Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• sembilan belas •

"Apa yang kulakukan?" kataku sambil memandangi pisau yang telah berlumuran darah itu di tanganku. Pandanganku beralih pada tubuh Herra yang tidak bergerak. "Herra, tidak! Apa yang aku lakukan, tidak!"

Pisau di tanganku terjatuh dan aku menjauh dari tubuh Herra, kepalaku terasa sangat sakit dan aku ingin membenturkannya di dinding agar rasa sakit itu berkurang. Aku berlari ke arah dinding dan membenturkannya sekali, berharap sakit yang kurasa bisa hilang.

Sayangnya, ketika kubenturkan ke dinding, bukan rasa sakit yang hilang, melainkan ingatan dan sekelebat bayangan kembali muncul dan membuatku semakin kesakitan. Tiba-tiba aku melihat bayangan Eka yang sedang bermain ponsel di beranda kamar, lalu seseorang mendorongnya hingga jatuh dari lantai dua.

Kemudian bayangan berganti menjadi Brenda yang meminta tolong tapi malah dihantam oleh sesuatu oleh seseorang hingga kepalanya terbentur ke jendela mobil dan meregang nyawa. Air mataku mulai turun, ketika bayangan Oki yang mengiba sambil mengatakan bahwa dia percaya orang itu tidak akan menyakitinya berakhir dengan kematian yang menyakitkan.

"Tidak, tidak mungkin! Siapa yang menyebabkan kematian itu semua?" teriakku sambil terus membenturkan kepalaku di dinding berkali-kali.

Tanganku memegang kening yang berdarah dan kembali menangis ketika bayangan Fian yang terlihat frustrasi dan terpaksa menggantung dirinya sendiri dan bagaimana seseorang membuat menyulut listrik ke air yang membasahi kaki Bima ketika Bima sedang mencuci mobil. Lagi, bayangan itu berganti ketika seseorang memotong kabel bahan bakar mobil yang dikendarai olehku, Jira dan Difa kemudian sengaja membiarkannya agar mobil itu meledak.

"Siapa kamu?" teriakku sambil menarik rambutku sendiri dengan keras. "Siapa kamu dan kenapa kamu membunuh semua teman-temanku?"

Rasa frustrasi yang menderaku semakin membuatku sangat tertekan, berkali-kali bayangan tidak jelas muncul, terutama ketika aku sedang berusaha membakar kartu permainan sialan itu.

"Siapa kamu? Siapa?" teriakku lagi sambil berlari ke depan cermin di sudut ruang makan. "Siapa kamu?"

Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap dan aku melihat dengan jelas seseorang mendorong tubuh Juna ke arah truk yang melaju kencang. Lalu berganti lagi pada bayangan ketika seseorang memberi Rista minum yang sudah diberi obat tidur juga muncul, lalu orang itu menyeret tubuh Rista dan menenggelamkannya di kolam renang.

Perlahan semuanya tampak jelas, aku melihat diriku sendiri yang melakukan itu semua. Aku yang sudah membunuh teman-temanku, dengan tanganku sendiri. Dan semua itu kulakukan tanpa sadar.

"Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan hal itu! Tidak!" bantahku keras sambil menjambak rambutku kasar. Tanpa sengaja, aku memandang pantulan diriku sendiri di cermin dan melihat bayanganku menyeringai di dalam sana.

"Kamu Tuhan dalam permainan itu, bukan? Dan kamu sudah melakukan tugasmu. Mereka semua harus mati, termasuk Adit," kataku di dalam cermin.

Aku menggeleng. "Tidak, aku tidak melakukan itu semua. Tidak, bukan aku pelakunya!"

Sosok aku di dalam cermin kembali menyeringai, membuatku sangat takut dengan diriku sendiri. "Lihatlah tanganmu sendiri. Tangan itu sudah melakukan tugasnya, menentukan takdir dan kematian semua pemain."

"Tidak, bukan aku! Siapa kamu? Jawab aku, siapa kamu?" tanyaku setengah berteriak..

"Aku adalah kamu, Tika. Bukankah itu jelas? Sangat jelas malahan. Kenapa kamu tidak mau mengakuinya? Kamu adalah pembunuh, lakukan tugasmu agar permainan itu berakhir dan kamu bisa terbebas dari semua ini."

"Aku tidak akan melakukannya! Siapa kamu? Kenapa kamu membuatku melakukan semua hal itu? Jawab aku, sialan!" teriakku lagi sambil memukul cermin hingga retakan muncul di tengah-tengah cermin itu.

"Aku adalah kamu, sisi terdalammu. Yang mungkin tidak pernah kamu tahu," jawab aku di dalam cermin dengan tawa yang menyeramkan.

"Sialan, kamu pasti hantu yang mengutuk kartu permainan itu, bukan? Kembalikan teman-temanku!"

"Mereka sudah mati dan menemaniku di dalam kartu permainan itu. Dan kami masih menunggu jiwa Adit juga jiwamu," jawab aku di dalam cermin. "Cepat bunuh Adit dan segera bergabung bersama kami. Karena aku masih haus dengan jiwa manusia."

"Tidak! Aku tidak akan melakukannya lagi! Pergi kamu, sialan!" bentakku sambil memukul kaca itu lagi dan membuatnya retak di tengah.

"Kamu akan melakukannya, membunuh Adit dan menyerahkan jiwamu padaku," kataku dalam cermin dan tertawa. "Tapi kamu punya pilihan, serahkan kartu permainan itu pada orang lain, dan kamu akan terbebas dari bayang-bayangku."

"Tidak akan! Mati saja kamu di neraka! Mati kamu, mati!"

Aku mengambil sebuah kursi dan melemparnnya pada cermin itu hingga semua bagiannya pecah menjadi bagian yang lebih kecil. Setelahnya, aku jatuh terduduk dan menangis. Aku melihat kedua tanganku, tangan kotor yang sudah membunuh semua teman-temanku. Apa yang harus aku lakukan kini?

"Aku melihat semuanya."

Suara Adit terdengar dan membuatku menengadahkan wajah untuk melihat kehadirannya. "A—apa maksudmu?"

"Aku mengetahui semuanya, kamu membunuh mereka," jawab Adit sambil maju dan menatapku tajam. "Kamu bahkan membunuh Herra."

"A—aku, bukan aku yang melakukannya, sungguh bukan aku!"

"Kamu merekayasa semua ini, membuat semua ini tampak seperti kutukan, padahal kamu dalang di balik semuanya."

Secepatnya yang kubisa, aku berdiri dan menghampiri Adit yang langsung menepis tanganku dan menjauh. Adit memungut pisau yang tadi kugunakan untuk membunuh Herra.

"Aku melihat semuanya, bagaimana kamu membunuh Herra dan bicara seperti orang gila lalu menghancurkan cermin itu," kata Adit setengah meringis. "Aku tidak percaya bahwa aku harus mengatakan ini; aku menyesal mempercayaimu."

"Adit tolonglah, ada sesuatu yang membuatku melakukannya dan aku tidak sadar. Bahkan aku tidak mengingat semua itu. Aku sama sekali tidak mengingat apa yang aku lakukan pada teman-teman kita," jawabku sambil memohon pada Adit.

"Untuk apa kamu melakukan ini? Membunuh mereka semua dan mengatakan ini adalah kutukan?" tanyaku sambil

"Ini semua memang benar kutukan, Dit!"

"Berhenti berbohong dan membuatku seolah akan mengasihanimu, Tik," jawab Adit sambil menggeleng. "Aku tidak akan tertipu lagi dengan semua itu. Sekarang jelaskan padaku alasan kenapa kamu melakukan semua ini!"

"Bukan aku yang melakukannya, aku berani bersumpah padamu. Bukan aku yang melakukannya!" teriakku mengiba. "Aku tidak sadar kenapa semua bisa terbunuh begitu saja."

"Kami mempercayaimu, Tik. Kami semua percaya padamu, aku mempercayaimu," kataAdit. "Kenapa kamu tega melakukan itu semua dan membunuh teman-teman kita? Bahkan kamu membunuh Oki yang kamu tahu sangat menyayangimu," kata Adit sambil mengacungkan pisaunya ke arahku.

Aku menggeleng. "Aku tidak membun—"

"Kamu membunuh mereka, aku mendengar kamu mengakuinya tadi ketika berbicara sendiri!" potong Adit sambil terus mengacungkan pisaunya. "Jangan berbohong lagi!"

"Baiklah, mungkin aku membunuh mereka—ya, aku memang membunuh teman-teman kita," ralatku ketika melihat mata Adit menyipit dan seperti hendak menyerangku, "tapi semua itu di luar kesadaranku. Aku tidak sadar melakukan itu semua. Tubuhku dikendalikan oleh roh jahat yang mendiami kartu permainan itu.

"Bukan aku yang melakukannya, Dit, sungguh. Roh jahat di dalam kartu itu membutuhkan jiwa manusia dan menjebaknya di dalam permainan. Aku tidak berbohong," jawabku lagi berusaha meyakinkan Adit.

Adit menggeleng. "Bagaimana bisa aku mempercayai seseorang yang terus menerus berbohong kepadaku tentang kutukan ini? Benar kata Juna, kamu sudah tidak waras,Tik. Kalau aku lengah, apa yang akan kamu lakukan padaku? Membunuhku juga?"

"Aku tidak akan melakukan itu, aku tidak akan membunuhmu karena aku bukan pembunuh!" jawabku setengah frustrasi. Aku tahu posisiku kini sangat buruk, dan aku memang bersalah. Hanya saja semua itu aku lakukan tanpa pernah aku tahu sebelumnya.

"Buktinya kamu membunuh semua orang dan hanya tersisa aku. Kamu juga akan membunuhku, bukan?" tanya Adit sambil tertawa sinis. "Katakan padaku alasanmu melakukan semua ini, dan aku akan mundur."

"Aku tidak tahu alasannya, aku sama sekali tidak tahu. Kartu permainan itu kutukan dan aku tidak ingat apa pun, dia hanya meminta jiwa para pemainnya, termasuk kita yang sial menerima kartu itu," jawabku sambil memukul diri berulang kali. "Bagaimana caranya agar kamu percaya, hah? Aku harus mati?"

"Kartu kutukan itu tidak ada, aku benar-benar membencimu, Tik. Kamu menghancurkan liburan kita dan teman-teman kita, apa yang akan aku lakukan sekaranvg? Bagaimana aku harus membereskan semuanya?" kata Adit sambil terus mengacungkan pisau ke arahku dengan tangan bergetar. "Kamu, atau aku yang akan mati?"

"Tidak, kita bisa menghentikan semua ini, Dit. Tolong," kataku lagi memelas.

"Berarti kamu yang akan mati!" kata Adit sambil menyerangku dengan membabi buta. "Aku tidak ingin melakukan ini pada kakakku sendiri, tapi kalau aku tidak membunuhmu, kamu akan membunuhku."

Refleks aku bergerak menghindar dan menjauh dari Adit. Aku berlari ke sekeliling ruangan sambil menjatuhkan barang agar gerakan Adit sedikit melambat. Sungguh aku tidak boleh membiarkan roh sialan itu mengendalikan tubuhku lagi, aku tidak ingin membunuh Adit.

Tanpa sengaja aku terjatuh karena terjengkal lengan Herra, hal itu membuat Adit dengan cepat bisa berada di atas tubuhku dan mengarahkan pisaunya ke arahku. Aku memejamkan mata, membiarkannya membunuhku. Karena aku tidak ingin roh sialan itu membuatku membunuh Adit, harusnya memang sejak dulu kulakukan, bukan?

"Maaf, tapi aku harus melakukannya," kata Adit sambil menangis dengan napas putus-putus.

Pelan, aku mengangguk. Aku mengerti jika Adit akhirnya harus melakukan itu, aku akan menganggap semua ini adalah penebusan dosa atas apa yang aku lakukan pada semua teman-temanku, walaupun aku tahu semua itu tidak akan cukup.

"Tidak seharusnya permainan berakhir begini!"

Sebuah suara berat yang menyeramkan tiba-tiba keluar dari mulutku tanpa bisa aku tahan, lalu yang kusadari selanjutnya adalah Adit sudah terpental ke belakang dengan pisau yang menancap pada dadanya.

Aku menghampiri tubuh Adit dan berusaha memastikan detak jantungnya. Sangat pelan, nyaris tidak terdengar. Dengan tangis aku memegang pipi Adit dan terasa dingin, darah keluar dari sudut bibirnya.

"Maaf," kata Adit dengan susah payah.

Kugelengkan kepalaku, menolak. "Tidak, tidak seharusnya kamu minta maaf, Dit. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini semua salahku."

"Maaf karena menerima kartu i—itu," jawab Adit susah payah, darah masih keluar dari sudut bibirnya juga bekas tusukan di dadanya. "Dan m—maaf karena tidak mempercayaimu."

•••••

Udahaaaan, tamaaaat. Ini endingnyaaa huhuhuw.

Selamat yang sudah berhasil nebak dari bab awal (mungkin) nanti aku kasih ketjup muah muah muah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro