Part 26 - My personal hurricane
"Seberapa sering kamu dan Arsyad begini?" Mereka sedang duduk berhadapan di sofa dengan Tania yang membersihkan luka-luka pada tangan Mareno.
"Ini hidupnya Arsyad, aku biasanya hanya senang-senang. Tapi belakangan ini situasi memang beda, jadi kita semua turun tangan."
"Ini kamu habis ngapain sampai tangan lecet semua begini?" Mata Tania masih fokus pada tangan dan lengan Mareno.
"Nanti juga kamu terbiasa."
"Aku tanya kenapa bisa lecet-lecet begini Mareno?" kepala Tania mendongak sebentar menatapnya kesal lalu kembali ke tempat semula.
Bibir Mareno tersenyum kecil. Entah kenapa dia suka dengan perhatian Tania. Dia juga suka dengan pemandangan tangannya yang besar dan penuh luka itu digenggam oleh tangan ramping Tania. Oh, dia murahan sekali.
"Aku nggak bisa bilang alasannya."
"You need to start talking."
"Kamu bawel." Tanpa aba-aba Mareno mencium pipi Tania sejenak.
"Jangan cium-cium," protes Tania sambil melotot galak dan Mareno malah tambah tertawa.
Beberapa saat kemudian Tania selesai dan meletakkan tangan besar itu di pangkuan Mareno. "Ganti baju sana, baju kamu kotor dan banyak darahnya."
"Terimakasih," dia mencium cepat pipi Tania lagi kemudian berdiri. Tangannya sudah membuka baju lengan pajang berwarna abu-abu gelap yang dia gunakan.
Wajah Tania beralih ke arah lain. Dia tidak ingin seperti orang bodoh yang menatap tubuh sempurna laki-laki itu. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Arsyad nggak apa-apa?"
Mareno sudah ke luar dari kamar dengan baju di tangan. "He will be fine. Biar dia istirahat dulu."
"Aku beneran penasaran kalian itu ngapain aja. Urusan sama siapa sampai bisa ada ledakan bom dulu itu, terus kamu ditembak sampai koma entah sama siapa, sekarang Arsyad kena tusuk. Serius aku salut sama Sabiya bisa nggak stress urusan sama kalian." Tania sudah menyenderkan tubuh di sofa.
"Karena kita menjaga Sabiya untuk tidak tahu dan dia nggak bawel kayak kamu." Mareno meletakkan baju yang dia genggam di sofa lalu dia menunduk dalam dan mengangkat tubuh Tania dengan dua tangan.
"Kamu mau ngapain?" mau tidak mau tangan Tania mengalung pada leher Mareno karena laki-laki itu menggendongnya.
"Kamu terlalu ringan, aku mau ngasih kamu makan." Mareno mendudukkan tubuh Tania di meja granit dapur dekat dengan tempat dia berdiri dan bersiap untuk memasak sesuatu.
"Aku nggak laper dan bisa nggak kamu pakai baju kamu dulu?"
Laki-laki itu mendekatinya yang duduk di meja tinggi dan membuat mereka berhadapan dengan posisi dekat sekali. Hidung Mareno bahkan hampir menyentuh puncak hidung Tania.
"Let's have a deal. Aku pakai bajuku sementara kamu duduk tenang di sini, setelah itu makan apapun yang mau aku buatkan," ujar Mareno.
"Aku nggak lapar."
"Temani aku makan?"
Tania diam sejenak. Ini lebih kepada dia benar-benar meragukan pertahanan dirinya sendiri jika Mareno bersikap seperti ini. Tapi kemudian dia mengangguk juga.
"Good girl." Bibir Mareno mendarat sejenak pada bibirnya.
Laki-laki itu sudah mengenakan kaus santai, masih dengan celana jins gelap dan dia mulai memasak.
"Apa ini salah satu cara kamu ngerayu cewek?"
Mareno tersenyum kecil sambil tidak menghentikan kegiatannya. "Kalau aku bilang bukan, apa kamu percaya?"
Tania menghirup nafasnya. "Entah, aku nggak yakin. Kamu si Don Juan."
"Aku nggak perlu merayu mereka, mereka yang ngerayu aku, FYI."
"Wuoo okey." Ujung kaki dia silangkan sambil masih menatap Mareno yang terus memasak. "Menurut kamu, kapan kamu bosan sama aku? Seminggu lagi? Sebulan?"
Mareno berhenti sejenak, kenyataan bahwa Tania belum bisa percaya terkadang membuat dia sakit hati. Tapi dia tersenyum kecil saja.
"Someday and that day will never come."
"Apa kalau kita tidur bareng sekarang kamu besok bosan?"
Mareno menghela nafas, wanita ini benar-benar diciptakan khusus untuk menghukumnya. "Mau coba?"
"Next time maybe. Kalau aku sudah bosan dan pingin kamu tinggalkan."
Kepala Mareno sudah menggeleng. "Kalau kamu sudah bosan." Dia mengulang kata-kata Tania sambil menatap wanita itu tajam, lalu mendengkus sebelum melanjutkan. "That's hurt."
"Hurt? I thought you don't have a heart karena punya cewek banyak banget begitu."
"Ini karena kamu kesal sama cewek-cewek itu jadi mancing-mancing aku terus begini?" Mareno mematikan kompornya lalu kembali berdiri dihadapan Tania yang masih duduk.
"Nope."
Lalu senyum Mareno terkembang. "Kamu sedang berbohong."
"No, I don't." Tania menggeleng.
"Aku paham benar gestur tubuh orang saat mereka berbohong." Mareno mendekatkan wajahnya pada wajah Tania. "Lie to me again."
"I hate you," Tania mengucapkannya sambil tersenyum.
"Itu kurang meyakinkan." Lagi-lagi dia melakukan apa yang dia selalu ingin lakukan setiap saat. Mencium Tania dalam dan lambat-lambat.
***
Mereka sudah berada di dalam mobil karena Tania menolak keras menginap di safe house. Dia mengendarai mobil wanita keras kepala ini.
"Aku nggak paham kenapa kamu nggak mau menginap? Ada Arsyad di rumah kalau kamu nggak percaya sama aku," ujarnya sedikit kesal.
"I hate your room." Mata Tania menatap ke samping.
Dia hanya bisa menghela nafas, paham benar maksud Tania. Ya, dengan bodohnya dia memaksa wanita itu di kamarnya sendiri. Dia memang bersalah.
"Kamu bisa stay di kamar tamu kan?"
"Aku pingin pulang, tidur di kasurku sendiri." Kepala dan tubuh Tania sudah bersender santai pada kursi mobil. "Shiratake noodle soup buatan kamu enak. Tapi kebanyakan, aku jadi kekenyangan sekarang." Wanita itu menguap.
Satu tangannya sudah dia ulurkan untuk mengelus puncak kepala Tania sayang. Dia benar-benar menikmati malam ini, sekalipun terkadang kesal sekali karena wanita ini suka sekali memancing emosinya sendiri.
Tangan Tania memijit tombol untuk menurunkan senderan kursi. Dia lelah dan tiba-tiba mengantuk.
"Bangunin aku kalau udah sampai."
"Ya."
Dia menatap Tania yang matanya mulai terpejam perlahan, kemudian benar-benar tertutup karena wanita itu sudah tidur. Saat mobilnya berhenti karena lampu merah, dia membetulkan letak kepala Tania. Kemudian mencium kening wanita itu lembut.
Sesampainya di apartemen, dia tidak sampai hati membangunkan wanitanya ini. Jadi dia mencari kunci apartemen pada tas Tania lalu menggendong tubuh wanita itu ke lantai atas. Ketika sudah sampai, dia meletakkan Tania perlahan di tempat tidur, melepas sepatunya, kemudian menyelimuti tubuh itu. Kemudian dia mencium pipi Tania lembut dan duduk pada salah satu kursi santai di situ.
Matanya memandangi wanita ini. Hidungnya memuaskan diri untuk menghidu wangi tubuh yang sudah menjadi adiksi. Penyihir cantik yang diciptakan khusus untuk menghukumnya. Wanita yang mengaduk-aduk perasaannya, menarik-narik rasa penasaran dan juga yang memberikan dia perasaan hangat di hati. Entah kenapa dia merasa bahagia, padahal biasanya dia hanya merasakan hal itu jika sudah melampiaskan apa yang dia mau pada wanita lain. Tapi wanita ini memang berbeda.
"Lanina Antania Tielman." Dia berbisik sambil tersenyum kecil. Tiba-tiba dia ingat bahwa La nina adalah nama salah satu badai. Persis seperti wanita ini.
"My personal hurricane."
***
Ponsel Tania masih tidak aktif, dia sudah berusaha menghubungi wanita itu lagi, dia bahkan datang ke apartemennya sore tadi. Tapi Tania tidak ada. Entah kenapa dia merasa bahwa Tania juga tertarik pada Mareno Daud si bajingan itu. Apa laki-laki itu juga yang dia cinta? Bagaimana bisa? Kenapa dia tidak pernah tahu tentang kedekatan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa dia jawab malam ini. Tapi dia paham benar Tania pantas untuk mendapatkan yang lebih baik daripada Mareno Daud. Jadi dia tidak akan rela, dia tidak akan membiarkan mereka bersama.
"Malam Yah," ujarnya menghubungi ayah.
"Aku ingin bicara soal hubunganku dengan Tania." Dia diam sejenak mendengar respon ayah kemudian melanjutkan.
"Ya Yah, aku setuju. Aku ingin melamarnya segera. Tolong sampaikan pada Mama, aku akan menghubungi Om Bayu sendiri untuk membuat janji kunjungan ke rumahnya."
***
Keesokkan pagi di apartemen Tania
Matanya mengerjap beberapa kali karena sinar matahari yang masuk. Kepalanya masih enggan dia angkat dari...
'What? Kenapa posisinya begini?'
Dia segera sadar bahwa saat ini tubuhnya menempel pada bagian samping tubuh Mareno dan kepalanya bersandar pada dada bidang itu. Dia langsung mengangkat tubuh terkejut dan menjauhi tubuh Mareno yang berada di sebelahnya. Refleks selanjutnya adalah memeriksa pakaiannya sendiri, memastikan bahwa dia tidak sedang telanjang. 'Gilaa.'
Setelah memastikan dia masih mengenakan setelan kerja kemarin, dia bernafas lega dan kembali menatap sosok itu yang masih memejamkan mata. Dia hanya bisa ingat semalam mereka makan dan dia diantar pulang kemudian dia mengantuk. Setelah itu dia tidak bisa ingat apapun lagi. Tapi harusnya aman, karena semua pada tubuhnya masih melekat sempurna dan dia tidak merasakan ada yang aneh kecuali dadanya yang mulai berirama.
Kemudian dia mendekati wajah Mareno yang masih tidur. Hidung pria ini mancung sekali, dengan rahang wajah yang luar biasa. Bibirnya juga sempurna dengan mata yang dalam. Ya Tuhan, kenapa penampakan laki-laki ini benar-benar tidak bercela? Belum lagi ditambah dengan postur tubuhnya yang sangat ideal. Kemudian dia segera menyadari tingkahnya yang konyol sekali. Ada apa dengan dia? Stupid Tania.
Sebelum dia bisa menjauh, tangan Mareno sudah merengkuh pinggangnya kuat hingga tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Mareno yang sudah tersenyum kecil.
"Good morning, beautiful."
Mareno tersenyum namun matanya tetap terpejam. Seperti sudah sadar sedari tadi dan dia memperhatikan tingkah laku Tania.
"Kenapa kamu tidur di sini?" dia menggigit bibirnya kesal.
"Aku ngantuk habis gendong kamu dari bawah ke atas."
Mata laki-laki itu sudah membuka dan menatapnya. Satu tangan Mareno masih merengkuhnya kuat dan satu lain yang lain sudah menjalar ke bagian bawah tubuhnya.
"Reno," dia memukul tangan Mareno yang usil.
"Iya, aku cuma pegang aja."
"Permisi, aku mau bangun," tubuhnya mulai menggeliat perlahan.
"Sebentar aja, aku suka begini."
"Aku sesak."
Mareno menggulingkan tubuhnya ke samping tapi tangan itu tidak melepaskannya.
"Kita bukan suami istri."
"We will be, someday."
Tania menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak segampang itu, karena kalau udah jadi suami istri kita nggak boleh bosan."
"Yang bilang mau bosan itu kamu, bukan aku." Mareno menempelkan dahinya pada dahi Tania. "Aku suka lihat kamu bangun pagi-pagi. Lebih suka lagi kalau setelah itu aku bisa sayang-sayang kamu."
"Sayang what?" Tania tertawa mendengar pilihan bahasa Mareno.
Mareno memaki kesal. "Kamu itu benar-benar udah ngeracunin aku, aku jadi murahan begini. Tanggung jawab." Mareno mencium leher Tania kecil-kecil hingga membuat wanita itu geli.
"Ren....stop. Mareno." Tangan Tania berusaha menjauhkan tubuh Mareno sambil tertawa. Kemudian dia berhasil bangkit dan menjauhi tempat tidur.
Mareno tidak kalah gesit dan mengejarnya hingga dia berlari ke luar kamar. Laki-laki itu menangkap tubuhnya dan mengangkatnya ke dapur. Mereka tertawa kemudian terhenti karena ponselnya berbunyi.
"Siapa?"
Tania sudah mengambil ponsel dan mengangkatnya sambil masih tersenyum.
"Ya Pa." Dia terus bergerak karena ingin membuat kopi.
"Pagi Sayang. Sibuk?"
"Nggak, ada apa?" Tubuhnya sudah berdiri dekat dengan coffee machine dengan Mareno yang masih memeluknya dari belakang.
"Semalam Sena telpon Papa."
"Ya?" dia bisa merasakan tubuh Mareno yang kaku tiba-tiba. Dua tangan laki-laki itu bahkan sudah dia letakkan ke samping kanan kiri meja granit dapur, tidak memeluknya lagi tapi masih memenjarakan tubuhnya.
"Dia dan keluarganya ingin datang minggu ini. Sayangnya Papa masih dinas sampai beberapa minggu ke depan. Jadi kunjungan itu sedikit tertunda tapi pasti akan terjadi."
Nafasnya berhenti sejenak. 'Sena, ya Tuhan.'
"Pa, aku..."
"Papa pikir sudah cukup kalian menunggu Nin. Sudah saatnya, kalian sudah dewasa dan mapan. Papa ingin menikahkan kamu segera Nina."
Tubuh Mareno sudah berjalan menjauhi Tania. Duduk di salah satu kursi makan sambil mengernyitkan dahi.
"Pa, tapi aku belum siap." Dia juga mulai memijit kepala.
"Nina, Papa selama ini tidak pernah menuntut apapun. Tapi kali ini, turuti Papa Sayang. Sena laki-laki yang baik, bertanggung jawab, datang dari keluarga baik-baik dan dia mencintaimu. Apalagi yang kurang?"
"Tapi aku tidak..."
"Nina, kamu selalu beralasan. Jangan selalu merasa bersalah pada Danika. Kamu juga layak bahagia. Papa ingin kamu bahagia."
"Bukan itu maksudku Pa."
"Apa yang terjadi pada Danika bukan kesalahanmu Sayang. Kamu bisa menikah dengan Sena sambil tetap merawat Danika kan? Sena pasti mendukungmu."
"Papa, aku tidak suka dipaksa."
"Papa mengerti, tapi ini sesuatu yang baik untukmu."
"Kita bicara setelah Papa kembali ya."
"Okey. Papa sudahi dulu" Hubungan disudahi.
Tania meletakkan ponsel lalu menuang kopi ke dalam dua buah cangkir dan membawanya ke meja makan, tempat dimana Mareno sudah duduk. Dia menghela nafas dan menyodorkan salah satu cangkir.
"Coffee?" tanya Tania sambil menatap wajah murung Mareno.
"Espresso?"
Tania mengangguk.
"Thanks." Mareno menyesap kopinya.
Selama sesaat mereka diam dalam hening yang aneh. Mareno seperti sedang berpikir, sementara Tania sendiri masih bingung dengan situasi saat ini. Akhirnya Tania yang memulai.
"Papa, meminta saya untuk..."
"Menikahi Sena, saya tahu." Mareno menghirup kopinya lagi. "Apa pendapatmu soal itu?"
Tania tersenyum miris. "Menikah adalah sesuatu yang besar. Bukan hanya soal perasaan, tapi juga komitmen. Menjaga komitmen itu nggak gampang. Belum lagi keterlibatan dan interaksi dua keluarga nantinya."
"Kamu bilang, yang kamu mau adalah komitmen."
"Ya, tapi nggak sekarang." Dia diam sejenak. "Aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai." Dahinya mengernyit mengingat Danika.
Tania menatap Mareno dalam. Tiba-tiba dadanya dipenuhi kesadaran akan prinsip mereka yang berbeda. Ini sakit rasanya, karena sesaat sebelumya dia merasa sangat bahagia bersama laki-laki ini. Tapi dia sadar Mareno tidak akan memberikan hal yang sangat dia inginkan itu. Sekalipun Mareno saat ini sudah menyatakan keseriusannya, dia masih tidak percaya. Tidak mungkin seseorang seperti Mareno bisa berubah dalam waktu sesingkat itu kan? Mungkin laki-laki itu hanya bosan, atau terjebak pada obsesi dan keinginannya untuk berburu. Kemudian dia memaksakan diri untuk menerima kenyataan pahit itu, dan paham benar apa yang harus dia ucapkan pada Mareno.
"Aku sangat menyarankan kamu mundur Ren. Aku paham dengan prinsip hidupmu dan nggak menyalahkan. Itulah kamu." Dadanya berdenyut nyeri saat mengucapkan ini.
Mareno tertegun sejenak. "Wow, kamu berhasil menyakiti saya berkali-kali dengan ketidak percayaan kamu itu."
Laki-laki itu melanjutkan. "Apa kamu mau menikahi Sena?"
Dia menghela nafas lagi. "Tidak. Besar kemungkinan aku akan sendiri dalam waktu lama. Paling tidak aku punya waktu untuk membereskan urusanku." Kopi itu sudah dia teguk lagi. Pahit, seperti kenyataan saat ini.
"We had a great time Mareno. Tapi hidup itu berjalan terus kan?" Detak jantungnya melambat. Dia paham benar dia sedang menggoreskan hatinya dengan belati tajam. Tapi dia akan bisa berdiri lagi nanti, selalu begitu.
Kemudian dia berjalan menghampiri Mareno, membungkuk dalam untuk mencium pipinya dan berkata lirih. "Goodbye."
Tubuhnya melangkah menuju kamar sambil menahan tangis dan meninggalkan Mareno yang masih duduk di sana. Ketika dia selesai mandi dan bersiap-siap, laki-laki itu sudah tidak ada.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro