Bab 9. Notifikasi
"Apa yang terjadi?"
Mata Valeri tertutup dengan spontan saat cahaya yang terlalu terang memasuki retinanya. Bahkan setelah kantung matanya tertutup, cahaya tersebut pun masih bisa menembus saking terangnya. Cahaya tersebut bertahan selama hampir setengah menit hingga akhirnya perlahan menghilang.
Lalu tepat sebelum Valeri sempat membuka matanya. Terdengar suara yang berat menggema dari langit. "Cah Ayu, Angreni. Hatimu memang tidak bisa diragukan ketulusannya setiap kali mencintai, Nduk. Kali ini, kami akan memberimu kesempatan kedua. Kembalilah bersamanya."
Setelah itu, saat Valeri sudah bisa kembali membuka matanya. Ternyata perempuan itu sudah bangun dari mimpi.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Cahaya dari luar pun sudah mengintip dari jendela yang gordennya tidak tertutup dengan rapat. Semua berjalan begitu cepat di dalam mimpi, sampai-sampai tidur lima jam Valeri hanya terasa seperti lima menit.
Valeri menghela napas dengan sangat dalam. Dia selalu bangun dengan perasaan cemas berlebih dan jantung yang berdegup kencang setiap kali memimpikan Candraneswara. Napasnya terasa berat seperti orang yang kelelahan.
"Kenapa dia kembali lagi?" gumam Valeri.
Gadis itu sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang ingin diceritakan oleh Candraneswara. Valeri hanya ingin Candraneswara tidak mengusik hidupnya lagi. Dia hanya ingin hidup tenang dan damai bersama seorang lelaki yang mencintainya seperti pangeran berkuda putih yang mencintai putri cantiknya di dalam negeri dongeng. Tidak muluk-muluk.
Sementara itu, Nyonya Handoko di dapur sedang bertelepon dengan Puri yang cukup senggang saat Minggu pagi. "Gimana kabar Valeri, Buk?" tanya Puri yang memang menghubungi Nyonya Handoko terlebih dahulu.
"Demamnya udah sembuh, tapi dia gak pernah cerita lagi masalah didatangi perempuan di dalam mimpi. Dia juga gak pernah mengigau lagi, jadi Ibuk ndak tau. Coba tanya, Nduk. Takutnya dia gak mau cerita karena takut membebani pikiran Ibuk."
Di depan Nyonya Handoko tampak bertaburan tepung-tepung, adonan, dan beberapa alat untuk membuat kue. Wanita itu sedang ingin membuat roti isi dengan roti yang dipanggang sendiri.
"Ya, udah. Habis ini Puri telepon Valeri coba."
"Eyang, lagi apa?" panggil valeri yang tiba-tiba sudah berada di dapur. Membuat Nyonya handoko kembalii mengatupkan mulutnya yang hendak menjawab kalimat Puri.
"Eh, Cah Ayu. Sudah bangun." Nyonya Handoko tersenyum lebar kepada Valeri. "Eyang mau bikin roti isi. Mau bantuin?"
Valeri pun berjalan mendekati Nyonya Handoko yang membuat dia sadar bahwa neneknya sedang bertelepon dengan seseorang.
"Eyang lagi teleponan sama siapa?" tanya Valeri penasaran dengan tangan gadis itu yang sudah menoel-noel permukaan adonan roti.
"Oh, ini?! Ibumu, mau ngobrol?" Pas sekali, pikir Nyonya Handoko.
"Mama?! Mau!!" Valeri tersenyum senang saat menerima ponsel Nyonya handoko yang masih terhubung dengan Puri.
"Halo, Mama! Ini Valeri lagi mau bantuin Eyang bikin roti."
Sengaja, Valeri tidak menyebutkan dirinya yang baru bangun tidur. Bisa-bisa Valeri kena omel dan dikira berlibur di rumah neneknya hanya supaya bisa ongkang-ongkang kaki alias bermalas-malasan–ya, meskipun kenyataan salah satu tujuan Valeri memang itu.
"Oalah .... Eh, kamu habis demam, ya, kata Eyang?"
Nyonya Handoko melanjutkan kegiatannya menguleni adonan. Tentu saja dengan telinga yang tetap menguping pembicaraan Valeri dengan ibunya.
"Iya, tapi udah sembuh, kok, Mam. Jadi udah aman, santai aja. Papa sama mama apa kabar?" tanya Valeri balik yang sadar tidak pernah mengontak orang tuanya.
"Baik, Nduk. Mama hari ini luang seharian mau beres-beres rumah, kalau Papamu nanti sore berangkat ke Surabaya soalnya besok pagi ada acara di kantor cabang sana."
Vaaleri mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau Mas Dika?" lanjut tanya Valeri meskipun sudah bisa ditebak jika hari Minggu seperti ini kegiatan kakak laki-laki Valeri itu hanya dua, kalau tidak menonton film, ya bermain game.
"Huh, jangan ditanya. Lagi mabar di kamar, berisik banget ...." Puri mendadak bingung mau bertanya mulai dari mana supaya anak gadisnya tidak merasa terlalu diinterogasi.
"Ya, udah, Ma. Valeri mau lan–"
"Eh, sebentar, Val. Emm ... kamu aman-aman aja di sana?"
Valeri mengerutkan dahi saat mendengar pertanyaan tersebut. Kemudian sekilas Valeri menatap neneknya yang tertangkap mencuri pandang kepada Valeri. "Aman, kok. Emang kenapa?"
"Oh, ya sudah. Kalau ada apa-apa cerita sama Eyang atau Mama, ya. Jangan ditahan sendiri, kamu nggak sendirian, Sayang. Soalnya kamu juga habis putus, kan?" Puri mengurungkan niat untuk langsung bertanya to the point.
"Santai aja, Ma. Valeri nggak apa-apa, kok. Mama jangan khawatir, I can handle it." Kalimat andalan Valeri. Puri pun menyadari bahwa kesibukannya, suaminya, dan anak pertamanya membuat Valeri tumbuh menjadi anak yang merasa paling bisa mengatasi segalanya sendiri.
"Iya, iya. Jaga diri, ya, di sana. Kalau ada apa-apa kabarin Mama, oke? Mama mau lanjut beres-beres rumah dulu, ya."
"Iya, Mamaku Sayang." Setelah itu sambungan telepon terputus dan Valeri mengembalikan ponsel neneknya.
"Udah?" tanya Nyonya Handoko. Valeri menganggukkan kepala. "Ibumu nggak nanya apa-apa?"
Valeri menggelengkan kepala. "Tanya kabar aja, sih, Eyang. Kenapa emangnya?"
"Nggak, nanya aja," jawab Nyonya Handoko singkat. Meskipun di dalam hati, dia sudah ngedumel karena Puri justru tidak kunjung menanyakan yang seharusnya dia tanyakan.
***
"Eyang, Valeri sebulan di sini enaknya ngapain, ya?" tanya Valeri di sela-sela kegiatannya menemani sang nenek menonton sinetron.
"Loh, terserah kamu. Kok, nanya Eyang." Matanya Nyonya Handoko tetap fokus menatap acara di depannya.
"Loh, wong sudah jelas pelakunya di depan mata. Malah pura-pura nggak tau. Wah, wis. Sulit, menye-menye banget. Kok. Gemes aku." Nyonya Handoko mulai berbicara sendiri dengan bersungut-sungut mengomentari acara di depannya.
Valeri yang melihat kelakuan neneknya pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Bukan apa-apa. Hanya saja Valeri teringat kelakuan mamanya saat menonton drakor. Persis sama.
Meninggalkan Nyonya Handoko dengan dunianya, Valeri beralih membuka media sosial Instagramnya. Tadi sore, dia baru saja mengunggah foto tanaman-tanaman neneknya yang terlihat aesthetic. Media sosial Valeri memang penuh dengan foto-foto aesthetic yang bukan manusia. Hal yang paling sering dia abadikan adalah gambar langit.
Valeri mengecek akun-akun yang melihat story Instagramnya. Memang pengikut Valeri juga tidak banyak, hanya orang-orang yang dikenal Valeri. Sehingga rata-rata Valeri mengenal orang yang menonton story-nya. Akan tetapi, kali ini Valeri menemukan sebuah akun yang terlihat asing.
Akun tersebut memiliki nama pengguna @klana_lana. Valeri mengerutkan dahinya. "Dokter Klana?" gumama Valeri yang tentu tidak terdengar oleh Nyonya Handoko.
Valeri pun mengecek profil dari akun tersebut. Melihat dari foto profilnya, jelas itu adalah gambar Klana dengan pose dan pakaian formal. Pengikut dan yang diikuti juga tidak sampai seratus. Kemudian hanya ada satu unggahan di beranda instgramnya, sebuah foto langit malam dengan bulan purnama sempurna.
"Bagus banget," gumam Valeri sekali lagi.
Gadis itu terpesona dengan gambar langit yang diunggah oleh Klana. Saking terpesonanya, Valeri sampai tanpa sengaja menekan tombol sukai pada unggahan tersebut. Tentu saja Valeri panik dan buru-buru menghapus jejaknya.
Sayang sekali, Valeri terlambat. Klana kebetulan sedang menggunakan ponselnya saat notifikasi menyukai dari Valeri muncul di ponsel Klana. Lelaki itu pun menyunggingkan senyum tipis.
urbabevale_ menyukai postingan Anda.
Bahkan notifikasi itu bukan hanya muncul di depan mata Klana. Akan tetapi, juga di depan mata Gemuris yang sedang menunjukkan perkembangan media sosial perusahaan mereka.
"Ekehem." Gemuris berdehem iseng. "Fotonya di-like calon jodoh, nih. Kapan, ya, orangnya di-like juga."
Klana langsung menurunkan lekungan bibirnya menjadi datar dan memberikan tatapan "bombastis sebelah mata" kepada Gemuris. Ajudannya itu pun langsung diam seketika.
"Makin nggak sopan, ya, lama-lama."
"Maaf, Gusti Prabu. Bercanda." Gemuris langsung membungkukkan kepala dalam-dalam untuk menunjukkan rasa hormat dan rasa berasalahnya.
Sebenarnya Klana tidak marah. Hanya saja, dia takut salah tingkah jika terus diejek Gemuris. Mau ditaruh mana wibawanya kalau sampai ketahuan salah tingkah hanya karena seorang perempuan.
Mengabaikan Gemuris yang langsung menjaga jarak dan tidak berani mengintip ponsel Gusti Prabu-nya lagi, Klana pun mengklik notifikasi dari Valeri. Sebelumnya Klana mengetahui akun media sosial Valeri dari Gemuris yang langsung semangat menjodoh-jodohkan. Kemudian Klana pun langsung melihat-lihat akun tersebut yang isinya kebanyakan pemandangan alam.
Setelah melihat notifikasi menyukai dari Valeri, Klana dengan berani mengikuti gadis itu. Klana bahkan tidak sempat terpikir sama sekali bahwa Valeri menyukai unggahannya karena tidak sengaja.
Sedangkan Valeri yang mendapatkan notifikasi balasan dari Klana pun langsung panik.
klana_lana mulai mengikuti Anda.
"Akh!" teriak Valeri spontan. Valeri pun langsung menutup mulutnya sendiri.
"Kenapa, sih, Nduk? Berisik banget, dari tadi grasak grusuk sendiri kamu ini." Nyonya Handoko berusaha mengintip isi ponsel Valeri yang sampai membuat cucunya itu berteriak.
Namun, Valeri buru-buru menjauhkan ponselnya dari jangkauan sang nenek. "Nggak apa-apa, kok, Eyang," ucap Valeri sembari berdiri dari sofa. Kemudian gadis itu ngibrit begitu saja ke kamar.
"Heh, ini beneran? Dokter Klana nge-follow aku?" gumam Valeri begitu sampai kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro