Bab 34. Ciuman Perpisahan
Valeri menolehkan kepalanya ke belakang. "AAAAA!" teriak Valeri saat alih-alih melihat Klana, Valeri justru melihat Candraneswara dengan rambut yang berantakan, matanya merah menyala, ekspresi penuh kemarahan, serta terdapat aura yang sangat gelap dari belakang tubuhnya.
Setelah berteriak, seketika bibir Valeri terkunci. Tubuhnya juga seperti tidak bergerak karena saking takutnya. Valeri ingin menangis karena ketakutan rasanya.
"Saya mendengar bahwa Klana membuat perjanjian denganmu," ucap Candraneswara dengan suara berat dan menggema. Valeri hanya bisa menelan ludah dengan mata mendelik ketakutan saat mendengar suara itu.
"Kenapa kamu menolak perjanjian itu, Valeri?" Candraneswara semakin mendekat kepada Valeri. Akan tetapi, gadis itu tetap membeku ketakutan di tempatnya. "Bukankah perjanjian itu cukup menguntungkan?"
Candraneswara mulai menyentuh bahu Valeri yang membuat Valeri semakin ingin berlari terbirit-birit. "Apa kamu memang ingin terus bertemu diriku yang seperti ini, Valeri?" Candraneswara menaikkan volume suaranya hingga gema dari perempuan itu seolah memenuhi kepala Valeri.
"Katakan, Valeri!" Candraneswara mulai menyentuh wajah Valeri.
"KATAKAN!" teriak Candraneswara sembari mencengkram dagu Valeri.
Setelah itu Valeri berterik, "AAAAAAAAAA!" Lebih keras dari sebelumnya. Kemudian seketika Valeri menghilang dari hadapan Candraneswara.
Tidak lama setelah itu, Candraneswara kembali pada wujudnya semula bersamaan dengan kemunculan Dewa Jaya Kusuma. "Kasihan, dia pasti ketakutan sekarang," lirih Candraneswara dengan ekspresi sedihnya.
Dewa Jaya Kusuma segera meletakkan tangannya pada punggung Candraneswara. Lalu menepuk-nepuk pelan di sana untuk menenangkan. "Tidak apa-apa. Hanya untuk kali ini, demi kebaikan mereka berdua juga."
Sementara itu, Valeri di dunia nyata baru saja tersentak bangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Keringat membasahi pakaian perempuan itu. Ekspresi ketakutannya pun masih belum hilang.
Setelah itu, disusul pintu kamar terbuka dan Nyonya Handoko muncuk dari sana. "Ada apa, Val? Kenapa berteriak?" tanya Nyonya Handoko.
Valeri tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia memilih untuk sedikit mengatur napasnya terlebih dahulu. Baru setelah itu Valeri menjawab, "Tidak apa-apa, Eyang. Valeri cuma mimpi buruk." Valeri berusaha tersenyum supaya neneknya tidak khawatir.
"Yakin? Tidak ada masalah?" Valeri menjawab dengan menggelengkan kepala sembari tersenyum. "Baiklah, kalau gitu Eyang tidur lagi."
Kemudian Nyonya Handoko meninggalkan Valeri untuk kembali ke kamarnya karena ini masing sangat pagi-pagi buta. Masih pukul tiga lebih lima menit pada jam dinding di kamar Valeri. Akan tetapi saat Nyonya Handoko memilih kembali tidur, Valeri tidak berani dan tidak bisa kembali tidur.
Pertama, karena takut. Kedua, karena Valeri jadi terus memikirkan ulang tentang tawaran yang diajukan Klana. Hingga kemudian saat pukul lima pagi, Valeri memutuskan untuk membuka blokiran dan menghubungi Klana.
Valeri menyempatkan diri untuk menghela napas dalam terlebih dahulu sebelum benar-benar mengirim pesan tersebut. "Saya terima penawaran dari Mas Klana."
Setelah mengirim pesan tersebut, Valeri mulai merasa mengantuk dan nyaris saja ketiduran. Jika saja ponsel Valeri tidak berdering dengan keras karena telepon masuk, Valeri pasti sudah tertidur. "Halo, Valeri," sapa Klana terlebih dahulu.
Sejujurnya, Valeri cukup malu karena tiba-tiba menerima tawaran Klana setelah menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? "Iya, halo, Mas Klana."
"Ini kamu serius nerima penawaran dari saya?"
"Heem."
"Kalau begitu, kapan kita bisa bertemu?" Klana sudah tidak sabaran. Dia tidak bisa tidur semalaman setelah pulang dari Kediaman Keluarga Handoko. Akan tetapi, pagi-pagi sekali mendadak Valeri menghubunginya.
Sebelum menjawab, Valeri menatap jam terlebih dahulu. "Jam lima sore nanti saya naik kereta buat pulang ke Jakarta. Jadi sebelum itu nanti saya mampir dulu ke rumah Mas Klana."
"Kalau begitu, nanti saya kirim Gemuris untuk menjemput kamu dan mengantarkan ke stasiun."
"Iya, boleh."
"Tolong kabari saya kalau sudah siap berangkat."
"Iya, nanti saya kabari. Saya masih ada urusan, saya matikan dulu teleponnya."
Tuut. Tuuut. Tuuut. Panggilan telepon dimatikan sepihak oleh Valeri dengan buru-buru karena dia merasa seperti akan menangis. Bagaimanapun juga, putus cinta itu menyakitkan.
Sementara itu, mendadak Klana merasa hampa setelah bertelepon dengan Valeri. Klana jadi merasa asing dengan Valeri, seolah mereka tidak saling kenal. Klana merasa Valeri berbicara kepadanya seperti berbicara dengan orang yang tidak dia kenal. Tidak ada suara yang manja, tidak ada suara ramahnya. Klana merasa kehilangan itu.
***
"Valeri? Silakan masuk."
Pukul setengah empat sore, Valeri mengabari Klana bahwa dia sudah siap berangkat. Kemudian Klana mengirimkan Gemuris untuk menjemput Valeri. Saat sampai rumah Klana, lelaki itu sendiri yang menyambut Valeri. Sementara Gemuris dengan cukup tau diri memilih untuk menunggu di depan sembari menghisap rokok.
Tanpa mengucap kata apapun, Valeri melangkahkan kakinya ke dalam rumah Klana. Ekspresi Valeri begitu datar bagi Klana. Sementara Valeri sendiri mendatarkan ekspresinya agar tidak menangis. Dia sebisa mungkin berusaha untuk tidak merasakan emosi apapun.
"Duduk dulu di sofa, saya ambilkan minum." Sekali lagi, Valeri hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Semuanya jadi terasa senyap dan canggung. Bahkan setelah Klana kembali ke ruang tamu sembari membawa dua gelas jus jeruk, Valeri masih bertahan dengan kedatarannya. Klana menghela napas diam-diam, dia merasa bersalah.
"Valeri, sebelumnya saya meminta maaf sudah menyakiti kamu. Saya berharap kita tidak berakhir seburuk ini."
"Hubungan yang dimulai dengan niat buruk, tidak akan ada yang berakhir baik." Akhirnya, Valeri membuka mulut. Meskipun dia bersuara dengan sangat ketus, tetapi Klana cukup lega mendengar suara Valeri.
"Iya ... kamu benar. Saya juga harusnya berterima kasih karena kamu sudah mau membantu saya setelah saya menyakiti kamu. Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi jika Jaya tidak ada."
"Sebenarnya saya justru berterima kasih kepada Mas Jaya. Jika dia tidak memberitahu semuanya dan suatu hari Mas Klana mencium saya lalu menghilang tiba-tiba. Mungkin saya hanya akan merasa sangat kebingungan dan tidak tau apa-apa seperti orang bodoh."
"Val-"
"Tidak perlu basa-basi, Mas Klana. Urusan saya di sini bukan untuk mengobrol dengan Mas Klana. Saya di sini hanya mau segera menyelesaikan semuanya lalu kembali pada kehidupan normal saya."
Sebenarnya Valeri tidak yang sepercaya diri itu, dia juga merasa canggung. Akan tetapi, Valeri tidak mau berlama-lama dengan Klana.
"Baiklah kalau begitu." Valeri menolehkan kepalanya ke arah Klana untuk menatap lelaki itu. Menatap wajahnya, bukan matanya.
Klana sudah lama tidak berurusan dengan perempuan dan tiba-tiba sekarang dia harus mencium Valeri. Rasanya seluruh tubuh Klana seperti kaku. Akan tetapi, Klana harus tetap menyelesaikannya. Klana susah payah menelan ludah sendiri saat tangannya mulai bergerak menyentuh kedua pipi Valeri.
"Bolehkah saya melakukannya dengan mata tertutup?" minta Valeri. Meskipun Valeri tidak merasa sekaku Klana, tetapi Valeri tetap aneh saat harus berciuman dengan cara seperti ini.
Klana menganggukkan kepala tanda setuju, kemudian Valeri memejamkan matanya. Setelah itu tanpa Valeri sadari, bibir mereka sudah saling bertaut selama beberapa saat. Hingga kemudian, Valeri baru membuka mata saat bibir Valeri tidak bisa merasakan bibir Klana lagi.
"Mas Klana?" Hilang, lelaki itu sudah tidak ada di hadapan Valeri. Kutukannya pasti sudah berakhir, karena itu Klana sekarang sudah menghilang.
Valeri menundukkan kepalanya. "Dia beneran pergi ...." Lagi, air mata kembali menetes.
Kemudian selama beberapa saat, Valeri membiarkan dirinya menangis dan merasa kehilangan. Lebih baik seperti itu daripada perasaannya diabaikan. Lalu setelah sedikit memaksa tangisan itu untuk berhenti, Valeri menemui Gemuris yang duduk di depan rumah.
Gemuris dengan sigap langsung berdiri saat melihat kedatangan Valeri. "Mbak Valeri. Bagaimana-"
"Dia sudah pergi. Ayo, berangkat. Saya mau pulang."
Gemuris menyadari bahwa Valeri tampaknya tidak ingin diajak mengobrol. Sehingga dia pun memilih untuk diam. Sampai saat di dalam mobil, Valeri baru bertanya terlebih dahulu kepada Gemuris.
"Kenapa hanya Mas Klana yang menghilang dan kamu tidak?"
Gemuris tersenyum saat mendengar pertanyaan itu. "Itu karena saya sendiri yang bersumpah bahwa saya tidak akan menua atau mati sampai Gusti Prabu menyelesaikan kutukannya. Jadi yang terjadi pada saya bukan menghilang ke khayangan, tetapi mungkin setelah ini saya akan menua seperti manusia pada umumnya."
"Terus apa yang akan Mas Gemuris lakukan setelah ini? Apa Mas Gemuris tidak merasa kehilangan?"
"Tentu saja saya merasa kehilangan, Mbak Valeri. Tetapi saya sudah bersiap cukup lama untuk ini. Saya juga sudah merencanakan apa yang akan saya lakukan setelah ini."
"Apa?"
"Berkeluarga. Menikah dan memiliki anak, itu adalah impian saya sejak lama."
Valeri rasanya ikut senang mendengar pernyataan tersebut. Meskipun akhirnya Valeri tetap diam-diam menangis di dalam mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro