• tiga belas •
Aku melihat ledakan, juga api yang menyala seperti lidah membakar seluruh bagian mobil. Semuanya terlihat sangat jelas bagiku. Namun, apa semuanya benar-benar terjadi? Aku meninggalkan mobil itu dengan kondisi yang sangat amat baik-baik saja. Kenapa semua malah jadi seperti ini?
Mataku memanas dan aku mulai merasa sakit juga perih di kerongkonganku. Denyutan kencang juga terasa menyiksa kepala, membuatku ingin berteriak meminta tolong. Aku mencoba berteriak, tapi tidak bisa. Lidahku sama sekali tidak bisa digerakkan bahkan hanya untuk membasuh langit-langit mulutku.
Perlahan aku menggerakkan tangan yang sepertinya sedang terbaring tidur di sebelahku. Sulit, berat sekali. Kenapa aku hidup tapi tubuhku tidak mampu bergerak? Otakku memberi perintah yang berakhir hanya dengan dikhianati oleh tubuh yang tidak mau bergerak.
Di mana semua orang? Yang memenuhi pandanganku sekarang hanya api, rasanya sangat sakit, dan panas. Kenapa tidak ada yang menolongku? Aku ingin terbebas dari sini, tolong. Sekuat tenaga aku berusaha berteriak, yang tidak menghasilkan apa pun.
"Tika?"
Aku mengedipkan mata berulang kali ketika mendengar suara seseorang memanggil namaku. Suaranya terdengar sangat jauh, dan nyaris tidak bisa kudengar tadi. Untungnya, suara itu memanggil sekali lagi. Kali ini berkali-kali, sampai akhirnya aku mulai merasakan sesuatu mengguncang bahuku kencang.
"Tika, kamu sudah bangun?"
Suaranya semakin jelas dan kesadaran mulai mengambil alih tubuhku, akhirnya. Perlahan aku bisa menggerakkan kepalaku dan menoleh ke asal suara itu, lalu mengangguk pelan. Kuulurkan tangan berusaha meraih sosok yang mengeluarkan suara, tapi tidak tergapai. Tanganku jatuh ke sisi tubuh lagi.
"Pelan-pelan, Tik," kata suara itu lagi, suara perempuan dan sepertinya aku mengenal dengan jelas siapa pemilik suara itu. "Kata dokter kamu masih mengalami syok yang lumayan parah."
"J—jira?" panggilku susah payah, wajah si pemilik suara itu mulai terlihat meskipun masih buram.
Dia menggeleng. "Aku Rista, bukan Jira, Tik," jawabnya sambil menghela napas dengan berat—sungguh helaannya terdengar jelas di telingaku, seperti seseorang yang sangat lelah—"Kamu mau minum?"
Aku mengangguk, lalu mencoba mengangkat tubuh agar posisiku sedikit tegak bersandar pada tempat tidur. "I—ini di m—mana?"
Rista memberiku segelas air putih, membantu agar aku mampu meminumnya sedikit, lalu kembali menaruh gelas itu di nakas sebelah tempat tidurku. "Bagaimana perasaanmu?"
"Jira mana? Difa? Adit? Juna? Seingatku, tadi aku masih bersama Adit dan Juna. Tadi kita di rumah Bima, bukan? Lalu kenapa sekarang aku berada di sini? Ini di mana? Kamu belum menjawab pertanyaanku," kataku memberondong Rista dengan pertanyaan.
"Tenanglah dulu, Tika," jawab Rista sambil menggeleng. "Biarkan aku sejenak berpikir kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya padamu."
Aku menggeleng, memang benar Rista sedikit kurang cepat berpikirnya dibanding yang lain. Dan aku biasanya memahami hal itu yang sayangnya sekarang sangat sulit kulakukan karena aku benar-benar membutuhkan jawaban atas semua pertanyaanku tadi.
"Kita di rumah sakit," jawab Rista akhirnya. "Kamu mengalami pingsan sejak kejadian tadi. Adit panik dan langsung membawamu ke sini sambil memintaku menemanimu sementara dia mengurus beberapa hal."
"Kejadian apa?"
Rista memandangku bingung. Pandangannya menyiratkan tanda tanya besar di kepalanya. "Maksudmu?"
"Apa yang kamu maksud dengan maksudku?" tanyaku balik, semakin bingung. "Aku bertanya tentang kejadian tadi, kejadian apa? Apa yang terjadi sebelum aku pingsan?"
"Kamu benar-benar lupa dengan apa yang tadi terjadi sebelum pingsan?"
Aku mengangguk. "Mana Jira, Difa, dan oh—buku di tanganku?"
Rista mengambil sesuatu dari dalam tas yang dia bawa lalu memberikan sebuah buku yang kumaksud dengan cepat. "Ini dari Adit, sepertinya sangat penting untukmu."
"Ini memang sangat penting, Ris," kataku sambil mengambil buku itu. "Kita harus menbatalkan kutukan itu dan satu-satunya cara untuk mencari tahu sebab dan bagaimana kutukan itu dibatalkan hanya ada dalam buku ini."
"Kutukan?" tanya Rista lagi. "Maksudmu, semua yang terjadi pada kita adalah kutukan?"
"Aku dan Jira berpikiran begitu," jawabku lagi. "Aku harus menemui Jira dan Difa, di mana mereka? Kita akan segera membagi tugas untuk membatalkan kutukannya karena kalian sama sekali tidak percaya padaku, bukan?"
Aku mengangkat tubuh, mencoba berdiri dan langsung kembali ambruk. Untungnya Risra cukup sigap menahanku agar tidak terjatuh. Ia membantuku kembali tertidur di tempat tidur. Matanya terus memandangku dengan bingung, keningnya berkerut dan ia menggigit bibirnya sendiri.
"Tika, dengar, aku tidak tahu bagaimana caranya mengatakan semua ini padamu—tapi kamu harus tahu. Maaf jika mungkin ini semua terlalu sulit untuk kamu terima—tapi ini adalah kenyataannya," kata Rista dalam satu kali tarikan napas. Dia mengambil napas lagi, lalu berkata, "Jira dan Difa sudah meninggal."
Suara Rista terdengar sangat pelan, sangat lirih, tapi menusuk pendengaranku hingga membuat salah satu sudut di dadaku terasa sesak. Aku menggeleng, menolak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari mulut Rista.
"A—apa?"
Rista menghampiriku, lalu meraih tubuhku dan memeluknya. Ia mengusap punggungku pelan berkali-kali, berusaha menenangkan. Sementara aku hanya terdiam. Tidak ada yang bisa kulakukan. Jadi semua yang aku rasakan tadi benar-benar terjadi?
Jira dan Difa benar-benar terbakar bersama dengan mobil? Bukan hanya mimpi? Semua yang kulihat sebelum aku berhasil membuka mata benar-benar nyata dan aku telah kehilangan teman-temanku, lagi? Aku gagal menjaga mereka?
"Kamu, kamu ... kamu pasti berbohong, bukan?" kataku dengan tidak percaya. Aku mendorong tubuh Rista agar terlepas dari tubuhku. "Kamu bohong! Jira dan Difa baik-baik saja. Semalam aku sudah berbincang banyak dengan Jira, dan dia sepakat denganku tentang kutukan ini.
"Aku juga sudah bicara dengan Difa, dia setuju membantuku dan Jira menemukan pembatal kutukannya," teriakku dengan histeris. "Mereka juga bercerita padaku kalau mereka dihantui mimpi buruk berhari-hari. Mereka dibutu dan akan ditembak!"
Rista yang terjatuh karena tidak siap dengan doronganku yang tiba-tiba berusaha bangun dan memegang pundaknya yang mungkin tidak sengaja terbentur pinggiran nakas tadi. "A—aku tidak berbohong, Tika. Jira dan Difa memang sudah meninggal. Dan karena itu juga kamu akhirnya jatuh pingsan semalaman."
Ingatan di kepalaku mulai memutar dengan cepat. Bayangan-bayangan kejadian tergambar dengan jelas, mulai sejak aku meninggalkan Jira dan Difa di dalam mobil karena mereka menolak diajak turun, lalu berpindah ketika aku harus bicara dan menjelaskan semuanya pada Adit dan Juna, sampai akhirnya suara keriuhan itu dan api yang membakar seluruh mobil.
Tanpa bisa aku mencegahnya lagi, tangisku pecah. Aku menangis sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Bagaimana bisa aku sedekat itu dengan mereka tapi kehilangan kesempatan untuk menjaga mereka dari kematian?
"Semua akan baik-baik saja, Tik, tenanglah. Aku di sini," kata Rista berusaha menenangkanku dengan memelukku lagi.
Kali ini aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya dan menangis. Membiarkan dirinya mengetahui betapa lelah dan kecewanya aku dengan diri sendiri saat ini. Jira dan Difa meninggal, dan semua itu salahku.
•••••
"Dia tadi sempat bangun?"
"Iya."
"Kamu sudah memberitahu semuanya pada dia?"
"Dia tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia juga beberapa kali menyebut tentang kutukan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
"Kutukan itu tidak ada."
"Aku tahu, hanya saja jika kita mendengarkan dan mencernati apa yang dikatakannya, semua itu sangat mungkin terjadi."
"Kini kamu mulai terpengaruh dengan Tika?"
Aku berhasil membuka mata dengan sempurna ketika seseorang menyebut namaku cukup keras. Pandanganku memang masih sedikit buram, tapi aku cukup mengenali siapa saja yang ada di dalam kamar perawatanku sekarang.
Ada Rista, Adit dan Juna. Dan suara dengan nada cukup tinggi tadi tentu saja berasal dari Juna. Sedikit bimbang tadinya, tapi akhirnya aku memutuskan untuk tetap berpura-pura tidur agar bisa mendengar pembicaraan mereka yang sepertinya tentang aku.
"Bukan aku mulai terpengaruh dengan Tika, Jun. Hanya saja ... semua yang dia jelaskan ada benarnya juga," jawab Rista sambil menggeleng pelan. "Urutan kematian itu, tampak sangat jelas."
Juna membuang wajahnya ke samping. "Urutan kematian apa? Yang di dalam permainan dan di kenyataan?"
Rista mengangguk. "Semua sesuai, Jun. Kenapa kamu tidak mencoba untuk berpikir tentang itu? Bisa saja kali ini Tika benar, bukan?"
Juna melempar pandangannya pada Adit. "Menurutmu bagaimana, Dit? Kamu adiknya, pasti sangat mengenal Tika. Kamu tahu bagaimana Tika."
"Aku ... aku bingung," jawab Adit sambil meremas rambutnya dan menunduk. "Aku sama sekali bingung dengan semua ini. Apa yang harus kupercaya dan apa yang sebenarnya terjadi."
Juna tersenyum sinis, mengulurkan tangannya ke arah Adit sambil memandang meremehkan ke arah Rista. "Lihat? Bahkan adiknya sendiri tidak mempercayainya. Apa aku harus percaya? Apa kita harus percaya?"
Rista menggigit bibirnya sendiri sementara Adit masih terdiam. Aku memutuskan untuk membuang wajahku ke arah yang berlawanan agar tidak merasa begitu kecewa dengan respon dan jawaban Adit atas semua ini. Kenapa Adit tidak memercayaiku? Dia adikku sendiri, bukan?
"Tika masih waras, aku yakin itu."
Suara Adit kembali terdengar, jantungku berdetak lebih cepat. Aku takut jika kali ini aku kembali kecewa karena telah berharap Adit akhirnya akan percaya padaku.
"Dia tidak mungkin mengatakan sesuatu di luar logikanya," lanjut Adit lagi. "Selama ini pun, kita sudah tahu, bukan, kalau Tika sangat pintar? Dia bahkan mendapat beasiswa untuk kuliah di jurusan Fisika, ilmu pasti."
"Lalu?" tanya Juna lagi. "Menurutmu semua menjamin bahwa yang dikatakannya sepasti ilmu fisika?"
"Mungkin. Paling tidak, saat ini kita hanya bisa bertahan pada teorinya yang mengatakan semua ini kutukan. Aku mulai sangat kelelahan dengan kematian yang bertubi-tubi ini," kata Adit. "Tidak ada salahnya juga, bukan, memberinya kesempatan membuktikan bahwa semua yang dikatakannya benar? Aku yakin Tika tidak hanya asal bicara, dia pasti sudah memikirkan semua ini sebelum mengatakannya pada kita.
Sungguh, aku merasa beban di dadaku terangkat lebih dari setengahnya. Pada akhirnya Adit mempercayaiku, walaupun katanya hanya memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa semua teoriku benar. Namun, semua itu sangat kubutuhkan. Aku butuh seseorang—lebih dari seseorang, banyak orang—untuk tetap percaya ke padaku.
"Aku setuju dengan Adit," kata Rista. "Aku tadi benar-benar melihat bagaimana ekspresi Tika ketika mendengar Jira dan Difa sudah meninggal. Dia sangat terpukul, kehilangan, dan seperti menyalahkan dirinya sendiri. Aku yakin semua itu tulus."
"Jadi kalian sepakat dengannya dan berubah menjadi tidak logis?"
"Kalau semua ini bisa menghentikan kejadian buruk belakangan ini, aku bersedia menjadi tidak waras," jawab Rista. "Jika semuanya benar, kematianku semakin dekat. Semua harus terhenti sebelum aku mati."
"Ayolah kalian," bentak Juna kesal. "Bisa saja semua ini terjadi karena Tika! Dia membunuh teman-teman kita sesuai urutan kematiannya di dalam permainan agar semua orang mempercayai teori bodohnya itu. Kenapa kalian tidak bisa berpikir sejauh itu?"
"Juna, aku rasa kamu sudah kelewatan karena menuduhku sebagai pembunuh."
•••••
Tamara di siniii.
Aku update lagi, mari doakan besok udah normal yaaa?
Aku akan mulai balesin komen dari sekarang. Siapa mau ngobrol sama aku? Yuk yuk yuk. Tebak-tebakan siniii :3
xoxo
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro