Part 12 - I don't forgive you
Tidurnya memang larut sekali, tapi dia sudah terjaga pagi-pagi. Bangun, membersihkan diri dan berpakaian dengan apa yang disediakan oleh Sabiya untuknya semalam. Setelah melihat Mareno yang masih tertidur, dia ke luar sejenak berjalan di halaman samping rumah besar itu. Pemandangannya indah sekali. Dikelilingi pohon-pohon besar yang rindang, dengan suara sungai dan burung-burung pagi.
"Pagi Dok." Sabiya dan Hanif menyapanya dari arah balkon. "Sarapan?"
Dia berjalan mendekati keduanya. "Kalian cocok banget." Tania tersenyum pada mereka sambil duduk di salah satu kursi.
Sabiya sibuk menghidangkan sarapan di meja hadapan mereka. "Terimakasih, tapi Hanif masih nggak bisa lupa sama yang itu."
"Siapa?" tanya Tania penasaran.
"Kalian perempuan memang benar-benar tukang gossip. Saya sayangnya cuma sama kamu Biya, jangan cemburu." Hanif menatap Sabiya hangat dan perempuan itu tertawa saja.
"Apa di sini ada robot yang bisa masak juga?" Tania menatap Hanif.
"Ada." Mahendra muncul dari arah dalam. Wajahnya datar sekali, hanya mengambil apel di meja kemudian ingin berlalu saja.
"Masakan Sabiya lebih enak atau masakannya Mahen." Hanif tertawa.
Langkah Mahen terhenti, dia menoleh pada Tania. "Terimakasih soal kemarin."
Tania mengangguk kecil sambil melihat Mahen yang berlalu. "Dia nggak sarapan?"
"Mahen itu makan, mandi, tidur di dalam lab-nya." Sabiya berujar. "Makan Tan, aku ke dalam dulu mau telpon Damar."
Tersisa dia dan Hanif saja. Setelah diam yang canggung, Hanif memulai pembicaraan.
"Mahen sedang mengcopy semua data pada ponselmu dari google drive ke ponsel yang baru."
"Oh nggak perlu, ponsel saya ada di Sena. Tapi saya butuh pinjam telpon lagi karena harus hubungi rumah sakit dan mengatur beberapa urusan."
"Saran saya pakai saja ponsel dari Mahen nanti, kalau kamu sudah tidak mau gunakan, buang saja setelah itu."
"Masuk akal. Oke."
"How do you feel Doc, are you oke?"
Tania menghela nafasnya. Hanif adalah seseorang yang lebih hangat dan perhatian ternyata. "Awalnya saya takut, marah, sangat-sangat marah. Tapi Arsyad sepertinya lebih murka daripada saya."
"Sekarang?"
"Sudah lebih baik. Masih sedikit khawatir, kalau Reno bangun nanti apa laki-laki itu akan mulai bertingkah aneh lagi?"
Hanif diam sesaat, dahinya mengernyit. "Dia tahu dia bersalah. JIka dia mengulangi kesalahan yang sama, Arsyad benar-benar akan membunuhnya sendiri. Tapi saya tahu adik saya, kami bukan manusia yang tidak punya hati dan tidak tahu bagaimana cara menghormati perempuan."
Kepalanya mengangguk kecil. "Arsyad benar-benar keras ya?"
"Ya," jawab Hanif sambil tertawa. "Sedari dulu, ya. Salah adalah salah, benar adalah benar. Jika ada area abu-abu, dia akan mencari tahu sampai bisa memutuskan apakah itu salah atau benar."
"Kemana dia sekarang?"
"Sudah pergi sejak pagi-pagi sekali." Hanif memberi jeda. "Bagaimana kondisi Mareno Dok?"
"Seharusnya dia dibawa ke rumah sakit. Tapi semua alat-alat itu sangat membantu. Apa benar serumnya akan bekerja cepat?"
"Mahen pergi ke Jerman dan bekerja bersama salah satu professor gila lainnya untuk membuat serum itu dua tahun lamanya. Kami semua pernah menggunakan dan memang berhasil."
"Kalian keluarga yang aneh." Tania tertawa kecil.
"Mungkin, bisa jadi begitu." Hanif tertawa juga.
Mereka melanjutkan dengan obrolan ringan. Sedikitnya Tania tahu jika Hanif secara halus sedang memastikan proyek yang berjalan akan baik-baik saja. Tania mengerti dan sedikitnya senang bahwa dia memiliki sedikit kendali. Sekalipun paham benar jika dia juga tidak bisa menyalahgunakan keuntungannya itu. Keluarga ini istimewa, bukan sembarangan orang. Setelah selesai, dia masuk ke dalam dan menghubungi rumah sakit menggunakan ponsel yang diberikan oleh Mahen. Juga mengirimkan pesan singkat pada Lea.
Setelah semua selesai, dia kembali ke kamar Mareno untuk mengecek kondisinya. Laki-laki itu sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan dada terbuka dan menatap ke luar jendela ketika dia tiba. Beberapa bagian tubuhnya sudah dibebat oleh Tania semalam. Ada semangkuk bubur hangat di meja nakas sebelahnya. Tebakannya Sabiya yang mengantarkan makanan itu tadi.
Dia melangkah masuk perlahan, mengambil stetoskop dan alat pengukur tekanan darah otomatis. Kemudian duduk di pinggir kasur laki-laki itu.
"Kenapa kamu masih di sini?"
"Saya dokter." Dia menghiraukan sikap Mareno yang dingin sekali. Kemudian mulai mengambil lengan Mareno agar bisa memasangkan alat pengukur tensi itu.
Tanpa dia duga, Mareno mengambil alat itu dan membantingnya ke lantai. "Pergi," ujarnya singkat sambil menatap matanya marah.
"Kamu harus makan," ujar Tania tenang. Mareno seperti singa yang sedang terluka dan marah.
"Jangan banyak bicara. Pergi saja!"
Tania menghirup nafasnya perlahan. "Saat egomu terluka yang kamu bisa lakukan adalah melukai wanita. Luar biasa."
Kemudian dia berdiri dan pergi.
***
Beberapa hari kemudian.
"Ren, sayang. Mau dimana? Aku siap Ren." Wajah cantik Laura tertawa menatapnya.
Davina datang dari belakangnya. "Kami siap, ayo Ren." Mereka tertawa sambil menarik tubuhnya ke atas kasur.
Kemudian dia mulai mencium salah satunya. Ciuman panas yang penuh nafsu. Tapi tubuhnya menegang ketika merasakan bibir yang lain. Ciuman yang hangat dan lembut. Lalu kemudian harum itu. Perpaduan lapis wangi yang lembut dan segar. Membuat dia merasa nyaman, seolah melingkupi hatinya dengan perasaan yang aneh sekali. Dia ingin terus menghirupnya, lagi dan lagi.
Ketika matanya dia buka, sudah ada wajah manis dan kekanakkan itu. Tersenyum padanya. "Setelah itu apa Ren? Apa? Apa yang kamu mau? Apa kamu kesepian?" Jantungnya berdebar seru, ini mimpi. Mimpi saja.
"Bang. Bang Ren!!" Seseorang mengguncang tubuhnya.
Dia langsung bangun dan duduk tegak, nafasnya tersengal-sengal.
"Bang, kamu demam banget." Sabiya duduk di pinggiran kursinya dengan wajah cemas. Dia memang menyempatkan diri mampir setelah urusan butiknya selesai tadi. Ini sudah tiga hari sejak peristiwa itu.
Satu tangannya sudah mengusap wajahnya perlahan.
"Bang, tangan kamu lebam dan bengkak. Ya Tuhan." Sabiya langsung ke luar kamar untuk mengambil ponsel. Tubuhnya mondar-mandir gelisah sambil menghubungi Tania.
"Tan, apa bisa kamu datang ke sini?"
"Ada apa?"
"Tangan Mareno lebam dan bengkak. Demamnya juga tinggi sekali."
Tania diam sejenak.
"Arsyad sedang tugas bersama Mahen, Hanif sudah kembali ke luar negeri. Tolong saya Tan. Saya juga akan berusaha hubungi Arsyad, tapi dia masih marah dengan Reno dan sepertinya tidak mau perduli."
"Oke, saya ke sana."
"Kenapa kamu hubungi dia Biya?" Reno menatap Sabiya galak dari tempat tidur. "Aku bilang jangan hubungi dia!!"
"Ren, kamu itu kepala batu banget." Geram Sabiya kesal.
"Lexy, hubungi Dokter Reyn." Mareno setengah berteriak pada Lexy, si artificial intelligence yang terpasang di rumah itu.
'Kenapa dia tidak berpikir itu tadi,' rutuk Sabiya dalam hati.
"Menghubungi Dokter Reyn."
Kemudian setelah Lexy menyambungkan hubungan, Sabiya sudah memberi keterangan tentang kondisi Mareno pada Dokter Reyn.
***
Tania berdecak kesal karena kelemahannya sendiri. Kenapa dia masih perduli dengan si pemaksa brengsek itu. Hidupnya sudah tenang dan damai tiga hari ini kan. Tapi entah kenapa terselip sedikit rasa khawatir saja dengan kondisi Mareno. Apalagi Sabiya bilang tangannya bengkak. Apa dia melewatkan sesuatu kemarin? Ya Tuhan, kenapa jadi dia yang merasa bersalah begini. Sialan!
Pukul 9 malam dia tiba. Dia masuk dan disambut oleh Sabiya dan seorang laki-laki.
"Dokter Reyn?" Tania menatap heran.
"Hai Dok, saya butuh asisten. Saya tunggu di atas." Dokter Senior itu sudah berlalu ke lantai atas.
"Itu Dokter keluarga Tan. Dokter ahli..." Sabiya menjelaskan.
"Saya tahu Dokter Reyn. Dia luar biasa, yang bisa menandingi dia hanya Dokter Pram saja." Tania juga sudah berjalan ke lantai atas.
"Sorry, tadi saya panik dan refleks saya menghubungi kamu. Mareno marah dan menghubungi Dokter Reyn saja. Saya mau bilang kamu nggak perlu ke sini, tapi Dokter Reyn bilang dia butuh bantuan kamu. Karena Mareno bersikeras tidak mau dibawa ke MG."
"It's oke. Asisten untuk apa?"
"Operasi."
"Operasi? Di sini? Ini rumah apa sih?"
Tubuh Dokter Reyn muncul dari balik salah satu ruangan. "Cepat Dok. Ada yang bagian yang sedikit melenceng dari tempatnya dan kita harus benahi."
Tania masuk saja ke ruangan berukuran sedang itu. Ruangan ini tertutup dan steril. Sudah ada meja operasi dihadapan mereka dengan alat-alatnya lengkap. Keluarga yang aneh, benar-benar aneh. Dia menyimpan semua rasa heran dan kagumnya sendiri dengan fasilitas yang dimiliki rumah ini dan mulai bekerja membantu Dokter Reyn. Kapan lagi melihat dokter hebat itu beraksi kan?
"Kenapa tidak di MG Dok?"
"Pasiennya keras kepala. Mareno selalu begitu."
"Apa ini legal?"
"Ilegal jika pasien mati. Jadi kita harus memastikan semua lancar." Dokter Reyn tersenyum ringan saja.
Lalu setelah mempersiapkan segalanya. Mereka mulai bekerja.
***
Matanya mengerjap perlahan. Sudah pagi, karena dia merasakan sedikit cahaya matahari yang masuk dari jendela. Kamarnya masih tidak berpintu, tangannya sudah selesai dioperasi dan di gips saja. Dia tidak terlalu ingat bagaimana detailnya. Yang dia tahu dia demam tinggi dan sakit pada tangannya makin hebat. Karena tendangan Arsyad padanya. Bagaimana tidak tambah parah, selama tiga hari dia hanya makan dan minum sesekali. Dia juga ingat bahwa kepalanya pusing sekali. Dia jatuh di kamar mandi dan berusaha menahan tubuhnya dengan satu tangan. Tidurnya terganggu karena mimpi-mimpi itu. Bagaimana wanita itu tersenyum, menciumnya lembut, menangis terluka, atau menatapnya berani. Dan harum itu...dia menghirup nafas dalam. Ada yang salah dengan kamarnya, kenapa dia bisa mencium wangi wanita itu di sini.
Kepalanya menoleh perlahan, dan menemukan si pemilik wangi sedang tertidur di sofa satu dudukannya yang nyaman sambil masih mengenakan setelan kerja. Wajahnya kekanakkan, polos, manis. Padahal jika mata itu terbuka maka hanya ada pancaran misteri di sana. Wangi tubuhnya makin menguar, karena perfume buatan lainnya sudah memudar. Lama dia diam saja, menatap wajahnya, memuaskan indra penciumannya untuk memenuhi rongga dadanya dengan wangi itu. Wangi khusus yang dibuat untuk menghukumnya.
'Cukup.' Dia berusaha bangkit berdiri. Sesuatu yang tidak bisa dia miliki, harus dia jauhi. Sudah cukup si penyihir itu mempengaruhi pikirannya, juga mengacaukan detak jantungnya. Dia harus pergi dari sini.
Tubuhnya masih limbung sekali, efek anastesinya masih tersisa. Dia juga merasa kurang bertenaga karena waktu makan yang dia lewati. Tanpa sengaja dia menyenggol gelas di sebelah nakas dan benda itu jatuh ke lantai.
"Kamu mau kemana?" Tania sudah bangkit dari tidurnya.
"Pergi."
"Mau pergi kemana dengan kondisi tubuh seperti itu?"
"Entah, kemanapun yang tidak ada kamu." Dia tidak mempedulikan kakinya yang terkena pecahan kaca. Sungguh jantungnya yang mau meledak ini mengalahkan semua rasa. Membuat amarahnya cepat sekali tersulut.
"Hati-hati kakimu. Ya Tuhan." Tania menggelengkan kepala melihat Reno berjalan perlahan sedikit tertatih dengan kaki yang berdarah karena terkena pecahan gelas tadi.
Dia membuka lemari dan mengambil salah satu kemeja asal kemudian ke luar dari ruangan. Tidak sudi berlama-lama dengan si penyihir ini.
"Paling nggak kamu bisa hargai semua usaha kami dengan tidak memperburuk kondisimu sendiri," protes Tania.
Lihat kan? Wanita ini malah mengikutinya ke luar saja. Apa maunya?
"Apa perdulimu?"
"Kamu pasien saya."
"Tidak sudi. Pergi saja atau saya yang pergi." Tangannya berpegangan kuat pada pinggiran meja makan karena kepalanya mulai berputar. Kemejanya yang dia genggam sudah jatuh di lantai. Abangnya benar-benar ingin membunuhnya kemarin itu. Karena seluruh tubuhnya terasa sakit luar biasa.
"Oke, baik. Arsyad bilang dia dan Mahen sedang berada di luar kota. Ada masalah. Hanif sudah kembali ke luar negeri, Sabiya hari ini tidak bisa datang karena acara dengan anaknya."
"Jadi kamu pikir saya takut sendiri?" Kenapa sekarang dia meragukan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Penyihir sialan.
Wanita itu mendengus keras sambil menggelengkan kepalanya. "Selamat pagi." Kemudian dia berjalan mengambil tasnya dan beranjak ke luar.
Dalam beberapa detik, kepalanya berputar hebat. Kakinya mulai mengirimkan sensor rasa pada otaknya dan sakit karena pecahan kaca itu mulai menjalari. Jadi dia sudah berlutut di lantai sambil masih berpegangan pada pinggir meja makan. Kupingnya mulai berdenging.
'Mahendra harus upgrade serum sialan itu.'
Lalu tangan itu memaksanya berdiri. Menggeser satu kursi dengan roda yang Tania ambil dari dalam kamarnya dan mendorong tubuhnya hingga duduk di kursi. Penyihir itu menggeram kesal.
"Diam disitu. Dasar brengsek."
Dia hanya bisa mendongakkan kepalanya yang sakit sekali. 'Shit. Kenapa Arsyad tidak sekalian membunuhnya saja.'
"Minum atau mau aku paksa?"
Dia bersumpah melihat dokter itu menyeringai senang. Atau itu hanya khayalannya. Ah sial!!
Obat itu sudah ada di genggaman, dia lalu menenggaknya dengan gelas berisi air yang sudah ada di atas meja. Kemudian dia memperhatikan Tania yang berjalan mengambil koper pertolongan pertama dan membukanya. Wanita itu mengangkat kakinya yang terluka dan meletakkan di pangkuan. Tidak memperdulikan celananya yang berwarna krem itu kotor.
Dengan telaten wanita itu mencabut pecahan kaca itu dengan pinset steril. Kemudian dia membersihkan lukanya dengan alkohol dan menutupnya dengan kasa. Wajahnya terlihat serius sekali ketika melakukan itu semua.
"Bagus, tanganmu hanya berfungsi satu. Kemudian juga kakimu. Nanti aku akan letakkan pisau di meja sebelum aku pergi. Siapa tahu kamu mau bunuh diri sekalian, silahkan."
Dia memilih untuk diam dan memperhatikan wanita itu meletakkan kakinya perlahan ke lantai lalu berdiri dan berjalan ke arah dapur. Wanita ini lebih gila darinya. Bagaimana tidak? Setelah dia hampir saja memaksa Tania, berbuat kasar dan memakinya, wanita ini tetap ada di sini. Berusaha menolongnya. Itu gila kan?
"Mau apa?" tanyanya singkat.
"Aku lapar dan kata Mahen robot pembuat makanan tidak boleh di install oleh Arsyad di sini."
Tubuh Tania bergerak-gerak di dapur saja, membuka laci-laci dan mencari peralatan masak. Juga mengambil bahan makanan di lemari pendingin. Kemudian wanita itu mulai memasak. 'Dasar gila.'
"Apa kamu tidak takut?"
Tania berhenti sesaat seperti berpikir sejenak. "Padamu? Tidak, tidak lagi." Kepalanya menggeleng saja kemudian dia kembali bergerak. "Karena banyak CCTV di rumah ini dan Arsyad akan langsung tahu dan membunuhmu jika kamu mengulangi hal yang sama. Entah kenapa saya percaya Arsyad bisa membunuhmu karena menyakiti wanita."
"Saya tidak takut Arsyad."
"Ya, kamu takut pada saya. Bukan Arsyad."
Rahangnya sudah mengeras saja. Dadanya mulai berdebar seru. Tapi dia malah terkekeh kecil. "Kamu berkhayal Dok."
"Saya tidak mau memancing apapun. Jadi saya nggak akan teruskan analisa psikologis saya padamu. Ingat, saya dokter. Kami pun diajarkan dasar-dasar ilmu psikologi."
Rasanya dia ingin menghantam sesuatu. Hal buruk adalah mengetahui dia punya kelemahan dan yang terburuk adalah mengetahui musuhnya tahu kelemahannya itu. Tapi dia tidak ingin memberikan wanita ini kepuasan. Jadi dia hanya terkekeh sambil menggeleng saja. "Wanita gila."
Penyihir itu diam saja tidak menyahut. Sesungguhnya kepalanya ingin berpaling, tubuhnya ingin bangkit berdiri dan pergi. Tapi lagi-lagi indra penciumannya mengikatnya duduk disitu. Diam memperhatikan Tania memasak sarapan saja. Kemudian pikirannya beralih pada harum masakan Tania. Dia lapar.
Setelah beberapa saat Tania datang dengan semangkuk oatmeal dengan potongan daging asap sebagai topingnya dan sepiring omelet keju, dua potong sosis dan kentang goreng.
"Selamat makan."
Sebelum wanita itu menyendokkan omelet keju dia sudah merebut piring itu cepat dan menukarnya dengan mangkuk oatmealnya.
"Selamat makan." Dia tersenyum menang dan berharap Tania akan berteriak kesal padanya karena dia sudah menyendokkan omelet itu ke mulutnya.
Alih-alih kesal, wanita itu malah tertawa. Dia tertawa dan ya Tuhan, tawanya itu...
"Kamu benar-benar laki-laki bajingan brengsek yang aneh. Kamu pikir oatmeal ini nggak enak?" Lalu Tania mulai makannya.
Dia berusaha mengalihkan pandangannya saja. "Lexy, nyalakan TV. Berita pagi."
Kemudian TV menyala. Setelah beberapa iklan, berita pagi ini ditayangkan.
Berita pagi ini, seorang mayat laki-laki dewasa ditemukan pekerja pelabuhan malam tadi. Setelah diidentifikasi, mayat tersebut bernama Edo Lakso usia 37 tahun dan bekerja pada PT Samarya Karya sebagai Manager Umum bidang Transportasi. PT Samarya Karya sendiri belum mengeluarkan keterangan atas kematian...
Makannya terhenti. Edo, ya Tuhan.
"Lexy, hubungi Arsyad sekarang."
"Menghubungi Tuan Arsyad."
Tubuhnya langsung berdiri seperti mendapatkan sedikit tenaga. Dia mengambil ponsel dari atas buffet dan masuk ke kamar kemudian duduk pada pinggiran kasurnya.
"Bang, ada apa? Gue dengar soal Edo."
Arsyad mendesah saja. "Adrian Straussman, bajingan." Maki Arsyad di sana. "Dia berhasil mengambil prototype chip itu. Gue belum tahu apa motifnya dan hubungan dengan pengeboman itu."
Transfer chip itu, dia lupa karena sibuk dengan masalahnya sendiri.
"Fokus gue teralih karena adik gue berusaha memperkosa perempuan di rumah gue sendiri. Lo paham kan kalau semua ada akibatnya? Edo mati dan sekarang Arya marah pada Straussman, juga pada kita. Ini bisa jadi perang keluarga. Paham?"
Kepalanya sedikit menunduk. Dia menyesal tapi mati-matian tidak mau mengakui hal itu berhari-hari.
"Gue bisa bicara dengan Arya."
"Diam!! Lo betulkan kesalahan lo dan gue betulkan kesalahan gue. Jangan ke luar dari rumah itu atau lo akan tahu akibatnya."
Hubungan disudahi. Dahinya mengernyit nyeri dan satu tangannya sudah mengusap wajahnya saja.
"Ren...ada apa?" Tania sudah berdiri di pintu kamarnya.
Dia mendongak menatap wajah wanita yang dia sakiti itu."Apa kamu bisa berhenti bersikap baik pada saya?"
Untuk kesekian kalinya Tania menghela nafasnya. "Sepertinya kamu sudah sehat. Selamat pagi."
Tubuhnya berdiri cepat dan menahan lengan Tania. Harga dirinya memang terluka mengetahui bahwa kelemahannya adalah wanita ini. Wanita yang tidak ingin bersamanya. Kemudian dia menggila, tapi dia laki-laki yang dididik baik oleh keluarganya. Yang salah adalah salah, dan sudah terjadi.
"Maafkan saya." Dia menelan salivanya saja. "Saya minta maaf."
Wajah wanita itu terkejut sejenak, kemudian kembali datar. "No, I don't forgive you."
Kemudian Tania berlalu, meninggalkannya dengan segala bentuk perasaan yang seperti diaduk saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro