Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• tujuh belas •

"Aku tidak akan memberikan satu tetes pun darahku lagi padamu," kata Damai yang memandangku tajam.

Perkataan Damai membuatku menengok ke arah Adit yang mengangkat tangannya tanda tidak tahu apa-apa. Ia berjalan ke sisi sofa dan meletakkan kartu permainan itu di meja.

"Aku tidak mengatakan apa pun padanya," kata Adit. "Begitu aku memanggilmu dan masuk ke sini, Damai langsung mengatakan hal itu."

Aku mengangkat bahuku dan memandang Damai. "Maksudmu?"

"Aku mendengar pembicaraan kalian. Kalian akan melaanjutkan kegilaan ini dan mencoba mematahkan kutukan yang ada dengan cara membakar kartu sialan itu," jawab Damai sambil menunjuk ke arah kartu yang tertumpuk di meja.

"Kita akan mencobanya bersama, Damai. Masih ada harapan. Jika kutukan itu bisa dibatalkan, maka kita semua akan selamat," kataku mencoba membujuknya.

"Semua sudah terlambat, kita tidak akan selamat. Dan kutukan itu tidak ada," desis Damai.

"Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kita tidak akan selamat jika kamu tidak mempercayai kutukan itu?" tanyaku sambil memandang Damai dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu pasti sebenarnya mempercayai itu, tapi terlalu sulit mengatakannya. Ayolah, kita akan membatalkan kutukannya dan aku membutuhkanmu."

Damai memandang Herra dengan tajam selama beberapa menit, lalu pandangan itu beralih padaku dan Adit secara bergantian. "Apa kalian bisa menjaminnya? Apa kalian mampu menjamin kita tidak akan kenapa-napa setelah ini?"

"Kita akan berusaha, Damai," jawab Adit sambil meremas tangannya. "Aku tahu kamu sangat kalut sekarang, tapi aku tahu kamu cukup cerdas untuk sadar bahwa semua ini sangat mungkin terjadi dan sekarang adalah giliranmu untuk mati."

Damai melempar bantal sofa ke arah Adit dengan membabi buta. "Aku tidak akan mati! Aku tidak mau mati!"

"Karena itu percayalah, bantu kami menyelesaikan semuanya. Bukan tidak mungkin kutukan itu akan terbatalkan," bujukku sekali lagi. Pandanganku beralih pada Herra. "Kamu akan membantuku, bukan?"

Herra memandangku sesaat, lalu mengangguk dengan ragu. "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tapi jika kamu hanya membutuhkan satu tetes darah untuk sebuah harapan hidup, aku akan memberikannya."

"Herra! Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kamu mempercayai si pembunuh ini?" teriak Damai. "Dia sudah membunuh Rista!"

"Semua belum terbukti, Dam. Kamu tahu itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Tika membunuh semua orang seperti dugaanmu. Dan sampai memiliki bukti yang kuat juga nyata, kita tidak bisa menuduh seseorang sebagai pembunuh," jawab Herra.

"T—tapi Her—"

"Dan haruskah kuingatkan padamu bahwa kita tidak memiliki pilihan lain selain mencoba semua ini?" lanjut Herra memotong kalimat Damai.

Adit menghampiri Damai dan berkata, "Lebih baik kita mencobanya. Dan benar kata Herra, kita sebenarnya tidak memiliki pilihan lain, Dam."

Damai jatuh terduduk sambil meremas rambutnya sendiri. "Tapi Tika kemarin menuduhku sebagai pembunuh hanya karena aku berperan sebagai serigala!"

"Dan kamu menuduhku sebagai pembunuh hanya karena aku moderator dalam permainan itu," jawabku cepat. "Bukankah itu impas? Sekarang saatnya kita buktikan bahwa bukan kita yang melakukan pembunuhan itu."

Adit berjongkok hingga sejajar dengan Damai. Dia meremas pundak Damai. :Kita akan mencobanya, bukan?"

Pelan, akhirnya Damai mengangguk. Membuatku menarik napas lega. Harapan untuk selamat, masih ada, bukan?

•••••

Adit mengambil sebuah jarum dan beberapa tisu juga air hangat, lalu kembali duduk di ruang tamu. Ia mengulurkan jarum itu padaku setelah membakar ujungnya. Aku menerimanya, lalu menusukkan jarum ke jari telunjukku. Sakit, tapi tidak seburuk yang dibayangkan.

Setelah itu aku menekan luka yang timbul dan meneteskan darahku ke wadah cekung yang sudah diisi air sesuai dengan perintah di dalam buku. Jarum di tanganku pun aku berikan pada Herra yang menerimanya dengan ragu.

"Aku tidak menyangka kita akan melakukannya lagi," kata Herra sambil membersihkan ujung jarum itu dengan tisu dan kembali membakar ujungnya.

"Melakukan apa?" tanyaku bingung.

Herra meringis ketika menekan lukanya dan memberikan jarum itu pada Damai yang menerimanya dengan tangan gemetar. "Melakukan ritual ini, darah, pengikatan."

"Aku juga tidak menyangka," jawabku sambil tersenyum miris. "Namun, menurut buku ini, ritual pengikatan dengan darah harus dibatalkan dengan darah juga."

Mataku melirik Damai yang tampak kesulitan memegang jarum dan menusukkan ke jari. Aku memberi kode agar Adit membantunya dan kebetulan Adit menerima kode itu dengan cepat. Ia mengambil jarum di tangan Damai dan meminta Damai mengulurkan jarinya untuk kemudian dia lukai sedikit.

Damai memandang Adit sekali lagi, sebelum akhirnya memejamkan mata sambil membuang wajahnya ke samping ketika Adit melukai jarinya dengan cepat. Tidak membutuhkan waktu lama, darah milik Damai sudah tercampur dengan milikku dan Herra. Damai mengambil tisu yang disodorkan oleh Herra dan membersihkan darah yang masih tersisa di jarinya.

Adit membakar jarum dengan cepat kemudian membuat luka yang cukup lebar untuk hanya setetes darah saja, tapi kemudian dia menaruh darah tersebut di wadah dan menutup lukanya lagi.

"Baiklah, sekarang apa lagi yang harus kita lakukan?" tanya Adit sambil menaruh jarum di atas meja.

Aku menarik napas dengan lelah, kemudian mengambil kartu permainan itu dan merendamnya di dalam air yang sudah tercampur dengan darah. Satu per satu, hingga semua kartu peran basah dengan air.

"Aku akan segera membakar kartu ini di belakang rumah. Sementara itu, tolong jangan sampai kehilangan kendali atas diri kalian," pesanku sambil berdiri dan membawa kartu itu. "Ingat, semua hal bisa terjadi, termasuk kalian kehilangan kendali atas tubuh kalian. Dan aku tidak ingin itu samoai terjadi pada kalian."

Herra mengangguk, lalu memegang tangan Damai yang bergetar. "Kamu tidak akan lama, bukan?"

"Tenang saja," kataku sambil berusaha tersenyum. "Ada Adit yang akan menemani kalian."

"Apa?" sahut Adit tidak terima, dia berdiri dan memandangku dengan tatapan protes. "Kamu akan membakar kertas itu sendirian?"

Aku mengangguk. "Seseorang harus berjaga di sini," kataku dengan pandangan tertuju pada Damai. "Kamu tahu bukan, siapa yang kemungkinan akan menjadi korban setelah ini?"

"Mereka bisa menjaga diri mereka sendiri," kata Adit yang kini menunjuk pada Herra dan Damai. "Aku tidak yakin dengan kamu yang akan membakar kartu ini sendirian, Tik. Bagaimana jika sesuatu membuatmu celaka?"

"Aku tidak akan kenapa-napa, Dit," jawabku meyakinkannya. "Paling tidak, bukan sekarang."

"Tapi kamu akan membakar kartu kutukan itu, apa kamu tidak khawatir atau merasa takut sama sekali?"

"Aku takut, sangat," jawabku sambil mengangkat bahu. "Tapi aku mengkhawatirkan kalian. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kalian," kataku lagi.

"Tidak akan ada hal buruk yang terjadi, asalkan kamu bergegas," ucap Herra tiba-tiba. "Aku akan menjaga diriku sendiri dan Damai untuk sekarang. Kamu hanya perlu memusnahkan kartu itu secepat yang kamu bisa."

"Tapi Her—"

"Adit akan merasa sangat bersalah jika sesuatu hal yang buruk terjadi padamu," jawab Herra lagi. "Biarkan paling tidak dia melakukan tugasnya sebagai adik, oke?"

"Kamu dengar perkataan Herra, bukan, Tik?" kata Adit membuka tangannya dengan gestur ingin menunjukkan bahwa yang dia katakan benar.

"Tapi Damai, bagaimana jika—"

"Aku tidak butuh kamu kasihani, Tik. Lebih baik cepat bakar kartu sialan itu dan berharap semua benar-benar akan berhenti," kata Damai tiba-tiba. "Aku masih cukup sadar untuk menjaga diriku sendiri, tenang saja."

Setelah mendengar jawaban Damai, aku akhirnya mengangguk pasrah. Semoga saja Damai dan Herra benar-benar mampu menjaga diri mereka masing-masing seperti yang mereka katakan.

"Baiklah, ayo," ajakku sambil memutar tubuh dan berjalan ke luar dari ruang tamu. "Jangan lupa bawa korek dan beberapa kertas untuk menyulut api."

Adit mengangguk, mengambil korek api dan beberapa lembar kertas lalu berjalan mengikutiku keluar ruangan. Aku terus berjalan sambil mencoba mengingat mantra yang harus kuucapkan nanti.

"Kamu yakin ini bisa berhasil, bukan?" kata Adit memecah keheningan.

Aku mengangguk pelan, kemudian menggeleng. "Kita coba saja, tapi jangan berharap terlalu banyak."

"Sejujurnya aku berharap sangat banyak untuk ini," jawab Adit. "Melihat begitu banyak kematian benar-benar membuatku lelah."

Aku tidak lagi menjawab karena sudah sampai di pintu belakang, pelan kubuka pintu itu dan berjalan lebih cepat ke arah belakang hingga sampai pada lahan yang cukup kosong di dekat sebuah pohon.

Kulempar kartu yang ada di tangan kiriku untuk kemudian aku mengulurkan tangan untuk meminta selembar kertas juga korek api pada Adit. Adit memberikanku korek dan berdiri tepat di belakangku.

Tidak bisa bohong, aku merasa sangat takut sekarang. Bukan hanya Adit yang berharap cukup banyak atas kartu ini. Aku juga berharap semua yang akan kulakukan ini bisa berhasil dan menyelesaikan semua kutukan yang sudah sangat membuat kami lelah.

"Tenanglah, kamu tidak akan bisa menyalakan apinya jika tanganmu bergetar seperti itu," kata Adit mengagetkanku yang sedang berusaha menyalakan korek api.

Kulempar korek api itu ke tangan Adit. "Aku menyerah, tolong nyalakan."

Sebuah senyum mengejek muncul di bibirnya sementara ia mulai menyalakan korek seperti yang kuminta. Sayangnya angin sore ini cukup besar sehingga korek itu susah menyala. Aku mulai mendecak tidak sabar.

"Bisa?"

"Sabar, anginnya cukup besar," jawab Adit sambil masih berusaha menyalakan api dan menutup ruang dengan tangannya agar api dapat menyala. "Berhasil."

Aku tersenyum lega dan meminta Adit menyulut lembar pertama kertas dengan api, kemudian memberikannya padaku. Setelah sampai di tanganku, aku mulai memejamkan mata, dan menaruh kertas yang sudah terbakar setengah itu di atas tumpukan kartu.

"Permainanmu sudah selesai, kami berhenti. Permainanmu sudah selesai, kami berhenti," bisikku sambil terus menyulut api yang tinggal sedikit dengan kertas lain.

"Kita butuh bensin atau minyak tanah," kata Adit tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya, benar juga, kita memang membutuhkan bahan bakar untuk menyulut api karena api ini tidak akan sanggup membakar habis semua kartunya. Mataku meminta Adit untuk berlari ke dalam mengambil minyak tanah atau bensin, atau apa pun.

Adit mengangguk dan berlari ke dalam sementara aku terus berusaha menyulut api sambil membaca kalimat yang mungkin bisa membatalkan kutukan itu. Tidak lama kemudian Adit datang dengan minyak tanah di tangannya, ia menyiram kertas yang sudah nyaris mati apinya dengan minyak tanah itu dan menyulut api lagi dengan kertas lain yang sudah terbakar.

Api membesar dan menghanguskan beberapa kartu di atasnya, aku mulai tersenyum lega menyadari hal itu yang sayangnya membuatku lengah hingga tidak sadar ketika tiba-tiba api membakar sedikit dari lengan bajuku.

"Tika awas!" teriak Adit yang sayangnya terlambat.

Api menyala di lengan bajuku dengan cukup besar, aku mengibas-ngibaskan lengan bajuku dengan panik. Adit menghampiriku juga dengan panik dan malah meniupnya yang membuat api itu menyala semakin besar.

"Air, Dit, air," kataku yang semakin panik sambil meringis kesakitan karena api mulai mengenai kulitku. "Cepat!"

Adit berlari ke arah kolam renang dan mengambil air dengan tangannya untuk kemudian disiramkan padaku. Aku semakin ketakutan ketika api tidak juga padam, Adit akhinya menarik tubuhku dan melemparku ke kolam renang.

Susah payah aku menggerakkan kakiku hingga tubuhku melayang, Adit juga ikut menceburkan dirinya ke dalam kolam renang dan membantuku agar bernapas. Rasa nyeri menguasai lengan kiriku karena luka bakar yang cukup lebar, tapi untungnya api itu sudah mati.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk. Adit menghela napas lega sebelum akhirnya membantuku keluar dari kolam renang. Aku berjalan ke tempat aku membakar kartu kutukan tadi dan melihat bahwa semuanya sudah hangus terbakar.

Sontak, aku memeluk tubuh Adit karena bahagia dan merasa lega. "Semua sudah selesai, Dit. Semua sudah selesai."

"Iya, kita berhasil, bukan?"

Aku mengangguk dan menangis. Semua ini membuatku lelah dan sangat emosional. Sambil berjalan tertatih, aku memasuki rumahku lagi. Sudah tidak sabar untuk mengatakan pada Herra dan Damai bahwa semua sudah selesai.

"Tika!"

Aku terkejut ketika melihat Herra berlari ke arahku dengan wajah sembab dan panik. Kuhampiri dia dan bertanya, "Ada apa?"

Herra menggeleng dan menunjuk ke arah dalam.

"Tenanglah, semua sudah selesai, Her. Semua sudah selesai."

"Damai mengiris nadinya sendiri, Tik," kata Herra dengan suara tertahan. "Apa kalian terlambat membakar kartu itu?"

•••••

Agaaaaainnn, sorry for not editing too much on this bab :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro