Part 11 - Brother's fight
Udah siap? Tarik nafas yang panjang.
***
Tania tahu dia sudah terdesak. Tangisnya tambah hebat karena paham benar tidak ada seorang pun yang bisa menolong. Tidak ada ayah, tidak ada Sena. Lalu dia merapalkan semua doa yang dia tahu. Paham benar sebaik apapun ilmu bela dirinya, Mareno Daud bukan tandingannya.
Ketika tangan Mareno mencengkram lengannya, mendesak tubuhnya ke tembok yang dingin. Pintu kamar dihancurkan dari luar. Arsyad masuk dengan wajah yang benar-benar murka. Ada Mahendra di belakang.
Dengan dua pukulan Mareno sudah jatuh tersungkur. Arsyad sama sekali tidak memberi jeda. Yang salah adalah salah. Sekalipun itu adiknya. Jadi, dia mulai menghantam adiknya sendiri yang berkali-kali sudah berusaha dia selamatkan dan lindungi selama ini. Adiknya yang bajingan dan berusaha menyakiti seorang wanita. Itu sesuatu yang tidak bisa dia maafkan begitu saja.
Tubuh Tania ambruk ke lantai. Gemetar dan masih menangis, melihat Arsyad memukuli Mareno sampai hancur begitu. Laki-laki bajingan itu bahkan sudah memuntahkan sedikit darah. Tapi Arsyad tidak berhenti. Mahendra berusaha melerainya.
"Bang, stop Bang. Reno bisa mati."
"Biar dia mati di tangan gue. Bajingan!!"
Hanif dan Sabiya datang dari arah pintu. Hanif menarik Arsyad juga dari tubuh Mareno di lantai. Tubuh besar itu tidak bergeming. Sabiya sudah menutupi tubuh Tania dengan selimut, memeluknya lembut.
Arsyad tiba-tiba berhenti. Dia berdiri dan mengeluarkan senjata, lalu mengacungkannya ke arah Mareno saja.
"Bang, bang, Tunggu dulu Bang. Tenang dulu." Hanif dan Mahendra mati-matian berusaha menenangkan Arsyad.
Lalu dia menoleh ke arah Hanif dan Mahen masih mengacungkan senjatanya. "Apa yang akan kalian lakukan, kalau ada laki-laki yang berusaha memperkosa Sabiya?"
Hanif dan Mahen terdiam.
"Jawab apa?" Arsyad sudah berteriak murka.
Tangis Tania makin hebat. Entah kenapa dia merasa tidak tega dengan kondisi Mareno di lantai. Sebelumnya Mareno seperti frustasi dan marah, dengan cara yang salah. Dia juga merasa terancam. Tapi melihat kondisinya sekarang, Tania tidak sampai hati. Sabiya pun menangis dalam diamnya. Sambil memeluk Tania kuat.
Arsyad menatap adiknya yang sudah hancur di bawahnya. "Jangan pernah, menyakiti orang yang tidak bersalah. Apalagi wanita. Apa kamu lupa? Apa otakmu yang tidak berguna itu lupa hah? Kemana nuranimu pergi?" Suara Arsyad menggelegar di ruangan.
Dia sudah bersiap menarik pelatuk senjata.
"Jangan, jangan. Tolong jangan." Tania meratap, berteriak dari tempatnya.
Lalu tiga tembakan dilepaskan saja.
Tania memejamkan mata dan menutup telinga karena bisingnya bunyi itu. Tubuh Sabiya pun gemetar sambil memeluknya. Kemudian Arsyad menyarungkan senjatanya lagi. Kepalanya menoleh pada Tania.
"Saya minta maaf atas perilaku adik saya. Silahkan penjarakan dia. Saya akan berikan seluruh rekaman video percobaan pemaksaan ini pada kamu. Penjarakan dia dalam waktu lama. Kami tidak akan membelanya."
Dia menoleh pada dua adiknya. "Jika kalian berdua berani membantu dia berdiri dan membersihkan lukanya, silahkan angkat kaki. Kalian bukan Daud lagi." Kemudian Arsyad ke luar ruangan.
Hanif menoleh pada Sabiya dan Tania. "Kalian nggak apa-apa?"
Sabiya hanya mengangguk. Dia pernah melihat kejadian ini dulu dan dadanya terasa sakit sekali karena dia masih ingat benar peristiwa itu.
"Biya, are you oke?" Hanif seperti memastikan sesuatu lagi sambil menatap wanita itu dalam.
Sabiya mengangguk perlahan.
"Tolong Reno Bi..."
"Sabiya, jangan ikut campur." Suara Arsyad keras dari luar.
Sabiya yang lebih dulu bangkit dan membantu Tania berdiri. Hanif dan Mahen ke luar dari kamar menyusul Arsyad untuk menenangkan abang mereka itu. Kondisi kamar sudah sangat berantakan dengan patahan pintu dan darah di lantai. Mareno masih tergeletak di sana.
"Aku buatin teh ya Tan. Kamu di sini dulu."
"Kamu Sabiya, si perancang itu kan?"
Sabiya tersenyum. "Iya. Kamu di sini dulu. Atau mau duduk di luar?"
"Apa Mareno..." Tania tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Sabiya menggeleng. "Arsyad bukan kriminal, sekalipun dia murka tadi."
"Saya tunggu di sini Biya. Saya dokter, bagaimanapun juga sangat salah membiarkan Mareno begitu."
"Apa yang Mareno buat ke kamu itu tidak benar. Apapun alasannya."
"Saya setuju. Tapi, saya tidak bisa diam saja juga. Kamu yakin Mareno masih hidup setelah semua pukulan itu?" Dahi Tania mengernyit.
Sabiya mengangguk saja. "Saya pernah lihat korban yang lebih buruk dari ini Tan. Mareno terluka parah, pasti. Tapi dia hidup."
Tubuh Sabiya lalu berdiri ingin berjalan ke luar ruangan.
"Biya, tolong bawakan saya baskom air hangat, handuk, kotak P3K dan senter kecil."
"Kami punya yang lebih hebat dari itu Dok. Tapi ya, saya akan ambilkan perlengkapannya." Sabiya berlalu.
***
Tania masih mengerjapkan mata tidak percaya. Semua seperti mimpi. Mareno yang tiba-tiba datang kemudian memaksanya ke sini. Lalu kejadian tadi, Arsyad yang mengamuk, murka. Bahkan mungkin lebih besar daripada murkanya sendiri. Sebelumnya dia tidak pernah merasa terintimidasi dengan siapapun, termasuk Arsyad saat pertama mereka bertemu. Tapi melihat kebuasan laki-laki itu tadi, bulu tengkuknya berdiri. Arsyad bahkan tidak membela adiknya dan memberi ampunan begitu saja. Itu juga membuatnya makin menghormati laki-laki itu.
Desas-desus itu benar, bahwa Arsyad adalah sang penjaga untuk orang-orang yang tidak bersalah, untuk keluarganya. Tapi ketika berhadapan dengan musuhnya, dia bisa berubah keji. Tanpa belas kasih sama sekali.
Tubuhnya berdiri perlahan. Selimut sudah dia letakkan di kasur saja. Mareno terbatuk perlahan. Wajah laki-laki itu sudah tertutup darah. Dia berlutut saja di sebelah tubuh itu. Perpaduan antara kecewa, marah dan juga ketidak tegaan melihat kondisi laki-laki yang tadi memaksanya mengaduk perasaannya saja. Air matanya jatuh lagi.
"Ren..." Dia menutup mulutnya.
Nafas Reno terputus-putus. Dia memeriksa denyut nadi, juga pupil matanya. Sabiya sudah datang membawa apa-apa yang dia minta.
"Kita harus angkat tubuhnya ke kasur. Apa benar tidak ada yang mau membantu?" tanya Tania.
Sabiya hanya menggeleng. "Kita angkat bersama."
Susah payah kedua wanita itu mengangkat tubuh besar Reno ke atas kasur. Tania sudah sibuk membersihkan luka-luka tubuh Mareno yang mulai hilang kesadaran.
"Beberapa bagian di wajahnya sobek. Saya juga butuh alat rontgen agar bisa memeriksa kondisi tulang-tulangnya. Dia harus dibawa ke rumah sakit."
Sabiya menggeleng. "Semua yang kamu butuhkan ada dalam koper." Sabiya membukanya kemudian mulai menerangkan fungsi seluruh alat kedokteran canggih ciptaan Mahendra itu. Juga suntikan yang berisi serum untuk mempercepat penyembuhan luka. Serum itu dibuat menggunakan DNA dari si empat saudara.
"Oke, saya mengerti." Dia kagum atas kepiawaian Mahendra. Alat-alat ini luar biasa. Portable dan sangat berguna. "Saya butuh pakaian bersih Biya."
Mereka dengan cekatan bekerja bersama. Setelah dua jam, tubuh Mareno sudah bersih dan diperban rapih. Kemudian dia memandangi kamar tempat mereka berada yang kondisinya lebih mengenaskan lagi.
"Sekarang kamar ini harus dibersihkan dari kuman."
Sabiya tersenyum. "Tenang saja soal itu. Ayo Dok, kita keluar dulu. Saya akan buatkan lagi teh yang baru." Dia melirik teh yang sudah dingin di atas meja nakas.
"Mereka punya pelayan? Kenapa tadi aku tidak melihat siapapun."
"Mereka tidak perlu pelayan karena rumah ini membersihkan dirinya sendiri." Sabiya memijit panel pada dinding dekat pintu masuk. Alat itu berbunyi bip.
"Bersihkan kamar ini, Lexy."
"Perintah diterima."
Lalu Tania dibuat kembali kagum lagi dengan lantai-lantai dan dinding-dinding yang bergerak. Robot-robot kecil keluar dari sana, membersihkan segalanya.
"Dok, ayo."
Tania mengikuti Sabiya ke luar. Hanif sudah menghampiri mereka yang sedang duduk di kursi makan. Menikmati dua cangkir teh hangat.
"Tolong telpon Ayahmu. Sepertinya beliau mencarimu." Hanif memberikan ponsel itu. "Arsyad berpesan, kamu bisa katakan apa adanya saja. Tidak perlu ditutupi."
Dia menghirup nafas panjang. Lalu menghubungi ayah. Ya, ayahnya sedikit panik karena telpon dari Sena. Tapi bagusnya adalah Sena tidak menceritakan segalanya. Sena hanya bilang bahwa dia pergi bersama teman laki-laki lain dan belum kembali. Setelah menjelaskan pada ayah bahwa dia baik-baik saja dan sedang bersama temannya. Ayahnya bernafas lega.
Kemudian dia menelpon Sena. Laki-laki itu lebih panik lagi daripada ayah. Dia memberikan keterangan yang sama bahwa tadi hanyalah salah satu prank kejam saja dari kawannya. Sena tidak langsung percaya, tapi itu akan dia urus nanti. Setelah memastikan bahwa Sena juga baik-baik saja, dia menutup ponselnya dan memberikan pada Hanif.
Hanif diam sesaat menatapnya. "Kami benar-benar malu atas kejadian tadi dan sungguh-sungguh menyesal. Kami sangat menghargai apa-apa yang kamu lakukan saat ini. Terimakasih dari hati saya yang paling dalam."
Tania tersenyum. "Saya tidak apa-apa. Entah kenapa saya merasa tindakan Mareno tadi karena dia sedang frustasi atas sesuatu. Dia selalu bilang saya mengusiknya, entah kenapa. Padahal saya tidak pernah kenal dengannya sebelum beberapa waktu yang lalu. Ya, kami bertemu di kedai kopi tidak sengaja, tapi hanya itu saja. Jadi saya masih tidak paham kenapa dia terganggu dengan saya."
"Karena untuk pertama kalinya dia ditolak wanita. Mungkin karena itu." Sabiya menyahut sambil menghirup teh.
Kepala Tania menggeleng. "Saya pikir bukan hanya itu saja. Jika karena itu, dia tidak akan memburu saya dan memaksa saya. Dia menyalahkan saya atas sesuatu. Dia hilang kendali atas dirinya sendiri, jelas sekali. Tapi entah karena apa."
'Ada sesuatu pada diri kamu yang kamu tidak tahu dan menjadi titik lemahnya. Karena itu dia menyalahkanmu untuk itu,' ujar Hanif dalam hati.
"Wow, kamu masih bisa menganalisa tindakannya Dok. Sementara saya yakin kamu sendiri marah dan takut sekali tadi."
"Ya, siapa yang tidak takut dipaksa. Kalian datang tepat waktu, saya berterimakasih karena itu."
Hanif hanya mengangguk saja. "Saya akan mengantarmu pulang."
"Tan, apa kamu tidak mau bermalam saja di sini? Saya juga akan bermalam di sini, jika kamu setuju. Ini sudah larut dan saya pikir besok pagi kamu ingin memeriksa kondisi pasienmu lagi. Itu hanya jika kamu mau Tan. Saya paham jika kamu menolak."
Tania mengangguk setuju. "Sepertinya tempat ini aman sekali. Apalagi ada kalian. Oke, saya menginap malam ini."
Hanif mengangguk kemudian berlalu dari situ.
"Saya heran kenapa bisa kamu kenal mereka."
"Kami keluarga, maksudnya bukan keluarga sedarah. Tapi kami dekat sekali."
"Ini rumah mereka?" Tania mendongak menatap design rumah ini yang tidak biasa.
"Ya, safe house." Sabiya memberi jeda. "Kamu tahu? Belum pernah ada siapapun orang lain selain saya sendiri yang pernah tahu atau bahkan masuk ke rumah ini."
"Saya juga tidak meminta untuk diajak ke sini Bi. Saya bukan tipe orang yang suka usil atau mengganggu urusan orang lain. Asalkan orang itu tidak mengganggu saya."
Sabiya tersenyum kecil juga. "Maaf."
"Ada lagi yang aneh Biya, tadi itu kenapa Mareno sama sekali tidak membalas? Kemampuan bertarung Mareno itu sangat baik." Ya, dia melihat bagaimana Mareno berkelahi dengan Sena sebelumnya.
Sabiya tersenyum lagi, dia seperti sudah hafal benar perilaku si empat saudara. "Karena dia tahu dia bersalah. Jadi dia sama sekali tidak membalas."
"Benarkah? Tapi kenapa dia melakukan apa yang dia lakukan pada saya kalau dia tahu bahwa itu salah?"
"Kamu yang tadi menganalisa dia Dok. Bagaimana menurutmu?"
"Tapi kamu yang benar-benar paham mereka. Kamu juga seperti tahu bahwa Arsyad tidak akan membunuh adiknya ketika dia menodongkan senjata. Karena kalau kamu tidak mengerti benar dengan mereka, kamu pasti sudah memohon agar Arsyad tidak menembak. Iya kan?"
"Analisamu luar biasa."
"Jadi kenapa Reno tahu dia bersalah, tapi tetap melakukan hal itu pada saya? Apa alasannya menurutmu Biya?"
Sabiya diam sesaat. "Ini hanya dugaanku saja ya Dok. Jangan salahkan jika analisaku salah." Dia memberi jeda. "Mareno lepas kendali karena ada sesuatu yang dia tidak bisa kendalikan ketika dia melihat dan bertemu kamu. Kemudian dia marah dan menyalahkan kamu. Mareno memang temperamental sedari dulu. Tapi sepanjang yang saya tahu, mereka berempat tidak akan pernah menyakiti siapapun. Jadi mungkin saja, Mareno frustasi dan hilang kendali tadi. Terkadang ketika diliputi amarah kita memang bisa melakukan seusatu tanpa sadar. Ketika Arsyad memukulnya, dia langsung tahu apa yang dia lakukan itu salah. Karena itu dia membiarkan Arsyad memukulinya tanpa perlawanan, karena dia layak mendapatkan itu."
Tania diam sejenak berusaha mencerna. "Analisa yang masuk akal."
"Selain Abang, kemampuan bertarung Mareno adalah yang kedua terhebat Tan. Bahkan terkadang Bang Arsyad bisa dikalahkan olehnya."
Dia menghirup nafas perlahan, kepalanya mengangguk kecil.
"Ayo tidur Tan, sudah malam. Besok kita lanjutkan lagi."
Kemudian dia mengangguk lagi tanda setuju, lalu menghabiskan sisa teh dalam gelas.
"Tania, apa kamu sudah memaafkan Reno?"
"Belum." Kepalanya menggeleng kecil. "Tapi saya punya cara sendiri untuk memberi tahunya bahwa saya sangat marah dan kecewa padanya."
"Itu bisa dimaklumi."
Kemudian Sabiya mengantar Tania masuk ke dalam salah satu kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro