Part 19 - VVIP Patient
Tarik nafas panjang sebelum baca.
***
Tangannya menggenggam koper hitam kecil itu kuat. Paham sekali bahwa dia harus bertarung mati-matian malam ini. Mati-matian dalam arti sebenarnya. Ini bukan permainan saat mereka masih kecil dulu lagi. Peluru itu akan menembus dagingnya, bukan hanya meninggalkan jejak lebam dan noda cat pada baju. Entah kenapa dia juga yakin bawah saudara-saudaranya akan datang, seperti yang selalu terjadi. Jadi tugasnya sekarang lagi-lagi adalah untuk membeli waktu.
Bibirnya sudah tersenyum, menjawab pertanyaan Tommy tadi. "Kabarku baik Tom, apa kabarmu?"
"Ck ck ck, saya nggak paham kenapa Arsyad masih saja percaya padamu." Senyum Tommy menyeringai sambil berjalan mondar-mandi dihadapannya.
"Saya memang bisa dipercaya." Reno tersenyum. Kakinya yang tertembak berdenyut nyeri.
"Kamu terluka?" Tommy tertawa melihat jejak darah pada kaki Reno.
"Saya masih bisa mengalahkanmu Tom. Jangan khawatir."
Matanya memindai cepat. Tujuh orang dengan senjata. Menunduk dan menggunakan koper hitam ditangannya ini sebagai tameng sementara bisa menjadi sebuah pilihan. Jaraknya sekitar sepuluh langkah dari peti-peti yang berderet di sisi kanannya. Tapi setelah itu dia akan terjebak, kecuali...
"Well oke, we'll see." Tommy sudah berdiri tegak menghadapnya dengan jarak 12 langkah "I give you two option. Serahkan kopernya kemudian saya tembak. Atau mungkin tembak lebih dulu," ujar Tommy lagi. "Apapun itu..." Tommy tersenyum lebih lebar. "...game over."
Dia sadar benar bahwa Tommy akan melakukan apa yang selalu ingin dia lakukan, membunuhnya. Jadi tangannya dengan cepat melempar dua bola seukuran bola tenis ke depan dan belakang dan bola itu langsung mengeluarkan asap saja. Dia langsung menahan nafasnya sambil merunduk dan menembak lampu-lampu di atasnya. Suasana yang tiba-tiba remang dan kepulan asap baik sekali untuk melindungi dirinya sendiri. Tembakan sudah dilepaskan ke arahnya tapi dia masih bisa menghindar. Tubuhnya ingin melompat berlindung di balik peti sambil dia juga melepaskan tembakan ke arah musuh-musuhnya. Tiga roboh, empat dan Tommy yang tersisa. Namun belum sampai di sana satu tembakan mengenainya di bagian perut dan membuatnya terjatuh. Koper itu terlepas dari tangan.
Wajah Tommy muncul dari kepulan asap sambil menutup hidung dengan saputangan. Sepupu gilanya itu berdiri sambil menatap tubuhnya yang terbaring di lantai.
"Hai jackass. I'll take your leg."
'Duar!' satu tembakan di lepas mengenai kakinya.
"I'll take your hand."
'Duar!" satu tembakan lagi di lengannya.
"Now, I will take your heart. Do you have one?" Tommy terkekeh sambil menatap matanya.
Dia masih menatap Tommy Daud, namun pikirannya sudah terbang melintasi ruang dan waktu. Tentang Antania, wanita pertama yang membuat dia bisa merasakan hatinya, wanita yang menolaknya habis-habisan, wanita yang dia paksa dan sakiti, wanita yang menyembuhkannya dan menyelamatkan dia berkali-kali. Apa ini rasanya ketika diambang maut? Karena yang bisa dia ingat adalah senyum wanita itu, atau bagaimana dia tertawa, kemudian menangis, kemudian ciuman lembut mereka sebelum dia pergi. Semua seperti berputar ulang di kepala. Dia ingin pulang pada wanitanya. Tapi apa dia bisa?
'Duar-duar.'
Matanya terpejam perlahan. Paling tidak, sekarang dia tahu kalau dia punya hati.
***
Tania sedang menggenggam gelas kopi di kafetaria kantin sambil berdiri, ketika satu tangan lain menepuk pundaknya. Firasat itu datang tiba-tiba, entah kenapa. Membuat tubuhnya dingin dan pikirannya pergi meninggalkan raga. Jantungnya bahkan berdetak keras dan perlahan, rasanya nyeri sekali.
"Jangan bengong Dok."
Lalu gelas itu tergelincir dari tangan dan jatuh pecah ke lantai. Suara pecahan gelas membuat dia kembali lagi setelah sempat terputus koneksi. Refleksnya sudah berjongkok di lantai untuk membereskan pecahan itu.
"Dok, are you oke? Kamu pucat banget."
Suara dokter Sari jauh sekali, tapi tangannya masih bergerak-gerak di lantai. Bayangan laki-laki itu datang. Pecahan gelas kaca di kamar Mareno, kakinya yang terluka, lalu potongan ingatan tentang mereka datang tiba-tiba.
"Mau pergi kemana dengan kondisi tubuh seperti itu?"
"Entah, kemanapun yang tidak ada kamu."
Atau potongan ingatan lainnya pada malam di tebing itu. Bagaimana Mareno menyampirkan jas di pundaknya. Lalu senyum laki-laki itu yang damai sekali.
"Kita jarang bertemu. Jarang sekali. Dia tidak terlalu suka bertemu dengan saya. Prinsip hidup dia dan saya juga berbeda. Jadi memang hubungan yang kompleks."
Lalu yang terakhir itu di apartemennya. Mareno pamit pergi setelah mencium lembut bibirnya.
"Apa kamu mau menunggu saya?"
"Jangan menangis Dok, kamu akan baik-baik saja. Selalu begitu. Jaga dirimu baik-baik."
"Tania, Antania." Bahunya sudah diguncang oleh Sari yang terlihat khawatir sekali. "Stop, tanganmu terluka." Tangan Sari sudah menghentikan tangan Tania dan menggenggamnya.
Matanya menatap dokter Sari heran, apa benar tangannya terluka? Lalu kenapa dia merasa matanya basah saat ini. Apa dia menangis? Kenapa?
***
Hanif langsung menembak kaki tiga orang dihadapannya. Sementara Arsyad sudah mengejar Tommy yang sudah berlari. Niko sudah berlutut di sebelah Reno memeriksa kondisinya.
"No no no. Stay awake." Niko berujar sambil memeriksa pupil mata Reno.
Tim medis ADS sudah di sana membawa tubuh Mareno pergi bersama Mahendra. Hanif sudah menghampiri Arsyad menghindari abangnya yang mengamuk pada orang-orang yang tadi sudah dia lumpuhkan di lantai.
"Bang, Bang. Sudah stop."
Arsyad mengambil ponsel pintarnya. Dia menatap Niko tajam. "Apa kamu sudah pasangkan alatnya di koper itu?"
Niko hanya mengangguk saja. Isi dalam koper sudah dia tukar dengan peledak yang dia simpan di bagian dalam koper.
"Bang, jangan. Tommy bisa mati," kata Hanif.
Dia menatap Hanif tajam. "Mata selalu dibalas mata." Kemudian dia menekan tombolnya. Entah dimana koper itu berada, harusnya benda itu sudah meledak saja.
Kemudian dia berlari menuju SUV hitam yang sudah menunggu mereka.
'Jangan berani-berani pergi Ren. Gue akan datang ke neraka yang paling dalam untuk tarik lo ke atas lagi. Jangan berani-berani pergi,' ujar Arsyad dalam hati.
***
Tubuhnya sedang duduk di sofa dengan mata menatap layar laptop di pangkuan. Sebenarnya pikirannya masih sulit sekali dia kendalikan. Beberapa hari ini tidurnya terganggu, benar-benar terganggu dengan potongan-potongan bayangan Mareno. Tapi dia harus mengalihkan konsentrasinya sendiri. Jadi dia membaca ulang email Danika mencoba untuk mendapatkan petunjuk berikutnya. Mr. M, siapa dia? Kemudian dia mengecek emailnya terakhir dari Lea. Asistennya itu sudah menemukan 5 perusahaan yang terkait dengan kasus Danika. Itupun baru sebagian saja. Masih ada beberapa nama perusahaan yang nanti akan disusulkan oleh Lea.
Kemudian dia memeriksa nama-nama pemilik atau Direktur yang menjabat di perusahaan itu. Mencoba mencari si pemilik inisial M, Mr. M. Dia mendapatkan satu perusahaan dengan pemilik bernama Michelle. Okey, pastinya bukan. Karena setelah dia cek Michelle Dinatra adalah seorang perempuan. Kemudian dia mendengus kesal dan menghubungi Lea.
"Le, sudah ada lagi daftarnya?"
"Sabar Dok, saya sudah bilang ini akan makan waktu. Lima sudah saya kirim, masih akan ada setelah itu."
"Yang lima pertama nihil. Satu-satunya inisial M disana kepanjangan dari Michelle Dinatra, perempuan. Jadi kalau kamu sudah dapat info tambahan tolong hubungi saya."
"Baik Dok."
Dua tangannya sudah dia usapkan ke wajah. Kemudian dia mulai menghubungi Mareno. Ini sudah dia lakukan sejak satu minggu lalu setelah firasat kuat itu datang. Dia bahkan tidak merasakan sakit pada jari tangannya yang tergores pecahan kaca, atau pada air mata yang sudah turun saja, entah kenapa.
Sejak itu dia mulai berusaha mencari Mareno, menghubunginya. Beberapa kali dia meninggalkan pesan pada Sabiya, siapa tahu wanita itu punya kabar. Tapi nihil. Ponsel Mareno mati, laki-laki itu menghilang seperti sebagian hatinya saat ini.
'Ya Tuhan, dimana kamu?'
Karena merasa kacau dia mulai menghubungi Reyhani, salah satu sahabatnya. Namun dia harus kecewa karena ponsel Reyhani mati. Kemudian dia beralih ke Aryan. Nada dering dua kali kemudian suara itu menyahut dari sana.
"Tania, apa kabar? Apa ini pertanda kamu sudah terima tawaran kita?"
Tania tertawa kecil, ingat dengan tawaran Aryan untuk bergabung ke MG Hospital. "Aku suntuk banget, kamu sibuk?" tebakannya Aryan sedang berjalan di antara koridor rumah sakit.
"Yah, same old-same old. Tapi belakangan ini memang lebih seru."
"Seru? Maksudnya?"
"Kamu gabung dulu sini, baru aku kasih tahu. Enak aja, nggak gratis tahu."
"Ayolah Yaan, aku benar-benar sedang butuh pengalihan. Aku jalan ke tempatmu ya. Bisa minum kopi sebentar kan?"
"Oke, ditunggu. Sementara saya harus lari lagi."
Tania tersenyum kecil kemudian segera berlalu ke sana.
***
MG Hospital
Mereka duduk di kantin rumah sakit yang lumayan besar dengan dua gelas kopi dihadapan mereka. Aryan kebetulan masih ada satu urusan dengan Dokter Reyn suami dari pemilik rumah sakit ini hingga dia belum pulang.
"Jadi apa kabar Tan?"
"Aku nggak bisa hubungi Reyhani. Kemana dia?"
"Dia ada, hanya sedang sibuk aja." Aryan menutupi kenyataan Reyhani sedang memiliki masalah yang cukup rumit saat ini. "Gimana kabar kamu?"
"Nggak terlalu baik." Matanya menerawang lagi.
"Hey, ada apa?"
Tania mendesah kesal. "Menunggu itu, menyebalkan. Sangat menyebalkan."
"Kamu nungguin siapa emangnya?"
Helaan nafasnya sudah ke luar begitu saja. "Kalian para kaum laki-laki memang benar-benar menyebalkan. Tukang paksa, nggak peka, suka ngasih harapan palsu."
Tania seperti mau meledak saja. Hanya Aryan dan Reyhani saat ini yang dekat dengannya, tapi karena kesibukan masing-masing mereka jadi jarang sekali bertemu. Kemudian sekarang dia seperti ingin meluapkan semua yang dia rasa.
"Bilang dulu kenapa, biar saya paham dan bisa bantu."
"Kamu mau bantu aku?"
"Ya." Aryan tersenyum padanya.
"Ceritakan apa yang tadi kamu mau ceritakan ke aku. Aku butuh pengalihan Aryan, please please."
Aryan menatap ke sekitarnya. Kantin sepi, hanya tersisa beberapa perawat yang duduk jauh di ujung ruangan.
"Saya benar-benar ingin kamu gabung di MG Tan. Karena saya yakin Ayah kamu tahu apa fasilitas tambahan yang MG punya."
"Apa?"
"Top priority floor. Hanya bisa di akses orang-orang tertentu aja. Termasuk Ayah kamu si Bapak Mentri. Masa kamu nggak tahu?"
Tania menggelengkan kepalanya kemudian ekspresi penasaran sudah tercetak di sana. "You have to tell me Yan, atau kita musuhan."
"Kamu harus gabung biar tahu keseluruhan cerita. Saya nggak bisa cerita banyak sekarang."
Tangan Tania memukul bahu Aryan keras. "Cerita nggak? Aryan. Aku bisa gila kalau nggak berhasil mengalihkan pikiranku sekarang."
Aryan terkekeh saja kemudian dia berpikir sejenak. "Belakangan ini situasi perpolitikan dan kondisi di luar memang sedang rentan Tan. Keluarga-keluarga kaya yang ada di atas sana juga sedang gelisah."
"Be specific Aryan Diputra. Aku penasaran ini."
Tawa Aryan lepas lagi, dia sengaja memancing Tania agar kawannya itu mau pindah ke MG. Dokter Reyn butuh dokter muda hebat lainnya. Reyhani belum berhasil dia bujuk, jadi mungkin Tania bisa.
"Ayolah, beritahu salah satu contoh pasienmu. Menarik nggak kasusnya?"
"Salah satu keluarga yang sedang panas itu keluarga Daud. Kamu pasti tahu mereka kan?"
Tubuhnya sudah duduk tegak. "Sedikit, ada apa dengan mereka?" Dia berusaha menekan nadanya sendiri agar Aryan meneruskan ceritanya.
"Seminggu lalu Mareno Daud datang dengan luka parah di tubuhnya."
Bulu tengkuknya berdiri, suhu tubuhnya anjlok seketika seiring dengan wajahnya yang sudah pucat. Dadanya terasa sakit sekali. Mungkin ini firasat itu, yang datang tiba-tiba dan membuat dia seperti kehilangan arah.
"Kamu tau Mareno The Don Juan kan? Dia masih koma sekarang."
Kemudian semua yang dia rasa membuat air mata sudah meluncur saja, mendengar apa yang Aryan katakan tadi. Dia langsung mengusap air mata itu perlahan. Laki-laki yang dia tunggu sudah sampai dan sedang koma. Ya Tuhan.
'Kemungkinannya 50:50.'
Kalimat Mareno beputar lagi, rasanya sesak sekali.
"Tania, kamu kenapa?" tanya Aryan panik melihat perubahan ekspresi Tania.
"Apa yang terjadi dengan Mareno, Aryan?" tangan Tania sudah mencengkram lengan Aryan kuat dengan tubuh yang sedikit condong ke depan.
"Tania, ada..."
"Bawa aku ke sana Yan. Aku akan gunakan akses Ayahku untuk bertemu dia."
Aryan hanya mengangguk perlahan tidak mengerti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro