• empat belas •
"Juna, aku rasa kamu sudah kelewatan karena menuduhku sebagai pembunuh."
Akhirnya aku memutuskan untuk bangun dari tidur pura-puraku tadi karena merasa Juna sudah sangat kelewatan. Apa yang baru saja dia katakan tentangku sangat berlebihan. Maksudku, ayolah, mana mungkin aku membunuh teman-temanku sendiri? Aku membutuhkan mereka, untuk membatalkan kutukan ini, mengapa aku malah harus membunuh dan membuat diriku berada di posisi sulit?
"Tika? Kamu sudah bangun? Mau kuambilkan minum?" tanya Rista yang langsung menghampiriku.
Aku tersenyum dan menggeleng untuk menjawab tawarannya. Yang kuinginkan saat ini hanya Juna menarik kembali ucapannya tadi dan berhenti menyebut bahwa aku adalah seorang pembunuh—karena kenyataannya, aku bukan seorang pembunuh.
"Aku mengerti jika kalian menganggap aku ... tidak waras," kataku sambil membentuk tanda kutip dengan jari di samping kepalaku saat menyebutkan kata tidak waras. "Hanya saja aku tidak mengerti jika kalian mengatakan bahwa aku pembunuh. Apa maksudmu mengatakan itu semua?"
"Kamu berpura-pura tidur tadi hanya untuk menguping pembicaraan kami, Tik?" tanya Juna dengan senyum sinis menghiasi bibirnya.
Aku mengangguk. "Ya, apa ada masalah?"
"Tidak," jawab Juna sambil mengangkat kedua bahunya menandakan semuanya bukan masalah yang cukup berarti.
"Lalu?"
"Berarti kamu sudah tahu jawaban atas pertanyaanmu tadi, untuk apa menanyakan hal yang sama lagi?" tanya Juna dengan pandangan tajam. "Aku tahu yang kamu lakukan pada Damai."
"Aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengatakan pada Damai bahwa aku mengawasinya. Dia bisa saja memang pembunuh teman-teman kita, kenapa kamu juga tidak mengerti?"
"Alasan Damai mungkin menjadi pembunuh hanya karena dia memerankan serigala, eh?"
Aku mengangguk.
"Dia memang menjadi serigala, tapi dia tetap pion di dalam permainan ini, Damai bukan Tuhan. Damai memiliki peran yang sama seperti Fian yang sudah meninggal beberapa hari lalu, artinya kamu tahu apa?"
Dengan ragu aku menggeleng. Perkataan Juna benar-benar membuatku bingung. Aku tidak paham apa pun yang dikatakan olehnya sekarang dan ini menyebalkan.
"Artinya, Damai juga bisa mati, suatu hari nanti. Karena dia hanya memerankan sebagai serigala, bukan Tuhan," jawab Juna. "Jadi, sekarang tolong jawab pertanyaanku. Menurutmu, bukankah pemeran Tuhan dalam permainan itu yang lebih berperan dalam menciptakan runtutan kematian?"
Perkataan Juna membuatku benar-benar kehilangan kata-kata. Di satu sisi, aku marah karena berarti Juna menuduhku sebagai pembunuh, lagi dan lagi. Hanya saja, di sisi lain, aku tahu dengan jelas bahwa apa yang Juna katakan memang benar. Aku menjadi Tuhan dalam permainan itu, dan Tuhan adalah yang mengatur segalanya.
Namun, apa mungkin aku yang membunuh mereka? Bukankah aku berusaha menyelamatkan mereka semua? Dan untuk apa aku membunuh mereka lalu berpura-pura menyelamatkan mereka di waktu yang bersamaan?
Apa rasa kehilanganku juga hanya sekadar pura-pura? Tentu saja tidak. Aku kehilangan mereka semua, terlebih Oki dan Jira. Tidak mungkin aku membunuh mereka. Aku membutuhkan mereka untuk terus bersamaku.
"Kenapa diam, Tik?"
Pertanyaan dari Juna menyadarkanku dari lamunan, aku meremas rambutku guna menghilangkan nyeri yang mulai terasa di kepalaku secara tiba-tiba. Semua yang dikatakan Juna benar. Dia memang benar.
"Sudah, Jun. Aku rasa kamu mulai keterlaluan."
Refleks, aku mengangkat kepalaku ketika mendengar suara Adit yang mengatakan hal cukup keras pada Juna. Setengah hatiku merutuk karena Adit terlalu lama membiarkan mulut dan perkataan Juna melukaiku.
"Aku hanya mencoba berpikir dengan caranya," jawab Juna sambil menunjuk ke arahku. "Dia menuduh Damai membunuh teman-teman kita hanya karena perannya sebagai serigala. Apa masuk akal?"
Adit menggeleng.
"Sama tidak masuk akalnya dengan kalian yang menganggap kematian teman-teman kita adalah kutukan. Lebih baik kita lupakan semua ini dan berhenti berdebat," kata Juna akhirnya. Dia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan ingin menghentikan pembicaraan.
"Aku ... setuju," jawab Rista. "Semua ini melelahkan. Mari berpikir bahwa semua orang akan mati pada waktu yang sudah ditentukannya saja. Tidak usah membahas ini semua lagi."
"T—tapi," sanggahku, kecewa. "Aku tidak menjamin kehidupan kalian akan lebih lama lagi jika kita tidak membatalkan kutukan ini."
Rista memandangku dengan tatapan bingung, lalu akhirnya menunduk sambil menggeleng pelan. Aku benar-benar kehabisan kata-kata sekarang, kualihkan pandangan pada Adit yang hanya tersenyum simpul, menandakan aku harus diam.
"Aku akan memanggil dokter," putus Adit akhirnya.
Aku kembali duduk dan merebahkan tubuh di tempat tidur, memejamkan mata dan membiarkan airmata yang kutahan sejak tadi turun membasahi pipiku. Mengapa rasanya sangat sakit ketika aku mencoba menyelamatkan mereka, tapi malah dianggap angin pengganggu?
•••••
Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya dokter mengizinkan aku untuk dirawat berjalan saja dan diperbolehkan pulang. Adit juga menyelesaikan semua administrasi dengan cepat sebelum akhirnya menjemput aku dan Rista lagi di kamar perawatan.
Rista membantuku membereskan beberapa barang yang kebetulan kemarin kubawa. Selama itu, tidak ada percakapan panjang yang terjadi. Hanya hening atau sesekali tanpa sengaja tatapan mata yang bertukar secara canggung.
Aku mengerti bagaimana berada di posisi Rista, hanya saja aku juga berharap Rista mengerti apa rasanya berada di posisiku. Seseorang yang bukan hanya baru saja kehilangan sahabat-sahabatnya, kekasihnya, tapi juga dituduh sebagai pembunuh mereka semua.
"Tika, apa ada yang tertinggal lagi?" tanya Rista memulai pembicaraan.
"Kurasa tidak ada. Lagi pula aku tidak peduli jika ada yang tertinggal lagi asalkan buku ini sudah berada di tanganku," kataku sambil menunjuk sebuah buku.
Rista mengangguk. "Apa ada yang kamu butuhkan lagi?"
"Tidak. Terima kasih banyak, Ris," jawabku tulus. Entah kenapa aku memang merasa harus berterima kasih pada Rista. Dia yang menemaniku selama aku pingsan, menjadi sandaran ketika Adit tidak ada, dan paling tidak Rista sempat mempercayaiku.
"Tidak usah berterima kasih begitu, Tik. Bukankah teman memanng sudah seharusnya saling membantu?"
"Aku berterima kasih padamu lebih dari sekadar bantuan yang kamu beri," jawabku. "Aku berterima kasih karena kamu paling tidak mencoba untuk percaya padaku."
Dia tersenyum, mengulurkan tangannya lalu menggenggam tanganku yang sedang memegang buku. "Aku hanya lelah dengan semua ini. Aku mempercayaimu karena kamu menjelaskan hal yang pada kenyataannya memiliki dasar juga alasan. Di atas itu semua, kamu memang layak dipercaya, bukan?"
Aku terdiam, tidak menjawab apa pun dari kalimat Rista. Kenapa pertanyaannya membuatku kehabisan kata-kata? Yang dia tanyakan hanya apakah aku layak dipercaya, bukan? Kenapa saat ini aku mulai meragu pada diriku sendiri? Apa aku pantas dipercaya?
"Sudah siap pulang, Tik?"
Suara Adit terdengar menyelamatkanku dari keheningan dan momen yang terasa menyiksa. Rista mundur dan mengangguk, menjawab pertanyaan Adit. Dia mengambil tas dan membantu aku agar berdiri.
"Aku bisa sendiri," kataku sambil tersenyum.
"Baguslah, Tik. Kita harus cepat pulang karena sepertinya sebentar lagi hujan. Akan sangat merepotkan bepergian ketika hujan," ucap Adit.
"Di mana Juna?"
"Dia menunggu di lobi, Tik. Kali ini dia yang menyetir," jawab Adit lagi.
Aku tidak menjawab dan hanya diam sambil berjalan di samping Adit dan Rista. Perjalanan menuju lobi terasa sangat jauh dan dingin. Tidak ada obrolan yang cukup berarti selain pembicaraan Adit yang berbasa-basi dengan Rista.
Begitu pula ketika kami sudah sampai di mobil. Juna memasang wajah datar dan tidak menyambutku dengan baik—bahkan dia tidak menyapaku dan untungnya aku tidak begitu peduli. Mungkin, bagi Juna saat ini, aku adalah musuhnya. Orang yang sangat tidak bisa dia percaya.
"Ini mobilmu?" tanyaku sambil memandang Adit dari balik spion ketika tanpa sengaja bertemu pandang dengannya.
"Iya. Aku sudah mengambilnya di rumah Jira kemarin. Kuncinya kutemukan di tasmu," jawab Adit.
"Bagaimana dengan Ji—"
"Semua sudah diurus, Tik. Dan mereka—keluarga Jira juga Difa—mengerti ketika kamu tidak bisa hadir menemui mereka. Mereka menitipkan salam untukmu," lanjut Adit memotong ucapanku yang belum selesai.
"Aku akan tetap ke rumah mereka nanti. Ketika aku sudah menemukan penyelesaian atas masalah kita, karena aku benar-benar tidak ingin datang ke sana tanpa membawa hasil yang bisa menjelaskan kematian Jira dan Difa," jawabku tegas.
"Tika sudahlah, bukankah tadi kita sudah sepakat untuk melupakan ini semua?" tanya Adit sambil mengingatkan. Alisnya naik, memberi tahu bahwa dia sedang tidak ingin ada keributan di sini.
"Tapi, Dit, semua ini memang memerlukan penyelesaian," kataku dengan keras kepala.
"Polisi sudah melakukan penyelidikan dan semua sudah selesai," jawab Juna tiba-tiba. Suaranya terdengar sangat dingin, dia memandangku dari balik spion sekilas. "Kalian pergi menggunakan mobil Jira yang sudah lama tidak mampir untuk sekadar memeriksa kondisinya ke bengkel.
"Suatu kesalahan terjadi membuat kabel bahan bakar mengikis dan bocor hingga akhirnya terjadi sebuah ledakan. Dan semua itu adalah kecelakaan," jelas Juna panjang. "Pihak keluarga menerima penjelasan itu, selesai. Apa lagi yang kamu harapkan?"
"Tidak mungkin semua terjadi begitu tiba-tiba dan sangat kebetulan!" pekikku keras yang anehnya bersamaan dengan suara petir kencang memecah langit. Kilat bersahutan dan hujan mulai turun.
"Jika ada yang masih bisa dipermasalahkan atau dicurigai pun, itu hanya satu, Tik," kata Juna tiba-tiba. "Aku malah berpikir kalau kabel bahan bakar itu dengan sengaja sudah dibuat bocor oleh orang lain."
"Kamu menuduuhku melakukan itu lagi?" jawabku dengan tersinggung.
"Tidak. Aku hanya mengemukakan pemikiranku. Bisa saja itu bukan kamu. Bisa saja itu Damai, seperti katamu," jawab Juna dengan nada yang bagiku sangat memuakkan.
"Berhenti mencurigaiku!"
"Maka berhentilah bicara hal yang tidak masuk akal!" balas Juna dengan bentakan, ia membanting setir ke kiri dan menepikan mobil hingga terdengar bunyi ban yang berdecit.
"Aku mengatakan hal yang sebenarnya, meskipun bagimu mungkin semua ini tidak masuk akal, tapi mengertilah," ucapku dengan nada yang lebih melemah.
"Orang yang mati pasti menginginkan ketenangan, Tik. Kamu mengangkat masalah ini seolah seperti hal yang aneh dan membuat mereka yang telah mati menjadi tidak tenang!" balas Juna. "Berhentilah."
"Masalahnya adalah, kalian tidak pernah mencoba untuk mau percaya dan menyelesaikan semuanya denganku! Andai saja kalian mendengarkanku, mungkin kita masih bisa menjaga Jira dan Difa sekarang hingga mereka tidak perlu mati terbakar di dalam mobil!"
"Apa aku harus percaya padamu bahkan ketika kamu juga menuduh Fian dan Damai tanpa bukti juga bicara melantur tentang Tuhan dalam permainan pada Damai? Katakan padaku, Tik! Apa aku harus percaya padamu?!"
Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi tampaknya Juna sudah sangat kesal. Dia melepas sabuk pengaman dan membuka kunci pintu mobil.
"Mau ke mana?" tahan Adit ketika Juna hampir membuka pintunya.
"Aku berhenti. Aku akan pulang sendiri karena aku sudah sangat tidak tahan dengan semua ini."
"Juna," panggil Rista yang sedari tadi diam sambil menggigit bibirnya.
"Aku menyerah. Terserah kalian jika kalian mau melanjutkan kegilaan ini bersamanya. Aku mundur," jawab Juna sambil turun dari mobil.
Aku memutuskan untuk turun dan mengikuti Juna. Hujan ternyata sangat deras dan petir juga kilat saling bersahutan di langit.
"Aku memiliki alasan kenapa aku menuduh Fian dan Damai, Jun."
Juna menghentikan langkahnya dan berbalik. "Karena mereka berperan sebagai serigala?"
"Ya," jawabku yang langsung memancing tawa sarkas Juna. "Tapi juga karena satu hal lain. Karena aku dan Jira sadar, bahwa tubuh kita tidak lagi menjadi milik kita seutuhnya. Ada kekuatan lain yang mengatur diri kita, dan itu semua karena kutukannya."
"Tika! Juna!"
Aku dan Juna menoleh ke belakang ketika mendengar suara Adit memanggil nama kami. Ternyata aku dan Juna sudah berjalan cukup jauh sampai tidak sadar karena terlalu sibuk berdebat. Adit dan Rista berlari menyusul ke arahku dan Juna.
"Maksudmu kerasukan?"
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, apakah kamu tidak berpikir kalau kamu juga sama berbahayanya seperti Damai? Kalau tubuhmu juga bisa saja dikendalikan dan kerasukan makhluk halus kutukan?" tanya Juna sambil tertawa keras.
"Juna, kamu tidak me—oh ayolah, kita akan membahas ini nanti. Sekarang lebih baik kita kembali ke mobil," ajakku karena mendadak merasa sangat ketakutan.
Hujan turun semakin deras, dan aku mendapat firasat aneh. Aku hanya ingin kembali ke mobil sebelum semuanya menjadi semakin kacau. Aku berlari dan menarik tangan Juna, memaksanya kembali ke mobil.
"Aku akan pergi, jangan menghalangi," kata Juna keras kepala.
Aku menggeleng, aku terus berusaha menarik tubuhnya hingga entah bagaimana tiba-tiba sebuah cahaya menyorot ke arahku dan Juna. Aku menengok ke cahaya tersebut yang ternyata berasal dari mobil truk yang terus memberi klakson pada kami.
Panik, aku berusaha menarik Juna tapi Juna tetap melawan hingga akhirnya aku merasa tubuhku terdorong ke arah belakang dan terpental cukup jauh ke pinggir jalanan.
"JUNA!"
•••••
Haloooo tamara's speaking!
Ini lebih dari 1900 kata lohh. Panjang, kan? Iya. Dan aku udah berhasil namatin cerita ini. Tinggal upload aja. Kalian maunya aku langsung upload semua, atau gimana?
Aku ikut mau kalian dehh :3
Yuk yuk yuk!
xoxoxo
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro