Bab 27. Fakta yang Ironis
Klana terbangun dalam kondisi terengah-engah, dia bangun dengan sendirinya karena malam ini Gemuris tidak menginap. Jantung Klana berdebar dengan sangat kencang seperti habis lari dikejar anjing liar.
Tergopoh-gopoh Klana turun dari tempat tidurnya untuk menuju kamar mandi. Curr, suara air yang mengucur pada wastafel berhasil membantu Klana untuk mengumpulkan nyawanya. Akan tetapi, dinginnya air yang mengenai wajah lelaki itu tidak cukup berhasil untuk menyegarkannya dari mimpi semalam.
"Cah Ayu ... maafkan aku," lirih Klana yang entah dia tujukan kepada siapa.
Klana menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Wajahnya tampak sayu dan pucat. Perlahan pandangannya terasa berkunang-kunang dengan kepala yang terasa amat berat. Hingga kaki lelaki itu tidak lagi kuat untuk berdiri tegak ... BRUKK!
***
PRANG. Valeri terlonjak dari mimpinya. Gelas di atas nakas entah bagaimana bisa tersenggol hingga jatuh dan pecah. Nyonya Handoko pun dengan panik langsung menghampiri kamar tempat cucunya tidur.
"Valeri! Ada apa?" teriak Nyonya Handoko dari pintu. Sementara posisi Valeri masih terduduk di atas tempat tidur sembari menatap pecahan gelas di lantai dekat nakas.
Valeri menolehkan kepala saat mendengar suara neneknya. "Nggak apa-apa, Eyang. Tadi kayaknya Valeri ngelindur terus nggak sengaja nyenggol nakas ... terus gelasnya jatuh," jelas Valeri dengan tenang supaya tidak menambah kepanikan sang tuan rumah.
Nyonya Handoko mendudukkan diri di tepi ranjag Valeri, kemudian ditatapnya lekat sang cucu. "Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, Nduk?"
Wajah Nyonya Handoko benar-benar menunjukkan rasa cemasnya terhadap Valeri yang justru membuat gadis itu berbalik mencemaskan neneknya. Tidak baik bagi lansia untuk merasa cemas berlebihan.
"Eyang, Valeri nggak apa-apa. Santai aja, jangan panik, oke?"
Nyonya Handoko menghela napas. "Apa kamu masih memimpikan perempuan itu, Nduk?"
Valeri diam sejenak sebelum menjawab. "Iya, Eyang ... tapi tenang aja, Valeri udah terbiasa, kok." Valeri memilih untuk menjawab seperti itu karena berbohong juga sepertinya percuma. Nyonya Handoko tidak akan percaya jika Valeri menjawab dengan tidak.
Setelah mendengar jawaban Valeri, Nyonya Handoko mengulurkan tangannya untuk bisa memeluk Valeri. Kekhawatiran Nyonya Handoko sudah menghapuskan kemarahan wanita itu yang terjadi semalam.
"Sabar sebentar, ya, Cah Ayu. Eyang akan cari cara supaya ramalan itu nggak terjadi."
Sementara itu, di rumah minimalis milik Klana, Gemuris datang sangat tepat waktu. Saat lelaki itu baru saja memasuki pintu rumah, dia mendengar suara berisik dari dalam kamar mandi. Sekuat tenaga Gemuris berlari menuju kamar mandi.
"Gusti Prabu!" Klana tergeletak di lantai kamar mandi dengan pelipis yang berdarah akibat terkantuk wastafel.
Gemuris segera menggendong Klana menuju kamar. Lelaki itu berusaha membangunkan tuannya dan mengobati luka pada dahi tuannya itu dengan pertolongan pertama yang dia kuasai.
Tidak berselang lama, sekitar sepuluh menit lamanya. Klana terbangun dengan kondisi tubuh yang masih sangat lamas. Samar-samar dia bisa melihat wajah Gemuris dengan ekspresi cemasnya.
"Gusti Prabu, kenapa bisa begini?" tanya Gemuris dengan suara bergetar. Dia cemas sekaligus ketakutan. Maklum saja selama berabad-abad, Klana nyaris tidak pernah sakit apa lagi sampai jatuh pingsan.
Setelah kesadarannya pulih cukup banyak, lelaki itu memaksakan diri untuk duduk. Gemuris pun tidak berani melarang. Sebagai gantinya, Gemuris membantu Klana untuk duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Sepertinya aku sudah terlena terlalu jauh pada permainan yang aku buat sendiri, Gemuris." Klana susah payah menelan ludah, tenggorokannya terasa kering sampai-sampai bisa membuatnya tercekat saat berbicara.
"Kenapa, Gusti Prabu? Sebenarnya ada apa?"
"Aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan Valeri dan menyudahi kutukan ini, Gemuris. Supaya aku bisa kembali kepada Candraneswara, dia pasti sudah sangat tersiksa dan sedang menungguku."
Mata Klana menatap jauh ke depan, jauh, sangat jauh. Sementara Gemuris menatap tuannya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada sesuatu di dalam pikiran Gemuris yang dia simpan sendiri.
"Gemuris, siapkan rencana supaya aku bisa mendapatkan ciuman dari Valeri dan mengakhiri kutukan ini. Aku tidak bisa membiarkan Candraneswara tersiksa lebih lama lagi."
Kemudian, selagi Klana dan Valeri sama-sama terbangun dari mimpi. Candraneswara juga baru saja kembali ke tempat di mana seharusnya dia berada. Di sana, Candraneswara sudah disambut oleh Dewa Jaya Kusuma.
"Cah Ayu," lirih Dewa Jaya Kusuma sembari memeluk Candraneswara dari belakang. "Harum ...."
"Kangmas." Candraneswara memebalas pelukan Dewa Jaya Kusuma dengan cara menggenggam erat tangan lelaki yang melingkar pada perut Candraneswara. "Apakah Kangmas masih marah?"
Marah? Tentu saja, amarah Dewa Jaya Kusuma perihal kehilangan kekasihnya tidak akan pernah padam. Akan tetapi, dia ingin mengontrol amarah itu. Setidaknya di hadapan Candraneswara karena Dewa Jaya Kusuma tidak ingin melukai kekasihnya lagi.
"Sudahlah, Di Ajeng. Lupakan saja perkara itu. Aku hanya sedang ingin memelukmu ... aku berusaha memaafkanmu."
Candraneswara pun diam, lalu memejamkan mata. Perempuan itu memilih untuk turut menikmati pelukan mesranya dengan sang kekasih.
Bukankah ini benar-benar sebuah panggung drama yang sangat menarik sekaligus ironis? Saat Valeri dibuat tersiksa dengan mimpi-mimpi aneh yang membayanginya, dipaksa mengingat kehidupan di masa lalu, dan dipermainkan hatinya demi mengakhiri kutukan Klana.
Akan tetapi, Klana justru mengkhawatirkan perempuan lain, mencemaskan Candraneswara hingga membuatnya bermimpi buruk sampai sedemikian rupa. Sementara di sisi lain, perempuan yang sangat dikasihi Klana itu justru sedang memadu kasih dengan lelaki lain.
"Di Ajeng, jangan tinggalkan aku lagi. Aku sudah lelah untuk kehilanganmu berkali-kali."
"Tidak akan lagi, Kangmas."
***
"Nduk, sini duduk samping Eyang," panggil Nyonya Handoko dari ruang tengah saat Valeri saja selesai dari dapur.
Valeri menurut. "Iya, Eyang? Ada apa? Eyang, masih cemas perkara tadi pagi?"
Nyonya Handoko menghela napas. "Bagaimana jika kamu berhenti dulu untuk berhubungan dengan Dokter Klana? Sampai semua masalah tentang mimpi dan ramalan itu berhenti?"
Valeri terlahir jauh dari neneknya dan keluarganya yang berada di Solo. Sementara saudara dan orang tua gadis itu bukanlah orang-orang yang bisa dengan mudah mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Sekalipun Valeri mendapatkan mimpi tentang Candraneswara yang seperti itu, tetapi rasa percaya Valeri terhadap hal-hal berbau mistis belum sebesar neneknya.
"Eyang, gimana kalau kita lihat aja kedepannya gimana? Kalau Valeri merasa akan ada hal-hal berbahaya yang mungkin menimpa, Valeri akan berhenti berhubungan sama Dokter Klana. Gimana?"
Ibaratnya begini, Valeri sedang fase pemulihan setelah diselingkuhi mantan kekasihnya. Lalu datang Klana yang seorang mas-mas Jawa, tampan, tinggi, wangi, mapan, dan perhatian. Pada intinya, Valeri terlanjur terpikat dan jatuh hati kepada Klana.
"Kepalang tanggung, Eyang. Valeri juga udah terlanjur deket sama Dokter Klana .... Kalau Valeri hati-hati, semua pasti akan baik-baik aja. Eyang sendiri juga yang jodohin Valeri sama Dokter Klana, kan?" Valeri berusaha menjelaskan dengan selembut mungkin.
Nyonya Handoko tetap diam. Valeri melanjutkan ucapannya, "Kalau seandainya Dokter Klana nggak kayak apa yang Eyang pikir, ujung-ujungnya nanti malah fitnah ke orang yang nggak bersalah."
Drrtt ... drrtt. Ponsel di saku celana pendek Valeri bergetar untuk sesaat. Menandakan bahwa ada pesan singkat yang masuk. Tentu saja dari mana lagi jika bukan dari Klana.
Selagi Nyonya Handoko masih diam sembari berpikir, Valeri menyempatkan untuk mengecek ponsel perempuan itu. "Valeri, saya hari ini sakit. Maaf, ya, hari ini kita nggak keluar dulu. Lain kali saya ajak kamu ke tempat yang menarik."
Setelah membaca pesan tersebut, Valeri langsung merasa gusar. "Eyang, pikirin dulu apa yang Valeri bilang tadi. Pelan-pelan aja, jangan terlalu cemas. Valeri bukan anak kecil lagi, jadi percaya aja kalau Valeri bisa jaga diri, ya?"
Sekali lagi, Nyonya Handoko menghela napas. Wanita itu menganggukkan kepala beberapa kali lalu berjalan lesu menuju kamarnya. Tentu saja dia cemas, tetapi apa yang dikatakan Valeri ada benarnya.
Sementara itu, setelah memutuskan untuk mengakhiri obrolannya dengan sang nenek. Valeri pun turut bergegas kembali ke kamar. "Mas Klana, sakit apa?" balas Valeri setelah perempuan itu duduk di tepi ranjang.
Satu menit, dua menit, lima menit, tidak ada balasan dari Klana. Semebari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada bagian belakang ponsel, Valeri berpikir untuk menelepon Klana.
Namun, belum sampai Valeri selesai berpikir. Sebuah panggilan video sudah terlebih dahulu masuk ke dalam ponsel Valeri. Klana meneleponnya.
"Halo, Cah Ayu. Sudah makan?" sapa Klana sembari tersenyum. Bibir lelaki itu tampak pucat dengan kompres yang menempel pada dahi.
"Sudah ... Mas Klana sakit apa?"
"Cuma demam ... mungkin kecapean. Nggak apa-apa, kok." Klana berusaha meyakinkan kepada Valeri bahwa dirinya baik-baik saja. "Besok juga sembuh."
"Aku jenguk, ya, Mas?"
"Eh, nggak usah. Ini nggak parah, kok."
Akan tetapi, tidak peduli bagaimanapun Klana menolak, Valeri tetap mendesak untuk bisa menjenguk lelaki itu.
"Aku khawatir sama Mas Klana. Nggak parah gimana? Orang Mas Klana sampe pucet banget gitu."
"Hemm ... ya, udah. Kalau gitu, boleh, deh."
"Oke, nanti aku naik taksi ke sana. Boleh minta alamat lengkap Mas Klana, nggak? Soalnya aku nggak hapal rumah Mas Klana."
"Jangan naik taksi. Kamu boleh jenguk ke sini, tapi saya kirim Gemuris buat jenguk kamu, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro