Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23 - I won't

Ruang tertutup itu berisi empat orang. Dia, anaknya dan juga dua orang pemerintahan. Persuasi itu memang bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya, uang. Itu adalah cara yang paling mudah dan gampang. Tanpa kekerasan atau keributan. Semua juga senang. Dia senang karena rencananya bisa berjalan dan mereka senang karena karena mendapatkan uang yang untuknya jumlah itu biasa saja.

Setelah selesai serta berjabat tangan, dia akan keluar lebih dulu dari ruangan itu bersama anaknya. Sementara yang lainnya akan keluar dengan jeda satu jam setelahnya. Untuk berjaga-jaga.

Matanya menatap bekas luka pada tangan Tommy. Kemudian ingat benar betapa murkanya Ibrahim padanya saat ini. Ya, Tommy akhirnya bisa melukai Mareno. Sayang, anak Ibrahim itu tidak mati. Harusnya dia mati saja. Jadi fokus si empat saudara akan terganggu sehingga dia bisa dengan mudah membereskan Ardiyanto dan juga Ibrahim dalam waktu yang sama. Setelah dia memiliki semua kuasa, si empat saudara sudah bukan menjadi masalah lagi.

"Kenapa kamu nggak operasi tanganmu?" Mereka berada di dalam mobil. Duduk di bagian belakang.

"Kenapa bertanya? Saya nggak pernah sempurna dimatamu kan? Jadi nggak usah ribut soal luka kecil begini." Tommy mendengus marah. Ingat benar bagaimana koper itu berbunyi dan meledak ketika dia lempar menjauh.

Herman tertawa. "Yah silahkan, kalau pelacurmu itu masih suka dengan kamu yang cacat. Tidak apa-apa. Jika dia tidak suka, ganti perempuannya. Lebih baik daripada mengganti tanganmu kan. Sesukamu lah."

"Itu urusan saya."

"Jangan pernah mau dikendalikan wanita. Mereka merusak pikiran dan menggerogoti jiwamu saja. Menyusahkan."

"Apa bisa kita stop pembicaraan pribadi? Lebih baik menghubungi Pak Drajat untuk susun rencana karena kasus ini akan bergulir di pengadilan nanti. Pak Lukman itu pengacara handal, Dwi Sardi juga kuat. Jadi untuk memastikan Ayah si empat saudara berada di tempat seharusnya butuh kerja keras."

Senyum Herman mengembang. Dia sudah mencetak anaknya sama persis dengan dirinya sendiri. Oh, bahkan lebih baik darinya. Kemudian dia berujar. "Hubungi Drajat sekarang."

***

Pintunya diketuk seseorang. "Hai Dok." Sosok Aryan ada di sana.

"Hai Yan." Dia tersenyum kemudian kembali menatap layar monitor. Laporan-laporan ini harus cepat dia selesaikan hingga dia bisa menyusul Reyhani ke butik Sabiya untuk fitting gaun.

"Kok nggak visit?" Aryan sudah duduk di depannya.

"Sudah."

"Oke aku ganti pertanyaannya. Kok nggak visit Mareno?"

"Dia pasien kamu dan Dokter Reyn. Bukan aku."

Aryan tersenyum geli menatap Tania.

"Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Andaru hamil kembar?" tanya Tania sambil menatap Aryan sekilas.

"Nggak. Cuma aku ngerasa lucu aja. Kemarin dulu waktu Mareno koma, kamu sehari bisa tiga kali ke kamarnya. Sekarang, setelah tiga minggu orangnya udah bangun, hidup, malah udah bisa jalan lagi karena dia latihan fisik setiap hari. Kamu malah nggak pernah mau ketemu. Apa kamu segrogi itu kalau ketemu dia?"

"Aryan Diputra. Yang aku tahu kamu itu cool, diam nggak banyak ngeledekin orang. Kenapa jadi ngeledek terus? Usil banget jadi orang. Sana-sana aku mau buru-buru karena janjian sama Reyhani."

Aryan terkekeh geli. "Oh God, you really love him are you?"

Tangannya sudah melempar pinsil dan pulpen yang ada di meja ke tubuh Aryan. "Keluar nggak. Dasar menyebalkan."

Aryan tambah tertawa tapi kemudian berlalu dari ruangan Tania.

***

Beberapa minggu kemudian

Ini sudah hampir minggu ke tujuh sejak dia bangun. Dia berusaha mengabaikan kenyataan bahwa dia berada di tempat yang sama dengan Antania. Menahan rasa rindu dan penasarannya sendiri atas perilaku wanita itu yang aneh sekali. Bagaimana tidak aneh, Mahendra bilang Tania berusaha menyelamatkan dan membangunkannya dari koma. Tania bahkan sempat tidur di lab bersama Mahendra untuk menemukan kesempurnaan formula. Tapi ketika dia sudah bangun, wanita itu malah tidak pernah muncul. Bahkan hanya untuk 'say hi' saja. Ada apa dengannya?

Rencananya sendiri adalah juga menahan diri untuk tidak menemui wanita itu. Kenapa? Karena baju pasien ini buruk sekali. Dia sudah meminta dokter Reyn untuk mengganti seluruh baju pasien di rumah sakit ini atas biaya dari ID Tech, tapi dokter itu malah tertawa. Dia juga tidak ingin Tania tahu bahwa awalnya dia masih sulit untuk berdiri. Sudah cukup dia menunjukkan kelemahannya dihadapan wanita itu. Jadi dia akan menemui Tania ketika tubuhnya sudah siap dan kondisinya sudah prima.

Akhirnya dia berlatih gila-gilaan untuk memulihkan kondisi fisiknya. Sekarang, tubuhnya sudah kembali stabil. Serum dari Mahendra bekerja luar biasa. Proses pemulihan dirinya cepat sekali. Saat ini, dia sudah meminta Janice, sekertaris keluarganya untuk membelikan apa-apa yang dia butuhkan untuk bertemu dengan dokter Antania Tielman, wanitanya.

Pintu kamar itu di ketuk, Janice sudah masuk membawakan pesanan. Dia memang sudah berpindah ke kamar rawat biasa. Bukan kamar steril seperti sebelumnya.

"Terimakasih." Dia tersenyum pada Janice yang hanya mengangguk saja. Terkadang dia berpikir Janice itu jelmaan dari robot ciptaan Mahendra, karena sikapnya kaku sekali. Padahal sudah lebih dari lima belas tahun bekerja pada keluarganya.

Dia bersiap-siap. Mandi, bercukur, mengganti pakaiannya dengan setelan jas dan kemeja terbaik. Dia sedang mematut wajahnya di cermin ketika pintu itu diketuk lagi. Mama dan Sabiya datang.

"Wah wah wah. Kamu mau kemana Bang?" Senyum Sabiya lebar sekali melihat sosok Mareno yang terlihat segar dan sangat sehat. Juga senyum yang menghias wajahnya.

Mareno menghampiri mama dan mencium pipinya sayang. Kemudian dia berjalan menuju Sabiya dan memeluknya sesaat.

"Assalamualaikum," ujar Trisa tersenyum melihat aura anaknya yang sudah kembali seperti sedia kala.

"Wa'alaikumsalam." Mareno merangkul mamanya lagi. "Damar nggak di ajak?"

"Lagi latihan bola, abis ini aku jemput. Kamu wangi banget. Mau kemana sih?" Sabiya meletakkan makanan di salah satu meja.

Dia hanya tertawa.

"Ini bunga buat siapa?" Trisa bertanya sambil menunjuk buket bunga indah yang tergeletak di kasur kamar.

"Aku sudah kirimin Mama bunga langsung ke rumah. Sabiya ke butiknya, yang ini bukan buat kalian." Dia masih berdiri dan merangkul mama sementara Sabiya sudah duduk di sofa.

"Kamu? Kasih aku bunga? Kamu sehat Bang?" kekeh Sabiya geli. "Kamu mau mulai ngerayu cewek-cewek lagi ya? Siapa kali ini?"

"Sssttt berisik. Aku pergi dulu ya. Kalian di sini aja dulu."

Trisa menggeleng kecil sambil tersenyum. "Sudah cukup bermainnya Mareno. Mama nggak mau dengar lagi atau nonton acara gosip yang isinya kamu dan artis-artis itu. Sudah Nak."

"Siapa bilang aku mau main kali ini Ma. Aku mau ketemu seseorang yang istimewa."

Ekspresi Sabiya terkejut sejenak, lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Sebentar, aku mau telpon Bang Hanif dulu. Berita besar, The Don Juan sudah berhasil ditaklukan."

Kepalanya menggeleng kesal lalu dia mencium pipi mamanya sesaat lagi sebelum ke luar dari pintu dengan buket bunga itu.

***

Di salah satu ruang kerja.

Tania duduk di kursi kerja sambil mengangkat telpon.

"Danika sudah tidak mengamuk atau menangis lagi. Setelah kunjungan terakhir kamu itu, dia mulai bersenandung lagi." Dokter Inggit berbicara di seberang sana.

Dokter Inggit melanjutkan. "Saya perhatikan, saat kamu sedang stress atau sedih seperti sebulan lalu perilaku Danika pasti berubah Nin. Tapi saat kamu sudah kembali tersenyum dan menengok Danika dengan mood yang lebih baik, Danika pun akan mulai gembira. Entah kenapa kalian memang memiliki koneksi yang kuat sekali. Jadi saya sangat menyarankan kamu pun harus bahagia Nina. Agar Danika juga bahagia di sini."

Kepalanya sedikit menunduk, dia tersenyum kecil. Bahagia mengetahui Danika mulai membaik. "Saya akan ke sana minggu depan Dok."

"Tenang saja Nin, Danika sudah lebih baik. Semoga saja dia akhirnya menyatukan lukisannya sendiri. Jadi kita bisa tahu siapa laki-laki misterius itu."

"Ya Dok. Saya juga masih berusaha mencari tahu. Terimakasih sekali lagi Dok." Tubuhnya sudah berdiri menatap jendela luar ruangan.

"Selamat sore Nin."

"Sore Dok."

Ponsel itu sudah dia tutup ketika pintunya diketuk.

"Masuk." Dia berbalik menghadap pintu.

Lalu sosok sempurna itu ada di sana. Masuk kemudian mengunci pintu ruangan. Tubuh tinggi tegapnya dibalut setelan jas rapih, rambutnya juga ditata sedemikian rupa ditambah wajahnya yang terlihat segar. Wangi itu sudah menguar, wangi khas laki-laki itu. Satu tangannya menggenggam buket bunga besar yang cantik sekali.

"Selamat sore, Antania. Apa kabarmu?"

Salivanya sudah dia loloskan. Refleks tangannya menyelipkan rambutnya yang mulai panjang ke belakang telinga. Tangan lainnya masih menggenggam ponsel erat sekali, karena jantung ini berdetak terlalu cepat. Ini pertemuan pertama mereka sejak Mareno sadar dari koma. Dia sengaja menghindari semua pertemuan dengan laki-laki ini. Paham benar apa dampak yang akan terjadi dan melarang keras dirinya sendiri untuk memulai sesuatu dengan siapapun itu. Termasuk laki-laki ini. Tapi kenapa keberadaannya saat ini seperti magnet saja. Yang menariknya kuat hingga dia tidak berdaya. Bibirnya kelu, dadanya berantakan sekali, entah bagaimana ekspresinya saat ini.

Mereka berdiri berhadapan terpisah hanya lima langkah. Hari ini dokter manisnya itu mengenakan rok A-line selutut berwarna putih gading dengan heels senada dan blouse cantik berwarna hijau lembut. Rambutnya mulai panjang tergerai, wangi tubuhnya masih sama persis seperti apa yang dia ingat dan dia rindu. Juga wajah manis dengan make up tipis-tipis tidak berlebihan. Dia sudah paham apa arti perasaannya ini. Mungkin sudah sejak lama, karena ketika dia diambang maut, yang ada hanya wajah wanita ini saja. Tempat dia ingin selalu kembali, lagi dan lagi.

"Saya baik. Apa kabarmu, Mareno?"

"Oh persetan." Dia melangkah maju dan meletakkan buket bunga di meja kerja. Merengkuh tubuh itu dalam dekapannya. Dia benar-benar kehabisan kata-kata.

Dahinya sudah menempel pada dahi Tania ketika dia berujar, "I will kiss you, don't stop me. Please."

Saat ini hatinya yang memimpin dan menggerakkan tubuhnya. Logika tentang betapa prinsip hidup mereka yang berbeda terbang entah kemana. Dia juga suka, juga sama rindunya pada laki-laki ini. Kemudian bibir itu tersenyum. "I won't."

Bibirnya sudah tiba, mencecap dan merasakannya. Menelusuri setiap inchinya, membukanya perlahan, lalu masuk dan menyatukan lidah mereka. Wangi Tania dia hidu dalam-dalam, hembusan nafas wanita itu seperti angin segar yang menyapu hatinya, membuat organ itu berdesir. Satu tangannya menggenggam tengkuk Tania, memperdalam ciuman mereka.

Setelah beberapa saat mereka berhenti. Dia menempelkan hidungnya pada hidung Tania. Memejamkan mata karena sungguh merasa bahagia, juga karena ingin mengendalikan dirinya sendiri dari hasratnya yang sudah naik tinggi. Kemudian ketika matanya terbuka, dia mencium kening Tania lembut.

"Thank you, for saving my life...and for bringing back my heart, put it back where it belong."

Kemudian Tania tersenyum. Kedua tangannya mengalung pada leher Mareno, sebelum akhirnya laki-laki itu menenggelamkannya dalam pelukan panjang, lama-lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro