Part 15 - Night at the cliff
Dia mengintai musuhnya dari jauh. Ini jenis pekerjaan yang dia tidak suka, karena itu akan meninggalkan rekaman pada ingatannya dan akan mengganggu tidurnya. Tapi yang akan dia habisi hari ini adalah penjahat, pembunuh. Sekalipun efek setelah itu akan sama, tapi ini adalah sesuatu yang dia harus lakukan. Karena dia melihat sendiri bagaimana istri dan anak Edo meratap terluka karena kepergian ayah mereka. Jadi, ini untuk Edo.
"Nik, kenapa nggak kirim Max? Lo nggak perlu yang turun tangan Nik." Suara Arsyad terdengar dari earphone.
"We need to fix what we screwed off," jawab Niko sambil menyiapkan senjata.
"It wasn't your fault, it was my fault." Arsyad menggeram kesal di sana.
"Bos, ayolah."
"I don't like killing people."
"I don't like bad guys. This will be quick, no worries."
Niko sudah berjalan. Hanya ada tiga orang dalam rumah kontrakan yang letaknya sedikit terpencil itu. Jam di tangannya menunjukkan angka satu pagi. Sasarannya hanya satu, jadi dia hanya akan menembak satu kali saja.
Penutup kepala buatan Mahendra sudah terpasang. Dua dari mereka sedang menonton TV di ruang tengah sambil tertawa dan mereka bukan targetnya. Dia sudah melemparkan dua buah bola seukuran bola tenis yang menggelinding masuk ke dalam rumah. Asapnya sudah menguar. Mereka terbatuk-batuk.
Dia masuk dan berjalan menuju kamar. Laki-laki itu sudah siap dengan senjata di tangan. Refleksnya adalah menunduk ketika tembakan itu lepas dan langsung membidik kepala. Tubuh itu ambruk tidak bernyawa.
Kemudian dia keluar dengan meninggalkan dua orang lainnya yang pingsan di lantai. Tangannya memijit earphone.
"Selesai. Bilang Arya mata sudah dibalas mata. I'm out Bos."
***
Hotel mewah itu milik keluarga Darusman. Ya, hotel-hotel terbaik di kota ini memang milik mereka. Tania datang atas ajakan ayahnya untuk menemani dalam salah satu acara kementrian. Tamu-tamu penting malam itu sudah mulai berdatangan. Mulai dari pejabat pemerintah, mentri dan juga para pelaku bisnis penting di negara ini. Beberapa anggota keluarga Darusman juga menampakkan diri. El Rafi dan Dara istrinya, juga Sanjaya dan Evita Darusman.
Tania mengenakan dress hitam panjang dengan bahu terbuka. Rambutnya yang mulai panjang hanya dia jepit saja. Dia berdiri di sebelah ayah yang sedang mengobrol dengan Ibrahim Daud dan Rudi Dirga Wiratmaja. Kemudian tidak berapa lama, Adinata Tanubrata juga bergabung. Dia sendiri mulai menjauhkan dirinya dari sana.
"Kamu datang."
Suara itu datang dari arah belakang. Tubuhnya berbalik perlahan. Laki-laki itu berdiri dengan setelan tuksedo terbaik. Aura laki-laki itu keluar begitu saja, pesonanya. Mareno Daud memang laki-laki yang bisa membuat seluruh mata berpaling padanya saja.
"Hai," sahutnya pendek.
"Minum?" Reno menyodorkannya gelas kristal itu. "Ini bukan alkohol."
"Terimakasih. Saya memang sedikit haus." Dia tersenyum saja lalu menyambut uluran gelas itu. "Bagaimana dengan tanganmu?"
"Sudah kembali seperti sedia kala." Mereka berdiri berdampingan.
"Pantas." Tania menyelipkan rambutnya pada telinga.
"Pantas apa?"
"Pantas kamu sudah tidak mengganggu lagi."
"Apa kamu ingin diganggu?"
Dia tertawa. "Itu bukan sebuah undangan untuk mengganggu saya."
"Cara laki-laki berpikir terkadang tidak sama."
"Karena itu aku menegaskan."
"Baik," sahut Reno pendek.
"Kamu datang dengan siapa?"
"Sudah pasti bukan dengan Ayah saya. Kami berkendara terpisah."
"Bukan itu, saya pikir kamu datang dengan plus one."
"Ini acara kenegaraan, bukan waktunya berpesta."
"Mareno..." Mereka menengok melihat siapa yang memanggil.
"Hai Steph. Apa kabarmu."
Stephanie tersenyum ringan lalu berjalan untuk menempelkan pipinya pada Mareno. "Where have you been Ren?"
"Working."
Wanita anggun itu tertawa kecil. "I know what you mean with 'working.'"
"Steeph, jangan begitu aku benar-benar bekerja."
Mereka mengobrol ringan. Membiarkan Tania memperhatikan mereka. Sikap dan wajah Mareno berbeda sekali pada Stephanie. Laki-laki itu banyak tersenyum, mengobrol ringan dan sopan. Karena merasa canggung, dia beranjak pergi dari sana.
"Steph, kamu sudah kenal dengan Tania."
Langkahnya berhenti. "Siapa yang tidak kenal anak dari Pak Mentri. Halo Tan, apa kabar?"
"Baik." Mereka berjabat tangan sesaat.
"Apa dia..."ujar Stephanie.
"Bukan, kami tidak seperti yang kamu pikir." Tania langsung memotong.
"Oh, bukan itu maksud saya."
"Maaf, saya permisi dulu. Silahkan dilanjutkan."
Dia tersenyum kemudian mulai melangkah lagi. Meninggalkan mereka berdua yang meneruskan obrolan hangat mereka. Hangat, karena besar kemungkinan setelah ini mereka akan melanjutkannya entah dimana. Kenapa juga dia harus perduli kan? Setelah mengambil dua potong buah dan menghabiskannya. Dia berjalan menuju ayah untuk pamit undur diri. Entah kenapa, tiba-tiba dia ingin pulang. Andai Danika ada di sini, mungkin setelah ini dia akan lari menuju tempat Danika dan bermalam di sana. Mengeluarkan keresahan hatinya. Seperti dulu.
"Kamu pulang dengan supir, minta dia balik lagi untuk jemput Papa."
"Maaf Pa, tapi besok pagi aku punya jadwal operasi penting." Ini alasannya agar tidak menyinggung hati ayah.
"Tidak apa-apa Sayang, Papa mengerti. Ini juga sudah terlalu larut."
"Aku bisa pulang dengan taxi Pa."
Papanya menggeleng. Kemudian dia mencium pipi ayah dan berlalu dari situ.
Di lobby hotel.
Dia memilih tidak menuruti keinginan ayahnya berjalan ke lobby untuk naik taksi. Sampai ketika dia merasa ada seseorang mengikutinya di belakang.
"Kamu mau pulang?"
"Saya bisa naik taksi." Dia masih melangkah.
"Saya antar." Mareno mengiringi.
"Saya bisa..."
"Kenapa saya harus selalu mengulang kata-kata saya dua kali setiap kali bertemu kamu. Kamu mengerti bahasa Indonesia kan?" Dia sedang menggenggam ponselnya sambil menghubungi seseorang.
"Saya nggak paham kenapa kamu pemarah sekali jika dengan saya, sementara sikapmu baik-baik saja ketika berhadapan dengan wanita lainnya."
"Tunggu di sini sebentar, orang hotel sedang ambilkan mobil saya."
Tania memutuskan untuk mengabaikan Mareno dan berjalan menuju taksi yang sedang mengantri. Namun kemudian laki-laki itu menggenggam lengannya. Dia menghirup nafas panjang. "Saya bilang, saya an-tar."
"Saya tidak mau diantar. Terimakasih."
"Okey, saya naik taksi bareng kamu. Apa susahnya kan?"
Kali ini dia yang menghela nafas. Bertengkar di lobby hotel bukan pilihan yang baik. Apalagi banyak orang tahu siapa mereka. Besar kemungkinan banyak mata wartawan di sini. Jadi dia menjaga sikapnya dengan diam berdiri hingga mobil itu tiba.
"Entah kenapa saya nggak heran mobil kamu begini." Dasar manusia narsis. Rutuknya dalam hati.
Mareno membukakan pintu untuknya. Kemudian dia masuk dari pintu pengemudi.
"Jangan salahkan selera saya yang bagus untuk semua hal." Mereka sudah di dalam mobil.
"Saya benci mobil ini."
"Saya akan ganti." Reno paham ini adalah mobil yang sama yang dia gunakan saat dia memaksa Tania.
"What?"
"Saya akan ganti, tidak akan saya gunakan lagi."
"Loh kok?"
"Tadi kamu bilang nggak suka kan?"
"Ya tapi bukan langsung main ganti."
Reno tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Wanita itu memang sedikit membingungkan. Kadang kepala mereka mengangguk sementara mereka ingin berkata tidak, atau sebaliknya. Kamu harus memutuskan Tania, jika kamu tidak suka sesuatu maka kamu harus singkirkan atau jauhi."
"Tergantung kita berbicara soal apa."
"Sama saja, nggak ada bedanya. Kamu punya benda, benda itu kamu benci, ya kamu ganti. Buat apa disimpan. Kamu bertemu seseorang dan kamu benci, yang kamu lakukan adalah kamu jauhi. Atau singkirkan jika bisa."
"Kamu benar-benar pintar bicara dan belum jawab pertanyaan saya."
"No no no. Jangan mulai bertanya lagi. Saya tidak suka dengan semua pertanyaan kamu."
"Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu masih aja seperti ini dengan saya."
"Saya bilang saya nggak suka dengan pertanyaan kamu. Bukan dengan orangnya." Reno terpancing juga.
"Jadi bagaimana dengan orangnya, apa kamu suka?" Tania menatap Mareno dari samping.
"Saya bilang berhenti bertanya."
"Saya nggak paham kenapa kamu selalu marah dengan saya. Kita selalu bertengkar setiap bertemu, tapi kamu tetap memaksa. Saya sudah bilang saya bisa pulang sendiri. Kamu yang memaksa untuk mengantar saya dan memancing saya untuk marah begini. Hidup saya sudah tenang dan damai, tapi ketika kamu ada rasanya seperti badai yang menguras sabar saya."
Reno diam saja. Paham benar nada Tania yang tinggi sekali. Ujung matanya melihat Tania yang sedang mengatur nafasnya sendiri. Setelah sedikit tenang, tangan Tania bersedekap diam.
"Apa begitu?" tanya Reno dengan nada yang lebih normal.
"Apa?"
"Ini sudah berbulan-bulan sejak kita bertemu terakhir. Apa benar kamu selalu terganggu ketika ada saya?"
"Sangat," Tania berujar asal karena sangat kesal.
"Okey. Maafkan saya." Dia membelokkan mobilnya ke salah satu hotel.
"Kamu mau apa?"
"Mau mencarikan kamu taksi. Saya nggak akan ganggu kamu lagi. Ini akan jadi pertemuan kita terakhir. Selanjutnya, saya tidak akan menyapa kamu lagi jika kebetulan kita bertemu." Mobil Mareno sudah berhenti tidak jauh dari lobby.
Nada suara laki-laki itu melembut. Entah kenapa itu membuatnya salah tingkah sendiri. Maksudnya tidak begini. Dia tidak keberatan diantar oleh laki-laki ini. Tapi dia kesal sekali karena sikapnya yang pemarah dan pemaksa. Tapi ketika Mareno mengucapkan salam perpisahan, dia sendiri yang tiba-tiba meragu. Ada apa juga dengan dia. Stupid Tania.
"Sebenarnya, kamu itu terbuat dari apa? Saya benar-benar nggak paham dengan semua sikap kamu." Dia menoleh menatap wajah Mareno.
Wajah laki-laki itu menatap lurus ke depan. Diam dan tidak menjawab apapun. Selama beberapa saat, mereka hanya diam saja. Kemudian akhirnya Tania memutuskan untuk turun dan naik taksi. Pintu sudah dia buka ketika tangan Mareno menahan lengannya. Tubuhnya tiba-tiba membeku karena sentuhan itu. Tangan Reno tidak memaksa, tapi entah kenapa dia merasa sedikit lebih gugup daripada biasanya.
Mareno masih diam dan tangannya masih menahan lengan Tania. Membuat wanita itu bertanya-tanya, apa maksudnya. Kemudian Tania menghela nafasnya dan kembali menutup pintu.
"Saya lapar. Saya nggak terlalu suka makanan di tempat pesta seperti itu," ujar Tania.
Kemudian Mareno melajukan mobilnya.
***
Beberapa jam kemudian.
"Mc Donald?" Tania terkekeh geli. "Kamu belikan saya Mc Donald?"
"Kamu bilang kamu lapar dan ini sudah jam 11 malam. Satus-satunya restoran yang kita lewati adalah McD. Apa yang salah dengan itu? Sama-sama makanan kan?"
"Terus kita mau kemana sekarang? Kenapa nggak makan di tempat aja."
"No. Saya punya tempat yang lebih bagus dari restoran manapun." Dia mulai melepas dasi kupu-kupunya dan melonggarkan kemeja.
Tania menyalakan tracking device pada smart watchnya karena jalanan yang mereka lewati mulai sedikit sepi dan Reno menyadari hal itu.
"Saya nggak akan mengulangi kesalahan saya. Saya bukan orang jahat."
"Maaf. Rasa percaya itu harus diusahakan kan? Dibangun perlahan. Bukan diberikan begitu saja."
Lagi-lagi dia harus setuju dengan wanita ini. Mobilnya berhenti di jalan buntu. Tapi jalan buntu kali ini istimewa. Karena dihadapannya, sudah terhampar pemandangan lampu malam kota. Mereka berada di tepian tebing yang tinggi. Tania menoleh dan diam sejenak.
"Kita bisa makan di dalam mobil atau duduk..." kata-kata Mareno terpotong melihat Tania sudah ke luar dari mobil itu.
Dia hampir lupa menikmati hidupnya sendiri, karena sibuk dengan Danika. Hari-harinya dipenuhi dengan rutinitas pekerjaan dan juga misi pencarian jejak laki-laki misterius itu. Atau pergi ke rumah sakit menengok Danika dan mencoba segala bentuk terapi psikologi dengan kawannya atas saran Dokter Inggit.
Mareno membawanya ke tempat yang tidak terlalu jauh dari kota, tapi ini indah sekali. Langit malam ini terang karena bulan purnama, lalu syahdunya lampu-lampu kota sungguh memanjakan mata. Dia murahan sekali, senang hanya karena hal kecil begini.
"Kamu suka." Mareno sudah bersandar di bagian depan mobilnya.
Tania diam saja, masih tersenyum menatap pemandangan dihadapannya. Mata Mareno menatap wanita itu yang sedang berdiri membelakanginya. Tania mengenakan gaun malam dengan bahu terbuka, rambutnya diangkat sedikit ke atas menunjukkan leher yang jenjang dan kalung berlian yang sederhana. Jejak wangi tubuh wanita itu bisa dia baui dari jarak seperti ini. Wajah Tania yang tersenyum bahagia mau tidak mau membuat dadanya terasa berbeda. Membuat dia ingin tersenyum juga tanpa tahu apa sebabnya.
"Saya mulai makan. Saya lapar." Mareno mulai membuka paper bag dan mulai mengambil makanan.
"Ada berapa banyak wanita yang kamu ajak ke sini?" Tania sudah bersandar juga di bagian depan mobil sebelah Mareno.
"Satu."
"Cuma satu? Serius?" Dia mulai mengambil makanannya juga.
"Ya."
"Wow, pasti dia istimewa."
Mareno mengangguk saja sambil masih mengunyah makanannya.
"Kamu sudah nggak berhubungan lagi dengan cewek itu?"
"Cewek mana?"
"Yang kamu ajak ke sini." Tania mulai menggigit burgernya.
"Hubungan kita aneh. Kalau itu bisa disebut sebagai sebuah hubungan."
"Tell me. I'm listening." Tania menoleh sejenak pada Mareno.
Mareno menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kita jarang bertemu. Jarang sekali. Dia tidak terlalu suka bertemu dengan saya. Prinsip hidup dia dan saya juga berbeda. Jadi memang hubungan yang kompleks."
"Kalian putus?" tanya Tania sambil minum.
"Kita nggak pernah nyambung, jadi nggak ada istilah putus. Saya nggak suka berkomitmen." Reno meminum soda itu juga.
"Dan dia mau berkomitmen, karena itu kalian nggak bisa bareng," tebak Tania saja. "Kamu nggak cinta dia?"
Mareno tersedak minumannya dan terbatuk-batuk.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tania khawatir.
"It's oke, I'm oke." Mareno sudah sedikit lebih tenang. Makannya juga sudah selesai. Saat ini, dia sibuk menenangkan jantungnya sendiri yang rasanya melompat ke luar mendengar kata tadi. "Cukup soal saya. Bagaimana dengan kamu?"
"Tidak ada yang menarik untuk diceritakan."
"Kecuali les menembak, judo dan thai boxing? Really? Kamu mau lawan siapa?"
Tania tertawa dan berdalih. "Itu untuk pertahanan diri. Sesuatu yang wajar."
"Ck ck ck, kamu harus complain dengan trainer kamu karena kamu nggak bisa menjatuhkan saya."
"Itu karena gaun saya yang menghalangi. Saya pikir wanita di film-film James Bond itu nggak mungkin bisa bertarung dengan baik menggunakan gaun. Itu penipuan massal."
Mareno tertawa. "Alasan. Ganti trainer kamu atau saya bisa rekomendasikan yang lebih baik dari siapapun dia."
Tania berhenti sejenak melihat Mareno tertawa. "Saya suka ketika kamu bersikap normal pada saya."
Tiba-tiba Mareno berdehem saja. "Ini sudah malam, saya antar kamu pulang."
Tangan Tania membereskan bekas makan mereka dan memasukkan semua ke dalam satu bungkusan. "Saya masih mau di sini." Dia kembali menyenderkan tubuhnya pada kap mobil. "Ini indah sekali." Matanya sudah kembali menatap ke depan.
Tubuh Reno sudah duduk di atas kap mobilnya sendiri. "Ya, saya setuju. Indah." Kemudian dia melepas jas yang dia kenakan dan menyampirkannya pada bahu Tania yang terbuka. Kemudian dia kembali duduk lagi. Matanya menutup saja. Dia tidak butuh pemandangan di depan sana. Karena tiba-tiba dia merasa tenang, bahagia, damai. Hidungnya terus menghirup wangi yang dia suka. Seluruh bagian dari dirinya menikmati keberadaannya bersama wanita ini. Selama yang dia bisa.
Dia menoleh menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Mata kelam itu terpejam, bibirnya membentuk senyuman yang tipis, tangannya yang kokoh bersandar ke kap mobil belakang. Entah kenapa dia merasa saat ini Mareno bersikap apa adanya, tidak berpura-pura dan semua itu membuat detak jantungnya berirama. Apalagi wangi dari jas yang Mareno sampirkan tadi. Wangi khas tubuh laki-laki ini melingkupinya dan lebih anehnya lagi, dia suka.
***
Pasangan ini even lebih unik lagi (menurut gue). Biasanya yang satu ngejar dan yang satu denial. Ini dua-duanya denial...hahahaha.
Mareno, bagaimanapun pride dia tinggi banget. Paling tinggi sih dibandingkan tokoh cowok yang pernah gue tulis lainnya. Jadi dia berusaha keras untuk menolak dan menyadari perasaan dia sendiri. Bukan tipe yang bakalan jadi bucin tingkat tinggi kayak Tanan atau Radit. But....we'll see. Gimana kira-kira saat Mareno benar-benar harus mengaku nanti? Bucin versi Mareno itu bagaimana sih?
Antania, ini cewek ampun keras kepalanya. Dia tahan menyiksa diri sendiri dan jauh-jauhan atau bahkan memutuskan untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan siapapun bertahun-tahun lamanya. Lihat kasusnya sama Sena. Bukan nggak mungkin sekalipun dia suka sama Mareno dia nggak mau bareng sama cowok itu. Misinya cuma satu, Danika. Sebelum misinya selesai, she's willing to sacrifice her own happiness.
Nah...ini yang buat cerita ini nuansa romance nya jadi beda. Juga ditambah konflik keluarga dan dunia perpolitikan yang akan dibahas singkat. Kita lihat bagaimana mereka nanti. Stay tune Genks!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro