Part 24 - I don't like to have a competitor
Tangan kuat laki-laki itu tidak melepaskan genggaman tangannya sama sekali. Dia merasa geli sendiri melihat tingkah lakunya.
"Saya mau ambil tas, bisa lepasin dulu tangan saya?" Senyum Tania lebar sekali.
Mareno mencium pipinya sesaat sebelum kemudian melepaskan tangan itu. Mereka masih berada di ruang kerja Tania. Matanya menatap ke sekeliling ruangan. Puas karena dokter kesayangannya ini mendapatkan ruangan yang bagus. Matanya tertumbuk pada bunga dalam vas-vas yang ada di dalam ruangan itu.
"Ini dari siapa?"
"Dari yang jual bunga," jawab Tania.
Tangannya menatap kartu yang masih terikat pada tangkai bunga itu. Sena Airlangga. 'Sialan.' Kesalnya tidak hilang sekalipun dia sendiri sudah mengira hal ini dan sudah menyiapkan rencana lain.
"Saya nggak suka punya saingan." Wajahnya sudah menatap Tania yang sudah berdiri dan membawa tas.
"Punya pesaing itu diperlukan, agar kamu terus termotivasi," balas Tania sambil terkekeh.
"Saya serius." Matanya menatap Tania seolah berusaha berkata bahwa dia tidak main-main. Ini harga diri dan egonya.
Kemudian wanita manis itu malah tersenyum saja dan berjalan menghampiri. "Mari kita tidak bertengkar hari ini."
Mereka sudah berdiri berhadapan lagi. Dia menggenggam tangan Tania, berjalan ke vas-vas bunga itu dan satu tangannya mengambil semua bunga yang ada di ruangan kecuali buket bunga miliknya. Kemudian dia berjalan ke arah pintu dan membuang semua bunga-bunga itu di tempat sampah terdekat. Kepala Tania sudah menggeleng.
"Mau kemana?" tanya Tania.
"Ke kamar saya." Genggaman tangannya makin erat. Tidak memperdulikan tatapan satu-dua orang yang mereka temui.
"Kamu jangan sembarangan ya Ren," bisik Tania kesal. Dia berusaha menarik tangannya namun sia-sia. "Ini tempat umum, ya Tuhan."
"Kamu malu saya gandeng begini? Lebih pilih saya gendong?" bisik Reno balik.
"Jangan macem-macem kamu," Tania masih berbisik. Mereka terus berjalan.
"Saya masih kesal karena kamu nggak mau temui saya selama ini Dok. Tolong jangan buat saya tambah kesal."
"Kesal? Hrrrgghhhh....dasar menyebalkan. Aku nggak mau ke kamar kamu. Kamu gila apa?" Tania berusaha tersenyum pada satu-dua suster yang juga tersenyum melihat mereka.
"Ssst berisik." Tangan Mareno mengetuk dua kali dan dia membuka pintu.
Pintu sudah dia buka. Masih ada mama dan Sabiya di dalam kamar sedang duduk di sofa, mengobrol hangat sambil menonton berita di TV.
"Mareno, apa-apaan sih kamu?" bisik Tania tambah panik melihat Trisa Daud di dalam kamar laki-laki itu.
"Loh, udah balik lagi?" Wajah Sabiya menengok ke arah mereka lalu senyumnya terkembang lebar sekali.
"Kamu belum jemput Damar?" Tangan Mareno benar-benar tidak melepaskan genggamannya.
"Ini mau jalan. Mama juga sudah mau pulang," jawab Sabiya sambil berdiri.
Trisa Daud juga berdiri dan tersenyum melihat mereka.
"Selamat sore Tante," Tania tersenyum canggung dan masih berusaha dengan halus menarik tangannya yang digenggam Mareno. 'Dasar laki-laki gila.'
"Apa ini calon menantu Mama?" Matanya menatap Mareno. Anaknya ini tidak pernah satu kali pun membawa teman wanita untuk bertemu dengannya. Jadi, wanita ini pasti istimewa.
"Aku sudah bilang kan sama Mama tadi dan ya, ini wanita yang sangat istimewa." Tangan Mareno membebaskan tangan Tania.
Sabiya melangkah dan menempelkan pipinya pada Tania sambil bertanya kabar. Tania juga mendekati Trisa lalu mereka berjabatan tangan hangat.
"Apa kabar Papamu Tan?""
Tania mengangguk. "Beliau sehat dan baik Tante."
"Mahendra cerita kalau kamu menginap dan membantu dia di lab," ujar Trisa lagi.
"Oh itu..." wajah Tania memerah malu, tidak menyangka Mahen akan mengadu. "...itu bukan apa-apa Tante. Saya hanya membantu."
"Itu apa-apa Tania. Kamu sudah menyelamatkan anak saya." Tangan Trisa Daud sudah merangkulnya mendekat. "Terimakasih."
Lagi-lagi Tania mengangguk canggung sambil tersenyum. Dalam hati mulai merutuki Mareno karena menempatkannya dalam situasi yang sangat aneh ini.
"Mama, jangan lama-lama pinjamnya." Tangan Mareno sudah menarik Tania kembali ke sisinya.
Trisa dan Sabiya tertawa sambil menggeleng geli.
"Aku serius soal Tania. Jadi siap-siap aja." Mareno menghampiri Trisa dan mencium pipinya. "Aku nggak bisa antar Mama pulang karena aku mau pacaran."
"Mama bisa pulang sendiri. Lagian sejak kapan kamu antar Mama pulang?" Trisa masih tersenyum melihat tingkah anaknya yang tidak biasa.
"Bi, salam buat Damar." Mareno mencium pipi Biya sesaat.
"Aku pingin ketawa keras-keras sekarang, tapi nggak sopan. Nanti ya, barengan sama Bang Hanif." Sabiya berbisik pada Mareno sambil mengulum senyum.
"Pamit dulu." Mareno tersenyum lalu berjalan ke luar ruangan, lagi-lagi masih menggenggam tangan wanitanya erat sekali.
***
Di mobil
Tangan Tania sudah memukul bahunya berkali-kali karena kesal dengan sikap Mareno tadi.
"Kamu itu ampun deh. Apa-apaan sih kamu tuh. Aku nggak ngerti dengan semua sikap kamu. Hrrrghhhhh... Bagus kita nggak di atas ring sekarang jadi aku nggak bisa nonjok kamu beneran."
"Antania, aku lagi nyetir. Bisa diam nggak?" Tangan Mareno berusaha membentengi tubuhnya dari serangan Tania.
"Dasar brengsek, menyebalkan."
"Pukul aku sekali lagi, aku berhenti dan cium kamu keras-keras di sini." Wajah Mareno sudah menatapnya galak.
"What?" Tania berhenti sejenak menatapnya heran. Lalu kemudian wajahnya kembali marah dan kesal. Satu tangannya memukul bahu Mareno keras lagi. "Emang aku takut apa?"
Mareno menepikan mobilnya. Dengan cepat Tania menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Mareno. Tapi dua tangan Mareno langsung menarik pinggang wanitanya itu mendekat, mencium bibirnya keras-keras. Selama beberapa saat tangan Tania berusaha menjauhkan tubuh mereka. Tapi ketika ciuman Mareno melembut, tangan Tania diam saja.
Dia menghirup nafasnya dalam lalu menghentikan ciumannya. Menyalahkan dirinya sendiri karena sulit sekali mengkontrol diri ketika berdekatan dengan wanita ini. Tubuh Tania seperti membeku, karena itu dia berhenti. Tanpa dia duga Tania memeluknya.
"Aku benci dipaksa, jangan paksa aku lagi," bisik wanita itu.
Dia makin memeluk wanita itu erat. "Maaf." Kemudian dia mencium pipi Tania sesaat lalu kembali pada posisi duduknya. Mobilnya kembali dia lajukan.
"Kita mau kemana?" tanya Tania ketika sudah sedikit tenang.
"Pacaran."
Tania tertawa. "Apa kamu tahu pacaran itu kayak apa?"
Dahinya mengernyit. "Kamu ada benarnya. Apa kamu tahu pacaran itu kayak apa?"
Tania tambah tertawa.
"Aku kesal banget kalau kamu tertawakan begitu."
"Tapi ini beneran konyol." Wajah Tania yang masih tersenyum lebar menoleh ke samping menatap Mareno. "Kamu itu bad temper banget."
"Kamu yang suka ngomong aneh-aneh bikin aku kesal. Sekarang bahkan kamu udah ngeracunin otak aku bikin aku ngomong 'aku-kamu' begini. Shit." Mareno menyumpah serapah karena kesal sendiri.
Sementara Tania tambah terkikik geli. Setelah berhasil mengontrol tawanya dia berujar lagi. "Kamu beneran udah nggak apa-apa?"
"I'm perfectly fine. Oh aku juga nggak suka kamu terus-terusan nanya soal kesehatan saya. Saya punya Dokter Reyn."
"Itu tandanya aku perhatian."
Mareno mendengkus lagi. "Perhatian yang sama buat semua pasien kan? Aku bukan pasien kamu."
Tania memilih mengabaikan kesal Mareno dan menyenderkan tubuhnya santai. Mereka diam selama beberapa saat. Satu tangan Mareno sudah mengamit tangan Tania, menggenggamnya kemudian meletakkan tangan itu di pangkuan. Sudut mata Tania melihat pemandangan itu dan dia tersenyum lagi.
***
Di sebuah restoran mewah
"Apa ini punya Darusman?"
"Bukan, ini punya keluarga kami."
Kepala Tania mengangguk perlahan lalu menatap Mareno yang sudah membukakan pintu.
"Kamu curang." Tania melangkah ke luar mobil.
"Kenapa?" Mareno sudah menggandeng tangannya lagi sambil menyerahkan kunci pada petugas valley.
"Kamu ngaca nggak? Penampilan kamu rapih banget gitu, terus aku pakai baju kerja begini. Lain kali bilang dong kalau mau makan malam resmi."
Mareno tersenyum dan langsung membawa Tania masuk ke bagian dalam restoran yang lebih terpisah.
"BIlang dan kemungkinan ditolaknya besar. No, I'm done with all your rejection."
"Ego kamu itu tingginya lebih dari langit ketujuh. Ampun deh." Kepala Tania menggeleng sambil berusaha mengabaikan tatapan mata dari beberapa pengunjung di sana.
Suasana di restoran bagian dalam lumayan ramai. Hanya ada 2-3 kursi yang kosong. Mereka terus berjalan hingga tiba di pintu kaca besar yang menjadi penghubung antara bagian dalam dan bagian teras restoran. Tempat itu tidak terjangkau mata tamu-tamu di dalam dan indah sekali. Taman besar dengan kolam air mancur yang bergaya eropa di bagian tengah. Hanya ada dua kursi dan meja yang letaknya di sebelah air mancur. Juga meja panjang tempat chef Roy sudah berdiri dan menyambut mereka.
'Chef Roy, celebrity chef yang masakannya luar biasa,' gumam Tania dalam hati.
Dia pernah makan masakan dari chef yang satu ini dan harus mengakui kepiawaiannya.
"Selamat malam," sapa chef itu ramah.
Tania hanya tersenyum dan mengangguk. Dia duduk pada kursi yang sudah ditarik dan disiapkan oleh Mareno. Laki-laki itu duduk di seberang meja. Kemudian tersenyum kecil dan menatapnya. Oke, dia sedikit gugup.
"Kenapa?" tanya Mareno.
"Nggak kenapa-kenapa," jawabnya sambil menutupi perasaannya sendiri yang sedikit gugup. "Aku pikir, aku lebih suka McD." Tubuhnya sedikit lebih condong dan dia berbisik pada Mareno.
Mareno tertawa. "Kamu mau mereka bawakan McD buat kamu? They can do it."
"Jangan. Apa kamu selalu begini?" ujar Tania sedikit kesal.
"Apa?"
"Menyebalkan begini." Untuk menutupi gugupnya karena menunggu chef Roy yang sedang memasak dia berdiri dan memutuskan untuk berjalan mengelilingi taman.
Laki-laki itu juga sudah berdiri, mengikutinya dari belakang.
"Ada berapa banyak wanita yang kamu ajak ke sini? Atau kamu rayu dengan cara ini?" Dia sudah tiba di pinggir kolam air mancur yang cantik itu, menatap kilauan air yang tertimpa cahaya lampu dan juga ikan-ikan hias yang berenang cantik sekali.
Tanpa dia duga kedua tangan Mareno menyelip pada jeda lengannya, merengkuhnya dari belakang.
"Satu," Mareno mencium puncak kepalanya dari belakang.
Tubuhnya sedikit terkejut karena itu lalu Mareno terkekeh kecil.
"Satu setiap harinya. Betul nggak?"
Mareno terkekeh saja dan tidak menanggapi respon Tania soal itu. "Kamu sudah berapa lama nggak pacaran?"
"No comment."
"Aku nggak pernah pacaran, FYI. Aku sudah bilang kan. Jadi jangan terlalu gugup," ujar Mareno lagi.
"Aku nggak suka kamu peluk-peluk begini di depan umum."
"Kamu suka, hanya belum biasa. I'll give you time. Tapi jangan kelamaan ya." Mareno melepaskan tangannya perlahan lalu mencium kepalanya lagi. "Sini, jangan jauh-jauh." Tangan Mareno menarik lengannya lembut untuk kembali ke meja. Sup mereka sudah datang.
"Selamat makan," Mareno menatap Tania ketika mereka sudah kembali duduk.
"Kamu nggak makan?" Tania mulai menyeruput sup itu.
"Aku skip appetizer, langsung main course. Kamu terlalu kurus Tan, kamu nggak makan apa gimana?"
"Kamu nggak suka sama yang kurus?" tanya Tania cuek.
Laki-laki itu tersenyum. "Aku curiga kalau aku bilang nggak suka, kamu langsung diet biar tambah kurus. Begitu nggak?"
Kali ini Tania tertawa. "Bisa jadi."
"Kalau begitu jawabannya, saya suka kamu yang apa adanya, yang buat kamu nyaman."
Tania diam sejenak seperti berpikir, kemudian berujar lagi. Dia senang memancing Mareno, selalu begitu. "Aku nggak suka selera mobil kamu. Terlalu berlebihan."
"Berlinetta sudah saya ganti atas permintaan kamu. Padahal saya suka sekali dengan dia. Sekarang saya bawa yang lain. Masih salah juga." Kepala Mareno menggeleng kecil.
"Berlinetta? Kamu namakan mobil kamu?" Tania selesai dengan supnya. Kemudian chef Roy sudah menghidangkan fresh main course yang baru saja dia masak. "Terimakasih chef, ini pasti enak." Tania menatap chef Roy sejenak kemudian kembali pada makanannya.
"Apa salahnya memberi nama untuk koleksi sendiri." Mareno mulai makan.
"Boys with toys, luar biasa. Tapi serius, aku nggak suka mobil mentereng begitu."
"Semua mobilku begitu dan sudah cukup aku ganti satu buat kamu. Sisanya kamu yang harus menyesuaikan."
"Menyesuaikan apa?"
"Menyesuaikan karena aku akan pakal mobil-mobil itu dalam waktu lama. Kecuali kalau sudah ada pengganti yang lebih menarik minatku."
"Memangnya kita ini mau sampai selama apa?"
"Selama-lamanya," jawab Mareno enteng, paham benar wanita ini sedang bermain kata lagi dengannya. Kali ini, dia akan ladeni.
"Salah, kayaknya jawaban yang lebih tepat adalah sampai kamu menemukan seseorang yang lebih menarik minat kamu lebih dari saya sekarang. Itu kedengaran lebih logis."
"Ya lebih logis mengingat kita sedang berbicara tentang saya yang anti berkomitmen..." Reno memberi jeda. "...dulu. Tapi sayangnya bukan itu jawabannya sekarang. Saya masih tetap pada jawaban saya, sekarang ini saya akan selama-lamanya bersama kamu."
Mareno menyudahi makannya dan melihat Tania pun sudah selesai makan. Matanya menatap Tania, tidak berpindah dari wajah wanita itu. Ingin mengetahui apa reaksinya dengan semua respon yang dia berikan. Kali ini, dia akan membuat Tania memikirkan apa yang dia katakan, bukan sebaliknya.
"Andai semudah itu aku bisa percaya, aku bisa punya mantan pacar sebanyak mantan pacarmu."
"Aku tidak punya mantan pacar dan tidak berencana untuk punya satu. Aku sudah bilang aku serius. Sangat serius. Apa kamu mau bertaruh?" Senyumnya terkembang.
"Soal?"
"Seberapa seriusnya aku."
Mata Tania menatap tajam, ini asyik juga. "Oke. Kita bertaruh. Apa hukumannya?"
Mareno tertawa kecil. "Kamu benar-benar meremehkan saya Tania. Kamu pikir saya tidak sungguh-sungguh. Itu sedikit, oh bukan. Itu sangat menyakiti hati saya."
"Anggap saja itu balasan untuk semua sakit hati wanita-wanita kamu dulu."
Laki-laki itu menghela nafasnya. "Okey, fair enough. Lagipula kalau ini terlalu mudah apa menariknya kan?"
"Ya setuju. Jadi apa hukumannya?"
Mareno berpikir sejenak. "Karena kamu wanita paling keras kepala yang pernah saya kenal, juga penyihir paling cantik..."
"Penyihir?"
"Tania, itu bukan pointnya."
"Hrrrghhh..."
"Hukumannya, kalau aku bisa membuktikan bahwa aku benar-benar serius adalah kamu harus melakukan apapun yang aku minta."
"Satu hari, okey."
"No no. Satu bulan."
"Satu minggu dan hanya jika, apapun yang akan kamu lakukan itu memang berjangka waktu lama."
"Bukan berjangka waktu lama, ya Tuhan. Yang saya tawarkan adalah selamanya."
"Okey. We'll see."
Kepalanya menggeleng, dia pikir Tania sudah dalam kuasanya. Dia bahkan sudah membawa Tania ke tempat-tempat yang tidak pernah didatangi oleh wanita manapun. Juga mengenalkannya pada ibu tadi. Padahal mereka baru saja bertemu lagi hari ini. Tapi wanita ini keras kepala sekali. "Deal."
Dessert sudah dihidangkan, mereka melanjutkan obrolan mereka dengan hal yang ringan. Sampai ponsel Tania berbunyi. Tangannya sudah ingin mengangkat telpon itu.
"Jangan diangkat. Kamu akan marah setelah itu."
"Persuasimu buruk sekali." Dia mengangkat telpon dari Sena.
"Ya Sen?"
"Are you serious Nin? Dari semua laki-laki di dunia ini, Mareno Daud?" Suara Sena dalam dan berat sekali. Tania segera tahu laki-laki itu sedang menahan seluruh emosinya.
Tubuhnya langsung berdiri dan menengok ke belakang. Sena sedang menatap mereka dari bagian dalam restoran.
"Sena, tunggu du...." Ponsel itu sudah dimatikan. Tubuh Sena berbalik dan berjalan ke luar.
Sementara dia menatap Mareno tajam. "Ini ulah kamu?"
"Aku nggak suka punya pesaing, tadi aku sudah bilang kan?" Mareno masih duduk dengan wajah datarnya yang tidak terbaca, menatap Tania sama tajamnya.
"Brengsek!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro