• tujuh •
FIAN berdiri dari duduknya dan menatapku tidak suka. "Bagaimana mungkin kamu mengatakan itu, Tik? Untuk apa aku membunuh mereka yang adalah temanku?"
"Jangan berbohong, Yan! Akui saja! Bagaimana kamu membunuh mereka? Katakan, Yan, katakan!" teriakku mulai putus asa. Aku sangat kehilangan dan bahkan tidak mengerti mengapa aku melakukan itu semua.
Fian memajukan tubuhnya, kemudian memegang bahuku. "Jangan becanda, Bodoh. Aku tidak membunuh mereka! Tidak ada hubungannya denganku! Kenapa kamu bisa sebodoh ini menuduhku?"
Aku menepis tangan Fian dari bahu. "Hanya kamu yang memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Bahkan kamu yang pertama kali menemukan jasad Oki, bukan?"
"Tika, apa yang kamu pikirkan, hah?"
Jira berjalan menghampiriku dan mendorong tubuhku pelan. Aku menatapnya tajam.
"Kenapa, Jir? Bukankah kamu yang mengatakan bahwa semua ini ada hubungannya dengan permainan werewolf itu? Jika benar yang kamu katakan," kataku menggantung kalimat lalu menunjuk pada Fian dan Damai, "berarti mereka adalah pelakunya."
Damai berdiri, menatapku tidak terima. "Kenapa aku dan Fian?"
"Karena kalian serigalanya!"
Fian tertawa pelan, kemudian bertepuk tangan. "Aku tahu kamu sangat kehilangan Oki, Tik, tapi aku tidak tahu kalau kamu juga kehilangan otakmu."
"Fian!" bentak Adit yang sekarang kulihat berjalan ke arahku dan Fian dengan marah. "Jaga bicaramu. Tika kakakku."
"Tika yang memulai semua ini lebih dulu, Dit. Dia menuduhku membunuh Eka, Brenda dan Oki atas dasar analisa yang tidak jelas," jawab Fian.
"Memang kamu dan Damai pelakunya! Serigala akan mengupayakan apa pun untuk menang, bukan? Dan kalian pasti bersekongkol untuk menghabisi kami semua," jawabku dengan keras.
"Tika, cukup!" bentak Jira sesaat dan dia maju ke hadapanku. "Aku mengatakan itu, memang. Semua ini berkaitan dengan permainan sialan itu. Hanya saja, bukan berarti Fian dan Damai atau siapa pun yang jadi serigala pelakunya, Tik!"
"Lalu siapa? Hantu maksudmu, hah? Mana ada hantu!" jawabku lagi dengan nada tidak terima. "Jangan ajak aku menjadi gila sepertimu, Jir!"
"Cukup!" bentak Fian kencang. "Kamu keterlaluan, Tika. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kewarasanmu, tapi aku sangat tidak bisa menerima tuduhan tidak berdasar yang kamu lakukan padaku. Aku pergi."
Setelah mengatakan itu, Fian mengambil tasnya dan berjalan ke luar ruang tengah. Langkah Fian disusul oleh Bima yang sejak tadi mengamati perdebatan kami dengan lelah.
Aku hanya membuang wajahku ke samping, tidak kupedulikan tatapan aneh dari semua orang di ruangan ini. "Kamu tidak pergi juga, Da?"
Damai menggeleng. "Aku akan tetap di sini, untuk memastikan bahwa tuduhanmu padaku sangat tidak benar."
Lalu, Damai kembali menjatuhkan dirinya di sofa. Pandanganku kini beralih pada Adit yang memandangku bingung dan Juna yang tidak menutup mulutnya karena bingung.
"Tika ... aku, aku bingung denganmu. Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu katakan?" tanya Juna sambil mengarahkan pandangannya pada Jira yang berdiri kaku tidak jauh dariku.
Aku mengangguk. "Aku sadar. Dan aku sangat sadar saat ini. Aku yakin semua tuduhanku benar, dan harusnya kalian berterimakasih padaku."
Kemudian aku pergi meninggalkan ruang tengah dengan cepat. Tubuhku sangat lelah seusai meluapkan emosiku tadi. Tidak kupedulikan semua bisik-bisik dari Rista dan Herra, atau tatapan aneh dari Difa dan kecewa dari Juna juga Jira.
Adit mengikutiku dari belakang, membuatku menoleh ke arahnya. "Jangan ikuti aku. Aku ingin sendiri, agar kewarasanku tetap ada pada diriku."
•••
Pengap kurasakan saat ini. Pandanganku hanya gelap, bau amis darah tercium melalui hidungku. Tangan kananku terasa sangat lengket, sayangnya aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di bawah sana. Pelan, aku mencoba berjalan dalam gelap.
Aku hanya mengikuti naluriku, bergerak pelan meski aku tidak tahu aku akan ke mana. Dingin menyergap tubuh membuat aku harus memeluk tubuhku sendiri karena baju yang kukenakan terlalu tipis.
Entah kenapa semakin aku melangkah jauh, aku merasa semakin kelelahan dan sangat pengap. Ketakutan mulai menyapaku pelan, membuat seluruh tubuhku kedinginan dengan tidak wajar. Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi?
Sontak, kuusap wajahku yang mulai berkeringat. Bau amis bercampur besi langsung menyeruak dan membuatku sangat amat mual. Kenapa bau darah ini terasa sangat dekat?
Lalu, secercah cahaya mulai masuk membuatku tersadar sesuatu dan aku berteriak sekencang yang kubisa begitu saja. Tanganku ... berlumur darah.
Ada apa ini? Kenapa semua terasa sangat hening? Bahkan isak tangis dan teriakanku saja tidak terdengar. Suaraku tidak keluar? Suaraku hilang? Aku kenapa? Astaga, aku harus bagaimana sekarang?
Kemudian, aku jatuh terduduk dan menyadari sebuah cahaya yang masuk merupakan cahaya bulan. Bulan purnama penuh, yang sangat terang dan membuatku silau hingga akhirnya kupejamkan mataku erat sebelum cahayanya menyakiti mataku.
"Tika! Buka pintunya, Tik! Tika!"
Ah, suara apa itu? Aku berusaha keras membuka mataku ketika mendengarnya. Kenapa tidak bisa? Aku harus bagaimana?
"Tika! Buka sekarang atau aku akan mendobrak pintu ini!"
Itu suara Adit, aku yakin. Adit, astaga, Adit. Aku harus menghampirinya. Kenapa tubuhku tidak bisa bergerak?
Lalu kudengar suara dobrakan di pintu beberapa kali, sampai akhirnya sebuah tepukan keras menyadarkanku. Aku membuka mataku lagi, dan berhasil.
"Adit?" panggilku pelan.
Adit memeluk tubuhku erat, lalu mengusap dahiku pelan. "Kenapa, Tik? Apa yang terjadi denganmu?"
Aku menunjukkan tanganku padanya, lalu berbisik, "Darah, Dit. Tanganku berlumuran darah, suaraku hilang."
"Maksudmu apa? Kamu tidak apa-apa, bukan?" tanya Adit lagi. "Kenapa berteriak-teriak seperti tidak kerasukan, hah?"
Mendengar pertanyaannya, aku membuka mataku lebar. Tubuhku kembali terasa penuh tenaga. Aku terduduk dan memandangnya bingung. "Apa katamu tadi, Dit?"
"Dit, Tika kenapa?"
Sontak aku menoleh ke arah pintu kamar dan menemukan Juna di sana memandang kami bingung. Aku berjalan pelan ke arahnya.
"Kalian kenapa? Memangnya aku kenapa?" tanyaku sambil memandang Juna dan Adit bergantian. "Ah, tanganku!"
Aku melihat tanganku dan lagi-lagi keningku berkerut. Tanganku bersih, sangat bersih. Tidak ada darah sama sekali di sana. Berarti aku hanya bermimpi?
"Tika, percayalah. Kamu membuat kami semua ketakutan. Kamu berteriak-teriak minta tolong seperti kesetanan. Apa yang terjadi denganmu?" tanya Juna yang memandangku dengan takut.
Aku menggeleng. "Aku ... mungkin hanya bermimpi buruk."
Adit menghampiriku dan mengacak rambutku. "Tidak apa. Lebih baik kamu mandi, besok-besok jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur. Kami akan ke bawah dan menunggu untuk sarapan."
Setelahnya, Adit berjalan ke luar kamar dan menarik Juna yang masih memandangiku bingung. Aku mengangkat bahu dan memutar tubuhku, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Aku takut, tapi semua hanya mimpi.
Tiba-tiba kudengar suara berisik dari arah tangga. Penasaran, aku menghentikan langkah dan berusaha mendengar bunyi berisik itu. Sesaat yang terdengar hanya bunyi napas putus-putus. Lalu, tiba-tiba kakiku terasa sangat lemas hingga aku jatuh terduduk mendengar kalimat selanjutnya.
"Fian, bunuh diri."
•••
Jumat, 13 April 2018
18.25 WIB
Tamara update\(^•^)/
Anyway, Friday 13th loh, gaes. Semua aman dari godaan hantu? :)
Yuk ngobrol sama tamara di kolom komen. mari kenalan, selamat membacaaaa❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro