Part 17 - The Red Level List
Ada bagian yang sedikit diambil dari Distance ya. Karena memang biar lebih jelas. Tarik nafas yang panjang Genks.
***
Laporan itu tergeletak di meja ketika dia kembali dari makan siang. Berisi tentang selongsong buatan GT Techno yang baru dan bisa menghancurkan Adikinarya perusahaan milik sahabatnya, Radit. Kemudian dia membaca dengan detail keterangan lain. Perihal siapa dalang dari semua ini, apa kaitannya dengan Herman Daud dan yang paling membuatnya tercengang adalah analisa potensi bahaya.
Nama-nama sahabatnya tercetak di sana. Bersama dengan pasangan mereka. Radita Tanubrata, Reyhani Straussman, Mahesa Tanandra, Sabila Asha, dan beberapa nama lain yang dia tidak terlalu perduli. Jantungnya berpacu cepat, karena level bahaya yang diletakkan di sana. Red level. Bahaya tingkat satu, yang artinya mereka semua bisa saja dibunuh oleh dalang dari semua ini. Demi melancarkan rencana mereka.
'Ya Tuhan.' Tubuhnya dingin tiba-tiba.
Setelah bertemu dengan wanita itu dan setelah semua waktu mereka, Mareno menjadi lebih sensitif. Nuraninya seperti bangkit lagi hingga membuat sikapnya lebih berhati-hati. Dia tidak mau sembarangan bicara, mengumbar janji, berkata manis pada wanita atau bahkan dia berhenti dari hobinya yang selama ini dia banggakan. Ya, dia berhenti tidur dengan wanita-wanita itu. Bukan hanya karena tahu itu perbuatan yang salah, tapi juga paham benar dia sendiri sudah kehilangan segala rasa yang dia punya untuk semua wanita, kecuali satu saja. Hukumannya.
Jadi, apa-apa yang ditatapnya sekarang sungguh membuatnya cemas. Paham benar sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang baik. Sementara bukan hanya mereka saja yang akan terseret dalam pertikaian internal keluarga Daud, yang dulu Arsyad pernah sampaikan padanya. Dulu dia tidak perduli, kenapa bisa dia abai sekali seperti itu? Satu tangannya sudah mengangkat ponsel sambil berjalan ke luar ruangan.
"Hen, gue mau ketemu Arsyad."
Mahendra menghela nafasnya di ujung sana. "Jangan emosi Ren, sabar. Arsyad di markas besar, dia baru aja telpon dan minta kita ketemu. Gue ke sana."
***
Arsyad sedang duduk di dalam Black Room sambil menatap layar-layar monitor dihadapannya. Dia sedang memeriksa salah satu kasus yang sedang membutuhkan perhatian. Tapi sialnya, pikirannya sedang tidak ada di sana. Seluruh fokusnya tidak bisa dialihkan begitu saja dari kasus chip pintar itu. Kenyataan tentang bagaimana pamannya Herman benar-benar berusaha untuk menguasai GT Techno. Atau mungkin bukan GT Techno yang dia incar? Mungkinkah sesungguhnya chip pintar itu saja yang dia ingin kuasai? Pikirannya terhenti karena mendengar suara Angel menggema di ruangan.
"Ares Defense Services, Black Room. Selamat datang - Mareno Yusuf Daud – Mahendra Zaidan Daud."
Pintu itu berbunyi bip dan kedua adiknya itu masuk. Dia langsung berdiri melihat wajah Mareno yang marah sekali.
"Angel, jangan rekam percakapan ini. Personal conversation," ujar Arsyad tanpa melepaskan pandangannya pada kedua adiknya.
"Personal conversation detected. Angel dismiss." Sistem itu berbunyi lagi.
Mareno menatap laporan itu tidak percaya. Kepalanya masih menggeleng, memastikan dia tidak salah melihat nama-nama yang tercantum di dokumen itu.
"Lo baru kasih tahu ke gue sekarang?" Tangannya sudah mendorong Arsyad marah.
"Anak kecil yang hanya bisa merengek. Lo perduli karena semua nama itu adalah teman lo kan? Kalau nggak, lo nggak pernah perduli. Ya kan?" tegas Arsyad dengan suara besar.
Mahendra berusaha menengahi. Jika sedang seperti ini, aura Arsyad terasa mendominasi sekali dan itu membuat bulu tengkuknya berdiri.
"Mereka sahabat gue Bang. Kenapa lo nggak ngomong dari kemarin-kemarin?" Mareno memang terkenal lebih temperamental.
"Sudah cukup. Fokus pada solusi, oke? Ini yang Herman mau, kita panik dan salah langkah." Mata Mahendra pindah kepada kakak tertuanya itu. "Jadi bagaimana Bang?"
Arsyad menatap Mahendra. "Lo bujuk Dwi Sardi untuk serahkan urusan Straussman. Semakin sedikit yang terlibat dengan kita, semakin baik. Gue nggak bisa melindungi semua orang sekaligus. Orang-orang gue sedang awasi Desy dan Rachel disana, kita harus bawa mereka kesini. Gue harus bertemu Robert Strausmman."
"Barang bukti sudah dapat?"
"Belum," ujar Arsyad sambil bersumpah serapah kesal. "Adrian benar-benar rubah liar. Bajingan licik," geram Arsyad mengingat cara Adrian merebut prototype chip pintar itu dari Arya Dirga kemarin dulu.
"Ayah sudah bicara dengan Bayu Tielman?" tanya Mahendra lagi.
"Tidak tanpa bukti. Itu akan jadi fitnah dan tidak professional."
"Gue harus bicara dengan Radit dan Andra," tubuh Mareno sudah berdiri dari duduknya.
"Jangan berani-berani jadi pahlawan kesiangan dan buat semua berantakan. Niko sudah dekat dengan barang bukti. Kalau kalian ikut campur, semua bisa berantakan," tegas Arsyad dengan matanya.
"Ini sahabat gue Bang," teriak Mareno kesal. "Gue paham lo nggak pernah punya teman selama ini. Lo nggak paham apa arti..."
Langkah Arsyad cepat sekali. Leher kemeja Mareno sudah dia tarik saja. "Jangan pernah ajari gue soal hati anak kecil. Apa lo lupa selama ini siapa yang bereskan semua kekacauan yang lo buat? Yang menjaga keluarga ini?"
Mata Arsyad terlihat sangat menakutkan. Ditambah penampakan setengah wajahnya dengan luka yang panjang. Membelah dari dahi turun ke mata lalu sampai ke rahang bawahnya. Atau betapa tubuh tinggi dan besar itu juga sudah memancarkan kemarahan yang ditahan.
"Bang, kita keluarga. Jangan begini." Mahendra angkat bicara. Paham benar Arsyad dan Mareno sebentar lagi bisa saling menyerang.
"Lo buka mulut, semua bisa berantakan. Dan semua yang ada di daftar itu taruhannya. Semuanya, termasuk pasangan mereka. Paham?" Arsyad sudah melepaskan cengkramannya.
Tubuh Mareno dingin. Bayangan wajah sahabat-sahabatnya datang begitu saja. Apa dia tega membahayakan mereka? Tidak, tidak akan. Dia kembali duduk di kursi. Dia harus berpikir, pasti ada yang bisa dia lakukan selain duduk diam dan menunggu.
***
Tubuhnya lelah sekali ketika tiba di apartemen. Jadwalnya belakangan ini luar biasa padat hingga membuat dia ingin menenggelamkan diri ke dalam bathtub. Dia sedang menghirup teh ketika ponselnya berbunyi.
"Malam Dok."
Entah kenapa dia tersenyum dan dia kesal karena itu jadi dia mendatarkan suara. "Apa ada yang bisa saya bantu? Ada keluhan khusus?"
Mareno tertawa di seberang sana. "Kenapa nadamu begitu?"
"Kamu menelpon Dokter Tania kan?"
"Oh saya yang salah. Saya ingin bicara dengan Antania. Bukan si ibu Dokter"
"Oh maaf, Miss Antania Tielman sedang istirahat. Sebaiknya tinggalkan pesan anda."
"Oke, bilang padanya bahwa saya sudah ada di depan pintu apartemennya. Membawa makanan kesukaannya."
Tubuhnya langsung berdiri dan mengecek pada CCTV yang tersambung di tablet. Entah kenapa jantungnya mulai berdebar seru.
'Kenapa dia datang? Sial.' Lalu dia beranjak ke depan cermin menatap wajahnya yang kumal sekali. 'Shit, kenapa gue perduli sih.'
"Halo di sana, apa Miss Antania sudah bisa bukakan pintunya?" suara Mareno lagi.
Dia mendesah perlahan. "Miss Antania bilang dia sedang tidak ingin bertemu."
"Tebakan saya dia lelah sekali karena ada tiga jadwal operasi hari ini?" Mareno diam sejenak. "Jadi jika dia tidak ingin bertemu, saya mengerti. Saya tinggalkan makanan ini di depan pintu. Selamat malam."
Matanya melihat Mareno benar-benar ingin pergi dari CCTV. Lalu tubuhnya sudah berlari saja ke pintu. 'Ya Tuhan, ada apa dengannya. Apa dia sudah gila?'
"Mareno." Pintu itu sudah dia buka.
Mareno menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Istirahat Dok, saya hanya ingin pamit."
Tubuhnya sudah keluar dari pintu. "Pamit kemana?"
"Saya nggak bisa bilang." Mereka berdiri berhadapan, terpisah tujuh langkah.
"Apa kamu bisa masuk dulu?"
"Saya boleh masuk?"
Tania mengangguk. Kemudian menatap Mareno yang berjalan menuju arahnya. Dia masuk dan mendengar pintu ditutup di belakang. Ini gila, ini pertama kalinya ada laki-laki masuk ke apartemennya. Dan laki-laki ini dulu pernah memaksanya. Tapi sudah lebih dari satu bulan mereka tidak bertemu setelah melewati malam hujan itu bersama. Ketika tiba-tiba Mareno muncul lagi, dia tidak ingin laki-laki ini pergi begitu saja. Mareno sudah duduk di sofa ruang tamu ketika dia membalik tubuhnya.
"Kenapa urusan kita selalu makan setiap bertemu?" Untuk menghilangkan gugupnya sendiri, dia meletakkan satu loyang pizza ukuran sedang dan satu bungkus pasta di meja makan.
Tubuh Mareno bersender sambil tertawa kecil. "Saya nggak berani membayangkan urusan yang lain dengan kamu."
Wajahnya menoleh karena entah kenapa kalimat itu membuat dia malu sendiri. "Mau minum apa?"
"Nggak perlu repot Dok, saya nggak akan lama."
"Saya nggak akan mau makan sendirian. Ini fast food dalam jumlah banyak. Apa kamu nggak bisa bawa makanan yang lebih sehat?"
Mareno masih diam menatapnya dari sofa. Sementara dia sudah duduk di salah satu kursi meja makan. "Mareno, saya serius ini."
"Berapa bulan kita nggak bertemu setelah malam hujan itu?"
Dia menggendikkan bahu. "Entah." Padahal dia tahu berapa lama tepatnya.
"Kamu terlihat lebih kurus."
"Saya baik-baik saja."
Mareno hanya mengangguk. "Saya percaya."
Tiba-tiba dia merasa sikap Mareno yang aneh sekali. "Ada apa Ren?" Dia bangkit dari duduknya dan berpindah duduk ke salah satu sofa. Lampu yang temaram sebelumnya sudah dia nyalakan. Kemudian dia melihat luka di wajah Mareno dan pada buku-buku tangannya.
"Reno, kenapa luka-luka begini?" Refleksnya adalah beringsut mendekat ke arah laki-laki itu. Tangannya sudah menyentuh buku-buku tangan Reno yang memerah dan lebam biru.
"Saya baik-baik saja Dok."
"Saya nggak percaya."
"Sebentar saya ambilkan kotak..."
"Antania..." tangan Mareno menahan lengannya. "Saya baik-baik saja. Saya ingin bertemu dengan Antania, bukan Dokter Tania."
Matanya menatap tangan kuat itu pada lengannya. Kemudian berpindah menatap mata kelam laki-laki itu. Tangan Mareno belum berpindah, masih di sana. Dan debar jantungnya sudah sama kacaunya dengan pasien tadi di ruang operasi.
"Kamu pernah bertanya pada saya, apa saya kesepian," ujar Mareno dengan suaranya yang dalam. "Ya, saya kesepian. Sejak kamu datang, saya kesepian."
Dia menelan salivanya perlahan.
"Kamu sama kesepiannya, terakhir kamu bilang begitu. Akhirnya kamu jadi meladeni saya." Mareno tersenyum miris.
Entah kenapa, dia setuju dengan apa yang Mareno katakan. Tanpa mereka sadar, mereka adalah orang yang sama. Orang-orang kesepian yang kemudian bertemu dan menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Mereka berusaha menjauh, tenggelam dengan apa-apa yang biasa mereka lakukan. Mengabaikan kebutuhan dasar mereka untuk ditemani. Tapi kemudian, seperti dua kutub berlawanan dan pada setiap akhir waktu, mereka akan saling memikirkan.
"Kamu tadi bilang kamu ingin pamit. Kamu mau pergi kemana?" ujarnya lirih.
Mareno masih menatapnya dalam. Mata laki-laki itu menyiratkan sesuatu yang lain, entah apa. Dia seperti sedang gusar dan sedih, juga marah.
"Jauh dan berbahaya. Saya nggak bisa bilang ke kamu," jawab Mareno.
Salivanya sulit sekali dia loloskan. Kesadaran itu mulai datang perlahan. Tentang rasa takutnya sendiri pada sepi. Atau pada kemungkinan dia tidak bisa bertemu dengan laki-laki ini lagi. "Apa kamu harus pergi?"
"Ya, ini untuk sahabat saya. Orang-orang yang lebih bermoral dari saya."
"Apa saya boleh tahu kamu kemana?"
Tangan Mareno melepaskan lengannya perlahan, lalu meluncur ke bawah menggenggam jari-jari tangannya. Kepala laki-laki itu menggeleng. Genggaman hangat itu mengirimkan sensasi yang hebat pada jantungnya. Ini, rasanya nyeri. Entah kenapa, perpaduan apa-apa yang dia sembunyikan dan juga perasaan yang tercetak jelas pada mata laki-laki ini membuat dadanya sakit sekali. Dia hanya bisa terpaku sambil membasahi bibir.
"Apa kamu nanti kembali?"
"Kemungkinannya selalu 50-50."
"50-50? Apa itu berarti kamu akan tinggal di sana?" Dia merasa jantungnya ingin ke luar, mengetahui dia tidak mau tidak bertemu dengan laki-laki ini. Perpaduan rasa cemas dan juga efek dari genggaman tangan Mareno juga bisa dia rasakan jelas.
Mareno tersenyum kecil. "Saya nggak akan tinggal dimanapun di dunia ini kalau saya tidak kembali."
Jantungnya sudah merosot saja, wajahnya memucat.
"Jangan khawatir, masih ada 50 lainnya."
Genggaman tangan Reno sedikit menguat. Sementara tangannya sudah dingin sekali. Rasa cemasnya makin kuat, tentang apa yang akan terjadi nanti.
"Saya akan baik-baik saja. Mereka tidak sehebat Arsyad," Mareno seperti tahu apa yang diresahkannya.
Lalu bayangan wajah Mareno yang penuh darah muncul lagi di kepala. Serta perpaduan semua rasa yang dia tahan ketika mereka tidak bertemu mulai bermunculan satu-persatu. Selama ini mereka bahkan tidak pernah berbicara di telpon, hanya bertukar pesan singkat yang mungkin hanya tiga kali. Tapi dia merindukan laki-laki ini. Rekaman saat-saat singkat mereka seperti menancap kuat di kepala dan tersimpan di sana. Tidak bisa dia hilangkan begitu saja. Kemudian semua itu membuat dia sadar dengan apa yang dia rasa. Dulu, dia merasakan ini dengan Sena. Campuran perasaan itu mengaduk-aduk segalanya. Juga rasa khawatir dan firasat yang tidak baik mencengkram dada. Dia berbisik ketika satu air matanya jatuh.
"Dua orang yang kesepian." Dia diam sejenak berusaha menghentikan air mata. "Bagaimana bisa, kita jarang sekali bertemu selama ini. Bagaimana bisa?"
Mareno bisa melihat betapa wajah Tania mendadak berubah sedikit pucat. Mungkin wanita ini terkejut dengan segala yang dia rasa atau pada fakta yang ada tentang bagaimana mereka berusaha menjauh, tapi selalu berakhir saling mencari. Tentang semua yang juga dia ingin hindari, tapi dia tidak punya kuasa lagi. Dia ingin selalu bertemu, menatap wajah wanita ini. Si penyihir, si pencuri.
Lalu pertanyaan Tania, 'bagaimana bisa?' Mirisnya, dia juga tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu, sekalipun paham benar apa artinya. Selama ini mereka membuang waktu dengan berusaha saling mengabaikan, menahan rindu, karena ketakutan dan ego mereka sendiri. Tapi lalu apa? Yang dia tahu, di ujung waktunya dia akan terus kembali pada wanita ini. Sekeras apapun dia berusaha menghindar, seluruh dirinya akan kembali mencari. Karena yang dia mau, adalah selalu melihat wanita ini, memeluknya, menggenggam tangannya begini, memenuhi paru-parunya dengan wangi ini.
"Saya mengerti maksudmu dan saya nggak punya jawabannya." Dia tersenyum miris. Kali ini dua tangannya menangkup satu tangan Tania.
"Apa kamu mau menunggu saya?" Mareno menatap Tania dalam. Dia paham mungkin ini tidak akan berakhir baik, karena dia masih tidak mengerti apa yang wanita ini pikirkan atau rasakan. Tapi dia akan menghadapi perasaannya sendiri dan tidak berlari lagi.
Mata Tania menatap tangan mereka yang bertautan itu, kemudian dia mendongak menatap Mareno. "Saya nggak mau kamu pergi."
Salivanya dia loloskan lalu tersenyum kecil, mengetahui kekhawatiran Tania. Hatinya perlahan menghangat, hangat sekali. Dia menarik Tania mendekat kemudian meletakkan dahinya pada dahi Tania. Nafas mereka berhembus teratur dan perlahan, seolah mereka saling mengerti apa yang mereka rasa sendiri tanpa perlu diucapkan.
"Andai ada pilihan lainnya." Mareno memejamkan mata sesaat. Harusnya wanita ini membalas perasaannya kan? Atau dia salah sangka? Tapi apa bedanya, dia tetap harus pergi dan belum tentu kembali. Sekalipun saat ini, dia ingin sekali kembali.
Air mata Tania jatuh pada tautan tangan mereka. FIrasatnya bilang ini tidak akan berakhir baik.
"Jangan menangis Dok, kamu akan baik-baik saja. Selalu begitu." Satu tangan Mareno menghapus lembut air mata Tania. "Jaga dirimu baik-baik."
Mareno mencium lembut bibir Tania hanya sesaat. Kemudian dia bangkit berdiri kemudian pergi. Meninggalkan Tania yang masih duduk termangu di sofa ruang tamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro