Part 16 - God punishment
Suasana di klub malam itu hingar bingar. Ulang tahun Laura kali ini dirayakan besar-besaran. Teman-teman model, orang-orang agency datang, juga beberapa artis lainnya. Mata wanita itu mencari, terus mencari tamu istimewanya yang tidak kunjung tiba.
"Nyariin siapa sih dari tadi?" Clara bertanya padanya. Sedikit berteriak berusaha mengalahkan musik yang berdentum keras.
"Pacarnya lah, siapa lagi. Mr. MD yang terhormat," sahut salah satu gadis lainnya.
"Dia di tempat Davina kali," sambung Clara lagi.
"Davina nya di sini bego, noh lihat tuh." Mata mereka beralih ke lantai dansa dan melihat gadis yang mereka bicarakan sedang bergoyang di sana.
"Oh, dia lagi dekat sama cewek. Presdirnya perusahaan apa gitu."
"Delia? Udah tua, bukan level gue," sahutnya kesal. Dia sudah tahu kabar tentang itu. Mareno bahkan meninggalkan Jessica Sharon untuknya, jadi tidak mungkin laki-laki itu kepincut dengan wanita yang lebih tua seperti itu.
Kemudian sebagian kerumunan di lantai dansa seolah menoleh melihat sesuatu atau seseorang yang baru datang. Dia tahu benar itu laki-lakinya. Ya, karena itulah Mareno. Laki-laki dengan fisik sempurna dan sex appeal yang tinggi. Membuat semua mata hanya tertuju padanya saja, dimanapun dia berada.
Dia segera turun ke lantai bawah untuk menyambut laki-lakinya itu. Awas saja Davina berani menyentuhnya. Benar kan, Mareno datang. Senyumnya terkembang dan dia sudah merentangkan tangan.
"Hai Beiby, aku tungguin kamu dari tadi." Laura langsung menggelayut manja.
Mareno hanya tersenyum kecil dan mencium pipinya sesaat. "Happy Birthday."
"Aku punya kejutan buat kamu nanti malam. Kamu pasti suka." Bibir Laura menempel di telinga Reno, tubuhnya sudah mendekat dan tidak mau melepaskannya lagi.
"Saya juga punya kado untuk kamu."
Wajah Laura membeku. Kepalanya menggeleng keras. "No, I don't want your present." Tangannya makin erat memeluk Mareno, tidak ingin melepaskannya lagi.
Laki-laki itu merengkuhnya mendekat sesaat.
"No, aku serius sama kamu. Sekalipun kamu nggak. Aku akan buang jauh-jauh kado kamu. No..." Dia makin memeluk Mareno kuat.
"Hey, kamu ulang tahun hari ini. Wajar kalau saya kasih kado." Tangan Mareno berusaha melepaskan pelukan itu.
"I can buy myself a present. I don't want your present." Laura paham benar apa artinya ini dan dia tidak akan mau ditinggalkan begitu saja.
Mareno Daud adalah laki-laki yang anti berkomitmen. Tapi kesempurnaan fisik yang dia punya, serta bagaimana dia bisa membahagiakan wanita-wanitanya di ranjang, seolah menutup kenyataan itu. Semua wanita yang berhubungan dengan Mareno tahu, tapi beberapa dari mereka tidak pernah berhenti berharap. Siapa tahu akhirnya Mareno melabuhkan hatinya. Karena semua orang butuh teman untuk menghabiskan waktu nanti kan. Bohong jika ada yang bilang sebaliknya. Laura adalah salah satu gadis yang juga berharap seperti itu. Dia sampai di titik dia tidak perduli jika Mareno bermain dengan siapapun di luar sana. Asal laki-lakinya itu kembali padanya, itu sudah cukup.
Sekarang, Mareno ingin memberikan hadiah sialan itu. Semua wanita-wanitanya dulu pernah menerima hadiah yang sama. Lingerie cantik yang katanya dibuat dengan tangan oleh ahlinya langsung dari Paris, dengan tulisan 'Gunakan dengan yang lainnya. You deserve better.' Itu menjadi pertanda akhir dari hubungan apapun yang mereka punya. Mareno tidak akan menoleh ke belakang lagi, tidak pernah. Dia akan kembali berburu di luar sana. Selalu begitu. Jadi Laura sudah menangis hampir merengek seperti anak kecil. Tidak perduli bahwa beberapa temannya melihat.
"Jangan menangis, make up mu bisa rusak." Mareno masih membiarkan Laura memeluknya erat.
"Apa aku berbuat salah?"
"Tidak. Kalian tidak pernah salah." Satu tangan Mareno membelai rambutnya lembut. "Karena itu, kalian layak dapatkan yang terbaik."
"I love you Ren. It is not only a sex for me. I love you, jangan tinggalin aku."
"Sayangnya, saya nggak bisa luluskan permintaan yang itu." Mareno mencium pipinya lagi. "Silahkan teruskan pestamu. Saya pamit dulu." Kemudian Mareno melepaskan pelukan Laura perlahan. Lalu pergi dari sana.
Di dalam mobil.
Dia menghela nafas. Biasanya dia tidak terlalu berpikir banyak ketika melakukan hal ini. Tapi setelah bertemu dengan si penyihir itu, dunianya jungkir balik sendiri. Kontrol dirinya hilang, filosofi hidupnya dia pertanyakan, apa yang dia yakini dan percaya selama ini menguap begitu saja. Filosofi apa? Bahwa dia tidak butuh teman hidup, dia bahagia dan bisa membahagiakan banyak wanita. Dia bahkan kehilangan kendali atas jantungnya sendiri ketika berada bersama si penyihir itu.
Semua teori bilang dia sudah mengalami hal yang sangat dia hindari selama ini. Dia selalu percaya bahwa dia tidak akan mengalami ini, tidak akan. Kemarin dulu dia berusaha mati-matian untuk mencegah ini semua terjadi. Dia membiarkan dirinya disiksa oleh rindu, kebutuhannya untuk selalu dekat dengan wanita itu hingga dia menghindari seluruh keinginannya untuk datang dan bertemu. Apa berhasil? Setelah jeda waktu panjang dari terakhir mereka bertemu malam itu, setelah malam-malam berikutnya bersama Laura, Davina, Delia atau wanita lainnya, wajah Antania bukannya pergi. Malah tambah menari-nari di matanya setiap malam tiba.
"God is punish me." Dia terkekeh miris kemudian melajukan mobilnya.
***
"Knoc-knock," wajah Sena menyembul di pintu ruangannya.
"Sena, kok bisa kamu ke ruangan aku?" Wajah Tania mendongak dari laporan yang sedang dia isi.
"Ya bisa dong. Suster di sini baik-baik mau tunjukin aja ruangan kamu." Tubuh Sena sudah masuk ke dalam ruang kerja Tania. Dia menutup pintu.
"Ya ampun Sen. Bunga? Really? Kamu pikir aku anak kuliahan yang bisa dirayu pake bunga?" Tania sudah bangkit berdiri dan tersenyum geli melihat buket bunga yang digenggam oleh Sena.
"Oh, ini untuk Mama saya. Bukan kamu. Jangan GR dulu."
"Terus kenapa kamu bawa turun dari mobil?"
"Oh iya ya. Ya ya aku baru inget, punya Mama sudah aku kirimkan tadi siang. Jadi ini beneran buat kamu." Tangan Sena menyodorkan buket itu tepat saat pintu itu diketuk dan dibuka saja.
"Sore Dok." Tubuh tinggi Mareno sudah di sana. Sempurna seperti biasanya dengan kemeja yang digulung setengah lengan tanpa jas dan dasi. Satu tangan laki-laki itu menggenggam paper bag McD.
Wajah Tania benar-benar terkejut. Ini sudah lewat satu bulan sejak malam di tebing itu. Seperti biasa setelah pertemuan mereka yang selalu singkat dan aneh, kemudian mereka saling tidak berhubungan lagi. Sekalipun pertemuan kemarin untuk Tania memberikan kesan yang berbeda. Dia mulai banyak memikirkan laki-laki itu tanpa dia sadari sendiri. Jadi, irama jantungnya mulai naik perlahan ketika sosok Mareno datang.
"Kamu..." Sena sudah ingin maju. Ingat benar orang ini adalah laki-laki yang sudah mengambil Tania paksa darinya waktu itu.
"Sena stop." Tubuh Tania sudah berusaha menahan Sena.
"Pergi, jangan dekati Antania lagi." Sena menatap Mareno dengan kemarahan yang sama.
Sosok itu diam saja, matanya masih lurus menatap Tania. Seperti tidak memperdulikan Sena yang ada di sana.
"Sepertinya kamu sibuk Dok."
"Saya serius, brengsek!" Sena mendorong tubuh Reno yang tidak bergeming. Kokoh berdiri di situ.
"Sena, aku bilang stop." Wajahnya menoleh ke arah Mareno dengan ekspresi serba salah. "Ren..."
"Saya pamit dulu." Kemudian tubuh itu berbalik dan ke luar dari ruangan.
Tania bisa melihat Mareno memberikan paper bag McD yang dia genggam tadi sambil tersenyum pada salah satu suster yang berpapasan dengannya ketika berjalan ke arah lift, kemudian laki-laki itu menghilang.
"Kenapa dia datang ke sini Nin?" tanya Sena kesal. "Kamu masih berhubungan dengan orang bejat macam Mareno Daud?"
"Sena, kendalikan dirimu."
"Malam itu, dia nggak ngapa-ngapain kamu kan?" Mereka sudah berdiri berhadapan.
"Aku berhenti bicara kalau kamu terus begini." Tania kesal sekali.
"Aku khawatir Nin." Tanpa aba-aba Sena sudah memeluknya.
Hidungnya menghidu wangi Sena. Mencoba merasakan apa yang dia rasa ketika laki-laki ini mendekapnya. Tapi entah bagaimana bisa, ini semua terasa asing untuknya. Dia malah lebih terbiasa dengan wangi laki-laki tadi, bukan yang sedang mendekapnya ini.
"Jangan dekati Mareno Daud, dia berbahaya," bisik Sena di telinganya.
Untuk pertama kalinya, dia ingin menggeleng saja. Menolak apa yang Sena minta.
***
Sudah dua hari dia benar-benar dibayangi oleh laki-laki itu. Bagaimana mereka berinteraksi, pertemuan-pertemuan singkat mereka, dan sikap Mareno terakhir. Seperti biasa laki-laki itu tidak menghubunginya dan dia berusaha keras juga untuk tidak mengirimkan pesan. Padahal dia ingin bertanya kenapa terakhir Mareno datang dengan bungkusan McD setelah lebih dari sebulan sejak malam di tebing itu. 'Ahhh...kenapa begini jadinya.'
"Left jab, straight. Right jab...straight. Body kick, up." Bang Yana terus berujar dan dia terus menggerakkan tubuhnya.
Dia menenggelamkan dirinya dalam latihan-latihan panjang agar otaknya bisa berhenti memutar wajah Mareno. Sepuluh menit kemudian, dia berhenti.
"Sorry, saya hari ini nggak bisa sampai malam," ujar Yana.
"It's oke Bang. Aku di sini dulu sebentar. Bilang sama Anggara ya." Dia mulai lagi menghantam dan menendang.
Beberapa menit kemudian.
"Kenapa semua orang sukanya pergi ke dojo-nya Yuda?" Laki-laki itu berdiri di pinggiran ring. "Saya punya tempat lebih bagus."
Tania menghentikan aktifitasnya dan menoleh heran. 'Kenapa dia bisa ada di sini?' Dadanya mulai sedikit berdesir aneh.
Kepala Tania menggeleng dan melanjutkan saja. "Karena mereka nggak punya dojo sendiri di rumah atau sasana yang layak buat aktifitas seperti ini. Dan tempat kamu nggak untuk umum kan?"
Mareno sudah naik ke atas ring. Dia mengenakan kaus hitam dan celana jins santai. Entah kenapa itu malah makin menonjolkan aura laki-lakinya.
"Saya kenal Yana. Alex atau Max bahkan bisa kalahkan dia, not to mention Niko. Jadi, sebaiknya kamu ganti trainer."
"Sok tahu." Tania masih berdiri mengatur nafasnya dan tidak mengubah posisi kuda-kuda.
Mareno tersenyum kecil melihat sosok Tania dengan seluruh peluh keringat di wajah dan tubuhnya. Juga bentuk tubuh yang pas dan tidak berlebihan itu yang mengenakan setelan olahraga. Belum lagi wanginya. Semua itu membuat Reno melupakan kesalnya perihal laki-laki yang memberikan bunga pada Tania dua hari lalu.
'Ya Tuhan, kenapa dia seksi banget begini. Shit.'
"Fight me." Mareno siap juga dengan kuda-kuda.
Tania tersenyum kecil. "My pleasure." Lalu dia sibuk menghantam laki-laki menyebalkan yang sudah merusak otaknya. Dia bahkan melancarkan serangan cepat dengan tendangan kaki. Tapi sialnya Mareno lebih cepat dari dia. Laki-laki itu tidak memukulnya balik hanya bertahan saja.
"Tania, kuda-kudamu bagus tapi kamu harus lebih sering bergerak, gerakanmu jadi mudah terbaca. Surprise me, come on."
Dia makin semangat menyerang Mareno.
"Asha, istri sahabat saya bahkan bisa bertarung lebih baik dari ini. Ayolah Dok." Mareno tersenyum menyebalkan karena belum ada satu pukulan atau tendangan Tania yang berpengaruh terhadapnya.
"Haaah..." Tania makin kesal. Dia kembali menyerang Mareno. Akhirnya dia berhasil menendang Mareno dengan tendangan memutar. Sekalipun Mareno tidak bergeming, tubuhnya kokoh di sana.
Kemudian Mareno berhasil menangkapnya. "Hai, how are you?"
Wajah mereka dekat sekali dengan tangan Tania masih digenggam oleh Mareno. Tania terengah kemudian melepaskan tangannya. Tubuh Mareno ingin berbalik karena dia pikir ini sudah selesai, tapi Tania menjegalnya dari belakang. Refleks Mareno yang cepat malah berbalik menarik Tania untuk jatuh juga. Kemudian mereka berada di lantai dengan posisi Mareno di bawah dan Tania berada di atasnya.
"Jangan pernah berbalik dari musuhmu. Apa trainer kamu nggak ngajarin itu?" Tania tersenyum menang. Dua tangannya masih menahan tubuhnya di atas Mareno agar tidak menindih laki-laki itu.
Mareno tertawa kecil. "Hey, kamu curang."
"I win, full stop."
"No, you don't." Kepala Mareno menggeleng tapi bibirnya masih tersenyum.
Tania sudah ingin bangkit ketika tiba-tiba Mareno membelit tubuhnya hingga wanita itu jatuh terlentang di ring.
"Ini tehnik yang lain, ketika kamu terdesak. Atau musuhmu sudah besar kepala menyangka dia menang." Senyum Mareno dekat sekali dengan wajahnya.
Mareno menggelengkan kepalanya seperti sedang mengusir suatu bayangan lalu cepat-cepat berdiri. Satu tangannya terulur untuk membantu Tania berdiri juga.
"Tangan kamu kenapa?" Matanya menatap memar di lengan Tania.
"Nggak apa-apa."
Kemudian dia memindai bagian tubuh Tania yang lain. "Kamu fighting sama siapa lebam-lebam begini?" Dia menemukan beberapa lebam lainnya. "Jangan bilang sama Yana dan dia mukul kamu beneran."
Tania terkekeh saja kemudian turun dari ring.
"Tan, serius saya nanya."
"Kamu khawatir saya kenapa-kenapa padahal dulu..." Tania minum dari botol. "...kamu yang mau ngapa-ngapain..."
"Apa kamu nggak bisa lupain itu?" tanya Reno kesal.
"Bisa, tapi saya nggak mau. Senang bikin kamu merasa bersalah begitu. Biar tau rasa." Dia mencebik sebal sambil membereskan semua perlengkapannya dan berjalan menuju loker untuk berganti pakaian.
Itu membuat Mareno tertawa. "Saya tunggu di sini."
"Saya nggak butuh ditungguin. Bye." Tania berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Hilang di antara pintu ruang loker.
***
Di dalam mobil.
"Dasar tukang paksa," sungut Tania kesal. Mereka sudah di dalam mobil dan Tania menyadari bahwa Mareno tidak menggunakan mobil sport merahnya itu lagi. "You change your car."
Mareno diam saja, fokus berkendara.
"Kemarin itu kamu ke rumah sakit kenapa?" tanya Tania lagi.
"Nggak kenapa-napa."
Kemudian dia diam saja, tidak mau memperpanjang pembicaraan yang nantinya akan berakhir aneh atau membuat Mareno marah.
"Belok dulu. Sekarang saya yang laper."
"Kita makan di restoran aja, terakhir kamu complain saya beliin McD. Selain McD apalagi yang kamu suka?" tanya Mareno.
"Saya bukan penggemar fast food. Tapi kalau kepepet pizza atau pasta juga lumayan." Matanya menatap langit Jakarta yang mulai hitam. "McD aja biar cepet."
"Kita baru ketemu setelah entah berapa lama." Mareno gusar sendiri paham benar saat ini sulit sekali menahan keinginannya untuk bertemu dengan Tania. Kemudian dia berujar lagi, "Pacar kamu cemburuan."
"Sena, dia baik."
"Tapi cemburuan." Mareno berusaha mengusir kesalnya sendiri tiba-tiba.
"Dia seperti sebagian laki-laki baik lainnya. Pasti akan berusaha melindungi saya, menjaga kehormatan saya, bukan mengambilnya paksa."
Rahang Mareno mengeras, tangannya menggenggam setiran mobil kuat. Dia tidak pernah punya pesaing selama ini, atau kalaupun ada, sudah hampir pasti wanita-wanita itu akan memilih dia. Tapi wanita ini, malah membandingkannya dengan laki-laki lain.
"Sena Airlangga, jadi itu namanya." Mareno ingat pada hasil background check cepat yang dibawa oleh Niko dulu.
"Ya, itu namanya." Wajah Tania menatap Mareno dari samping. Paham benar laki-laki di sebelahnya ini sedang menahan emosi dan sikap Mareno semakin membuatnya tertarik.
"Jadi kamu pacaran lagi sama dia sekarang?"
"Saya gantian mau ajak kamu ke suatu tempat."
"Saya benci mengulang pertanyaan yang sama."
"Apa kalau saya bilang saya mau menikah sama dia itu akan merubah sesuatu?"
Wajah Reno sudah menoleh ke arah Tania.
"Hey, saya hanya memberi contoh. Belum tentu begitu. Sekalipun mungkin saja sebentar lagi dia meminta saya."
"Kamu benar-benar menguras sabar saya."
Tania tertawa. "Saya selama ini juga berpikir begitu. Kita aneh banget kan. Jarang bertemu, sekali bertemu malah bertengkar aja. Saya nggak paham kenapa kamu tetap datang lagi."
"End of discussion. Mau kemana?" alih Reno karena tidak suka dengan topik pembicaraannya.
"Belikan saya McD dulu, lalu kita ke sana."
Beberapa jam kemudian. Mereka sudah berada di sebuah taman hiburan yang tidak terlalu besar di daerah pinggiran Jakarta. Mobil Mareno parkir sedikit jauh dari tempat itu. Tapi mereka masih bisa melihat hamparan taman luas dengan banyak permainan termasuk bianglala ukuran sedang yang berputar. Lampu-lampu juga sudah dihidupkan dan sudah ada orang-orang di sana.
Tania duduk di atas kap mobil Mareno sambil membuka makanannya. Laki-laki itu duduk di sebelahnya.
"Kenapa nggak masuk ke sana? Sekalipun Jakarta punya taman bermain yang lebih bagus dari ini."
"Tempat ini dekat dengan rumah lama saya. Saya nggak mau masuk karena nanti saya sedih. Saya di sini aja." Ekspresi wajah Tania berubah. Wanita itu benar-benar merasa sedih atas sesuatu.
"Ada apa?"
"Nggak apa-apa, cuma dulu kami sering ke sini. Mama, Papa dan saya. Atau terkadang berdua dengan sahabat saya." Tania mulai makan.
"Kamu bisa cerita kalau kamu mau." Mareno diam mendengarkan.
"Saya cuma punya cerita sedih. Kamu?"
"Saya nggak jago bercerita, saya hebat di bidang lainnya."
Tania terkekeh saja. "Ya ya ya. Siapa yang nggak tahu soal itu kan? The Don Juan."
Mata Reno menetap lurus ke depan. "Apa kamu terkadang kesepian?"
Tania diam sejenak sebelum menjawab. "Ya, sangat. Apalagi setelah Mama pergi dan Papa sibuk sekali. Saya mau gila." Tania menoleh ke Mareno sejenak. "Saya yakin kamu nggak pernah merasakan itu. Keluarga harmonis, saudara yang saling menjaga. Beruntungnya kamu Ren."
"Tapi saat ini, saya nggak merasa beruntung lagi."
"Kenapa?"
"Karena Tuhan sedang menghukum saya."
Tania hampir tersedak saja. "Kamu percaya sama Tuhan? Saya pikir kamu tipe liberalis."
Mareno meringis. "Keluarga saya mendidik saya dengan baik. Sangat baik. Ayah dan Mama saya sangat religius, juga saudara-saudara saya lainnya. Arsyad bahkan selalu tahajud. Dia akan solat dimanapun dia berada. Hanif dan Mahen hafal Al Quran. Saya? Jangan ditanya. Karena itu sekarang ini Tuhan sedang menghukum saya. Jadi ya, saya sangat percaya pada Tuhan. Saya saja yang selama ini abai. Sangat-sangat abai."
Tania memilih untuk tidak berkomentar dan menyeruput minumannya. "Jadi, apa hukuman Tuhan untuk kamu?"
Mareno tersenyum miris. "Kamu nggak akan percaya."
Kemudian suara guntur memekakkan telinga. Tania yang terkejut refleks mendekatkan dirinya pada Mareno.
"Jangan bilang kamu takut guntur? Sementara kamu lumayan jago di ring Dok." Mareno menoleh padanya sambil tersenyum meledek.
"Saya kaget, serius." Tangan Tania memukul pundak Reno kesal.
"Sudah mau hujan, kita pulang?"
"Kamu takut hujan?" Tania sudah berdiri dan selesai membereskan sisa makanannya. "Nggak mungkin kan? Saya sudah lama nggak hujan-hujanan. Mungkin seru juga."
"Nanti kamu sakit Dok." Mereka sudah berdiri berhadapan. Dia hanya bisa menatap Tania yang berjalan membuka pintu mobilnya dan menyalakan radio dengan volume keras.
"Semua penyakit ada obatnya. Ini saya memilih acak lagunya ya. Semoga lagunya bukan lagu sedih." Kepala Tania mendongak ke atas. Dia ingin merasakan tetes pertama hujan. "Lihat ke atas Ren, sambut tetesnya."
Kemudian musik itu berputar acak. Dan tetesan hujan menimpa pipi mereka, lalu hujan makin deras saja. Bukannya berlindung Tania malah tertawa senang, melompat gembira. Matanya terpejam mengingat masa-masa indah dulu. Ketika dia, Danika dan ayah masih pergi ke tempat itu.
Mareno berdiri diam terpaku melihat sosok itu. Wanita yang sudah menjungkir balikkan dunianya, juga wanita yang tidak bisa dia miliki begitu saja. Dia membiarkan tubuhnya dibasahi hujan yang sama. Dia ingin merekam segalanya. Mereka mungkin jarang sekali bertemu, Tania mungkin milik laki-laki lainnya, tapi saat ini hanya ada mereka. Mereka saja.
***
Dengerin versi akustiknya di yutub sambil nulis part ini.
I DON'T CARE (by Ed Sheeran)
Reff:
'Cause I don't care when I'm with my baby, yeah
All the bad things disappear
And you're making me feel like maybe I am somebody
I can deal with the bad nights
When I'm with my baby, yeah
Ooh, ooh, ooh, ooh, ooh, ooh
'Cause I don't care, as long as you just hold me near
You can take me anywhere
And you're making me feel like I'm loved by somebody
I can deal with the bad nights
When I'm with my baby, yeah
I don't like nobody but you
It's like you're the only one here
I don't like nobody but you
Baby, I don't care
I don't like nobody but you
I hate everyone here
I don't like nobody but you
Baby, yeah
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro