Can you just go?"

"Saya mau kembali ke kamar saya."

Kemudian mereka berjalan beriringan dalam diam yang canggung sampai tiba di lorong kamar.

"Jangan bercanda kamu." Tania berjalan mendekati pintu kamar dan membukanya dengan kartu.

Mareno melakukan hal yang sama pada pintu kamar persis di sebelahnya.

"I told you."

'Dasar menyebalkan,' rutuk Tania dalam hati.

Satu tangannya sudah mendorong pintu terbuka kemudian dia langsung masuk dan menutup pintu. Tubuhnya bersender pada daun pintu itu untuk menenangkan debaran jantungnya sendiri. 'Kenapa bisa dia di sini?'

Pintunya diketuk. Itu pasti Mareno.

"Can we just sit down and talk?" Suara Mareno dari luar sana terdengar.

Dia memilih mengabaikan laki-laki itu lagi, sekalipun sulit rasanya karena tubuhnya bahkan sudah gelisah sekali. Ponselnya berbunyi. Lalu dahinya mengernyit melihat nama itu terpampang di layar telpon.

"Tolong buka pintu. Saya hanya ingin bicara saja."

"Bicara apa?"

"Buka pintunya dulu Antania, setelah itu aku beritahu kita bicara apa? Kita bukan anak kecil yang terus sembunyi dan menghindar kan?"

Nafas panjang dia hirup kemudian dia berjalan ke pintu dan membukanya. Laki-laki itu ada di sana. Tubuhnya yang tinggi, tangannya yang kokoh, matanya yang dalam, atau bagaimana auranya yang berbeda sudah kuat terpancar. Kemudian jantungnya yang kurang ajar ini mulai berirama lagi.

Dia masuk dan berjalan ke balkon kamar. Duduk di sana sambil menunggu wanita keras kepala itu juga duduk. Antania Tielman malam ini cantik sekali. Dengan dandanan yang sederhana tidak berlebihan dan juga gaun pendek hitam yang membuatnya terlihat lebih manis lagi. Belum terhitung wangi tubuhnya yang dia rindu. Sungguh ini juga menyiksanya.

"Kenapa kamu terus menghindar?" Mareno yang pertama membuka suara.

"Aku tidak menghindar, hanya berusaha rasional," jawab Tania.

"Rasional?"

"Apa kamu lupa prinsip hidup kita berbeda?"

"Apa hanya itu alasannya?"

"Banyak, tapi itu salah satunya." Tania diam sejenak. "Apa kamu kehabisan stock wanita?"

Mareno tertawa kecil. "Tidak pernah, tapi saya tidak mau mereka."

"Dan saya tidak mau kamu."

Matanya menatap Tania dalam-dalam dan memilih mengabaikan pernyataan Tania barusan. "Dulu, ada seorang wanita yang bertanya pada saya. Kenapa dan apa. Saya sudah menjawab pertanyaan pertama tentang kenapa. Sekarang, saya ingin jawab apa setelahnya. Saya sudah tahu jawabannya."

"Saya tidak mau dengar," Tania sudah berdiri, tatapan matanya panik dan sedih.

"Saya tetap akan bilang..."

"Tolong ke luar dari kamar saya."

"Tidak akan sampai saya selesai bicara." Dia juga sudah berdiri dan berjalan mendekati Tania yang mulai benar-benar terlihat panik. Dia tidak ingin begini, paham benar wanita ini benci dipaksa. Tapi dia harus mengatakannya setelah berminggu-minggu menyusun rencana dan mengumpulkan keberaniannya juga.

"Saya akan panggil security."

Tubuh Tania berbalik ingin masuk ke kamar lalu langsung berhenti mendengar Mareno mengucapkan kalimat itu.

"Saya mencintai kamu Antania, saya ingin menghabiskan seluruh sisa waktu saya bersamamu saja. Tidak ada yang lain lagi, hanya dengan kamu. Menikahlah dengan saya."

Apa kamu tahu rasanya membendung perasaan sendiri berminggu-minggu lamanya? Menahan semua rindu, semua keinginan untuk mendengar suara itu, atau melihat wajahnya yang menyebalkan tapi dia suka. Sungguh saat ini segalanya seperti ingin meledak di kepala. Apa dia boleh bahagia? Sementara dia belum berhasil menemukan jawaban atas teka-teki Danika? Bolehkah begitu? Karena dadanya terasa sesak sekali. Air matanya juga sudah jatuh satu-satu.

Tubuhnya masih membelakangi Mareno. Seluruh sensornya sudah menyala, mengetahui laki-laki itu berdiri dekat di belakangnya. Otaknya berkali-kali meminta kakinya untuk melangkah menjauh. Tapi kaki itu diam, tidak bergeming. Terpaku pada apa yang hatinya rasakan dan minta.

Lalu dia merasakan lengan itu merengkuhnya perlahan, sementara dia mulai terisak dan menggelengkan kepala.

"Marry me. I love you," bisik laki-laki itu lagi sambil mendekapnya erat.

Dia membalik tubuhnya agar bisa berhadapan dengan sosok itu. Tangisnya belum pergi. "I can not, I'm sorry." Matanya yang basah menatap dalam mata itu.

"Saya nggak paham kenapa kamu terus berlari."

Tangan kuat itu belum mau melepaskannya. Malah makin meniadakan jarak yang ada.

"Kamu selamatkan saya, berulang kali. Kamu merubah saya. Kamu juga merasakan sesuatu dengan saya," lanjut Mareno.

"No."

"Lie to me again. I dare you." Dahi mereka sudah bersentuhan. Mareno menarik nafas panjang. "Jangan menangis, jangan hindari saya lagi. Please."

Kemudian bibir itu sudah tiba pada tempat semestinya. Tempat yang dia rindu berminggu-minggu. Wanita ini masih menangis tapi tidak menolaknya. Kenapa dia keras kepala sekali? Karena Mareno yakin bahwa Tania membalas apa yang dia rasa. Tapi di saat yang bersamaan wanita ini menolak keras dirinya sendiri untuk bahagia. Ada apa? Kenapa?

Dia menyudahi ciuman itu lalu mengusap air mata Tania. Mata hitam wanita ini seperti takut akan sesuatu dan masih banyak menyimpan misteri. Jadi dia mengecup lembut kelopak mata itu bergantian sambil berharap bahwa wanita keras kepala ini mengerti, bahwa dia sudah menetapkan pilihannya dan tidak akan mundur lagi.

"Kenapa kamu keras kepala begini? Ya Tuhan. Aku sudah berulang kali minta keringanan hukuman, tapi masih nggak dikabulkan."

Tania tersenyum kecil mengerti benar apa yang Mareno maksud.

"Kamu minta komitmen? Aku berikan komitmen seumur hidup untuk kamu."

"Ren..." Tania menggeliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri sementara Mareno bersikeras tidak melepaskannya.

"Apa kamu sudah menerima lamaran Sena?"

"Aku tidak menerima lamaran siapapun."

"Bagus." Mareno mendekap Tania dan meletakkan dagunya di puncak kepala wanita itu. "Ini benar-benar aneh. Aku sendiri tidak percaya dan butuh waktu untuk memproses semuanya. Tapi aku senang aku tidak terlambat."

"Ren, aku nggak yakin..."

"Serius jangan teruskan. Aku benar-benar marah karena kamu masih aja nggak percaya."

"Bukan begitu, aku nggak yakin dengan diriku sendiri Ren. Aku masih punya hal lain untuk aku selesaikan."

"Apa?" Mareno mengendurkan pelukannya kemudian menatap mata Tania.

Wanita itu menggigit bibirnya cemas.

"Ada apa? Apa yang kamu belum ceritakan?"

Tania diam saja.

"Antania, aku akan bantu selesaikan apapun itu. Ada apa?"

Kemudian wanitanya ini menghembuskan nafas berat. "Aku punya sahabat, sejak kecil. Kami dekat sekali."

Mareno menunggu Tania meneruskan. "Tania, ayolah. Kenapa berhenti?"

"Sahabatku sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit jiwa."

Dahi Mareno mengernyit. Dulu saat awal-awal Niko berhasil memasang pelacak itu dia memang tahu bahwa Tania mengunjungi salah satu rumah sakit jiwa. Tapi dia pikir tempat itu adalah salah satu tempat praktek Tania selain rumah sakit swasta tempat dia bekerja.

"Dia sakit Ren, karena seorang laki-laki."

Mata wanitanya ini basah lagi, Tania benar-benar terluka.

"Apa kamu yakin? Maksudnya, apa benar karena laki-laki?"

Tania mengangguk perlahan. "Aku tidak tahu seluruh ceritanya karena memang aku sedang sekolah di luar saat itu terjadi. Tapi aku berusaha menelusuri jejak laki-laki itu dan belum berhasil."

Mareno menghela nafas lega. "Aku berpikir kamu berahasia soal anak atau mantan suami. Maaf, tapi aku merasa sedikit lega."

Tania tersenyum juga. "Dia seseorang yang sangat berarti untukku Ren. Sama seperti hubungan persaudaraan kalian. Aku menyayangi dia seperti saudaraku sendiri."

Kepala Mareno mengangguk perlahan. "Kami akan membantu. Serahkan semua ke Mahendra dan kita akan temukan laki-laki itu."

"Aku akan pikirkan tawaran itu nanti."

"Ya Tuhan, Sayang. Apa aku harus selalu memaksamu?"

Tania sudah berjalan menjauh dan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Mau kemana? Aku belum pasangkan cincinnya," Mareno tersenyum melihat ekspresi Tania.

"Aku bilang aku pikirkan nanti. Itu berlaku untuk dua pertanyaan kamu."

"No, you have to say yes."

Mareno sudah maju dua langkah karena tahu Tania berusaha menghindarinya sambil tersenyum konyol. Wanita itu tertawa saat dia berhasil menangkap tubuhnya dan mencium pipinya. Dia hanya berharap ini bukan sementara. Dia hanya ingin begini selamanya, apa bisa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro