Bab 25. Semua Panggung Sandiwara Kehidupan Ini
"Sekarang aku mengetahunya, Di Ajeng memang tidak akan mengubah pemikiran bahwa aku adalah penjahatnya dalam cerita ini." Dewa Jaya Kusuma berdiri dari tempatnya duduk. Buru-buru Candraneswara meraih tangan Dewa Jaya Kusuma untuk mencegah kekasihnya itu supaya tidak pergi.
"Kangmas ... maaf ...."
"Sudahlah ...." Dewa Jaya Kusuma melepaskan cekalan tangan Candraneswara. "Aku hanya ingin membantu, tetapi jika bantuanku tidak dibutuhkan, maka aku akan berhenti."
Setelah itu, dalam satu kedipan mata, Dewa Jaya Kusuma sudah menghilang dari hadapan Candraneswara. Wanita itu jelas tidak memiliki kemampun untuk mencegah Dewa Jaya Kusuma supaya tidak pergi.
Candraneswara terduduk lemas di tepi tempat tidurnya. "Kesalahan apa yang sudah aku lakukan," rintih Candraneswara.
***
Valeri melepas sepatunya sebelum masuk ke dalam rumah. Selagi melepas sepatu, Valeri berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri. Sampai kemudian perempuan itu membuka pintu rumah dengan disertai helaan napas yang berat.
"Sudah pulang?" Sindiran dari Nyonya Handoko menyambut Valeri begitu masuk ke dalam rumah.
"Sudah," jawab Valeri singkat. Valeri berniat untuk langsung masuk ke dalam kamar, tetapi Nyonya Handoko menahan cucunya itu untuk tetap berada di ruang tengah.
"Duduk sini, Eyang mau tanya sesuatu sama kamu." Nyonya Handoko menepuk-nepuk tempat kosong di sisi kirinya.
Valeri dengan malas mendudukkan diri di sofa, di samping sang nenek. "Jelasin semuanya ke Eyang."
Kemudian mau tidak mau, Valeri menjelaskan semua yang terjadi. Sedetail mungkin supaya sang nenek tidak lagi menaruh curiga dan masalah ini segera selesai. Akan tetapi, ternyata tidak.
"Terus kenapa kamu nggak minta langsung diantar pulang pakai mobil? Huh? Kamu bisa ganti baju di rumah, kan? Bisa makan di rumah."
Valeri mengehela napas sembari mengusap wajahnya dengan kasar. "Valeri tadi udah jelasin bagian itu, kan? Udahlah, Eyang. Mending sekarang Eyang istirahat."
Valeri sudah hendak berdiri dari duduknya karena perempuan itu sudah mulai tidak tahan dengan sang nenek. Akan tetapi, Nyonya Handoko segera menarik Valeri untuk kembali duduk yang membuat Valeri mau tidak mau terduduk kembali.
"Kamu itu paham apa nggak sebenernya? Selama kamu di sini, kamu itu masih tanggung jawab Eyang ... Eyang cuma khawatir kamu kenapa-kenapa, tapi kamu dikhawatirin malah ngeyel kayak begini."
"Aku tau Eyang khawatir sama aku, tapi aku bisa jaga diri Eyang. Kalau emang Valeri mau macem-macem, Valeri nggak perlu jauh-jauh ke Solo dulu. Di Jakarta juga Valeri bisa ngelakuin itu ... lebih bebas malahan di sana, orang Mas, Mama, sama Papa juga sibuk sendiri sama urusan mereka. Tapi nyatanya enggak, kan? Apa susahnya, sih, buat percaya?"
"Eyang bukan nggak bisa percaya sama kamu." Nyonya Handoko mulai kembali meninggikan suaranya dengan tidak sabaran. "Eyang percaya kalau cucu Eyang anak baik-"
"Ya, udah. Kalau emang Eyang percaya, nggak perlu sampai kayak gini. Ngintrogasi Valeri seolah Valeri tahanan aja. Nggak enak digituin itu, tau nggak?"
"Eyang percaya sama kamu, tapi nggak semua orang di luar sana bisa dipercaya, Valeri! Hal-hal jahat bisa datang ke kamu kapan aja. Eyang juga takut kalau sampai ramalan itu beneran terjadi."
"Ramalan?"
Nyonya Handoko terdiam. Dia baru saja menyadari sebuah kata yang tidak seharusnya dia ucapkan. "Bukan ... maksud Eyang-"
"Nggak! Jangan bohong, Eyang. Tolong jelasin yang sejujurnya. Valeri tau kalau Eyang nggak akan segininya kecuali ada hal yang bener-bener serius. Jujur sama Valeri, ramalan apa yang Eyang maksud."
Meskipun Valeri tidak pernah menunjukkan kekhawatirannya, tetapi dia masih terpikirkan mengenai kejadian saat perempuan itu mengunjungi Mijan bersama Endah. Belum lagi mimpi-mimpi tentang Candraneswara yang Valeri rasa masih ada sangkut pautnya dengan kejadian itu.
Sementara itu, Nyonya Handoko masih diam. Dia kebingungan mencari alasan. "Eyang, tolong jujur sama Valeri. Kalau Eyang jujur, Valeri juga akan mengatakan sesuatu yang jujur."
Mendadak apa yang selama ini Valeri pikirkan sendiri, rasanya seperti ingin meledak. Terutama mengenai mimpinya tentang Candraneswara yang sangat mengganggu pikiran Valeri selama ini.
"Eyang nggak bisa, Nduk. Kamu harus meminta persetujuan ibumu terlebih dahulu untuk bisa mengetahui hal ini." Suara Nyonya Handoko mulai kembali melembut.
"Kenapa harus minta persetujuan Mama? Valeri udah besar, Eyang. Valeri bisa handle semuanya sendiri."
"Eyang tau, Cah Ayu. Tapi Eyang udah janji sama ibu kamu."
Valeri menghela napas. "Eyang pernah nanya masalah Valeri yang masih mimpiin sosok perempuan itu atau nggak, kan? Mimpi yang bikin Valeri demam tiga mingguan lalu. Valeri masih mimpiin dia sampai beberapa hari lalu, Eyang."
Nyonya Handoko melebarkan matanya. "Terus ... apa yang terjadi? Mimpi itu tentang apa, Valeri?"
"Banyak, mungkin lebih banyak dan lebih nggak masuk akal dari apa yang Eyang tau. Jadi kalau Eyang mau tau, Valeri juga harus tau ramalan apa yang Eyang maksud."
Nyonya Handoko menggelengkan kepalanya. "Tidak, kita tunggu Ibumu sampai bisa kesini baru Eyang akan bicara tentang itu."
Nyonya Handoko merasa bahwa bagaimana pun juga jika sampai terjadi sesuatu kepada Valeri, orang yang akan paling merasa kesulitan adalah Puri. Tentu saja Nyonya Handoko tidak ingin melihat putrinya kesulitan dan bersedih jika sampai terjadi sesuatu kepada Valeri.
Meskipun Puri sendiri masih sulit mempercayai hal-hal seperti ini. Hal-hal yang masih wanita itu anggap sebagai takhayul. Akan tetapi, tidak dengan Nyonya Handoko. Dia menganggap ini adalah permasalahan yang serius.
Mau percaya atau tidak, tetapi Nyonya Handoko sudah hidup cukup lama untuk bisa melihat sendiri bahwa beberapa hal yang orang awam anggap sebagai takhayul belaka itu benar-benar terjadi.
Setelah meminta Valeri untuk menunggu ibunya datang ke Solo. Nyonya Handoko lebih dahulu beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung pergi ke dalam kamar dan meninggalkan Valeri dengan pikiran yang berkecamuk.
"Sebenernya ada apa, sih? Apa gue balik ke jakarta aja biar semuanya selesai, ya?" gumam Valeri sembari tetap termenung setelah Nyonya Handoko masuk ke dalam kamar yang letaknya memang di lantai satu.
"Gue harus ngobrol sama Candraneswara," gumam Valeri sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar dan tidur-atau lebih tepatnya berusaha menemui Candraneswara melalui mimpi.
Pada awalnya memang Valeri tidak bisa menganggap Candraneswara sebagai suatu entitas yang benar-benar ada. Akan tetapi lama-lama, Valeri merasa bahwa hal tersebut tidak benar.
Valeri mulai meyakini bahwa sosok Candraneswara memang benar adanya meskipun entah di mana dan mereka berdua terkoneksi melalui mimpi.
"Cah Ayu, aku bisa merasakan energi yang begitu besar darimu. Apakah kamu memanggilku?"
Valeri padahal merasa jika dirinya baru sebentar memejamkan mata di atas tempat tidur, tetapi kini dia sudah duduk di taman bersama Candraneswara.
"Aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Ini penting."
"Kalau begitu, tanyakanlah."
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu mendatangi mimpiku dan memperlihatkan hal-hal yang ... menurutku seharusnya tidak aku lihat? Itu sudah terjadi di masa lalu dan aku juga tidak bisa mengubahnya. Apa hubungan semua itu denganku?"
Valeri menanyai Candraneswara dengan bertubi-tubi, seolah dia sudah tidak bisa menahan semuanya lagi.
Candraneswara tersenyum lembut-meskipun hatinya juga sedang berkecamuk karena masalah dengan Dewa Jaya Kusuma juga belum selesai. "Kamu akan bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, aku menjaminnya, Cah Ayu. Akan tetapi, itu baru bisa terjadi setelah aku selesai menceritakan semuanya."
"Tidak! Kamu sudah cukup mengagguku dan aku sudah mulai tidak tahan dengan semuanya ... aku yakin semua ini ada hubungannya dengan ramalan yang tidak ingin diceritakan oleh nenekku."
"Ramalan? Nenekmu mengetahui ramalan itu?"
"Kamu juga mengetahuinya, kan?"
Candraneswara diam. Sepertinya dia memang harus segera menyelesaikan semua ini. Jika ini segera bisa selesai, maka kesalah pahamannya dengan sang kekasih juga bisa segera diselesaikan.
"Cah Ayu, asal kamu tau. Aku juga ingin semuanya segera selesai karena aku juga disulitkan di sini. Niatku di sini adalah membantumu, membantu semua orang yang terlibat, dan tentu saja membantu diriku sendiri."
"Kalau begitu segera selesaikan ... hal yang kamu katakan sebagai bantuan itu." Valeri mulai berbicara dengan nada sinisnya.
"Bersabarlah sedikit, aku hanya perlu menunjukkan kepadamu dua bagian cerita lagi dan semua yang kamu pertanyakan akan terjawab ... jadi izinkan aku kali ini menceritakan bagaimana Inu Kertapati, Candra Kirana, dan Angreni kembali dipertemukan di atas panggung yang sama."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro