Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• delapan belas •

Perkataan Herra barusan membuat hatiku benar-benar hancur, bagaimana mungkin semua yang mereka lakukan sia-sia? Padahal aku dan Adit sudah membakar kartu permainan sialan itu, kami sudah menghanguskan semuanya. Kenapa Damai masih saja mati?

"Bagaimana maksudmu, Her? Damai mati?" tanya Adit dengan wajah tidak percaya. Pandangan Adit beralih padaku. "Kita sudah membakar kartunya dengan benar, bukan?"

Aku mengangguk. "Kita sudah melakukannya dengan benar. Di buku itu tertulis kita harus merendam kartu permainan itu di dalam air yang berisi darah dari semua pemain."

"Kita tidak merendamnya dengan air dan darah dari semua pemain," kata Adit sambil berpikir keras. Dia menjentikkan jarinya dan melihatku dengan kesal. "Apa mungkin karena itu makanya semua tidak bekerja?"

Kugelengkan kepalaku tanda tidak paham, perlahan luka bakar yang mengenai tanganku terasa sangat menyakitkan. Aku mulai merasa perih yang tidak tertahan dan meringis.

"Tika ada apa dengan tanganmu?" tanya Herra sambil memandangku takut. "Kamu terluka?"

"Entah kenapa tadi api menyambar lenganku ketika aku membakar kartu permainan itu," jawabku sambil menahan sakit. "Tadinya tidak terasa sakit, tapi sekarang mulai perih."

"Kita harus mengobatinya," kata Adit sambil membawaku ke ruang tengah.

Herra mengangguk sambil berjalan di belakangku dan Adit menuju ruang tengah, kemudian di tengah jalan, tiba-tiba Herra berkata, "Sepertinya lebih baik kita tidak masuk ke ruang tengah."

"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti.

Herra mengangkat bahunya sambil sedikit menggeleng, dengan gugup ia mengusap lengannya kasar, tanda tidak nyaman.

"Ada apa?" tanyaku sambil tetap berjalan menuju ruang tengah.

"Apa ada hal buruk yang terjadi?" tanya Adit juga.

Herra mengangguk. "Damai mengiris nadinya di ruang tengah, aku tidak tahu apa yang terjadi atau bagaimana semua itu terjadi. Yang aku tahu hanya Damai tiba-tiba mengamuk dan berlari ke luar ruangan.

"Tidak lama kemudian, ia kembali ke ruang tengah sambil mengacungkan pisau ke arahku. Dia mengoceh banyak hal, dia bilang ..., ah sebentar, aku sulit mengingatnya," kata Herra sambil menggeleng. "Dia bilang kita tidak akan berhasil membatalkan kutukan itu? Sepertinya begitu."

Adit menghela napasnya ketika mendengar Herra bercerita. Pegangannya padaa pundakku terasa lebih kuat mencengkeram. Aku berusaha tenang dan melihat wajahnya sekilas untuk memberikan ketenangan.

"Aku harus mengambil kunci mobilku di dalam, kalian lebih baik pergi ke ruang makan lebi dulu. Nanti aku akan menyusul sambil membawakan kotak obat untuk luka bakarmu," kata Adit sambil berusaha tersenyum.

"Tidak, Dit, aku akan ikut menemanimu. Ayo," kataku sambil memeluk lengannya agar dia tidak pergi meninggalkanku. "Herra, kamu ke ruang makan saja dulu. Aku akan menyusul tidak lama lagi. Aku tahu, kamu pasti tidak ingin melihat ruang tamu lagi, bukan?"

Herra mengangguk lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju ruang makan. Setelah kepergiannya, aku dan Adit kembali berjalan sambil terus berpegangan satu sama lain.

"Aku tidak habis pikir," kata Adit dengan suara lirih.

"Apa?" tanyaku sambil memandang wajah Adit yag memucat sekilas. "Kalau tentang insiden pembatalan kutukan yang tidak berfungsi, aku juga tidak mengerti, Dit. Kita sudah melakukannya sebisa kita. Dan sesuai dengan yang tertulis dalam buku."

"Kalau tentang itu aku tidak begitu memikirkannya, Tik," jawab Adit menggeleng.

Keningku berkerut. "Lalu apa yang membuatmu tidak habis pikir?"

"Tentang Damai."

"Damai kenapa?"

"Aku tidak mengerti kenapa dia memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Bukankah dia tidak akan mendapat apa-apa jika dia mati? Dia kenapa tidak mencoba menyelamatkan dirinya sendiri?" ucap Adit sambil mengacak rambutnya frustrasi.

"Damai sulit ditebak."

"Tapi dia mempercayai kita pada akhirnya," jawab Adit masih keras kepala dengan pemikirannya yang membingungkan. "Dia bahkan menyerahkan darahnya untuk kita, berarti dia menaruh harapan. Lalu, kenapa dia malah memutuskan untuk bunuh diri bahkan sebelum kita berhasil membakar kartunya?"

Aku menggeleng dengan rasa menyesal. Aku sama sekali tidak tahu jawabannya. Kematian Damai memang mengundang tanda tanya dan aku menyesal untuk itu. Harusnya aku bisa mencegahnya melakukan itu, harusnya.

"Kenapa bahkan ia mengatakan bahwa kita tidak akan bisa membatalkan kutukan ini? "

Sedikit berdeham, aku berkata, "Mungkin, mungkin dia dipengaruhi kutukan itu."

"Maksudmu?"

"Aku dan Jira sepakat tentang ini. Kami merasa bahwa kutukan itu tidak hanya mempengaruhi secara langsung—kematian mendadak yang seolah kecelakaan itu maksudnya," jawabku menjelaskan. "Beberapa kali aku dan Jira juga merasa bahwa kami kehilangan kendali atas tubuh kami.

"Kamu mengerti? Tubuhku bergerak, melakukan dan mengatakan sesuatu, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya. Seperti seseorang mengambil alih kendali tubuhku dan mengendalikannya semau mereka."

"Maksudmu seperti kerasukan?" tanya Adit sedikit tidak percaya, wajahnya meringis dan keningnya berkerut dalam.

"Ya, tepat seperti itu," jawabku sambil menjentikkan jari. "Aku pernah mengalami hal itu dan memutuskan bahwa pemikiran tentang kerasukan itu benar adanya."

"Kapan kamu mengalaminya?"

"Salah satunya adalah ketika di pemakaman Eka. Apa kamu ingat ketika aku, Jira dan Fian meracau tidak jelas?"

Adit mengangguk.

"Itu adalah satu kondisi di mana aku sama sekali tidak sadar apa yang aku lakukan bahkan katakan saat itu. Ketika aku kembali mendapat kendali atas tubuhku, aku melupakan semua kejadian itu dan seluruh tubuhku terasa sakit," jelasku pada Adit.

"Aku sama sekali tidak percaya bahwa semua ini adalah hal yang nyata, Tik," kata Adit sambil menggeleng dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Kematian yang beruntun, kerasukan, kutukan ... apakah semua benar-benar nyata?"

Pintu ruang tengah sudah terlihat dan aku mulai enggan memasuki ruangan itu. Bagaimana pun juga, di dalam sana tergeletak mayat seseorang dan orang itu adalah orang yang kamu kenal. Bukankah itu sangat mengerikan?

"Aku juga tidak ingin mempercayainya," kataku sambil menggeleng. "Namun, nyatanya semua itu telah terjadi pada kita. Dan tidak ada penjelasan yang lebih logis untuk ini semua."

"Aku bahkan tidak pernah bertemu tetangga kita yang memberikan kartu itu lagi, Tik," kata Adit. "Ketika kamu pergi ke rumah Jira dan Difa, aku sempat mencoba untuk menemui tetangga kita itu. Aku merasa kamu tidak akan bertindak segila ini jika kamu tidak benar-benar yakin dengan hal itu."

"Lalu?"

"Aku mencari ke rumah tetangga kita yang lain dan tidak menemukan orang itu. Bahkan ketika aku mencoba bertanya pada tetangga-tetangga yang kutemui dan menjelaskan ciri-ciri orang itu, semua mengatakan tidak pernah melihatnya," jawab Adit dengan raut wajah menyesal.

"Jadi, dia juga menghilang?"

Adit mengangguk. "Mungkin sejak itu akhirnya aku mulai mempercayai teorimu tentang kutukan. Aku sama sekali tidak menyangka jika orang yang beramah tamah itu ternyata seorang yang membawa kutukan. Atau bahkan jangan-jangan, dia tidak nyata?"

"Entahlah," jawabku menggeleng. Aku sudah tahu ada yang aneh dengan ini semua, dan nyatanya memang benar. "Kita sudah sampai, apa kamu siap?"

"Harusnya aku yang bertanya padamu," jawab Adit sambil memutar kenop pintu. "Kamu tidak perlu masuk ke dalam jika merasa tidak nyaman."

"Aku baik saja, tenang," jawabku sambil melangkah masuk sambil menahan napas dan memejamkan mata.

Begitu aku membuka mata dan pandanganku menjelajah ruangan, aku langsung menutup mulutku sendiri dengan kedua tanganku. Bagaimana tidak? Jasad Damai ada di kursi tengah dengan luka yang lebar di pergelangan tangan kirinya.

"Aku akan langsung mengambil kunci mobil dan kotak obat, kamu tunggu di sini saja, Tik," perintah Adit sambil berjalan semakin dalam ke ruangan tersebut.

Memutuskan tidak menjawab maupun membantah perintah dari Adit, aku berdiri di depan pintu ruang tengah sambil terus memandang wajah Damai yang membiru. Lagi-lagi aku dihinggapi rasa bersalah dan kecewa saat melihatnya. Aku gagal menyelamatkan nyawa temanku lagi.

Bau amis darah dan besi menyeruak di ruangan itu, darah masih terlihat keluar dari luka terbuka di pergelangan tangan kiri Damai. Aku memutuskan untuk membuang wajahku ke samping.

"Adit, apa masih lama?" tanyaku setengah berteriak.

"Aku belum berhasil menemukan kotak obatnya."

"Tinggalkan saja, aku sudah tidak kuat di sini," jawabku sambil menggeleng. "Kunci mobilnya sudah kamu dapatkan, bukan?"

"Kunci mobil sudah, kotak obat belum," jawabnya dengan tidak sabar. "Tidak mungkin aku meninggalkan kotak obat itu, kamu membutuhkannya untuk mengobati lukamu."

Benar yang dikatakan Adit, luka bakar di tangan ini semakin membuatku perih dan terasa sakit. Aku melirik luka di tanganku yang memerah dan tampak terkelopek di beberapa sisi. Andai saja lukanya tidak separah ini, mungkin aku hanya akan membasuhnya dengan air dingin lalu mengoles pasta gigi di atasnya—sayangnya luka ini menyeramkan.

"Aku tidak kuat berada lama-lama di sini. Apa tidak masalah jika kamu sendirian?"

Adit mengacungkan jempolnya ke arahku. "Tadi sudah kukatakan kamu tidak perlu ikut, bukan? Kamu saja yang terus kepala. Tunggu aku di ruang makan, aku akan mencarinya secepat yang kubisa."

"Baiklah, jangan lupa untuk tetap berhati-hati dan menjaga dirimu tetap memegang kendali atas tubuhmu," pesanku sebelum akhirnya aku meninggalkan ruang tengah.

Dengan langkah cepat, aku berjalan menuju ruang makan. Aku berusaha melupakan kenangan dan gambaran bagaimana tubuh Damai tergeletak dan memucat biru kehabisan darah. Bagaimana bau amis dan besi menyeruak di ruangan tersebut. Dan bagaimana aku sangat merasa bersalah atas semuanya.

"Tika, Adit?"

Suara Herra membuatku membuka mata dan merasa lega karena sudah bersama dengan Herra. Aku menghambur ke arah Herra dan memeluk tubuhnya yang sedang duduk di meja makan. Tanpa sadar aku menangis.

"Aku tidak kuat melihat Damai, tidak bisa," kataku sambil menangis.

"Tenanglah, Tik. Semua akan berakhir, bukan? Kita harus kuat menghadapi ini semua," kata Herra sambil mengusap punggungku.

"Aku sama sekali tidak menyangka harus melakukan ini," kataku tiba-tiba, air mata terus mengalir dari kedua pelupuk mataku. "Maaf, maaf aku harus melakukan ini."

"Tidak apa, Tik, semua ini bukan salahmu. Jangan meminta maaf, kamu sudah berusaha untuk mematahkan kutukan itu, bukan? Jangan terus menangis dan menyalahkan dirimu sendiri."

"Bukan karena itu," jawabku sambil menggeleng, tanganku yang berada di punggung Herra berusaha menjangkau sesuatu di meja makan yang berada tidak jauh dari tubuhku dan Herra.

"Lalu untuk apa?'

"Untuk ini," jawabku sambil menancapkan benda yang kuraih dari meja makan ke punggung Herra. "Maaf, tapi sekarang sudah giliranmu."

Tubuh Herra terkesiap dan menegang merasakan tusukan yang cukup dalam di punggungnya. Aku mencabut pisau kecil itu, lalu menancapkannya lagi di punggung Herra, lebih dalam.

"Maaf, tapi permainan harus segera berakhir dan kamu sudah harus mati," kataku sambil menjauh dari tubuh Herra yang perlahan terjatuh dari kursi.

Kuperhatikan tubuh Herra yang sedikit mengerang, lalu akhirnya diam sama sekali. Ragu, aku menghampiri tubuhnya dan menendangnya pelan. Tidak ada perlawanan. Aku maju dan mencabut pisau dari punggung Herra.

"Apa yang kulakukan?" kataku sambil memandangi pisau yang telah berlumuran darah itu di tanganku. Pandanganku beralih pada tubuh Herra yang tidak bergerak. "Herra, tidak! Apa yang aku lakukan, tidak!"

•••••

Litlle bit disasterrr oh nooo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro