Part 1 - Fire
Dia berlari menembus pepohonan. Terus berlari, paham benar peluru itu sakit rasanya. Senjatanya rusak, tidak bisa digunakan. Kemudian dia buang begitu saja karena itu malah akan memberatkannya. Dia harus tiba di pos terdekat segera. Di sana pasti ada salah satu saudaranya yang bisa membantu. Karena itu, sekalipun terkadang dia terjatuh, dia tetap berlari saja.
Indera penciumannya sudah bisa membaui musuh-musuhnya. Jantungnya memacu cepat, matanya selalu bergerak waspada. Paham benar mereka mengejar di belakang. Seberapa dekat? Perkiraannya sudah semakin dekat. Sialan, Tommy memang cepat. Lalu benar saja, tembakan-tembakan itu dilepas dan mengarah padanya.
Ini sudah dekat, sudah dekat. Harusnya bisa. Kemudian suara kekehan komplotan Tomy sudah menggema. Mereka sudah menyebar, kemungkinan besar juga sudah mengepungnya. Jadi, apa mereka ada di depan sana? Apa dia masih bisa lolos? Kemudian dugaannya tidak meleset, dia benci mengetahui itu. Langkahnya terpaksa berhenti. Karena sudah ada wajah Tommy yang menyeringai.
Nafasnya tersengal, dia sudah berdiri tegak sambil mengatur nafas itu lagi.
"Ck ck ck. God I hate to win." Ujar Tommy sambil menyeringai saja. Ada empat orang lainnya yang mengepung posisinya sendiri.
Tommy mengacungkan senjatanya. "Mana?"
Matanya menatap berkeliling, dia menghitung kesempatannya. Dia bisa merubuhkan dua, tapi setelah itu bisa dipastikan Tommy sudah menembaknya. 'Sial.' Memberikan Tommy apa yang dia mau bukanlah pilihan. Dia akan tetap dilumpuhkan. Tapi, apa bisa dia membeli waktu?
"Jangan berpikir untuk main-main. You don't have your brother here to help, poor you. Manusia nggak berguna, bad seed nya Daud. Gue heran, kenapa bisa Arsyad biarkan lo yang pegang barang sepenting itu." Tommy masih mengacungkan senjatanya, sambil tersenyum saja.
Lalu dia tertawa kecil sambil berkacak pinggang. "Kenapa lo benci banget sama gue sih Tom? Gara-gara Sharon?"
Mata Tommy langsung bersinar marah. Satu tembakan di arahkan pada kakinya.
'Duar!!'
"Shit!" Dia meringis saja sambil masih mengeluarkan senyumnya yang paling menyebalkan. "Sharon is a really good kisser."
Tommy membuang senjatanya ke tanah lalu menghampirinya cepat.
"Tom," anggotanya memperingati.
"Tembak kepalanya setelah gue selesai." Tommy mulai menghantam.
'Satu.' Telak mengenai perutnya saja.
'Dua.' Kemudian sisi kiri tubuhnya.
'Ti...'
"Jangan di muka please, sayang muka gue."
'Tiga.' Tepat di wajah kesayangannya.
Dia terbatuk keras lalu jatuh berusaha menahan tubuhnya untuk berdiri lagi. Sekalipun tahu akan kalah, paling tidak dia akan kalah dengan gaya. Mereka sudah berdiri berhadapan dekat sekali.
"Lo cinta banget sama Sharon ya?" tanyanya sambil meludahkan sedikit darah.
"Tembak kepalanya." Ujar Tommy tanpa mengalihkan tatapan matanya.
"Tapi kita belum dapat..."
"Tembak sekarang!" Teriak Tomy saja.
Matanya sudah terpejam namun bibirnya masih tersenyum saja. Dia sudah bilang ingin kalah dengan gaya kan? Lalu suara tembakan itu menggema, berkali-kali.
Oke, dia tahu terkadang rasa sakit bisa datang sedikit terlambat. Tapi apa iya sampai selama ini? Matanya sudah terbuka lagi dan menemukan Tomy dan kelompoknya sedang membungkuk menahan sakit saja.
Arsyad datang dari arah belakang mereka, juga Hanif. Kemudian Mahendra turun dengan tali dari atas pohon di dekat mereka. Semua menggunakan seragam loreng tentara.
Tommy yang luar biasa kesal langsung menyerang Arsyad saja. Semua orang menodongkan senjata kecuali dirinya. Dia hanya mengangkat tangan sambil tertawa.
"Hey hey, ini cuma permainan. Kenapa serius banget sih?" Dia menatap Tommy saja yang tubuhnya sudah penuh dengan tanda cat dari hasil tembakan paint ball. "Tahu nggak, gue benci kalau saudara-saudara gue jadiin gue umpan. Tapi, gue lebih benci lagi kalah."
Senjata Tommy sudah dikokang dan siap ditembakkan. Lalu Arsyad maju dengan wajah yang menakutkan.
"We win. Rules is rules."
"Tom." Salah satu anggota kelompoknya memperingatkan.
"I'll kill you on tomorrow's game, or maybe faster." Tommy menurunkan senjatanya lalu berjalan menjauh.
Dia tertawa. "I'll kiss her after we arrive in town."
Kemudian, Tommy berbalik saja dan menyerangnya hingga mereka bergulat seru.
***
Malamnya di pondok.
"Bego banget sih lo Ren bisa ketangkep? Kita nungguin lo kelamaan, dasar sinting." ujar Hanif kesal. Mereka sedang berada di dalam pondok kayu tempat perkemahan musim panas dengan konsep militer. Saat liburan sekolah memang selalu mereka habiskan di sini.
"Gue ketiduran sebentar, suer. Sarapan kebanyakan."
"Dasar gila." Hanif tertawa saja. "Mama Ayah udah dateng tuh di luar. Pertemuan komite perkemahan kayaknya." Dia menyibak tirai tipis jendela itu. Hari sudah mulai gelap.
"Kenapa? Lo kangen sama Mama? Banci dasar."
"Sialan. Lo yang bikin kita hampir kalah Ren, bukan gue."
Arsyad masuk ke dalam pondok setelah mandi di kamar mandi bersama di luar pondok. Mahendra masih asyik dengan bukunya dan duduk di tempat tidur saja. Diam dan tidak bergeming. Membosankan.
"Mama-Ayah mana Bang?" tanya Hanif.
"Di pendopo sama Ronald." Ronald adalah nama pelatih mereka. Pelatih apa? Pelatih segalanya. Menembak, berkuda, memanah, judo, karate dan kick boxing. Juga bagaimana bertahan hidup di belantara hutan. Mereka belum diajarkan anggar dan deep diving, mungkin nanti.
"Lo tuh nggak bisa ketinggalan buntut Mama banget sih. Najis." Ujar Reno lagi.
"Lo nggak bisa serius sedikit?" Arsyad menatapnya kesal. "Lo mau pacaran sama siapa aja, itu urusan lo, tapi jangan mancing-mancing kayak tadi."
Reno tertawa saja. "Serius banget sih Bang. Tadi kan gue cuma bercanda. Tommy aja yang sewot."
"Ya tapi emang Sharon seksi banget sih." Mahendra menoleh sejenak dari buku yang dia baca. "Wajar kalau si Tommy emosi."
"Wah parah, gue pikir lo homo Hen selama ini." Mareno terkejut juga dengan respon adiknya itu.
Lalu Hanif tertawa saja. Arsyad hanya diam memperhatikan adik-adiknya bercanda. Beberapa saat mereka dipanggil untuk makan malam bersama di pendopo besar.
Suasana makan seperti biasa. Ramai, riuh. Apalagi semua anggota perkemahan eksklusif itu laki-laki. Tapi suasana ini sangat membosankan menurut Reno. Ya apa bagusnya menatap sesama lelaki kan. Mau main pedang-pedangan?
"Gue heran kenapa sampai sekarang nggak ada cewek yang ikut?" ujarnya ketika duduk di sebelah Hanif.
"Ya karena emang perkemahannya khusus cowok, dasar bego. Gitu aja nggak tahu. Pakai logika dong. Jangan selangkangan mulu yang dipikirin."
"Ck hah. Harusnya ada perubahan dong, biar nggak bosan."
"Serius lo bisa bosan di sini? Gue nggak ngerti ya Ren. Gue aja rasanya nggak bisa nafas di sini. Bangun pagi buta udah suruh turun naik gunung, abis itu langsung kegiatan sampai sore. Tapi lo bisa ketiduran coba, pas lagi jalanin misi lagi. Lo gila ya. Jangan sampe Arsyad tahu, ngamuk dia lho."
"Cemen lo, sama Arsyad aja takut."
"Heh, gue nggak takut, tapi menghormati."
"Bullshit. Takut ya takut."
"Ati-ati, nanti kualat sama abang sendiri. Baru tahu rasa."
"Lagian kalian semua itu menganggap perkemahan ini terlalu serius. Ini Cuma permainan Nif. It is only a game to play. Perang-perangan, naik kuda, berenang, anggap aja lagi liburan. Apalagi Arsyad yang menjiwai banget. Seolah-olah dia jadi jendral perang kalau di sini. Padahal baru tahun depan kan dia masuk sekolah militer. Tapi mukanya bawaannya udah mau perang aja."
"Beneran gue sumpahin kualat lho sama Arsyad. Dia kakak kita Ren, jangan begitu."
"Dari kecil lo selalu dilindungi dia Nif, tapi apa dia perduli sama gue? Liat aja hari ini gue dijadiin umpan."
"Jadi lo sakit hati gara-gara itu?"
"Nggak sih..." Mareno tersenyum konyol. "Seru juga ternyata."
"Ya udah, kenapa lo protes?"
"Nggak tahu, pingin aja." Reno diam sejenak. "Si El Rafi katanya mau ikutan, kok belum dateng juga bentar lagi udah mau selesai."
Hanif tertawa. "Kabur, naik gunung sama Brayuda. Mana mau dia diatur-atur begini sama Papanya."
"Iya juga, kenapa kita mau ya?" tanya Reno.
"Serius lo mau bantah Ayah? Sana kalau berani."
"Gue berani, nggak kayak lo. Cuma nggak mau aja. Nggak seru liburan kalau nggak kesini. Apa ya, udah kebiasaan aja."
Percakapan mereka terhenti karena Mahendra dan Arsyad sudah duduk dihadapan mereka dengan baki makan di tangan mereka masing-masing. Selanjutnya mereka makan dalam diam. Mareno karena sudah mulai asyik memikirkan tentang rencana sisa liburannya. Hanif karena dia selalu merasa kurang nyaman berbicara ketika ada Arsyad di dekatnya dan Mahendra yang memang pendiam. Sementara Arsyad memandang ke sekeliling ruangan, memperhatikan dengan cermat orang-orang di sekeliling mereka.
Malamnya mereka sudah berada di pondok. Arsyad memberi tahu mereka tentang Mama dan Ayah yang akan menginap di kompleks perkemahan karena selesai berbincang terlalu malam dengan anggota komite perkemahan lainnya. Hanif pastinya sudah memilih untuk mengunjungi mama kesayangannya itu, sementara Mahendra berkutat dengan buku dan dia sendiri menunggu dengan bosan di dalam pondok. Bagusnya Arsyad dan Hanif pergi tidak terlalu lama.
Mereka tidur dengan lampu padam, jendela setengah terbuka dan pintu yang tidak pernah terkunci. Buat apa juga dikunci, mereka berada di tengah hutan belantara dan tidak diperbolehkan membawa barang berharga apapun, sama sekali.
Tengah malam.
Hidungnya mencium bau aneh. Kemudian tubuhnya disentak oleh tangan yang kuat. Arsyad.
"Bangun! Kebakaran."
Matanya mengerjap perlahan namun tubuhnya bangkit juga. Biasanya indera penciumannya itu tajam sekali, tapi tidurnya seperti dibius malam ini. Mereka sudah dikepung asap. Api dari bawah lantai pondok sudah menjilat-jilat tanpa ampun. Hanif sedang berusaha mendobrak pintu yang dikunci bersama Arsyad, sementara Mahendra sedang mengangkat kursi untuk memecahkan kaca jendela berusaha mencari jalan keluar lain. Dia sudah berdiri saja membantu Hanif.
Tapi sayangnya api bukan hanya berasal dari bawah, tapi juga dari atas. Ya, atap pondokan mereka memang dilapisi oleh jerami yang ditumpuk. Ide buruk kan? Jadi kayu-kayu di sekeliling mereka sudah berderak-derak dilahap api. Sementara orang-orang mulai berdatangan di luar sana. Suara ayahnya sudah terdengar.
"Minggir dari pintu. Minggir."
Pintu itu dihantam oleh sesuatu dari luar agar terbuka. Dan setiap hantaman itu datang atap di atas pondok mulai berjatuhan. Belum lagi lantai tempat mereka berpijak sudah mulai runtuh.
'Pondok tua sialan.'
Mereka mulai batuk-batuk hebat. Asap memenuhi rongga dada mereka. Rasanya panas, membakar. Seperti menghisap cerutu ayah yang pernah dia coba dulu. Kemudian setelah beberapa hantaman lagi, pintu itu terbuka. Sosok ayah dan Ronald serta satu pembina lain sudah di sana.
"Cepat keluar, sebentar lagi runtuh."
Mahendra keluar diiringi dengan Hanif. Saat dia akan melangkah keluar juga, atap pondok di dekat pintu roboh saja. Pintu terhalang sementara dia dan Arsyad masih di dalam. Mengejutkannya, mama mereka sudah berteriak dari arah jendela.
"Lewat sini. Cepat, lewat sini."
Mamanya yang dia baru tahu bisa nekat seperti itu sudah menghantamkan kapak besar ditangannya untuk menghancurkan kayu jendela. Entah kenapa pintu dan jendela itu bisa terkunci.
"Trisa, minggir!! Berbahaya." Ayah berteriak pada mamanya dan langsung berlari mendekatinya. Ayah menarik mama untuk menjauh dari pondok itu sementara pembina lain berusaha meneruskan apa yang mamanya berusaha lakukan tadi. Tapi sayangnya jendela itu juga sudah tertutup api.
Oksigen disekitar mereka menipis, benar-benar menipis. Mereka berdua batuk hebat lagi. Arsyad bertindak cepat dengan menyiramkan galon air yang ada di dalam pondok pada salah satu selimut tidur mereka.
"Pakai." Arsyad sudah menutupi tubuh Reno dengan selimut basah itu. "Tubuh kita nggak akan muat lewat jendela, juga karena api. Kita harus keluar lewat pintu."
Matanya yang dipenuhi air mata karena asap yang mengepul menatap nanar pada jalan keluar mereka satu-satunya itu. Menerabas api, apa itu permainan kali ini? Apakah dia berani?
"Keluar, keluar Ren. Gue nyusul di belakang."
"Nggak mau, lo harus ikut gue keluar." Dia berusaha berbicara disela batuknya.
"Hanya ada satu selimut Ren. Jadi lo yang keluar. Gue cari jalan lain." Tangan Arsyad sudah menarik lengannya kuat, memaksa.
"Jalan mana? Gue nggak mau keluar kalau lo nggak keluar."
Arsyad juga bersusah payah bicara padanya. "Lo paling tahu, selain gue, yang bisa jaga kita semua itu elo. Bukan Hanif, bukan Mahen. Jadi salah satu dari kita harus hidup Ren."
"Brengsek lo Bang. Jangan ngomong aneh-aneh bego." Dia sudah tidak perduli akan air matanya yang menetes saja. Dia takut dan panik sekali. Juga dia tidak mau meninggalkan Arsyad di sini.
"Keluar, atau gue tendang lo biar keluar. Pilih mana?"
Api itu tidak kenal ampun, mereka kehabisan waktu. Air-air yang disiramkan dari luar tidak membuat api padam begitu saja. Matanya melihat ke sekeliling takut, kali ini, dia benar-benar takut. Menyadari ini bukan permainan, menyadari bahwa Arsyad rela menukar hidupnya untuk dirinya sendiri. Apa yang harus dia lakukan?
Sebelum otaknya itu bisa berpikir, suara ayahnya sudah berteriak saja dari luar.
"Keluar dari sana, Ayah siap di sini. Lari dan lompati apinya."
Lalu suara mamanya yang menjerit. "Awaas."
Tubuhnya dilempar keluar entah oleh siapa. Dia mendarat di atas rumput luar pondok ketika atap pondok itu runtuh, dengan Arsyad di dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro