Part 2 - Family
Beberapa bulan sebelumnya.
Tania berdiri di depan kelas barunya. Semenjak mama meninggal dunia, ayah seperti tenggelam dalam pekerjaannya. Mungkin melarikan diri dari kenyataan yang pahit sekali. Bagaimana tidak, mama adalah sosok ibu yang sempurna. Berbakti, penyayang, juga cantik sekali. Bagaimana ayah tidak hampir gila ketika mama pergi, dia pun rasanya ingin tenggelam saja.
Karena satu dan lain hal dia berpindah ke sekolah lain. Sekolah ini lebih dekat dari rumah, jadi mobilitasnya lebih mudah. Memang dia jadi berpisah dari Danika. Tapi Danika akan selalu ada untuknya, mereka selalu bisa bertemu ketika selesai sekolah. Tidak banyak yang berubah.
Sekolah ini termasuk sekolah swasta unggulan yang uang sekolahnya membumbung ke langit-langit, disiplin tinggi, dan ekstra kurikuler yang rasanya lebih banyak daripada pelajaran inti. Jadi waktu sekolahnya pun panjang. Buatnya itu tidak masalah, karena berada di rumah besarnya sendirian, dia mau gila. Jadi lebih baik dia berada di sekolah saja.
Di bagian sekolah yang lain
"Liburan ini kamu kemana?" Jessica Sharon menatapnya dengan senyuman menggoda.
Gadis ini memang istimewa, mereka masih SMA tapi tubuh Sharon tidak seperti anak SMA. Juga rambut hitam legamnya yang sedikit bergelombang, atau bibir seksinya yang dipulas lipgloss tipis-tipis dan membuat efek basah yang menyempurnakan semuanya.
Dia hanya tersenyum saja sambil menyenderkan tubuhnya di kursi panjang penonton lapangan sepakbola berukuran sedang sekolahnya. "Kenapa? Mau ikut?"
"Emang mau kemana?"
Reno terkekeh lagi. "Hutan."
"Hutan yang sama kayak tempat Tommy camp ya?"
"Iya. Mau ikut nggak?"
"Aku nungguin kamu pulang aja deh."
Reno menggendikkan bahunya. "Terserah."
"Ren, aku nggak mau lihat kamu jalan sama Dinar ya, seriusan." Tubuh seksi Sharon sudah mendekat padanya.
"Kenapa nggak boleh?"
"Pokoknya, nggak boleh." Tangan Sharon sudah merangkulnya. Hidungnya mulai membaui wangi tubuh Sharon.
Dia punya satu kelebihan aneh, indera penciumannya itu lebih sensitif dan tajam daripada kebanyakan orang. Dia bisa mencium wangi tubuh asli seseorang diantara wangi-wangian buatan yang mereka kenakan. Apalagi wangi hormon feromone milik wanita, baunya khas sekali untuknya dan itu menggugah selera. Mahen selalu bilang dia sakit karena yang ada di puncak kepalanya hanyalah wanita saja. Tapi itu semua karena indera penciumannya itu tadi. Betapa wangi tubuh asli seseorang bisa membawanya ke sensasi yang berbeda. Misal, wangi tubuh Sharon saat ini yang seolah minta dibawa langsung naik ke kasur saja. Gadis ini tidak akan menolak, tidak ada yang pernah menolak dia.
"Kamu lagi pingin ya?" Reno mendekatkan bibirnya pada pipi Sharon yang merona. Gadis itu mengangguk kemudian bibirnya tersenyum.
"Meet me after school," ujarnya lagi. Dia berdiri dan melepaskan tangan Sharon lalu tertawa melihat gadis itu mencebik kesal. Kemudian dia hanya berlalu sambil tersenyum.
Beberapa hari kemudian waktu berjalan cepat. Pagi berganti siang lalu terus bergulir begitu saja. Apa kesibukannya? Belajar? No, itu urusan Mahen, Hanif dan anak-anak pintar lainnya. Dia sendiri hanya berkutat dengan buku sesekali, lebih banyak berada di bengkel rumahnya mengutak-atik mesin mobil atau motor miliknya, atau milik saudara-saudaranya. Kecuali jika Sharon, Dinar, Liana atau yang lainnya mengundangnya pesta. Hampir dipastikan dia datang dan bermalam di tempat perempuan-perempuan itu. Senyumnya terbit membayangkan aksi Dinar semalam, kemudian suara Mr. Charles guru fisikanya menggema.
"Anak muda, akhir minggumu sepertinya panjang. Apa kamu bisa sebutkan hukum Newton yang pertama?"
Oke, dia tidak punya masalah dengan guru ini karena cara mengajarnya yang asyik. Tapi dia benci nada menyepelekannya itu. Jadi matanya sudah menatap konyol saja lalu dia tersenyum.
"Apa nggak ada pertanyaan yang lebih sulit?" tantangnya.
"Apa bisa kamu jawab dulu?"
Seisi kelas sudah memperhatikannya. Oh dia suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Jadi dia menegakkan tubuhnya saja sambil tersenyum geli.
"Hukum Newton pertama, jika resultan gaya yang bekerja pada benda sama dengan nol, maka benda yang awalnya diam akan tetap diam. Benda yang awalnya bergerak lurus beraturan akan tetap lurus beraturan dengan kecepatan tetap. Gampangnya, benda yang terkena hukum ini nggak galau menurut Newton. Dia diam ya terus diam, kalau dia gerak ya terus gerak. Saya lebih suka yang gerak-gerak Pak, apalagi kalau geraknya di atas saya."
Seisi kelas sudah tertawa saja. Paham benar aksi dan reputasi Mareno Daud.
Mr. Charles berdehem makin kesal. "Apa bedanya inersia dan momen inersia?"
Kepala Mareno menoleh ke seluruh kelas sambil menggeleng tidak percaya. "Kalian nggak tahu apa bedanya? Ya Tuhan...ck ck ck. Kebangetan. Sini saya ajarin..."
Tanpa diminta tubuhnya sudah berdiri saja maju ke depan kelas. Dia selalu suka menjadi pusat perhatian, tadi dia sudah bilang kan? Lalu tangannya mengambil bola yang membal dari meja guru, juga mengambil kacamata Pak Charles dan mengenakannya saja.
"Pinjem Pak, biar saya kelihatan sedikit serius." Dia berdehem sejenak lalu mulai memantulkan bolanya ke lantai. "Ini...namanya inersia atau gerak translasi, gampangnya gerak lurus aja deh. Suatu benda akan menolak perubahan terhadap geraknya." Kemudian tangan Reno berhenti memantulkan bola tadi.
"Nah, momen inersia itu ukuran kelembaman dari suatu benda ketika sedang berputar pada porosnya. Contohnya?" Bayangan yang ada di kepalanya adalah bagaimana Dinar atau Sharon bergerak-gerak di atas tubuhnya. Dia tidak bisa membayangkan hal yang lain.
"...kalian pahamlah gerak rotasi apa. Contoh yang ada di kepala saya nggak bisa saya bagi, terlalu personal. Nanti kalian pingin lagi." Lalu dia mengedipkan satu matanya kemudian duduk lagi.
Penduduk kelas laki-laki langsung tertawa keras. Paham benar apa yang ada di otak Mareno si Don Juan itu. Charles menggeleng kesal kemudian mendekati kursi Reno. "Pindah ke belakang."
"Loh salah saya apa? Bapak tanya saya jawab. Jawaban saya salah Pak?"
"Pindah ke belakang, sekarang! Kamu membuat gaduh saja."
"Oke." Reno hanya berdiri kemudian pindah ke salah satu bangku kosong di belakang.
Lalu kelas kembali tenang dan dimulai lagi. Tapi hidungnya yang sensitive itu membaui sesuatu. Harum tubuh seorang wanita. Menariknya, harum ini berbeda, dia baru pertama menciumnya. Tubuhnya sudah tegak saja, dia berusaha tidak menarik perhatian lainnya tapi matanya mulai mengamati. Ada beberapa gadis yang duduk di sekelilingnya. Wangi siapa ini?
Kelemahannya adalah, dia tidak pernah hafal dengan nama wanita. Itu seperti kutukannya. Jadi sekalipun dia sering bertemu dan bisa mengingat wajah mereka, dia kesulitan untuk ingat namanya. Ditambah lagi kelas-kelas di sekolahnya ini terus berganti. Kemungkinan bertemu dengan siswa atau siswi yang sama di kelas berikutnya 50:50 tergantung mata pelajaran apa yang tiap siswa/siswi itu ambil. Mereka memang dibebaskan untuk menyusun daftar mata pelajaran mereka sendiri dan fokus pada bidang yang mereka minati.
Sampai pelajaran berakhir, dia belum bisa menemukan siapa pemilik wangi itu. Wangi yang memberikan sensasi yang berbeda untuknya. Wangi yang...sempurna. Sialnya, kejadian itu terus berulang. Dia seperti dihantui dengan si pemilik wangi yang terkadang seolah berada di sekitarnya, tapi tidak kasat mata. Sayangnya, rasa penasarannya tertutup dengan libidonya sendiri. Ya buat apa berburu kan? Jika selama ini dia hanya duduk saja dan gadis-gadis itu akan datang padanya. Sampai akhirnya, liburan di camp tiba.
***
Setelah kebakaran di camp terjadi
Tubuhnya masih terbungkus selimut cokelat ketika dia duduk di dalam ambulance. Tangannya menggenggam tangan abangnya kuat. Arsyad masih tidak sadar dengan luka bakar di wajah dan lengannya. Tangannya sendiri terluka karena dia berusaha menyingkirkan balik-balok kayu yang panas itu. Dia tidak perduli, dia harus menyelamatkan Arsyad.
Hanif dan Mahendra ada di mobil orangtuanya, sementara dia bersikukuh tidak mau meninggalkan abangnya. Abang yang dia kira selalu meninggalkannya dulu, yang selalu mengabaikan dan menyepelekannya saja. Dia selalu berpikir Arsyad tidak perduli padanya. Karena apa istimewanya dia kan? Hanif selalu menjadi favorit semua orang, sementara Mahendra selalu menjadi yang paling pintar, dan Arsyad adalah si pemberani. Jadi siapa dia? Kenapa abangnya justru rela menukar nyawanya untuk dia. Dan kalimat Arsyad itu, Arsyad bilang hanya dia dan abangnya saja yang bisa menjaga keluarga ini. Kenapa Arsyad bilang begitu padanya?
Monitor yang terhubung dengan tubuh Arsyad mulai berbunyi-bunyi aneh. Kemudian petugas paramedis mulai memberi bantuan, entah apa, dia tidak mengerti. Tapi ini sungguh menyiksanya. Dia bahkan rela bertukar posisi, biar dia saja yang mati. Jadi dia berusaha mengontrol tangisnya sendiri, dia sudah besar dan selama ini dia tidak pernah menangis. Tapi kali ini dia tidak tahan melihat Arsyad yang berada di ujung tanduk. Lalu dia bersumpah dalam hatinya, jika Arsyad bangun dan sembuh, dia akan menuruti keinginan abangnya itu. Apapun keinginannya, dia rela.
***
Tubuhnya diguncang perlahan, kemudian membuat matanya mengerjap beberapa kali. Apa sudah pagi? Sudah ada mama di sebelah tempat tidurnya yang sedang tersenyum.
"Apa sudah pagi Ma?" tanyanya.
"Sudah hampir pagi Sayang, tapi Mama mau kasih kabar. Kamu bilang kalau Kakak Hanif sudah pulang kamu mau diberi tahu kan?"
Sabiya mengangguk saja. "Apa Abang sudah pulang?"
"Sudah."
Senyumnya sudah terkembang lebar. Itu berarti dia bisa bermain lagi dengan kakak-kakak laki-lakinya. Bukan saudara kandung, karena dia anak tunggal. Tapi mereka dekat sekali sedari dulu.
"Tapi Biya, mereka ada di rumah sakit."
"Kenapa?" Jantungnya mulai berdebar-debar.
"Mama dan Papa mau ke sana. Kamu mau ikut?"
"Mereka kenapa?" Air matanya sudah berada di pelupuk saja.
"Nanti Mama ceritakan ya. Jangan menangis Biya, menangis tidak menyelesaikan apapun. Berdoa yang banyak untuk semua."
"Apa mereka baik-baik saja? Kenapa mereka di rumah sakit?"
"Siap-siap saja Bi. Kami tunggu di bawah." Mamanya berlalu dari kamar sementara dia langsung berdiri dan mencuci mukanya, juga berganti pakaian.
Di rumah sakit.
Matahari sudah mulai muncul perlahan. Rumah sakit bukan tempat favoritnya, ya siapa juga yang suka ke sana. Tapi dimana kakak-kakaknya ada, dia harus ada. Orangtua mereka bertemu dan berbicara serius sekali, sementara dia kebingungan sendiri dan mulai berjalan di antara koridor rumah sakit yang mulai hidup karena dibangunkan pagi. Dia mencari salah satu dari mereka, dia harus tahu segalanya. Kemudian dia berhenti di salah satu ruangan. Mereka bertiga ada di sana.
"Kalian...kenapa?" Matanya meneliti wajah-wajah yang kotor dan kehitaman. Hanif dan Mahen masih mengenakan masker oksigen sambil duduk di tempat tidur rumah sakit. Juga Mareno yang tangannya sedang diobati oleh salah satu perawat.
"Biya, kenapa ke sini?" Hanif sudah melepas masker oksigennya dan berdiri menghampirinya.
"Kalian kenapa?" Dia tidak bisa membendung air matanya lagi. "Abang Arsyad mana?"
"Biya, kita nggak apa-apa." Hanif sudah berada di dekatnya dan memeluknya saja.
"Bohong," sahut Biya yang langsung tahu Hanif sedang berbohong padanya.
Reno mulai berujar. "Ya, Hanif bohong. Kita kenapa-kenapa Biya. Kebakaran di pondok tempat kita biasa camp liburan." Petugas medis sudah selesai membebat tangan Reno dan pergi ke luar kamar.
"Ren!!" Hanif menghardik Reno.
"Loh apa? Sabiya sudah besar dan dia harus tahu yang sebenarnya. Lo pikir Biya gadis kecil kayak dulu apa?" protes Reno.
Biya sudah melepaskan pelukan Hanif. "Bang Ren bener. Jangan bohongin aku, aku nggak selemah itu."
"Kalau nggak lemah jangan nangis dong." Reno menatap Biya galak.
Dia menelan saliva dan berusaha menghentikan tangisnya. "Bang Arsyad mana?" Suaranya serak sekali.
"Arsyad parah kondisinya Bi. Dia masih di ruang operasi," jawab Reno.
Air mata itu jatuh lagi, volumenya bahkan bertambah saja hingga dia terisak. Ya Tuhan, kenapa dia cengeng sekali.
"Tapi Bang Arsyad nggak apa-apa kan?"
"Yang namanya di ruang operasi ya kenapa-kenapa dong Bi," sahut Reno singit.
"Lo nggak perlu bentak-bentak Biya kan Ren. Lo marah kenapa? Karena lo kualat? Karena akhirnya lo percaya kalau Arsyad, abang kita itu rela ngapain aja buat selamatin kita? Baru sekarang lo percaya, setelah kejadian ini? Gitu kan?" Hanif balik membentak Reno. "Kemana aja lo selama ini?"
"Brengsek." Reno sudah maju dan mencengkram baju Hanif.
"Kalian itu luar biasa, Arsyad terluka dan kalian malah berantem? Nggak ngerti gue," decak Mahen kesal.
"Heh, lo sendiri malah asyik sama laptop sialan lo itu," bentak Reno. Hanif sudah melepaskan cengkramannya kasar.
"Gue pake ini nih..." Mahen menunjuk kepalanya sendiri. "...otak. Siapapun pelakunya, gue bakalan cari sampai dapat." Mata Mahen kembali asyik ke laptop. Tangannya mengetikkan sesuatu beberapa kali.
"Lo ngapain?" tanya Reno penasaran. Mereka bertiga sudah mendekati Mahen.
"Nge-hack system keamanan camp." Tangan Mahen masih bergerak dengan lincahnya.
"Gue juga pikir memang banyak yang aneh soal kebakaran di pondok. Kenapa kok bisa pintu dan jendela terkunci, dan ini kita Nif. Arsyad biasanya selalu siaga, penciuman gue biasanya selalu sensitif banget, atau biasanya sense lo kan bagus Nif kalau ada bahaya. Kenapa kita berempat bisa kecolongan?"
"Masa makanan kita di apa-apain sih? Biar kita teler? Gila juga yang bikin rencana, niat banget," timpal Hanif.
"Gotcha!" Satu jari Mahen menekan enter sambil tersenyum.
Kemudian monitor laptop itu mulai menunjukkan gambar-gambar.
"Ruang makan," ujar Mahen.
"Kenapa?"
"Karena itu tempat berkumpul, tempat menyusun rencana sempurna sebelum di eksekusi. Apalagi rencana dadakan. Nggak mungkin mereka kumpul di pondokan karena biasanya ada penjaga yang patroli dan mastiin kita ke pendopo besar kan?"
"Bukannya malah akan ada saksi ya?"
"Ada, tapi nggak ada yang berani ngomong kalau yang bikin rencana itu dia." Mata Mahen mengawasi Tommy Daud, sepupu mereka dan juga anak tunggal dari Herman Daud. Miris memang, mengetahui mereka sebenarnya bersaudara tapi setiap kali bertemu malah bertengkar saja.
"Nggak mungkin Tommy, dia nggak akan punya nyali Hen," ujar Hanif sambil menggeleng tidak percaya.
"Nif, lo itu terlalu baik jadi orang," sahut Reno.
"Bukan terlalu baik tapi asas praduga tak bersalah," jawab Sabiya singkat.
Mereka bertiga berhenti sebentar menatap Sabiya, kemudian yang ditatap merengut sebal. "Katanya aku nggak boleh nangis."
Hanif terkekeh saja sambil merangkul Sabiya mendekat. "Setuju sama kamu."
"Anyway, sayangnya asas itu bisa dipatahkan..." Mata Mahen terus mengawasi. Dia mencium gelagat yang aneh karena beberapa gerombolan Tommy mendekat ke meja tempat dia makan persis setelah Arsyad, Reno, Hanif dan dia sendiri pergi dari ruangan.
"Sial, mereka seriusan ternyata. Cuma gara-gara Sharon?" Hanif menatap Reno sesaat.
"Hey, gue nggak serius sama Sharon," Reno menyahut tanpa dosa.
"Ya tapi nggak begitu buat Tommy Ren."
Belum sempat siapapun menimpali pintu mereka dibuka. Ayah mereka masuk dan langsung bicara. "Arsyad butuh darah. Cepat ikut suster."
Mereka tahu apa artinya. Keluarga mereka adalah pemilik golongan darah yang langka sekali, AB rhesus negative. Semua anggota keluarganya termasuk ayah dan mama. Jadi mereka tahu bahwa mereka harus saling menjaga. Pembicaraan terhenti lalu mereka berdiri dan berjalan mengikuti suster saja.
Jam-jam berikutnya, mereka masih menunggu. Sabiya bersikeras tidak ingin pulang, sementara Mahen masih asyik dengan penyelidikannya. Sementara dia sendiri gelisah sekali. Ini seperti disiksa oleh waktu. Pikiran-pikiran tentang 'bagaimana-jika' mulai bermunculan. Sedari kecil mereka dekat sekali. Sekalipun makin besar makin sering bertengkar. Tapi didikan ayah yang keras tentang kebersamaan dan apa arti keluarga sudah mendarah daging untuk mereka.
Sejak kecil mereka juga tidak pernah dimanja. Bah, mereka bahkan sudah bisa memasak dengan benar di umur delapan. Pendidikan dasar bertahan hidup sudah dikenalkan pada mereka. Jangan lupa dengan pelajaran lainnya tentang bagaimana bertahan hidup di alam liar, bagaimana cara menumbangkan lawan yang lebih besar atau binatang besar, juga keahlian segala macam jenis bela diri. Beberapa olahraga dasar untuk mempertahankan stamina, juga ketika mereka SMA mereka mulai diajarkan tentang penggunaan senjata. Panahan, pisau, senjata api dan beberapa lainnya.
Mereka sering bertanya-tanya, kenapa ayah mereka seperti menyiapkan pasukan perang, bukan anak. Tapi mungkin karena ini sudah berlangsung seperti seumur hidup mereka, jadi mereka sudah terbiasa. Sementara, mama mereka sebaliknya. Mama adalah wanita yang hangat, sering tersenyum, suka bernyanyi riang, pintar sekali bermain piano, persis seperti Hanif. Jadi mereka mendapatkan banyak kehangatan layaknya keluarga yang normal dari mama.
Pintu ruangan mereka diketuk lagi, ayah masuk kemudian berujar. "Arsyad..."
Reno menahan nafasnya.
"Abang kalian sudah bangun. Dia ingin bertemu," ayah melanjutkan.
Refleks mereka adalah berdiri seolah mereka adalah prajurit yang dipanggil oleh jendralnya.
"Bagaimana kondisinya Yah?" tanya Hanif.
"Operasinya berjalan lancar, tapi..." ayahnya menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Luka bakar pada wajah dan setengah tubuhnya masih di sana."
"Itu bisa di operasi nanti kan?"
"Sudah, jangan bertanya lagi. Pergi ke tempat Abang kalian."
Dia berada di depan. Mahen, Hanif dan Sabiya menyusul di belakangnya. Sebelum masuk, tangannya terkepal saja. Dia lega mengetahui Arsyad bangun, tapi bagaimana dengan luka bakarnya? Apa itu berbahaya?
"Lo mau masuk duluan?" Hanif menepuk pundaknya. "Kita bisa tunggu di sini dulu kalau kalian mau bicara."
"Ingat peraturannya, tidak ada rahasia buat kita. Jadi kita masuk barengan," jawabnya.
Lalu mereka melangkah masuk.
Tubuh Arsyad masih berbaring dengan sebagiannya masih menggunakan perban yang menutupi luka bakarnya. Termasuk setengah wajahnya.
"Bang..." Sabiya bersusah payah menahan air matanya. Tangan Hanif menggenggamnya erat. Seolah memberi isyarat untuk tidak menangis. Arsyad benci air mata.
Kepala Arsyad menoleh saja menatap adik-adiknya. Mereka berdiri di sisi kiri tempat tidurnya. Satu tangannya mulai membuka masker oksigen.
"Apa gue seburuk itu?" suara Arsyad serak sekali.
Kali ini, air mata Mareno meluncur saja. Oh, dia bukan anak yang cengeng. Sabiya bahkan berhasil menahan air matanya. Kenapa malahan jadi dia yang menangis. Dasar bodoh.
"Maafin gue Bang." Salivanya dia telan. Tangannya sudah terkepal. Mungkin sakit karena kepalan pada tangannya yang terluka bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya saat ini.
Arsyad berusaha tersenyum. "Kenapa lo nangis? Mau jadi banci?" Matanya menatap adik-adiknya dan juga Sabiya. "Gue nggak apa-apa bodoh. Tapi kalau kalian berubah cengeng saat gue terluka, setelah ini gue bakalan pukul kalian sendiri. Paham?"
Mereka diam saja. Tanpa mereka duga Arsyad berusaha bangkit dari tidurnya.
"Bang, jangan dulu Bang." Hanif sudah melangkah maju.
"Diam!! Gue mau buktikan kalau gue baik-baik aja dan nggak perlu kalian kasihani." Arsyad masih berusaha untuk bangkit namun sejauh yang dia bisa dia hanya bisa duduk tegak di tempat tidur.
Lalu mata hitam dan dalam itu menatap adik-adiknya lagi.
"Gue, nggak akan hilangkan bekas luka ini selamanya." Arsyad memberi jeda. "Agar kalian selalu ingat, bahwa keluarga adalah yang utama, harga mati."
Saat seperti ini, aura kuat Arsyad sudah terpancar. Abang mereka seperti singa besar, si raja hutan, sang penguasa. Raja yang rela mengorbankan segalanya untuk keluarga. Jadi, mereka hanya mengangguk mengerti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro