Part 27 - Brotherhood
Mata Tania menatap list yang sedang dia periksa bersama Lea. List nama perusahaan yang dikunjungi Danika karena penugasan dari kantor tempat Danika bekerja. Sejauh ini belum ada satu perusahaan pun yang pemilik atau pimpinannya berinisial M, Mr. M. Itu membuat Tania gusar sekali.
"Apa masih ada lagi Le?"
"Masih. Pencarian saya mengerucut pada tahun kejadian sebelumnya. Karena draft email itu di awal tahun, mungkin mereka bertemu di akhir tahun sebelumnya."
"Good analysis. Ya, draft email itu memang tertanggal awal Januari. Jadi list yang baru adalah list client satu tahun sebelumnya. Begitu kan?"
"Ya Dok. Tapi kita masih harus menunggu. Apa kabarmu Dok? Beberapa hari kemarin kamu sempat tidak bisa saya hubungi."
'Ya, saya sibuk dengan Mareno dan berusaha melupakan laki-laki itu,' gumam Tania dalam hati.
"Aku baik Lea, jangan khawatir. Hanya sedikit teralihkan."
"Kemarin aku juga mengunjungi Danika Dok."
"Ya, besok aku akan ke sana."
"Dok, dulu kamu pernah bilang soal kalung kalian. Yin dan Yang."
"Ya, ada apa?"
"Aku tidak melihat Danika mengenakannya."
Dahi Tania mengernyit sesaat. "Seingatnya dia masih melihat Danika mengenakan kalung itu satu bulan lalu. Apa kamu yakin?"
"Ya, kemarin Danika tidak mengenakannya."
"Akan saya cek nanti. Terimakasih Lea. Saya tunggu daftarnya."
"Baik Dok."
***
Ini sudah lebih dari satu minggu mereka tidak bertemu. Awalnya dia menjauh karena ingin mencerna semua yang sedang terjadi dan juga menyusun rencana. Dia tahu apa yang Tania inginkan, sekalipun wanita itu masih terlihat tidak terlalu yakin juga. Ini lompatan besar untuknya, jadi dia benar-benar harus berpikir matang dan memisahkan segala nafsu kebutuhannya dengan fakta bahkan riset tentang seberapa jauh ini semua akan berhasil. Dia tahu ketika dia sudah melakukan lompatan itu, dia tidak bisa kembali. It is a one-way trip.
Tapi kemudian ketika dia sudah paham apa yang harus dia lakukan, Tania mengabaikan semua jenis pesan dan telponnya. Wanita itu luar biasa keras kepala. Diperburuk lagi saat ini Tania sedang berada di luar kota untuk seminar sebagai perwakilan dari MG Hospital. Dia bisa saja menyusul, tapi Arsyad memanggil hari ini. Penting.
Mobilnya masuk ke dalam garasi dan dia menemukan mobil Hanif di sana. Meeting besar rupanya. Dia melangkah masuk menuju ruang tengah. Sudah ada Arsyad yang sedang duduk di sofa, Hanif yang berdiri sambil bersedekap dan Mahen yang memasukkan tangan ke celana.
"Hai, ada apa nih? Kenapa muka kalian begitu?" dia mendekat ke arah mereka.
Arsyad langsung berdiri dengan wajah yang murka. Lalu abangnya itu mencengkram kerah bajunya kuat.
"Gue pikir gue udah kembalikan otak lo ke tempat semula. Ternyata pukulan gue kurang keras kemarin." Satu pukulan Arsyad sudah mendarat di wajahnya, membuat telinganya berdenging.
Refleks cepatnya adalah mendorong tubuh Arsyad. Dia masih tidak mengerti kenapa abangnya bereaksi seperti ini.
"Ada apa? Kenapa lo pukul gue?" Dia sudah siap dengan kuda-kuda.
Hanif sudah berada di tengah mereka dan Mahen sudah menahan tubuh Arsyad.
"Telpon Mama, bilang kalau permintaan lo itu bercanda." Suara Arsyad masih tinggi sekali.
Tubuh Mareno berdiri tegak sejenak seperti berpikir. Lalu dia menggelengkan kepala untuk menepis emosi yang sudah mulai naik.
"Luar biasa kalian, jadi karena itu? Karena permintaan gue ke Mama kalian marah sama gue?"
Tubuh Hanif mendorong Mareno kasar. "Lo boleh main dengan siapapun dan apapun pakai segalanya yang lo punya. Kita muak dengan itu tapi kita nggak pernah bisa apa-apa. Sekarang, lo bener-bener kelewatan Ren."
"Nif? Lo juga punya pikiran yang sama kayak Arsyad?" Nada Mareno sudah mulai naik. Dia menatap Hanif tidak percaya.
"Selama ini elo yang lebih punya hati diantara kita semua dan percaya sama hal-hal bullshit itu. Sekarang sikap lo begini?" Reno mendengkus marah sambil menyumpah serapah karena kesal sekali.
"Ren, mainin anak orang itu nggak lucu Ren," timpal Hanif.
'BUAK!' Lalu tanpa Hanif duga Mareno memukulnya keras. Dia emosi sekali.
Hanif mengusap sedikit darah dengan punggung tangan sambil menatapnya kesal. Kemudian Mareno berjalan menuju pintu geser yang mengarah ke kebun di belakang. Saudara-saudaranya menatap Mareno heran tapi mengikutinya juga ke luar.
"Gue kemarin diam aja, karena tahu gue salah. Bahkan lo boleh bunuh gue waktu itu Bang. Gue tahu gue salah." Dia sudah menaikkan lengan kemejanya dan memasang kuda-kuda.
"Sekarang, kalau ada yang berani meragukan kesungguhan gue, sini...maju."
Arsyad yang maju lebih dulu. "Ini Antania Tielman, brengsek. Dia perempuan baik-baik dan sudah selamatkan lo berkali-kali. Gue nggak paham dimana otak lo mau mainin dia begitu."
Abangnya mulai maju menyerang. Dia mengeluarkan seluruh daya upaya untuk menghalau Arsyad. Berusaha tidak memukulnya kembali. Perkelahian itu sengit sekali dan imbang. Karena dua-duanya sama-sama lihai.
"Siapa yang bilang gue main-main. Kalian yang brengsek!" ujar Mareno sama-sama emosi.
Sementara Hanif dan Mahendra berdiri melihat mereka saja. Paham benar nanti mereka akan berhenti sendiri ketika sudah lelah. Kepala Hanif menoleh ke arah Mahen.
"Dia marah banget kayaknya, mukul gue kenceng banget," ujar Hanif.
Mahen diam saja.
"Apa benar dia serius Hen?"
Tangan Mahen sudah terlipat di depan tubuhnya. "Yes, last time I checked."
"What? Lo beneran Hen?"
"Gue bisa kasih billing kartu kreditnya beberapa bulan terakhir. Nggak ada tagihan hotel, bunga, restoran, perhiasan. Kecuali perhiasan yang dia beli minggu lalu."
"Untuk?"
"Cincin tunangan, ada namanya di cincin itu juga inisial nama mereka. Dia pesan di Harry Winston khusus untuk cincin itu."
"What???" Wajah Hanif benar-benar terkejut. "Kenapa lo nggak bilang?"
"Loh, kalian harus bisa simpulkan sendiri dong. Nggak ada satupun perempuan yang diajak ketemu Mama selama ini, lo bahkan udah tahu dari Sabiya waktu awal Reno bawa Tania untuk ketemu Mama di MG kan? Masa gitu aja nggak tahu."
"Ya gue pikir dia main-main. Kok bisa?"
"Jangan tanya gue, gue ngerti aja nggak soal bullshit itu."
"Hen, kali ini lo nggak bisa salah analisa Hen. Kalau Mareno mainin anaknya Pak Menteri, selesai kita semua."
"Lo nggak lihat Mareno sekarang lagi ngapain tuh?" Matanya beralih ke tengah kebun melihat Mareno dan Arsyad yang masih saling menghantam. "Coba kita panggil Bu Dokter ke sini. Terus, kita tembak dia, gue yakin banget Mareno rela kena tembak buat gantiin si Bu Dokter. Mau coba gitu?"
"Dasar adek gila."
"Ya kalau kalian nggak percaya mau gimana lagi? Bu Dokternya juga kayaknya ada feeling sama dia. Sampe rela nggak tidur tiga hari bareng gue soal serum itu dulu. Inget nggak?"Mahendra memberi jeda. "Sekalipun cewek ini emang kepala batu banget sih. Bener-bener nggak bergeming sampai bikin Mareno kalang kabut." Ya, diam-diam Mahendra mencari tahu apa yang abangnya itu lakukan dengan Tania. Iseng saja.
Hanif menggelengkan kepala sambil satu tangan memijit pelipisnya pusing. Dia tidak menyangka Mareno benar-benar serius dan sudah berubah. Tidak ada yang menyangka, tidak ada yang percaya. Tapi lihat adiknya itu sekarang. Bergulat mempertahankan apa yang dia rasa benar. Sama seperti dulu ketika Arsyad menuduhnya mencuri botol minum Mahendra saat mereka di hutan. Mareno mengamuk karena dia tidak melakukan itu dan akhirnya mereka berkelahi hingga keduanya lelah. Adiknya ini memang brengsek perihal wanita, tapi dia tidak pernah berbohong. Saat dia ingin berbohong, dia tidak bisa dan akhirnya menutupi perasaannya itu dengan marah-marah pada Tania. Mahendra pernah bilang padanya tapi dia pikir itu hanya akan berlalu begitu saja.
"Kita pisahin Hen."
"Udah biarin aja, seru sekali-kali begini. LIhat Abang kewalahan begitu kapan lagi. Mareno kalau lagi niat, bagus banget tekniknya. Lihat tuh." Mahendra menggendikkan bahu cuek.
"Gimana sih, dasar sableng." Hanif sudah melangkah ke tengah kebun untuk melerai mereka.
Pergulatan itu masih seru sekali. Sekalipun nafas mereka sudah putus-putus. Hanif tidak bisa melerai mereka begitu saja tanpa terkena pukulan lagi. Kemudian suara tembakan dua kali sudah terdengar. Mereka berhenti dan menengok ke asal tembakan yang ternyata dari Mahendra yang mengarahkan pistol ke udara.
"Apa-apaan sih lo?" Hanif melotot kesal pada Mahendra.
"Cara lo nggak efisien," sahut Mahen.
Mareno dan Arsyad duduk di atas rumput kelelahan. Sudah ada bekas lebam dan luka berdarah pada masing-masing wajah mereka. Dengan cepat mereka mengatur nafas lagi.
"Udah-udah stop." Hanif ikutan duduk di sana. Kepalanya sudah menoleh menatap Mareno tajam. "Lo serius?"
"Mau ronde dua sama gue?" Mareno sudah bersiap berdiri kemudian tangan Hanif menahannya.
"Duduk dulu bego. Gue cuma nanya, apa lo serius Mareno? Apa lo serius mau menikahi Antania Tielman? Lo cinta dia?" tanya Hanif sambil menatap adiknya itu.
"Lo nanya nggak usah pake diulang-ulang. Kesel gue dengernya."
"Jawab Hanif," ujar Arsyad tegas.
"Sumpah gue sakit hati banget sama kalian. Kalian saudara gue, kenapa bisa kalian malah nggak senang dengar kabar ini."
"Karena ini elo," jawab Arsyad dan Hanif berbarengan. Itu membuat Mahendra tertawa.
"Udah jawab aja Ren. Pertanyaan gampang kan?" Mahen menimpali.
"Gue serius, gue cinta Antania dan mau ngelamar dia. Kalian mau apa? Ambil Al Quran? Ambil sana. Gue berani sumpah atas nama apapun. Sialan kalian," dengkus Mareno benar-benar kesal.
Lalu Hanif tertawa. Dia tertawa terbahak-bahak sampai Mahendra ikut tertawa juga. Arsyad hanya memperhatikan mereka.
"Lo nggak mau ngetawain gue juga?" tanya Mareno sambil menatap Arsyad kesal.
Arsyad tersenyum tipis akhirnya. "Gue pikir, lo dan gue nggak akan punya pasangan selamanya." Arsyad diam sejenak. "Hanif yang pertama nikah, terus Mahendra. Dan kita, akan asyik dengan dunia kita sendiri aja. Lo dan cewek-cewek lo dan dosa lo yang banyak itu. Gue dengan kerjaan gue."
Kemudian mereka terdiam sejenak. Hanif masih tersenyum percaya tidak percaya. Mahendra diam saja. Sementara Arsyad berujar lagi. "But things just works out the way they do. Apa lo yakin Ren?"
"Haaah..." Mareno berteriak kesal lalu membaringkan tubuhnya di atas rumput. Menatap langit malam di atas sana.
"Mungkin, one day gue bakalan bosan banget. I don't know, gue nggak paham soal ini seriusan. Tapi yang gue tahu sekarang, rasanya susah nafas kalau nggak ada dia. Gue bahkan bisa tidur di sebelah dia dan tahan semua kebutuhan dasar gue. Come on, itu gila kan. Asal lihat dia ketawa, bahagia dan nggak nangis karena gue, itu rasanya cukup."
Kali ini Mahendra yang terkikik geli. "Bang, gue aja yang nemenin lo jadi jomblo. Geli gue ngeliat Mareno begini."
Arsyad tertawa, untuk pertama kalinya dia tertawa setelah sekian lama. Ini membuat ketiga adiknya menoleh ke arahnya dan menatap heran.
"Bang, lo kenapa?"
"Entah, gue ngerasa Mareno sekarang sudah dewasa. Jadi gue bahagia." Kemudian dia menyusul Mareno merebahkan tubuh di atas rumput.
Hanif pun begitu, sementara Mahendra tetap duduk menatap abang-abangnya. Teringat dulu, ketika mereka di dalam hutan ini sering terjadi. Mereka berempat melawan dunia.
"Heh anak kecil, ikutan sebelah Hanif cepetan," ujar Mareno pada Mahen yang bersungut sebal dipanggil begitu tapi lalu ikut merebahkan tubuhnya juga.
"Dulu inget nggak, waktu game night." Hanif berujar sambil tersenyum. "Gue tanya cewek impian kalian kayak apa."
"Sexy, super sexy and hot. Cewek pintar nggak dalam hitungan, karena biasanya nyusahin," Mareno tersenyum mengingat jawabannya dulu. Tapi kenyataannya saat ini dia jatuh cinta dengan salah satu wanita tercerdas menurut Mahendra. Dan ya, wanita ini menyusahkan. Persis seperti prediksinya dulu.
"Keibuan, manis, pintar," Hanif melanjutkan.
"Lo mah mother complex-nya parah," timpal Mareno. "Udah bisa lupa sama the one and only Dara bininya si El?"
Hanif mendorong bahu Mareno kesal. "Sial lo."
"Gue mau pacaran sama Angel aja. Super smart, reliable, agile, bisa di upgrade..." Mahen kali ini.
"Lo mau cari pacar apa mau bikin Artifical Intelligence?" Hanif meledek Mahen.
"Berhubungan sama manusia itu ribet. Kompleks. System itu sesuatu yang predictable, pasti dan mudah dimengerti."
"Ya systemnya buatan lo bego, pantes aja." Mareno memotong. "Lagian system nggak bisa ditidurin, apa enaknya."
"Lo mulai lagi mikirnya selangkangan doang, kesel gue," Hanif menatap Mareno.
Kemudian mereka diam lagi. "Kalau lo Bang?" Hanif bertanya.
"I don't have any expectation," jawab Arsyad. "Akan terlalu berbahaya kan kalau gue punya pasangan. Gue juga nggak mau fokus gue terpecah untuk melindungi keluarga ini."
"Serius jawaban lo nggak asyik, lagian nggak usah sok jagoan lo Bang. Menurut lo kita selama ini cuma patung-patungan nggak ada gunanya apa? We protect the family together, is not only you. Jangan taruh semua tanggung jawab di pundak lo Bang," Mareno berujar panjang lebar.
"Antania udah bikin otak lo konslet banget kayaknya," kekeh Hanif lagi.
"Tadinya gue pikir malahan Mareno berubah gila lho. Karena dia mulai solat coba?" timpal Mahen. "Bayangin dulu Ayah mukulin kita kalau nggak ke masjid, Mareno lebih rela dipukulin. Sekarang datanglah itu cewek dan boom!!"
Hanif dan Arsyad terkekeh juga.
"Rese lo semua. Gue bener salah, nggak bener salah."
Kemudian mereka diam menatap langit malam, ditemani dengan suara-suara binatang malam yang sudah mulai berbunyi. Segala di dunia ini bisa menghilang, tapi tali persaudaraan adalah yang terkuat dan hal itu mereka genggam erat. Mereka memang tidak selalu sependapat, atau memiliki banyak perbedaan dalam keseharian. Tapi mereka tahu bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lainnya. Mereka tidak sendiri, tidak akan pernah begitu.
Sabiya bersender pada pintu kaca besar ke arah kebun belakang. Hanif memanggilnya perihal Mareno dan Antania, namun dia datang terlambat. Kemudian dia melihat pemandangan ini, si empat saudara. Tidur berbaring di tengah kebun di atas rumput. Tertawa dan berbicara. Seperti dulu ketika mereka masih kecil. Sungguh, ini menghangatkan hatinya. Jadi, dia hanya diam. Memuaskan diri menatap mereka. Si para penjaga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro