Part 10 - Bewitched
Apa itu cantik? Kecantikan itu akan datang dari dalam hati? Well no, tidak untuknya. Cantik itu ya apa yang terlihat pada matanya. Dia tidak akan berbohong soal itu. Tapi keindahan itu berbeda. Indah adalah keseluruhannya, indah adalah kesempurnaan. Perpaduan antara kecantikan wajah, keanggunanan postur tubuh, ketulusan senyum, kecerdasan pada sorot mata dan juga keseksian yang tidak dibuat-buat. Seksi karena bagaimana wanita itu bicara, atau seksi karena sorot matanya yang tegas dan penuh misteri.
Oke, Delia itu cantik dan pintar, Sharon, Laura dan Davina itu seksi atau ada banyak wanita lainnya yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih seksi dari pada dokter wanita itu. Tapi, sampai beberapa waktu lalu, belum ada wanita yang bisa dikategorikan sebagai wanita yang indah. Beautiful Lady. Begitu menurut Mareno sampai dia bertemu Antania.
Sebelumnya, dia juga tidak pernah percaya tentang teori bahwa wanita dan laki-laki itu berpasangan. Dia tertawa keras ketika Tanandra sahabatnya berulang kali bilang seperti itu. Karena Tanandra tergila-gila pada istrinya. Atau lihat Radita yang seperti orang bodoh mengejar wanitanya. Ya memang laki-laki dan wanita itu berpasangan, tapi tidak permanen. Kenapa harus menetapkan satu pasangan saja ketika kita bisa berganti-ganti kan? Kenapa harus satu jika bisa dua? Atau tiga? Atau lebih? Tapi semua teori kesendiriannya itu mulai dia pertanyakan sendiri.
Kenapa dan apa. Dua pertanyaan dari Antania padanya. Kenapa? Karena dia ingin bersenang-senang, karena tubuh wanita dan harum tubuh mereka membangkitkan seluruh sensornya. Itu pertanyaan gampang. Tapi apa, apa lagi setelah itu? Tania benar, setelah itu dia hanya akan berpindah-pindah saja. Bertualang tanpa henti, hingga dia bosan sekali. Sangat-sangat bosan. Setelah sekian lama dan sekian banyak wanita, dia jenuh. Akhirnya merasa tertantang ketika bertemu dengan Tania. Harum tubuh itu dan juga ciuman lembutnya.
'Penyihir sialaaan!!!'
Biasanya harum tubuh wanita hanya akan membangkitkan nafsunya saja. Tapi yang ini berbeda. Harum tubuh Tania berbeda. Seolah harum itu diciptakan khusus untuknya saja, seolah itu hukumannya. Kemudian wajah gadis polos dari masa lalunya terbayang. Gadis itu manis sekali, dengan wangi yang persis seperti Tania. Tapi ketika dia mendekatinya, wangi itu hilang, pudar. Dia berusaha mencarinya lagi, pada titik-titik tubuh gadis itu. Tapi wangi itu tidak ada. Kemudian dia frustasi dan kesal sendiri, lalu dia pergi.
Sekarang, seolah dia sedang dihukum oleh yang Maha Kuasa. Dia bertemu dengan pemilik harum yang sama. Yang ini lebih kuat, seolah harum itu sudah menjadi bagian dari tubuh wanita itu saja. Firasatnya ini adalah wanita yang sama seperti gadis entah siapa dari masa lalunya, si pemilik harum yang sempurna.
Sudah satu minggu berlalu setelah pertemuannya dengan Tania. Dia memutuskan untuk tidak menemui wanita itu lagi. Karena sungguh dia gelisah ketika tahu setelah Tania menciumnya dan turun dari mobil, jantungnya mulai berdetak tidak berirama. Si penyihir itu benar-benar menyihirnya dengan ilmu hitam yang paling kejam.
Karena matanya sulit terpejam ketika malam, karena dia mulai membayangkan ciuman itu, karena dia jadi tidak bersemangat sama sekali dengan wanita lainnya. Lihat sekarang, tubuh elok Laura sudah ada dihadapannya. Terhidang sempurna. Wanita itu bahkan sudah melucuti kemejanya. Biasanya, dia akan langsung meladeni ciuman panasnya dan tanpa ragu mereka akan melewati malam panjang bersama. Saling memuaskan.
Tapi apa sekarang? Wajah penyihir itu datang. Lengkap dengan senyumnya, ciumannya dan pertanyaannya.
'Apa yang kamu inginkan setelah itu? Apa? Apa?' Pertanyaan itu berulang dan berulang lagi dan berulang lagi. Membuat dia kehilangan seluruh nafsunya.
"Sayang, ada apa?" Laura masih bergelayut manja.
"I'm sorry. I have to go." Mareno melepaskan tubuhnya dari tubuh Laura. Segera mengenakan kemejanya yang tergeletak di lantai dan pergi. Meninggalkan Laura dengan wajah kebingungan.
Di dalam mobil.
"Rick."
"Yes Bos?"
"Tolong bantu saya cari tahu dimana Antania."
Erick adalah salah satu pegawainya yang kemampuannya bagus. Tidak sebaik Mahen, tapi memang sulit mengalahkan kemampuan adiknya yang jenius itu. Niko sudah tidak mau membantu, Arsyad memasang mata, Mahen asyik dengan chipnya, jadi Erick adalah seseorang yang dia minta untuk membantunya.
"Ibu Dokter sudah mengganti mobilnya Bos. Dia tidak bisa saya lacak lagi."
"Sial! Cari tahu Rick."
"Sebentar....oh saya masih punya jadwalnya. Hmmm...dia makan malam di restoran langganan keluarga malam ini dengan ayahnya." Lalu Erick memberikan alamat restoran itu sementara dia memacu mobilnya ke sana.
***
Di restoran
Sena menatapnya lembut sambil tersenyum. Dia hanya bisa diam dan fokus memilih menu. Ayahnya sebentar lagi datang, harusnya begitu kan? Atau ini hanya akal-akalan ayah saja untuk mendekatkannya pada Sena. Harusnya dia tahu, harusnya dia tidak terjebak begini.
"Wajah kamu nggak akan berkurang cantiknya sekalipun tertutup dengan buku menu Nin." Sena tersenyum meledeknya dari seberang meja.
"Aku hanya memilih menu." Buku itu masih dia angkat tinggi. Kenapa dia kekanakkan begini jika berhadapan dengan Sena.
"Hei, Nina." Tangan Sena menyentuh lembut satu tangan Tania yang ada di meja. Wanita itu menarik tangannya perlahan dan sopan. "I'm sorry. Aku nggak bermaksud apapun."
"Sen..." Tania sudah meletakkan buku menunya. "Apa ini hanya akal-akalanmu dan Papa?"
Sena menghirup nafasnya. "Karena kamu mulai menjauh lagi Nin. Kamu tidak mau mengangkat telponku, aku mencarimu ke apartemen dan kamu juga keras kepala sekali tidak ingin menemuiku. Apa aku berbuat salah Nin? Tolong bilang apa salahku?"
Tania diam sejenak. "Aku tidak memiliki perasaan apapun lagi padamu Sena. Semua yang dulu sudah berlalu."
Sena menggelengkan kepalanya. "Apa kamu bisa berhenti berbohong? Kamu selalu membasahi bibirmu jika sedang gugup sedari dulu. Aku masih hafal benar dengan itu."
"Sena, dewasalah sedikit. Kamu bisa mencari wanita lain Sen." Tania mulai merutuki situasinya yang seolah selalu bertemu dengan laki-laki yang keras kepala. Mareno sudah bisa dia singkirkan, sekarang Sena. Ya Tuhan, ada apa dengan para laki-laki ini?
"Ya, aku bisa. Tapi aku tidak mau. Kamu cinta pertamaku Nin. Selalu begitu."
"Itu dulu Sen. Saat kita masih terlalu muda untuk paham apa itu cinta. Aku tidak mencintaimu sekarang."
"Oke, kalau begitu aku akan membuatmu jatuh cinta lagi. Aku akan memulai lagi semua dari awal."
"Sena ya Tuhan. Aku..."
"Apa yang kamu takutkan Nin? Apa yang kamu rahasiakan dariku?"
Tania diam saja, sambil menatap mata Sena yang sedikit abu-abu. "Aku punya urusan yang belum selesai Sen. Aku harus selesaikan dahulu."
"Apa setelah urusan itu selesai kita bisa bersama lagi?"
Dia menghela nafasnya perlahan. "Aku tidak tahu, jawabannya aku tidak tahu."
Tubuh Sena berdiri dan dia menggeser kursinya agar mendekat dengan Tania. Dua tangannya sudah menggenggam tangan wanita itu. Tubuh mereka berhadapan sambil masih duduk di kursi makan masing-masing.
"Aku akan menunggumu Nina. Selesaikan apapun urusanmu, aku ada di sini, siap membantu jika kamu membutuhkan aku. Setelah itu, beri aku kesempatan lagi Nin. Okey?" Matanya menatap Tania dalam.
Tania diam saja, membeku.
"Aku tidak ingin memaksamu Nin, tapi aku tahu kamu masih merasakan sesuatu." Sena memberi jeda. "Salah satunya kamu pasti lapar sekarang, iya kan?" Sena tersenyum saja.
Tubuhnya lalu kembali ke tempat duduknya. "Kamu mau aku pesankan?"
"Sebaiknya begitu. Karena setelah adegan tadi aku benar-benar bingung jadinya."
Sena tertawa kali ini, sedikitnya senang karena Tania sudah bisa sedikit lebih rileks dengannya.
Makan malam mereka berjalan lancar. Ayahnya memang tidak datang dengan berbagai macam alasan dan Sena membuatnya nyaman karena hanya memulai obrolan ringan dan santai. Mereka bernostalgia sejenak dengan cerita kabar teman-teman mereka. Tania juga menceritakan kesibukannya di rumah sakit. Saat-saat seperti ini, dia seperti kembali seperti dulu. Saat dia belum memiliki dendam itu. Saat jiwanya masih bersih dari kelamnya amarah yang menggerogoti. Hatinya menghangat, dengan jenis kehangatan yang dia suka.
Kemudian mereka mengakhiri malam saja. Mereka sedang berjalan di tempat parkir mobil ketika mobil sport merah itu berhenti dekat dengan mereka. Laki-laki bertubuh tinggi ke luar saja dengan wajah murka. Dia langsung berjalan mendekati Tania.
"Kamu tanya apa setelah itu, kan? Iya kan?" Reno berteriak marah. Mengabaikan seluruh sensor di tubuhnya yang sudah menyala karena harum tubuh Tania bisa dengan jelas dia baui dari jarak sedekat ini. Atau bagaimana wanita ini cantik sekali dengan gaun malamnya.
"Reno...?"
"Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin tidur denganmu. Sekarang."
Sena menarik Mareno menjauh dan menghajarnya saja. Awalnya Reno terkejut, tapi kemudian dia berdiri dan membalas Sena dengan pukulan juga. Lalu terjadilah perkelahian sengit itu.
"Sena! Reno! Kalian sudah gila apa?"
Sena petarung yang baik, tapi Mareno Daud adalah seorang laki-laki yang sudah dididik untuk berkelahi sejak kecil. Jadi Sena bukanlah tandingannya. Dia menghantam Sena tiga kali sebelum tubuh Sena ambruk saja.
Tania yang marah juga mulai menyerang. Tapi gaun malam itu sungguh menyulitkannya. Dengan mudah Reno mengangkat tubuh Tania dan memasukkannya ke dalam mobil. Lalu dia melaju saja.
***
Di dalam mobil
Tas tangan berisi dompet dan ponselnya terjatuh di tempat parkir tadi. Dia menatap marah pada laki-laki di sebelahnya ini. Kemudian tangannya sudah memijit smart watchnya. Mareno yang tahu segera mendekat dan menarik kasar smart watch itu dan membantingnya di depan dashboard mobil. Hingga jam tangan itu pecah.
"Kamu sudah gila apa?" Tania memukul-mukul bahu Mareno dari samping sambil berteriak.
"Kamu yang gila. Kamu penyihir gila yang buat otak saya jadi gila. Paham?" Reno berusaha melindungi tubuhnya sambil masih mengendalikan mobil.
"Dasar bajingan brengsek, apa mau kamu?" Tania berusaha membuka pintu mobil dan sia-sia.
"Saya sudah bilang saya mau tidur denganmu. Apa kamu pikir saya bercanda?"
Tubuh Tania berbalik sempurna. Dia meninju wajah Mareno yang tidak siap. Bibir laki-laki itu berdarah.
"Shit, kamu terus mengejutkan saya Dok. Apa kamu tahu ada berapa wanita yang bisa melukai saya? Tidak ada. Apa kamu tahu ada berapa wanita yang menolak saya? Mencium saya kemudian say goodbye pada saya?"
Tania masih tersengal marah.
"Tidak ada!!" Mareno berteriak marah. "Kamu penyihir yang menjadikan otak saya gila. Laura bahkan sudah telanjang dihadapan saya dan saya meninggalkan dia dan tidak menyentuhnya!!! Kamu menghina saya, memaki saya, menolak saya dan membuat saya gila." Mareno juga tersengal marah.
"Dasar bajingan! Sakiti saya kemudian silahkan ucapkan selamat tinggal pada perusahaanmu. Aku akan pastikan ID Tech tidak akan berlangsung lama."
"Itu kita pikirkan nanti. Siapkan dirimu untuk malam ini."
Air mata Tania meluncur saja, kali ini dia benar-benar takut. Seluruh sensor tanda bahayanya berbunyi. Tidak ada yang bisa menolongnya lagi. Tubuhnya bahkan dingin. Dia hanya bisa diam menahan tangis dan makiannya. Tidak ingin membuat laki-laki gila ini lebih murka.
***
Mobil itu parkir di pintu depan sebuah rumah mewah. Lokasinya terpencil sekali. Bulu tengkuknya berdiri, Mareno tidak main-main. Jika dia bisa lolos dari dalam rumah, maka kecil kemungkinan dia bisa menemukan kendaraan lain semalam ini yang melintas. Jadi bagaimana ini?
Pintu mobil itu sudah dibuka dari luar. Tubuhnya beringsut ke dalam mobil. Dia benar-benar takut. 'Mareno sialan.'
"Ke luar atau saya paksa?"
Dia berusaha menyembunyikan tangisnya. Dia berhasil diam, tapi air mata itu sudah meluncur saja. Apa yang laki-laki ini akan lakukan padanya? Apa salahnya juga? Dia tidak memulai apapun. Dia bahkan menolak Mareno baik-baik sambil menjelaskan. Dia mencium Mareno bukan karena ingin menggodanya atau apapun itu, hanya mau menunjukkan bahwa hasrat sesaat tidak akan ada ujungnya, agar laki-laki ini mengerti. Tapi kenapa laki-laki ini malah jadi menggila begini.
Tania tidak tahu, bahwa justru semua penjelasan Tania yang gamblang dan tepat pada intinya itu yang membuat Mareno menggila. Merusak semua teori dan filosofi kesendiriannya. Laki-laki itu bahkan menjadi iri melihat betapa Radit dan Reyhani bahagia. Atau bagaimana Tanandra merangkul mesra istrinya, Asha. Tiba-tiba saja setelah semua kata-kata Tania dia merasa kesepian dan kebosanan yang hebat. Padahal selama ini dia tidak pernah merasakan itu. Jadi penyihir ini harus diberi pelajaran.
Wanita itu berusaha berdiri tegak setelah ke luar dari dalam mobil. Mareno yang tidak sabar menarik lengannya saja, dia gelap mata. Seolah semua akal sehatnya sudah menguap pergi.
Di dalam rumah Tania berusaha menarik dirinya sendiri, melepaskan diri dari cengkraman Reno. Dia bahkan berhasil mengambil bingkai foto di buffet dan melemparkannya ke Mareno. Bingkai itu pecah di lantai. Reno yang makin marah sudah mengangkat tubuhnya. Dia berusaha menghindar dan menendang laki-laki itu keras. Mareno mundur sedikit ke belakang, lalu menggelengkan kepala.
Kaki Tania yang cepat berhasil membawa wanita itu ke pintu depan rumah. Tapi kemudian dengan mudah tubuh itu dia tangkap lagi.
"Kamu melukai seluruh ego saya. Mengusik saya."
"Saya? Mengusik kamu? Apa kamu sudah gila hah? Dimana otakmu itu? Saya tidak pernah mengusikmu, brengsek!!"
Tania ada benarnya, dia sendiri yang memulai semua kan. Wanita ini hanya bereaksi atas aksinya. Tapi harum tubuh yang sedang meronta ini sungguh membangkitkan seluruh hasrat laki-lakinya. Harum itu juga yang mematikan hasratnya untuk wanita lain. Dasar penyihir.
Tubuh Tania sudah dia angkat dan dia bawa masuk ke dalam kamar.
"Jika kamu melakukan apa yang akan kamu lakukan. Setelah semua itu, saya akan menghancurkanmu dengan tangan saya sendiri."
"Kamu yang bertanya pada saya dengan pertanyaan-pertanyaan absurd-mu itu. Membuat saya mempertanyakan segalanya. Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kamu dan ini cara untuk mendapatkan jawaban itu."
"Bukan begini caranya!!" Tania berdiri di sisi ruangan yang paling jauh dari jangkauan Reno.
"Diam, jangan bicara lagi karena seluruh kalimatmu membuat saya gila. Kenapa bisa saya mendengarkanmu begini." Mareno melangkah mendekati buruannya.
Ya, terkadang dalam berburu. Kita harus menjatuhkan buruan kita dengan cepat, serangan mendadak. Daripada menunggu dan bersabar.
***
Nah lho!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro