Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 22 - The Saviour

Rumah kediaman keluarga Straussman

Tania menghambur ke pelukan Reyhani ketika mereka bertemu. Dia memang sudah berencana untuk pergi ke tempat sahabatnya ini sejak siang tadi. Tapi akhirnya harus bertemu dengan Sena.

"Ya Tuhan ada apa Tan?" Mereka berada di kamar besar Reyhani.

Sudah terlalu lama dia berhasil menahan segalanya sendiri. Menahan kesedihan dan kesepiannya karena mama pergi, menahan kenyataan tentang Danika, atau semua kenangannya dengan Mareno, atau luka Sena tadi. Jadi tangisnya sudah pecah tidak terkendali dalam pelukan Reyhani. Harusnya dia datang untuk menengok sahabatnya, tapi Aryan benar. Saat ini dia yang lebih butuh pertolongan.

Tangan Reyhani yang kuat memeluknya dengan lembut, membiarkan dia menangis sepuasnya. Kemudian setelah beberapa saat tangis Tania mereda. Mereka duduk di sofa berukuran sedang yang ada di dalam kamar.

"Maafin aku Han, harusnya aku ke sini untuk nengokin kamu. Tapi malah begini." Air matanya sudah dia hapus. "Aku baru tahu soal semua masalah kamu kemarin itu dari Aryan. Maaf aku nggak datang lebih awal."

"Hey, aku baik-baik aja Tan. Semua yang aku alamin sudah lewat. Sekarang kayaknya kamu yang lebih butuh bantuan. Ada apa Tan? Apa kamu mau cerita?"

Tania tersenyum miris. "Aku bahkan nggak tahu mau mulai dari mana Han."

"Aku mendengarkan."

Dia diam sejenak seperti meragu. Apa dia sanggup bercerita tentang semua keresahannya? Apa dia siap membagi apa yang dia rencanakan untuk orang yang menyakiti Danika? Atau membagi rahasia perasaannya sendiri dengan Mareno Daud?

Reyhani seperti mengerti apa yang dipikirkan Tania. "Kata iparku, kita tidak perlu tahu semua jawaban atas semua persoalan hidup. Asal kita mau bertanya, asal kita mau sedikit berbagi dengan orang-orang terdekat kita, harusnya kita bisa atasi semua."

Helaan nafasnya sudah di sana, kemudian dia mulai bercerita. Tentang mama, tentang ayah, tentang Danika, tentang Sena, dan yang terakhir, tentang perasaannya sendiri pada laki-laki yang sedang terbaring koma.

Reyhani mendengarkan dengan seksama. Bagaimana ternyata Tania sahabatnya memiliki kesulitan dan cobaan hidupnya sendiri. Ya, dia pun akan sangat marah dan terluka mengetahui sahabat dekatnya dilukai sedemikian dalam oleh orang lain seperti itu. Dia juga mengerti betapa sepi hidup tanpa keberadaan mama. Apalagi sekarang dia tahu Tania sedang menunggu laki-laki yang dia cinta bangun dari koma. Sekalipun, Hani tidak tahu siapa laki-laki itu karena Tania masih belum mau bercerita detailnya.

"Aku pergi ninggalin Sena waktu jalan ke sini Han. Aku melukai laki-laki baik seperti dia." Kepala Tania sedikit menunduk. Dadanya masih nyeri mengingat tatapan mata Sena yang terluka.

"Karena kamu jatuh cinta dengan laki-laki lain. Entah kenapa aku setuju dengan sikap kamu untuk ngomong dan jujur dengan Sena. Pengalamanku, hati itu sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan begitu aja."

Dia menghela nafas lagi.

"Bagaimana dengan kabar sahabatmu tadi, Danika?"

"Dengan bodohnya aku nangis waktu tengok dia terakhir. Karena aku benar-benar kalut waktu tahu orang itu koma. Danika mengamuk untuk pertama kalinya lagi, dia seperti paham sekalipun nggak merespon dengan benar."

"Kalian dekat banget ya."

"She's like my sister. Kayak kamu sama Asha sekarang?"

Reyhani tersenyum kecil dan mengangguk. "Mungkin lebih erat dan dalam hubungan kamu dan Danika. Karena kalian teman kecil."

Dia menarik nafas. "Saat aku bertemu siapa pelakunya yang buat Danika seperti itu, aku akan membalas Han." Matanya menatap Hani sungguh-sungguh.

Entah kenapa Hani bisa langsung merasakan dendam pada mata Tania yang menyala tiba-tiba. Seperti ada api dalam kegelapan matanya. Dia tidak menyalahkan kemurkaan Tania. Tapi setelah semua yang sudah Hani sendiri lalui, dia paham benar bahwa dendam tidak akan membawa kemana-mana.

"Tan, sebaiknya kamu pikirkan lagi. Maksudku, aku nggak salahin sikap kamu begini. Tapi apa yang terjadi dengan Danika bukan salahmu Tan, bukan tanggung jawabmu. Memang laki-laki itu bersalah, tapi mendendam begitu bukan sesuatu yang akan berakhir baik."

"Aku berusaha Han, aku berusaha. Tapi setiap kali aku datang menengok Danika, rasanya aku ingin membunuh siapapun yang menyebabkan dia begitu."

"Tapi kamu belum tahu faktanya, Tania. Mungkin kejadiannya nggak seperti yang kamu sangka."

"Tapi itu satu-satunya petunjuk dari Danika. Dia bilang dia jatuh cinta, terus dia berahasia dari aku, lalu dia setengah gila begitu. Semua bukti mengarah ke sana Han."

"Anggap itu semua benar Tan. Tapi mendendam dan membalas itu tetap salah. Dendam akan buat kamu susah tidur, menghabiskan hati dan jiwamu aja Tania. Saranku kamu jangan meneruskan dendam kamu itu. Cari si laki-laki misterius untuk sembuhkan Danika, bukan untuk menuntut balas."

Tania diam saja, merasa jika soal ini Hani tidak mengerti apa yang dia rasa. Tapi dia memakluminya saja. Lagi-lagi dia menghirup nafas panjang kemudian berusaha tersenyum.

"Aku sudah merasa lebih baik Dok. Terimakasih."

"Belum, aku belum tahu siapa laki-laki yang kamu suka itu Tan. Ayolah, kenapa pelit sekali?" Hani sudah mulai meledeknya.

"Siapa? Sena?" Tania berdalih.

Kemudian Hani tertawa. "Aku bisa tanya ke Aryan."

"Aryan nggak tahu."

"Bohong. Wow, kamu beneran nggak mau siapapun tahu? Apa dia sehebat itu jadi kamu takut ada yang ambil?"

"Hey hey, aku nggak posesif kayak pacar kamu yang nyebelin itu tuh."

Hani tertawa lagi. "Ya, yang itu fakta. Radit memang terkadang cemburuan banget dan nyebelin."

"Tapi cinta kan? Hah, kamu menyebalkan Dok." Mereka tertawa kecil.

"Kamu aku jadiin bridesmaid ya."

Kepalanya mengangguk lalu dia memeluk Hani tiba-tiba. "Aku senang kamu baik-baik aja Han. Setelah semua yang kamu lalui kemarin itu. Itu gila sih menurut aku. Kita harus lebih sering ketemu biar aku juga nggak tambah gila."

Tangan Hani merengkuh sahabatnya kuat. "Itu aku setuju dan sekarang aku tahu kenapa dulu kamu galak banget sama Radit. Kamu takut dia main-main sama aku ya?"

Tania mengangguk saja, dia melepaskan pelukannya.

"Hey hey, kalau Radit berani macam-macam, aku juga bisa jewer telinganya. Jangan khawatir." Hani tersenyum.

"Yakin bisa jewer Radit? Kamu kemarin bahkan tembak diri kamu sendiri buat dia. You crazy woman."

Kemudian mereka tertawa bersama.

***

Matanya menatap pesan singkat dari Sena. Setelah kejadian itu Sena tidak menghubunginya selama beberapa hari. Kemudian setelah tepat seminggu Sena mengirimkan satu pesan padanya.

Sena: It is not that easy. I will give you time.

Tubuhnya berdiri diam menatap ponselnya sendiri. Dia paham benar mungkin Sena sudah berusaha menjauhinya dan memberi jeda. Tapi jeda yang sudah terjadi di antara mereka terlalu panjang. Hingga membuat dia melupakan debaran-debaran itu, atau perasaan rindu. Dia membiarkan dirinya dekat lagi dengan Sena setelah perpisahan yang panjang. Ingin berusaha menemukan kembali apa yang hilang dulu. Saat ini memang fokusnya terbagi pada Danika, dia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu. Tapi bahkan setelah dia mencoba, itu tetap tidak berhasil. Atau mungkin karena diam-diam hatinya sendiri sudah menetap pada sosok yang lain? Sosok yang tidak dia sangka sama sekali. Apa mungkin begitu? Harus bagaimana dia menyikapi ini semua?

"Dok, jangan berdiri aja di tengah jalan," suara Dokter Reyn di sana.

"Oh maaf Dok."

"Mau visit?" Mereka berjalan beriringan.

"Mau ke ruangan, setelah itu visit. Dokter habis visit?"

"Adrian Straussman, pasien favorit kamu."

Tania tertawa, paham benar dokter Reyn sedang meledeknya. Mereka berpisah di ujung koridor. Tidak berapa lama, Aryan yang berada dekat dengan dokter Reyn memanggilnya lagi.

"Tania." Tangan Aryan meminta dia mengikuti mereka.

Dia menoleh dan mendapati keduanya sedang berjalan cepat ke arah koridor lain. Arah kamar Mareno. Refleks kakinya adalah berlari. Ini memang sudah satu minggu setelah pemberian serum oleh Mahendra. Mereka menunggu sambil berharap-harap cemas. Arsyad, Mahendra dan Trisa Daud bahkan datang setiap hari untuk mengecek kondisi Mareno. Ayah Mareno baru tiga hari yang lalu menengok. Sementara Hanif memang masih berada di luar negeri tapi juga selalu menelpon dokter Reyn atau Aryan untuk mengetahui kondisi adiknya.

Kemungkinannya 50:50 dan ini berarti bisa membahayakan keselamatan Mareno karena kondisi Mareno yang masih tidak sadarkan diri. Berbeda hal nya dengan pengetesan pada Arsyad dan Mahendra. Efek samping tidak akan merusak parah karena mereka dalam kondisi baik. Tapi pada pasien trauma, efek samping serum bisa lebih berbahaya. Jadi kakinya sudah berlari sama cepatnya seperti langkah panjang dokter Reyn dan Aryan, menuju kamar Mareno.

Dokter Reyn dan Aryan tiba lebih dulu dan langsung masuk ke ruang steril, sudah ada satu perawat di sana. Dia hanya bisa berdiri terpaku dari ruang penyambung di balik kaca. Menatap sosok laki-laki itu yang sudah bergerak-gerak melihat ke sekelilingnya bingung. Air matanya jatuh satu, Mareno bangun, laki-laki itu bangun. Setengah bebannya seperti hilang saja. Mahendra berhasil, semua tim dokter berhasil, mereka berhasil. Bibirnya sudah tersenyum bahagia.

Dia memutuskan untuk diam melihat dari balik kaca. Bagaimana dokter Reyn berbicara dan Aryan yang memeriksa kondisi Mareno. Ritme di dadanya makin naik, dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri keras sekali. Perasaan ingin berada di sisi laki-laki itu, ingin menyentuh tangannya kemudian tersenyum dan menyambut bangunnya. Tapi entah kenapa itu dia tidak lakukan. Mungkin dia terlalu merasa bersalah dengan Danika. Bersalah karena dia merasa dia tidak boleh bahagia sebelum Danika sembuh dan juga bahagia.

"Saya heran kenapa kamu nggak masuk ke sana Dok?" sudah ada Mahendra di sebelahnya tiba-tiba. Mata laki-laki itu juga memandang lurus ke arah abangnya yang baru bangun.

Tania tersenyum saja. "Saya nggak mau mengganggu waktu untuk keluarga."

"Kamu dan tim Dokter di sini yang pantas untuk dapat semua penghargaannya."

"Hey, serum itu buatan kamu sampai nggak tidur tiga minggu kan?" Tania terkekeh.

"Saya menyempurnakannya juga dengan ide kamu terakhir itu kan?"

Kepala Tania mengangguk kecil. Ya, dia memang membantu Mahendra di akhir waktu untuk menyempurnakan formulanya.

"Mau taruhan sama saya?"

"Apa?"

"Orang pertama yang dia tanya pasti kamu."

Tania mendesah kecil. "Saya hanya cukup tahu dia baik-baik saja. Selamat siang Hen. Terimakasih karena sudah membangunkan dia."

Sebelum tubuh Tania berlalu dari situ Mahendra berujar lagi. "Belum pernah ada wanita yang membuat dia gusar seperti itu. Dia bahkan berhenti berhubungan dengan wanita-wanita lainnya semenjak bertemu kamu. Dia jadi lebih pendiam, lebih memikirkan orang lain daripada sebelumnya. Matanya juga kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu setiap saat." Mahendra menghela nafas.

"Saya bukan orang yang suka ikut campur atau suka bicara seperti ini. Saya nggak paham apa jenis hubungan kalian. Itu bukan urusan saya. Saya hanya ingin sampaikan saja ke kamu. Terimakasih juga Dok. Kamu sudah berkali-kali menyelamatkan dia."

Lalu Mahendra masuk ke dalam ruang steril sambil tersenyum lebar. Sementara Tania berjalan ke luar ruangan.

***

Tubuhnya terasa aneh sekali. Sakit dan sedikit melayang. Matanya sudah terbiasa dengan cahaya di ruang steril itu. Telinganya juga bisa mendengar apa-apa yang dokter Reyn jelaskan sementara dokter Aryan memeriksa kondisinya. Terakhir yang dia ingat, dia ditembak oleh Tommy. Sepupunya yang sakit jiwa itu berusaha membunuhnya. Kemudian dia tidak ingat sisanya.

Dia masih belum bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik. Semua terasa kaku. Berapa lama dia tidak sadar? Apa lebih dari satu bulan? Satu tangannya sudah melepaskan masker oksigen ketika Mahendra masuk.

"Welcome back Bro."

Senyumnya terkembang saja. Terakhir dia ingat bahwa dia ingin pulang. Semua orang-orang ini adalah orang-orang yang sudah membangunkannya. Tapi dia masih mencari wanita itu dan segera ingat bahwa Tania tidak mungkin ada di sini. Ini MG.

"Gue udah bilang serum lo butuh di upgrade. Tebakan gue ini udah satu setengah bulan?" suaranya serak dan dalam karena jarang digunakan.

"Sialan, bukannya makasih lo," sungut Mahendra kesal.

"Terimakasih." Dia menatap adiknya itu sambil tersenyum. "Terimakasih juga Dokter Reyn dan Aryan, kalian sudah menyelamatkan hidup saya." Matanya beralih pada dokter Reyn yang sedang berdiri bersebelahan dengan dokter Aryan.

"Ada satu lagi yang harusnya kamu ucapkan terimakasih," ujar dokter Reyn sambil tersenyum. Kepalanya menoleh ke kaca yang terhubung dengan ruang sambung. Mencari sosok Tania.

"Dia udah keluar kayaknya Dok," ujar Aryan.

"Siapa?" tanyanya singkat.

"Namanya Dokter Antania, Dokter pindahan baru dari rumah sakit lain. Dia yang mengajukan diri untuk membantu kami dan dia juga yang bantu Mahen sempurnakan formula serumnya untuk kamu."

Ekspresinya bingung dan terkejut sekali. Dia masih ingat benar dia pamit pada wanita itu terakhir kali. Dia juga ingat bagaimana mereka seolah mengerti apa yang mereka rasakan adalah berbeda dari apa yang mereka tahu sebelumnya. Tania bahkan menangis dan meminta dia untuk tinggal. Ditambah lagi ciuman lembut itu.

Tapi pindah kerja? Bergabung di MG dan membantu Mahen menciptakan formula untuknya adalah sesuatu yang lain. Wanita itu benar-benar berupaya menyelamatkannya dan ini bukan pertama kalinya.

"Saya tinggal dulu. Saya akan menghubungi Arsyad dan yang lainnya," ujar dokter Reyn sambil tersenyum.

"Kayaknya dia lebih mau dipanggilin Dokter Tania, Dok, daripada dipanggilin Arsyad." ledek Mahen dengan wajah konyolnya yang disambut dengan kekehan Aryan.

Dokter-dokter itu ke luar menyisakan Mahendra saja.

"Apa benar?" Wajahnya menatap Mahendra bingung, sementara dadanya mulai berdetak berirama.

"Jangan GR, dia nggak ada perasaan sama lo. Dia sukanya sama gue yang jenius ini."

Mareno terkekeh saja. Dia akan fokus memulihkan dirinya, setelah itu dia akan menemui dokter manis kesayangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro